Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 20 Desember 2017

Perang Uhud Nabi SAW Melawan Institusi Politik Kafir Quraisy Dan Sekutu



2. Kekalahan pada Perang Uhud

a. Sebab Perang Uhud

Ketika terjadi perang Badar kaum kafir Quraisy menderita kekalahan di Ashabul Qulaib, maka rombongan mereka kembali ke Makkah, Abu Sufyan bin Harb dan rombongannya juga kembali. Abdullah bin Abi Rabi’ah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Shofwan bin Umayyah berjalan di tengah-tengah kaum kafir Quraisy, di antara mereka yang orangtuanya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya menjadi korban pada saat terjadi perang Badar. Mereka berkata pada Abu Sufyan bin Harb, dan orang-orang yang ada dalam rombongan itu yang masih memiliki barang dagangan. “Wahai orang-orang Quraisy, sungguh Muhammad telah menzhalimi kalian, dan membunuh orang-orang yang kalian cintai, untuk itu bantulah kami dengan hartamu ini guna memerangi Muhammad. Barangkali dengan harta ini kami mampu membalaskan dendam orang-orang kami yang menjadi korban.” Orang-orang yang masih memiliki barang dagangan itu berkata, “Harta yang berupa barang dagangan yang kami miliki memang kami sediakan untuk memerangi Muhammad dan para sahabatnya.”

b. Kaum Kafir Quraisy Keluar Menuju Perang

Dengan hartanya ini, kaum kafir Quraisy mampu mengumpulkan orang-orang yang siap perang, di antara Suku Kinanah, penduduk Tihamah, dan sebagian besar koalisi bangsa Arab, serta orang-orang yang bergabung pada mereka, sehingga terkumpul 3.000 orang yang siap perang. Lalu, dengan pasukan yang banyak ini, mereka pergi untuk memerangi Rasulullah Saw. Mereka juga membawa kaum perempuan agar mereka tidak lari dari peperangan.
Abu Sufyan bin Harb -sebagai pimpinan- keluar bersama istrinya, Hindun bintu Utbah, Ikrimah bin Abi Jahal membawa istrinya Umi Hukaim bintu Harits bin Hisyam bin Mughirah, Harits bin Hisyam bin Mughirah membawa istrinya Fatimah bintu Walid bin Mughirah, Shofwan bin Umayyah membawa istrinya Barzah bintu Mas'ud ats-Tsaqafiyah, dan Amru bin Ash membawa istrinya Raithah bintu Munabbih bin al-Hajjaj.
Mereka menjadikan Khalid bin Walid sebagai pemimpin pasukan berkuda sayap kanan dan menjadikan Ikrimah bin Abu Jahal sebagai pemimpin pasukan berkuda sayap kiri, sedang Shofwan bin Umayyah dijadikan pemimpin bagi pasukan yang berjalan kaki.

c. Kaum Muslimin juga Keluar Menuju Perang

Sebenarnya berita tentang berkumpulnya kaum kafir Quraisy dan persiapan mereka untuk memerangi kaum muslimin telah sampai kepada Rasulullah Saw. pada hari Jum’at sebelum kaum kafir Quraisy bergerak. Sebab, Abbas, paman Rasulullah Saw. dan yang lainnya adalah mata-mata Rasulullah Saw. di Makkah untuk kaum kafir Quraisy. Oleh karena itu, kami lihat Rasulullah Saw. melarang membunuhnya (Abbas) dan sekelompok orang pada perang Badar.
Abbas mengirim berita itu kepada Rasulullah Saw. Lalu, Rasulullah Saw. mengumpulkan para sahabatnya, dan meminta masukan kepada mereka tentang masalah keluar untuk memerangi kaum kafir Quraisy, atau memperkuat benteng pertahanan di Madinah al-Munawwarah. Rasulullah Saw. menceritakan mimpinya -mimpi seorang Nabi pasti benar- pada para sahabat.
Di antara yang beliau katakan pada para sahabat, “Demi Allah, aku benar-benar bermimpi kebaikan, bermimpi sapi milikku disembelih, bermimpi pada bagian pedangku yang tajam ada yang pecah, dan bermimpi bahwa aku memasukkan kedua tanganku ke dalam baju besi pelindung.” “Adapun sapi itu adalah orang-orang di antara para sahabatku yang terbunuh, sedang pecah pada bagian pedangku yang tajam adalah salah seorang di antara ahli baitku yang terbunuh, tentang baju besi pelindung itu adalah Madinah. Jika kalian berpendapat untuk tetap tinggal di Madinah, maka sambutlah mereka kapan saja mereka tiba. Namun, jika kalian tetap tinggal di Madinah, maka berarti kalian tetap tinggal di tempat yang paling buruk. Dan jika mereka menyerang kami, maka kami perangi mereka di tempat ini.”

Sebab itu, Rasulullah Saw. mengutamakan tetap di Madinah. Abdullah bin Ubay bin Salul sependapat dengan Rasulullah Saw. untuk tidak keluar memerangi mereka, bukan karena ia ikhlas dengan pendapatnya ini, namun lebih dikarenakan untuk menyelamatkan diri. Orang-orang di antara kaum muslimin yang mengharap dapat kemuliaan syahid pada perang Uhud dan yang lainnya, serta orang-orang yang tidak mendapatkannya pada perang Badar berkata, “Wahai Rasulullah, keluarlah bersama kami untuk memerangi musuh-musuh kami sehingga mereka tidak menganggap bahwa kami pengecut atau takut menghadapi mereka.”
Rasulullah Saw. -sebagai pemimpin yang ditaati- pasti mampu membulatkan tekad para sahabatnya untuk tetap di Madinah al-Munawwarah dengan memperkuat benteng pertahanan. Seandainya Rasulullah Saw. melakukan itu, tentu para sahabat akan mentaatinya. Akan tetapi, Rasulullah Saw. ((dalam hal ini)) lebih mengutamakan untuk menyesuaikan diri dengan para sahabatnya, di samping tetap di Madinah juga tidak menjamin keamanannya.
Bahkan melakukan perang di Madinah beban yang harus dipikul akibatnya sangatlah banyak. Sebab, Madinah bukanlah tempat yang layak bagi kaum muslimin untuk melakukan peperangan, mengingat di Madinah terdapat banyak orang-orang Yahudi, dan orang-orang Yahudi itu tunduk kepada Rasulullah Saw. karena kekuatan, sehingga tidak mustahil mereka balik melawan dan memerangi, serta membantu musuh. Apalagi hubungan mereka dengan kaum kafir Quraisy belum putus, ini dilihat dari satu sisi…

Setelah Rasulullah Saw. selesai menunaikan shalat Jum'at, beliau masuk ke dalam rumahnya dan memakai peralatan perang, kemudian beliau keluar menemui para sahabatnya. Ketika Rasulullah Saw. berada dalam rumahnya sedang memakai peralatan perang, orang-orang yang berkeinginan keras untuk melakukan peperangan di luar Madinah saling berkata, di antara perkataan mereka, “Kami telah memaksa Rasulullah Saw. padahal kami tidak ingin berbuat demikian.” Pada saat Rasulullah Saw. keluar menemui mereka, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu, padahal kami tidak ingin berbuat demikian. Jika kamu mau, maka kamu tidak perlu ikut, semoga shalawat tetap tercurahkan kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai untuk umatnya pakaian perang dilepaskan kembali sebelum berperang.”

Rasulullah Saw. keluar dengan 1.000 pasukan dari para sahabatnya. Rasulullah Saw. memeriksa pasukannya, beliau mendapati dalam pasukannya ada sekelompok anak-anak muda belia, meski mereka masih muda belia, namun kesiapan mereka dalam melakukan peperangan sangatlah sempurna, dan karena sangat rindunya mereka terhadap Surga, sehingga mereka menyelinap ke dalam barisan mujahidin, dengan harapan mereka dapat turut serta dalam meninggikan rayah al-Islam (bendera Islam) dan menghancurkan pilar-pilar penopang keburukan di muka bumi ini, atau mereka akan mendapatkan keberuntungan dengan mati syahid.
Turut sertanya anak-anak muda belia dalam pasukan ini menunjukkan suksesnya rencana Rasulullah Saw. seperti yang telah kami kemukakan di awal bahwa tentara itu terdiri dari rakyat. Di antara anak-anak muda belia yang menyelinap ke dalam barisan tentara adalah dua anak muda yang sangat jenius, keduanya adalah Samurah bin Jundub dan Rafi’ bin Khudaij, umur keduanya belum mencapai 15 tahun. Rasulullah Saw. mengeluarkan keduanya dari barisan tentara dan memerintahkannya kembali ke Madinah.
Dikatakan kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rafi’ ini sangat mahir dalam memanah.” Mendengar penjelasan itu akhirnya beliau mengizinkan Rafi’ turut serta dalam berjihad. Samurah menghadap Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah, jika Rafi’ diterima sebagai pasukan panah, maka ketahuilah bahwa aku lebih baik dari Rafi’.” Akhirnya, Rasulullah Saw. pun mengizinkannya juga. Namun, Rasulullah Saw. tetap mengembalikan anak-anak muda belia yang lain ke Madinah, di antaranya adalah Usamah bin Zaid, Abdullah bin Amr, Zaid bin Tsabit, Barra’ bin Azib, Amr bin Hazm, Usaid bin Hudhair, dan lainnya.

Sebelum kami berjalan bersama pasukan kaum muslimin menuju Uhud, kami harus mengingatkan bahwa Rasulullah Saw. tidak setuju adanya elemen di antara elemen-elemen tentaranya yang tidak jelas. Seperti tampak pada reaksi beliau atas perkataan sebagian kaum Anshar, “Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak meminta bantuan pada sekutu kami di antara orang-orang Yahudi?” Rasulullah Saw. bersabda, “Kami tidak memerlukan mereka.”

Di sini ada banyak pertanyaan, mengapa Rasulullah Saw. menolak meminta bantuan orang-orang Yahudi, padahal beliau sangat membutuhkan bantuan, apalagi antara beliau dan orang-orang Yahudi ada perjanjian untuk saling menolong, lebih dari itu, Rasulullah Saw. sering meminta bantuan orang-orang kafir. Beliau pernah meminta bantuan Abdullah bin Arqath sebagai penunjuk jalan yang menunjukkannya jalan ke Madinah, padahal Abdullah seorang musyrik; beliau pernah minta bantuan Muth’im bin Adi ketika beliau hendak memasuki Makkah setelah beliau kembali dari Thaif; beliau pernah minta bantuan Shofwan bin Umayyah ketika beliau hendak menuju Hunain, dari Shofwan ini beliau meminjam 100 baju besi dan banyak jenis senjata; dan beliau pernah juga meminta bantuan Ma’bad bin Abi Ma’bad al-Khuza’i di Hamra’ al-Asad ketika kaum kafir Quraisy berhasil menelantarkan kaum muslimin.
Jawabannya adalah jika kami amati dengan cermat jenis-jenis bantuan yang diminta oleh Rasulullah Saw., maka kami dapati di antara jenis bantuan yang dimintanya itu adalah terkait dengan pengalaman, perlengkapan perang dan lainnya, atau terkait dengan pemberian proteksi, dan tidak kami dapati di antara bantuan yang diminta Rasulullah Saw. itu yang terkait dengan bantuan pendapat, dan terkait dengan bantuan perang secara langsung. Sebab, tidak ada satupun riwayat bahwa Rasulullah Saw. pernah meminta masukan pendapat kepada orang-orang kafir terkait dengan persoalan-persoalan perang, dan beliau juga tidak pernah meminta orang-orang kafir turut membantu beliau dalam peperangan.

Adapun tentang Rasulullah Saw. tidak meminta bantuan pendapat pada orang-orang kafir, maka sebabnya adalah karena kami tidak percaya dengan pendapat yang diajukannya, apalagi mereka tidak akan pernah ikhlas dengan pendapatnya dalam membantu agama kami.
Sedangkan terkait dengan tidak meminta orang-orang kafir membantu kami dalam peperangan, dan mereka terdiri dari banyak orang sebagaimana kabilah-kabilah Yahudi yang sekadar terikat perjanjian, dan keberadaan mereka dalam pasukan menjadi diperhitungkan, maka dalam keadaan yang demikian ini kami tidak boleh membiarkan adanya mereka di tengah-tengah tentara kaum muslimin, sebab keberadaan mereka sangat membahayakan kaum muslimin.
Oleh karena itu, kami dapati Rasulullah Saw. menjauhkan orang-orang Yahudi dari medan pertempuran. Beliau bersabda:

“Sesungguhnya aku tidak akan meminta bantuan pada orang musyrik.” Sebab, orang-orang Yahudi itu tidak dipercaya oleh Rasulullah Saw.

Kami berkata: al-Isti’anah bi al-Kafir (meminta bantuan pada orang kafir) bukan at-Ta'awun ma’a al-Kafir (saling tolong-menolong dengan orang kafir). Sebab, meminta bantuan artinya manfaat dari bantuan itu kembali pada kaum muslimin, dan tidak kembali kepada orang-orang kafir. Sedang saling tolong-menolong artinya manfaatnya kembali pada kami dan juga mereka, memperkuat kami dan juga memperkuat mereka.

Setelah Rasulullah Saw. menyempurnakan persiapan pasukannya sesuai kemampuan, maka beliau berjalan membawa pasukannya menuju Uhud. Namun, sebelum Sampai di asy-Syauth, tempat antara Uhud dan Madinah, pemimpin kaum munafik Abdullah bin Ubay bin Salul dan kelompoknya memisahkan diri dari tentara kaum muslimin. Mereka yang memisahkan diri sangat besar mencapai sepertiga pasukan dengan alasan bahwa Rasulullah Saw. benar-benar mengikuti usulan para pemuda di antara para sahabatnya yang mengusulkan untuk keluar dari Madinah. Sebaliknya, beliau menolak pendapat sebagian dari mereka, seperti yang dituduhkan oleh si munafik ini. Perkataannya adalah, “Sesungguhnya Muhammad benar-benar mengikuti pendapat mereka, sebaliknya ia menolak usulanku. Namun kami tidak tahu siapa yang lebih mengerti bahwa kami akan mengorbankan diri kami sendiri, wahai manusia.”

Rasulullah Saw. terus berjalan hingga mencapai jalan di bukit dari Uhud yang ada di bibir lembah gunung. Rasulullah Saw. menghadapkan pasukannya menuju Uhud, dan menempatkan di atas gundukan yang menghadap gunung Uhud satu peleton pasukan pemanah yang mahir, yang berjumlah 50 orang, pasukan pemanah ini dipimpin oleh Abdullah bin Jubair, pasukan pemanah ini diperintahkan agar tidak turun dari atas gunung kecuali dengan ada perintah dari Rasulullah Saw. Beliau menetapkan tugas pasukan pemanah ini adalah menghujani tentara kaum musyrikin dengan anak panah ketika mereka menyerang kaum muslimin, atau ketika mereka hendak berpaling. Para pasukan pemanah ini diperintahkan agar tidak memulai peperangan sehingga ada perintah untuk itu dari Rasulullah Saw. Kata sandi yang ditetapkan Rasulullah Saw. dalam perang ini adalah “umt, umt”. Mereka memanggilnya dengan kata ini untuk memberitahu yang lain. Pasukan pemanah ini tetap konsisten meski kaum kafir Quraisy mengembalakan kuda-kudanya dan unta-untanya di ladang-ladang kaum muslimin yang telah ditanaminya di as-Shahfah -dekat Uhud- tindakan itu dilakukan kaum kafir Quraisy guna memprovokasi kaum muslimin. Namun, sedikitpun kaum muslimin tidak terprovokasi, sebab mereka menjalankan dengan baik perintah Rasulullah Saw. tentang hal ini.

d. Peperangan

Rasulullah Saw. memobilisir pasukannya dan menyiapkannya untuk berperang, memakai baju perang, dan menyerahkan panji Perang kepada Mush'ab bin Umair. Beliau mulai mendorong pasukannya untuk ikhlas dalam berperang. Beliau mengambil pedangnya yang tajam, lalu mengangkatnya ke udara, dan bersabda, “Siapa yang akan mengambil pedang ini dan lalu menunaikan haknya?” Orang-orang pun berebutan, namun Rasulullah Saw. menjauhkan pedang itu dari mereka. Abu Dujanah Simak bin Kharasyah yang ikut berebut pedang berkata, “Apa haknya yang harus dipenuhi, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda, “Haknya adalah kamu menghantamkannya ke tubuh musuh hingga ia tersungkur.” Abu Dujanah berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan mengambilnya dan akan menunaikan haknya.” Lalu Rasulullah Saw. memberikan pedang itu kepadanya.

Abu Dujanah seorang yang sangat pemberani yang banyak bergaya ketika berperang, ia menonjolkan diri dengan ikat kepala miliknya yang berwarna merah, dan dengan mengikatkan ikat kepala itu pada kepalanya orang-orang akan tahu bahwa ia akan berperang. Setelah mengambil pedang dari Rasulullah Saw. ia mengeluarkan ikat kepala, dan lalu mengikatkannya pada kepalanya. Dan setelah itu ia mulai bergaya di antara barisan tentara. Ketika Rasulullah Saw. melihat Dujanah, beliau bersabda, “Gaya berjalan Abu Dujanah ini sangat dibenci oleh Allah, kecuali berada di tempat seperti ini.”

Para pasukan bergerak maju, perang pun berkecamuk dengan sengitnya. Ada di antara pasukan berkuda dari pihak para sahabat Rasulullah Saw. yang tampak menonjol sekali, yaitu dua orang pemberani, Abu Dujanah dan Ashim bin Tsabit bin al-Aqlah yang berjanji menyiramkan anggur terbaik pada kepalanya jika Allah mengizinkannya, sebab dalam peperangan ini anaknya terbunuh; Hanzholah bin Abu Amir yang mendapatkan syahid pada malam pertama bulan madunya, bahkan ia syahid sebelum sempat menunaikan mandi janabat. Namun Rasulullah Saw. mengabarkan bahwa ia dimandikan oleh malaikat; Mush’ab bin Umair yang membawa panji perang; Ali bin Abi Thalib yang membawa panji perang setelah Mush'ab dan Hamzah bin Abdul Muththalib, ketika Hindun bin Utbah melihatnya, Hindun meminta budaknya, Jubair bin Muth'im -yang selalu tepat sasaran dalam melempar pisau- agar berbuat biadab, yaitu membunuh Hamzah dengan imbalan akan dimerdekakan. Lalu, ia pun menikam bagian bawah perut Hamzah, sehingga akhirnya Hamzah rahimahullah meninggal sebab tikaman itu.
Kaum muslimin berhasil mengalahkan kaum musyrikin, sehingga panji perang kaum musyrikin jatuh ke tanah dan tidak seorangpun yang berani mengambilnya, kondisinya tetap demikian sampai Amrah bintu Alqamah al-Haritsiyah berhasil mengambilnya, lalu mengangkatnya untuk kaum kafir Quraisy, sehingga akhirnya orang-orang berkumpul mengitarinya.




f. Mengawasi Mundurnya Musuh Untuk Mengetahui Niat sebenarnya

Rasulullah Saw. tidak membiarkan kaum musyrikin pergi begitu saja tanpa dilakukan pengawasan terhadap mereka dengan teliti, terutama setelah mereka tahu bahwa beliau masih hidup. Sebab, bisa saja mereka kembali menyusun kekuatan dan menyerang lagi untuk menghabisi Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw. berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Pergilah, ikuti mereka, lalu perhatikan apa yang mereka perbuat dan mereka inginkan. Jika mereka berjalan ke arah samping kuda dan mereka menunggang unta, maka mereka hendak ke Makkah. Jika mereka menunggang kuda dan menggiring unta, maka mereka hendak menuju Madinah. Demi Dzat yang jiwaku ada dalam kekuasaannya, jika saja mereka menuju Madinah, maka saya akan benar-benar menyerang dan memerangi mereka di Madinah.” Ali bin Abi Thalib pergi mengikuti mereka. Ali bin Abi Thalib mendapati mereka berjalan ke arah samping kuda, mereka menunggang unta, dan pergi menuju Makkah.

Di sini ada pertanyaan: Kenapa Rasulullah Saw. tidak akan memerangi mereka jika mereka menuju Makkah. Namun, Rasulullah Saw. akan benar-benar memerangi mereka jika mereka menuju Madinah?

Jawabannya adalah jika mereka kembali ke Makkah, maka artinya Rasulullah Saw. benar-benar kalah perang. Sedang kalah perang dalam sejarah umat manusia bukan apa-apa. Sebab, tidak masuk akal mendirikan negara, membangun peradaban, dan menghancurkan banyak negara, serta membangun kembali negara-negara yang telah dihancurkan itu akan sukses dengan sempurna tanpa sama sekali mengalami kerugian. Akan tetapi kerugian yang diderita kaum muslimln di Uhud keberadaannya tidak ubahnya api yang menghilangkan kotoran besi. Meski itu membakar, tetapi ia memberikan manfaat. Sungguh perang Uhud telah berakhir, akan tetapi peperangan baru akan dimulai.
Tiap-tiap orang yang beriman hendak berteriak, “Inilah balasan bagi siapa saja yang menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.” Demikianlah, peperangan ini memberi kepada kaum muslimin orang-orang yang berbeda dari orang-orang yang turut sama Rasulullah Saw. pada peperangan Uhud. Sungguh mayoritas mereka sangat sungguh-sungguh dalam hal ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan orang-orang baru ini, Rasulullah Saw. akan segera memasuki peperangan baru, yaitu perang Hamra' al-Asad -sebagaimana kami akan bicarakan sebentar lagi-. Kerugian yang dialami dalam peperangan berguna untuk membangun pikiran, dan muhasabah, meningkatkan pengalaman sehingga sebanyak apapun kerugian tetap dianggap sebagi perkara yang dapat diterima.

Adapun jika mereka menuju Madinah, maka hal itu berarti mereka bertujuan untuk menghabisi Muhammad, dakwahnya dan negaranya. Artinya mereka memahami dimensi-dimensi politik peperangan. Sungguh jika mereka melakukan itu, mereka benar-benar memahami bahwa persoalan tidak selesai dengan membunuh beberapa puluh orang, atau mundurnya semua pasukan, akan tetapi harus dihancurkan negara yang menyiapkan orang-orang itu dan yang mendorongnya berperang.
Apabila pemahaman kaum musyrikin sampai pada usaha memerangi dengan bentuk ini, maka persoalannya akan menjadi gawat, dan sekali-kali Rasulullah tidak akan menerimanya. Apabila kaum musyrikin bertekad berusaha memerangi dengan bentuk ini, maka tidak bisa dibiarkan, kecuali dengan mengorbankan kaum muslimin, sebab tidak ada artinya hidup di bawah kekuasaan pemerintahan orang kafir yang tidak akan mengakui agama mereka, dan tidak akan membiarkan mereka menjalankan syiar-syiar agamanya.
Untuk itu, Rasulullah bersumpah akan benar-benar memerangi mereka, jika mereka menuju Madinah. Sungguh, sekali-kali Rasulullah Saw. tidak akan meletakkan senjatanya sampai beliau mendapatkan kemenangan, atau sampai Allah memberinya perlindungan.




h. Kembalinya Kaum Muslimin ke Madinah.

Setelah kaum muslimin mengubur semua yang terbunuh, Rasulullah Saw. dan pasukannya kembali ke Madinah al-Munawwarah. Orang-orang menyambut Rasulullah Saw. dalam keadaan puas, sebab beliau masih hidup. Di antara mereka adalah perempuan Bani Dinar yang dalam peperangan kali ini saudaranya, ayahnya, dan suaminya meninggal. Ketika dia tahu terbunuhnya mereka, dia berkata: “Bukan tentang ini yang aku tanyakan kepada kalian. Akan tetapi beritahu aku tentang Rasulullah Saw.” Para mujahid berkata kepadanya, “Beliau baik-baik, wahai ibu fulan.” Dia berkata, “Mana dia aku ingin melihatnya.” Lalu, dia ditunjukkan kepada Rasulullah Saw. Sehingga, ketika dia melihatnya, dia berkata: “Setiap musibah setelah kamu besar, wahai Rasulullah.”
Ketika Rasulullah Saw. sampai di rumahnya, beliau memberikan pedangnya pada putrinya, Fatimah, dan berkata: “Wahai putriku, bersihkanlah darah dari pedang ini. Demi Allah, sungguh hari ini Dia telah memberi kebaikan kepadaku.” Ali bin Abi Thalib mengambil pedangnya, dan berkata: “Ini juga, bersihkan darahnya dari pedang ini. Demi Allah, sungguh hari ini Dia telah memberi kebaikan kepadaku.” Rasulullah Saw. berkata: “Jika perang itu memberi kebaikan kepadamu, maka ia juga memberi kebaikan kepada orang yang bersamamu, yaitu Suhail bin Hanif dan Abu Dujanah.”

i. Belajar dari Kekalahan

Mengalami beberapa kekalahan dalam hidup ini termasuk perkara yang penting, sebab dengannya akan diketahui siapa lawan dan siapa kawan. Jika bagi manusia biasa saja mengalami kekalahan itu penting, maka akan lebih penting lagi bagi para pengemban dakwah dan bagi para pemimpin, sebab mereka lebih membutuhkan untuk mengetahui siapa yang ikhlas dan siapa yang tidak di antara orang-orang yang mendukungnya.

Kekalahan pada perang Uhud menyingkap bagi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya tentang siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang munafik. Sehingga, setelah peristiwa itu orang-orang yang munafik tidak akan berani kembali lagi.

Berdasarkan sudut pandang politik, kekalahan kaum muslimin pada peperangan manapun adalah suatu keharusan. Negara Islam dalam fase pembentukannya yang pertama harus memisahkan yang buruk dari yang baik, hal itu dilakukan pada perang Uhud, sehingga yang buruk itu dapat dijauhkan dari aktivitas politik, akhirnya aktivitas itu murni bagi yang baik saja.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam