Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 03 Januari 2018

Mukjizat Isra’ Mi’raj



B. Isra' Dan Mi'raj

Isra’ dan Mi’raj Keduanya Merupakan Mu’jizat.
Setelah menghadapi ancaman penyiksaan fisik sejak pamannya Abu Thalib meninggal, yaitu paman yang telah banyak membelanya dari penganiayaan dengan memanfaatkan kedudukannya yang tinggi di Makkah; setelah menderita tekanan bathin sejak meninggalnya istri tercinta Khadijah, istri yang sangat setia yang berfungsi sebagai perawat untuk luka-luka Rasulullah Saw. akibat perbuatan kaum musyrikin; dan setelah menelan pahitnya kegagalan cita-cita ketika beliau pergi ke Thaif, maka Allah hendak menghormatinya dengan perjalanan yang penuh berkah ini, yakni perjalanan Isra' dan Mi’raj.
Dengan penghormatan ini seolah-olah Allah Swt. berfirman kepadanya: Wahai Muhammad, jika bumi terasa sempit olehmu, maka langit itu sangat luas bagimu. Jika penduduk bumi memusuhimu, maka penduduk langit menyambut dengan baik kedatanganmu. Dan jika penduduk bumi menghinakanmu, maka kedudukanmu di sisi Allah sangatlah mulia.

Sungguh yang selalu kami ingat dan tidak pernah kami lupakan adalah peristiwa Isra’ dan Mi'raj sebagai mukjizat yang pernah dialami oleh Rasulullah Saw. Ketika kami mengatakan peristiwa itu sebagai “mukjizat”, artinya peristiwa itu mengabaikan hukum alam, dan tidak berlaku setiap pertanyaan dan keterangan: Bagaimana Rasulullah Saw. mampu menempuh jarak yang sangat jauh hanya dalam hitungan detik? Bagaimana beliau mampu terhindar dari gravitasi bumi dan beliau terus naik ke langit?
Sungguh semua pertanyaan itu akan terjawab, sekiranya peristiwa itu berjalan sesuai dengan hukum alam, namun bahwa peristiwa itu terjadi di luar hukum alam, dan terjadi dengan kekuasaan Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tidak lama kemudian pertanyaan-pertanyaan ini semuanya melebur dalam derasnya keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Selama mukjizat itu terjadi di luar hukum alam dan mengabaikan hukum alam, maka mukjizat itu tidak mungkin diciptakan sendiri oleh nabi dan makhluk-makhluk yang lainnya. Namun, mukjizat itu hanya dimiliki oleh Dzat yang menciptakan hukum alam ini, Yang Maha Besar segala-galanya.
Dengan demikian, bukan nabi sendiri yang membuat mukjizat-mukjizat itu, akan tetapi Allah-lah yang mengaturnya dengan kekuasaannya. Dan sungguh sangat jauh berbeda di antara keduanya.

Allah Swt. telah menjelaskan kebenaran ini di dalam kitab-Nya yang agung tentang dialog yang didokumentasikan oleh al-Qur’an al-Karim antara kaum musyrikin di satu pihak dan para utusan Allah di pihak yang lain. Kaum musyrikin berkata kepada para rasul:

Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (TQS. Ibrahim [14]: 10)

Yakni mukjizat yang bisa dilihat banyak orang. Para rasul pun menjawab apa yang mereka katakan:

Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kalian melainkan dengan izin Allah.” (TQS. Ibrahim [14]: 11)

Dengan demikian, ini merupakan keputusan akhir bahwa mukjizat itu bukanlah buatan para rasul, akan tetapi ia termasuk di antara ciptaan Allah Swt.

Macam-Macam Mu’jizat:

Kalau kami perhatikan dengan seksama mukjizat-mukjizat yang Allah jalankan terhadap para rasul-Nya yang mulia, maka kami dapat mengklasifikasikannya menjadi dua kelompok:

Pertama, mukjizat yang sifatnya materi (al-mu’jizat al-madiyah). Mu’jizat jenis pertama ini adalah mukjizat yang dapat dilihat dan diraba wujudnya, seperti terbelahnya bulan, mengalirnya air dari jari-jari Rasulullah Saw., kembalinya mata yang dicungkil dengan selamat, dan lain sebagainya. Mukjizat-mukjizat jenis pertama ini hanya berlaku dan terjadi sekali saja, pengaruhnya tidak akan melewati waktu terjadinya, dan keberadaannya tidak setiap hari.

Kedua, mukjizat yang sifatnya non-materi (al-mu’jizat al-ma’nawiyah). Mukjizat jenis kedua ini adalah mukjizat yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, namun akan terlihat oleh mata pikiran, dan tidak tersentuh oleh tangan, namun wujudnya dirasakan oleh pemikiran, akal dan perasaan. Al-Qur’an al-Karim datang sebagai puncaknya mukjizat yang sifatnya non-materi, dan yang paling besar pengaruhnya. Al-Qur'an merupakan mukjizat yang abadi bagi Rasulullah Saw., lalu berikutnya mukjizat Isra’ dan Mi'raj. Kedua mukjizat ini memiliki pengaruh yang besar di dalam merancang metode baru bagi kehidupan manusia mendatang.

Tujuan Mukjizat

Setiap mukjizat yang terjadi pada nabi tidak dapat dipungkiri bahwa ia memiliki dua tujuan: Tujuan umum dan khusus. Adapun tujuan umum terjadinya mukjizat adalah untuk membangun dalil bahwa rasul yang tampak padanya adanya mukjizat adalah benar dengan apa yang dia klaim dan apa saja yang dia serukan. Dengan demikian, keberadaan mukjizat menduduki posisi firman Allah Swt.: Hambaku benar dengan setiap apa yang dia sampaikan tentang aku.

Sedangkan tujuan khusus terjadinya mukjizat, maka hal itu tercermin pada pengaruh yang ditinggalkan oleh mukjizat ini. Dengan demikian, tujuannya sebesar pengaruh dan sebesar mukjizat itu sendiri.
Di atas telah dikatakan: Bahwa mukjizat yang paling besar pengaruhnya adalah al-Qur’an al-Karim. Kemudian disusul oleh mukjizat Isra’ dan Mi’raj. Dengan demikian, posisi Isra’ dan Mi’raj di antara mukjizat-mukjizat adalah nomer dua setelah al-Qur’an al-Karim.
Kami dapat memastikan bahwa kejadian Isra’ dan Mi'raj merupakan kejadian yang diprogram, artinya kejadian itu termasuk dalam agenda yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dan Allah juga telah membuat tanda-tandanya. Menyingkap kejadian mukjizat Isra' dan Mi'raj termasuk kajian yang sungguh-sungguh terhadap perjalanan dakwah Rasulullah Saw.

Mukjizat Isra'

Pada suatu malam di antara malam-malam yang disinari oleh cahaya ketuhanan, ketika beliau berbaring di pembaringannya dalam keadaan antara bangun dan tidur, maka Jibril as. mendatangi Rasulullah Saw. dengan membawa Buraq, yaitu binatang untuk kendaraan yang pernah mengangkut para nabi sebelumnya.
Buraq meletakkan kukunya ke seluruh anggota badannya, lalu mengangkatnya dan membawanya pergi. Rasulullah Saw. diperlihatkan akan tanda-tanda kekuasaan Allah ketika beliau berada di antara langit dan bumi, hingga akhirnya beliau sampai di Baitul Maqdis.
Di Baitul Maqdis beliau bertemu dengan Ibrahim al-Khalil, Musa dan Isa yang berada di tengah-tengah rombongan para nabi yang telah berkumpul untuk menyambutnya. Kemudian mereka shalat dan Rasulullah Saw. yang menjadi imamnya.
Setelah shalat beliau dibawakan dua gelas, satu gelas berisi susu dan satunya lagi berisi khomer. Beliau mengambil gelas yang berisi susu dan lalu meminumnya, sedang gelas yang berisi khomer beliau tinggalkan. Jibril as. berkata kepadanya: Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah memimbing umatmu, wahai Muhammad. Dalam riwayat lain bahwa beliau shalat bersama para nabi setelah beliau kembali dari Mi'raj.

Mukjizat Mi'raj

Meriwayatkan kepada kami seorang sahabat yang mulia Abu Sa’id al-Khudri ra. tentang kisah mukjizat Mi’raj yang dia dengarkan sendiri dari Rasulullah Saw. Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Setelah aku selesai dengan pekerjaanku di Baitul Maqdis aku dibawanya Mi’raj, dan aku belum pernah melihat sesuatu yang lebih bagus darinya, dia merupakan sesuatu yang dipandang oleh mayit-mayit kalian ketika sekarat. Temanku membawaku naik ke sana, hingga akhirnya aku sampai pada suatu pintu di antara pintu-pintu langit, namanya pintu al-Hafazhah. Pintu itu dijaga seorang malaikat di antara malaikat-malaikat, namanya Ismail. Ismail ini memimpin dua belas ribu malaikat, dan tiap-tiap malaikat yang dipimpin Ismail ini juga memimpin dua belas ribu malaikat.”
Rasulullah Saw. bersabda ketika menceritakan kejadian ini:

“Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (TQS. al-Muddatstsir [74]: 31)

Ketika aku telah masuk dia bertanya: “Siapa dia ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia ini Muhammad.” Dia bertanya lagi, “Apakah dia benar-benar telah diutus?” “Ya,” jawab Jibril. Rasulullah Saw. bersabda: “Lalu dia memanggilku dengan ucapan yang sangat baik.” Setelah aku memasuki langit dunia, aku melihat seorang laki-laki yang sedang duduk, kepadanya disuguhkan ruh-ruh keturunan Adam. Dia berkata pada sebagian ruh, ketika ruh disuguhkan kepadanya dengan perkataan yang baik, dan dia pun merasa senang dengannya, lalu dia berkata: “Ruh yang baik tentu keluar dari tubuh yang baik pula.” Dan dia juga berkata pada sebagian ruh, ketika ruh disuguhkan kepadanya: “Cih.” Dan wajahnya pun cemberut, lalu berkata: “Ruh yang jelek tentu keluar dari tubuh yang jahat.” Lalu aku bertanya: “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril berkata: “Ini Adam nenek-moyangmu, kepadanya disuguhkan ruh-ruh keturunannya. Sehingga, apabila dia mendapatkan ruh yang beriman di antara keturunannya, maka dia merasa gembira dengannya, dan berkata: “Ruh yang baik tentu keluar dari tubuh yang baik pula.” Ketika dia mendapatkan ruh yang keluar di antara mereka, maka diapun berkata: “Cihcih.” Dia kelihatan benci dan merasa sedih karenanya, dan berkata: “Ruh yang jelek tentu keluar dari tubuh yang jahat.” Kemudian aku melihat orang-orang yang bibirnya seperti bibir onta, sedang di tangannya ada potongan-potongan api sebesar genggaman tangan, mereka melemparkan potongan api tersebut ke dalam mulutnya, lalu potongan api itu keluar dari anusnya. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang dengan sewenang-wenang makan harta anak yatim.” Kemudian aku melihat orang-orang yang perutnya besar, aku belum pernah sama sekali melihat perut yang sebesar itu, mereka berada di jalan keluarga Fir’aun, mereka di akhirat sangat berat siksanya, mereka berjalan seperti onta yang kehausan. Ketika api didekatkan pada mereka, mereka menjadi lunglai tidak mampu bergerak dari tempatnya. Melihat itu aku pun bertanya: “Mereka itu siapa, wahai Jibril?” “Mereka itu adalah orang-orang yang suka makan riba,” jawab Jibril. Berikutnya aku melihat orang-orang yang di tangannya ada daging yang baik dan segar, sedang di sampingnya terdapat daging yang buruk dan busuk. Anehnya, justru mereka makan daging yang buruk dan busuk, sebaliknya meninggalkan daging yang baik dan segar. Melihat itu aku pun bertanya: “Mereka itu siapa, wahai Jibril?” “Mereka itu adalah orang-orang yang suka meninggalkan wanita-wanita yang telah dihalalkan Allah, sebaliknya mereka senang pergi pada wanita-wanita yang diharamkan Allah,” jawab Jibril. Selanjutnya aku melihat para wanita yang mereka itu diikat dengan payudaranya sendiri. Aku bertanya: “Mereka itu siapa, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah para wanita yang suka menampakkan auratnya kepada kaum laki-laki yang bukan mahramnya.” Selanjutnya, aku dibawa naik ke langit kedua. Di langit kedua ini aku bertemu dengan dua orang putra bibiku, yaitu Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya. Lalu aku dibawa naik ke langit ketiga. Ketika aku berada di langit ketiga ini aku melihat seseorang yang kesannya tak ubahnya bulan purnama. Aku bertanya: “Siapa orang ini, wahai Jibril?” “Dia ini saudaramu Yusuf bin Ya’kub,” jawab Jibril. Kemudian aku dibawa naik ke langit kelima. Di langit kelima ini aku melihat seseorang yang umurnya antara 30-50 tahun, di mana rambut dan jenggotnya yang tebal warnanya sangat putih. Aku belum pernah melihat seseorang yang umurnya antara 30-50 tahun yang lebih tampan dari dia. Aku bertanya: “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia ini orang yang sangat dicintai kaumnya, yaitu Harun bin Imran.” Lalu aku dibawa naik ke langit keenam. Di langit keenam aku bertemu dengan seorang manusia yang kulitnya sawo matang, badannya tinggi dan tulang hidungnya mancung, sepertinya dia berasal dari komunitas orang-orang Syanuah.” (Syanuah adalah nama suatu kabilah dari al-Azd). Mengenai orang itu, aku bertanya kepada Jibril: “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia ini adalah saudaramu Musa bin Imran.” Kemudian aku dibawa naik ke langit ketujuh. Di langit ketujuh ini, aku bertemu dengan seseorang yang umurnya antara 30-50 tahun, dia sedang duduk di atas kursi dekat pintu Baitul Ma’mur. Tiap hari ada sekitar 70 ribu malaikat yang masuk melalui pintu, dan mereka tidak kembali hingga hari kiamat. Dia sama sekali tidak mirip dengan kalian, dan tidak seorangpun di antara kalian yang mirip dengan dia. Aku bertanya: “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia ini ayahmu Ibrahim.”

Kemudian Rasulullah Saw. memasuki Sidrat al-Muntaha, di mana daunnya seperti daun telinga gajah, sedang buahnya seperti kendi. Di Sidrat al-Muntaha ini Rasulullah Saw. dan umatnya mendapat perintah shalat sebanyak lima puluh kali shalat sehari semalam, yang sebelumnya hanya dua kali shalat: dua rakaat di pagi hari dan dua rakaat di sore hari, seperti yang pernah dijalankan oleh sayyidina Ibrahim ‘alaihi as-salam.

Rasulullah Saw. bersabda: “Kemudian aku dibawa masuk ke Surga. Di Surga aku melihat seorang gadis yang mewarnai bibirnya dengan warna agak kehitaman. Lalu aku menanyakannya: “Untuk siapa kamu? Sungguh aku benar-benar kagum dengan melihatmu.” Dia menjawab: “Aku untuk Zaid bin Haritsah.”
Maka dengan pengalamannya di Surga itu Rasulullah Saw. memberi Zaid kabar gembira.
Rasulullah Saw. bersabda: “Kemudian aku berpaling untuk pulang. Ketika aku melintasi Musa bin Imran, Musa bin Imran adalah sebaik-baik teman untuk kalian. Dia bertanya kepadaku: “Berapa banyaknya kewajiban shalat yang diperintahkan kepadamu?” Aku jawab: “Limapuluh kali shalat setiap hari.” Dia berkata: “Ingat, shalat itu pekerjaan berat, sedang umatmu umat yang lemah. Untuk itu, aku sarankan agar kamu kembali lagi kepada Tuhanmu, lalu mintalah dispensasi untukmu dan utamanya umatmu.” Aku pun kembali, aku memohon kepada Tuhanku dispensasi bagiku dan umatku, dan Tuhan menetapkan sepuluh kali shalat kepadaku, lalu aku pun pergi. Ketika aku melintasi Musa, maka dia berkata seperti semula. Aku pun kembali, aku memohon kepada Tuhanku, Tuhan masih menetapkan sepuluh kali shalat kepadaku, lalu aku pun pergi. Ketika aku melintasi Musa, maka dia berkata seperti sebelumnya. Aku pun kembali, aku memohon kepada Tuhanku, Tuhan masih juga menetapkan sepuluh kali shalat kepadaku, lalu aku pun pergi. Musa tidak bosan-bosannya berkata seperti itu kepadaku, dan setiap aku kembali kepadanya, dia berkata: “Kembali dan mohanlah kepada Tuhan.” Hingga akhirnya Tuhan menetapkan lima kali shalat sehari semalam. Kemudian, aku kembali melintasi Musa, dan Musa masih mengatakan hal yang sama kepadaku. Aku berkata: “Aku sudah berkali-kali kembali dan memohon kepada Tuhan, sehingga aku sangat malu kepada-Nya. Sekarang aku tidak mau melakukannya lagi.” Dengan demikian, siapa saja di antara kalian mendirikan shalat lima waktu karena dorongan keimanan dan dilaksanakan dengan tulus ikhlas, maka baginya pahala lima puluh kali shalat wajib.”

Sungguh Allah telah mewajibkan shalat itu di langit untuk menunjukkan betapa pentingnya shalat itu. Ketika shalat ditetapkan di langit, tidak lain agar shalat itu menjadi mi'raj (alat naik) yang menjadikan manusia terbang tinggi ketika mereka jatuh terperosok dalam keburukan-keburukan hawa nafsu yang bersarang dalam jiwa, dan dengan shalat itu supaya jiwa mereka lima kali setiap hari menuju Tuhan Yang Maha Tinggi.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam