Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 15 Desember 2017

Berita Bohong Fitnah Atas Aisyah Istri Nabi SAW oleh Orang Munafik



3. Berita bohong

Di antara peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan menuju Madinah al-Munawwarah adalah peristiwa berita bohong. Untuk itu kami serahkan kepada Aisyah r.a. sebagai pemilik riwayat agar menceritakan sendiri kepada kita tentang berita bohong ini.

Aisyah r.a. berkata: “Apabila Rasulullah Saw. hendak melakukan perjalanan, beliau mengadakan undian di antara para istrinya. Sehingga nama siapa yang keluar dalam undian tersebut, maka dialah yang berhak menemani beliau. Pada perang Bani Mushthaliq, Rasulullah Saw. mengadakan undian di antara para istrinya sebagaimana biasanya. Dalam undian tersebut namaku yang keluar. Sehingga aku yang berhak pergi menemani Rasulullah Saw. Para wanita ketika itu makannya tidak banyak, sehingga wajar kalau badan mereka tidak berat. Jika untaku telah disiapkan, maka aku pun segera duduk di sekedup, setelah itu orang-orang datang untuk mengambil dan membawaku. Mereka memegang bagian bawah sekedup, lalu mengangkatnya, dan meletakkannya di atas punggung unta, selanjutnya mengikatnya dengan tali. Kemudian mereka memegang kepala unta, dan selanjutnya dengan unta itu mereka berangkat.”

“Setelah merampungkan permasalahan Bani Mushthaliq. Rasulullah Saw. kembali ke Madinah. Sehingga ketika sampai di suatu tempat dekat Madinah, beliau berhenti, dan menghabiskan sebagian malam di tempat itu. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan kaum Muslimin agar meneruskan perjalanan. Mendengar perintah itu, kaum Muslimin pun berangkat. Sedang aku keluar untuk memenuhi hajatku, aku mengenakan kalung yang padanya terdapat batu akik dari Dzafar (Dzafar adalah nama kota di Yaman dekat Shan’a). Setelah aku selesai memenuhi hajatku, maka tanpa sepengetahuanku ternyata kalungku terlepas dari leherku. Aku kembali ke tempat di mana sebelumnya rombongan berhenti, untuk mencari kalungku yang hilang, namun di tenpat itu aku tidak menemukaniyia. Sementara itu, kaum Muslimin mulai meninggalkan tempat untuk meneruskan perjalanan. Aku kembali lagi ke tempat di mana aku memenuhi hajatku untuk mencari kalungku yang hilang, akhirnya aku menemukannya kembali. Orang-orang yang sebelumnya menyiapkan unta untukku datang. Mereka langsung mengangkat sekedup karena mereka mengira bahwa aku ada di dalamnya seperti sebelumnya. Mereka memikulnya dan mengikatnya pada unta, sebab mereka yakin bahwa aku telah berada di dalamnya (Sebab Aisyah umurnya masih muda belia, sehingga badannya tidak terlalu berat).”

“Kemudian mereka memegang kepala unta, dan selanjutnya dengan unta itu mereka berangkat. Aku kembali ke tempat perkemahan di mana sebelumnya rombongan itu berhenti, namun di sana sudah tidak ada siapa-siapa, sebab semuanya telah pergi. Aku menutupi diriku dengan jilbab, lalu aku berbaring di tempat di mana sebelumnya aku berada. Sebab, aku yakin, jika mereka tahu bahwa aku tidak ada dalam sekedup, maka pasti mereka kembali ke tempat aku berada. Demi Allah, ketika aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Muaththal as-Sulami berjalan melewatiku. Dia tertinggal dari rombongan karena memenuhi beberapa keperluannya, sehingga ia tidak bermalam bersama yang lain, ia melihat bayangan hitam diriku, lalu ia mendatangiku dan berdiri di dekatku. Ia pernah melihatku ketika hijab belum diwajibkan kepada kami. Pada saat ia melihatku, ia berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Istri Rasulullah Saw.!” Waktu itu aku menutupi diriku dengan pakaianku. Shafwan bin Muaththal as-Sulami bertanya, “Mengapa engkau tertinggal, semoga Allah merahmatimu?” Aku tidak menjawab pertanyaanya. Ia dekatkan untanya kepadaku sambil berkata, “Naiklah ke atasnya!” Ia pun menjauh dariku, lalu aku menaikinya. Setelah aku berada di atas unta, ia memegang kepala unta, lalu berjalan dengan cepat agar dapat menyusul kaum Muslimin. Demi Allah, kami tidak berhasil menemukan mereka, dan mereka juga tidak merasa kehilanganku hingga esok hari, bahkan hingga mereka sampai di Madinah.”

“Ketika mereka sedang istirahat di Madinah, tiba-tiba mereka melihat Shafwan bin Muaththal as-Sulami datang dengan menuntun unta, sedang aku berada di atasnya. Saat itulah, para penyebar berita bohong mengucapkan perkataan mereka. Akhirnya orang-orang pun gempar. Namun, demi Allah, aku tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.”

“Kamipun tiba di Madinah, dan setelah itu aku sakit. Selama aku sakit, aku tidak pernah lagi mendapatkan informasi yang beredar di luar. Berita tentang diriku ini sebenarnya telah didengar oleh Rasulullah Saw. dan kedua orang tuaku. Namun, mereka tidak menceritakan sedikitpun kepadaku. Anehnya lagi, aku tidak merasakan keramahan dan kelemah-lembutan beliau, sebab jika aku sakit, beliau biasanya menyayangiku dan bersikap lemah-lembut. Namun, dalam sakitku kali ini, beliau tidak memperlihatkan keramahan dan kelemah-lembutannya. Apabila beliau masuk ke tempatku, sedang di sampingku ada ibuku yang sedang merawatku, beliau hanya berkata: “Bagaimana keadaanmu?” tidak lebih dari itu.”

“Ketika aku melihat adanya perubahan sikap pada diri Rasulullah Saw. kepadaku, maka aku menjadi sedih tidak karuan.”

“Aku berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau engkau mengizinkanku pindah ke rumah ibuku agar aku dirawat ibuku?” Rasulullah Saw. bersabda: “Ya, tidak apa-apa.” Kemudian aku pun pindah ke rumah ibuku, dan selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di luar hingga aku sembuh setelah sakit selama dua puluh tiga hari lebih. Kami para wanita Arab tidak membuat WC di dalam rumah seperti yang dilakukan orang-orang non-Arab, sebab kami tidak begitu menyukainya, dan kami lebih suka pergi ke tanah lapang di Madinah. Jika para wanita ingin buang hajat, maka mereka pergi keluar rumah tiap malam hari.”

“Pada suatu malam, aku keluar rumah untuk memenuhi hajat ditemani Ummu Misthah bintu Abu Rahm bin Abdul Muththalib bin Abdul Manaf. Demi Allah, Ummu Misthah berjalan bersamaku, tiba-tiba ia jatuh karena tersangkut pakaiannya, yaitu kain yang biasa dipakai para wanita untuk menutupi tubuhnya. Ia berkata: “Celaka Misthah!” Aku berkata: “Demi Allah, sungguh jelek perkataanmu terbadap salah seorang di antara kaum Muhajirin yang turut hadir pada perang Badar.” Ummu Misthah berkata: “Apakah berita itu belum sampai kepadamu, wahai putri Abu Bakar?”Aku bertanya: “Berita yang mana?” Ummu Misthah bercerita kepadaku tentang isu yang diciptakan oleh para penyebar berita bobong. Aku bertanya kepada Ummu Misthah: “Apakah isu ini telah menyebar? ” Ummu Misthah menjawab: “Ya, demi Allah, isu ini telah menyebar.” Mendengar itu, maka demi Allah, aku pun tidak jadi buang bajat, dan aku segera pulang ke rumah. Demi Allah, aku terus-menerus menangis hingga aku mengira tangisan itu akan membelah jantungku karena marah. Aku berkata kepada ibuku: “Semoga Allah mengampunimu, orang-orang di luar membicarakan diriku, namun engkau tidak bercerita sedikitpun kepadaku?” Ibuku berkata: “Wahai putriku, kamu tidak usah menganggap berat masalah yang menimpamu ini. Demi Allah, jika ada istri cantik yang dicintai suaminya, dan suaminya mempunyai istri-istri yang lain, maka mereka dan orang-orang yang lain pasti membicarakan istri yang cantik tersebut.”

“Tanpa sepengetahuanku, Rasulullah Saw. berdiri untuk berkhuthbah di hadapan banyak orang. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Selanjutnya beliau bersabda: “Wahai manusia, mengapa orang-orang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku, dan mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang mereka. Demi Allah, padahal setahuku keluargaku adalah orang baik. Mengapa pula mereka mengatakan yang tidak benar tentang orang laki-laki yang demi Allah, aku tidak mengetahui padanya kecuali kebaikan, dan ia tidak pernah memasuki salah satu rumahku kecuali bersamaku.”

“Orang yang amat gencar menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia menyebarkan di kalangan orang-orang Khazraj bersama Misthah dan Hamnah bintu Jahsy. Hamnah bintu Jahsy turut menyebarkan berita bohong mengingat saudara perempuannya, yaitu Zainab bintu Jahsy adalah istri Rasulullah Saw., dan di antara istri-istri beliau tidak ada yang menyaingi kedudukanku di sisi beliau selain dia. Sedangkan Zainab bintu Jahsy sendiri, Allah Swt. masih melindunginya, sehingga ia tidak mengatakan kecuali yang baik-baik. Adapun Hamnah bintu Jahsy, maka ia turut menyebarluaskan berita bohong ini dan melawanku karena hendak membela saudara perempuannya. Akibatnya, ia rugi sendiri. Isu yang tersebar itu semuanya bohong belaka, buah dari konspirasi jahat yang dirancang oleh pikiran setan, yang dibutakan oleh kebencian.”

“Setelah Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana di atas, Usaid bin Hudhair berkata: “Wahai Rasulullah, jika mereka yang menyakitimu itu adalah orang-orang Aus, maka kami akan melindungimu dari mereka. Dan jika mereka yang menyakitimu itu adalah saudara-saudara kami orang-orang Khazraj, maka perintahkan kami sesuai perintahmu, sebab demi Allah, mereka pantas dipenggal lehernya!” Sa'ad bin Ubadah berdiri -sebelumnya, ia terlihat baik- kemudian berkata kepada Usaid bin Hudhair, “Demi Allah, engkau bohong, jangan penggal leher mereka. Engkau berkata seperti itu, karena engkau mengetahui bahwa mereka yang menyebarkan berita bohong itu adalah orang-orang Khazraj. Seandainya mereka berasal dari kaummu, niscaya engkau tidak akan berkata seperti itu.” Usaid bin Hudhair berkata kepada Sa'ad bin Ubadah, “Demi Allah, engkau bohong, hanya orang-orang munafiklah yang akan membela orang-orang munafik.” Setelah itu, orang-orang pun saling berhadapan, sehingga nyaris terjadi kekacauan di antara kedua kabilah Aus dan Khazraj.”

“Rasulullah Saw. turun dari atas mimbar, lalu beliau menemuiku. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib ra. dan Usamah bin Zaid ra. Kemudian beliau meminta pendapat keduanya.”

“Adapun Usamah bin Zaid, maka ia menyanjungku dan berkata baik tentang diriku. Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, ia istrimu, dan kami tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik saja. Tentang isu yang beredar ini hanya kebohongan dan kebatilan.” Sedang Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita masih banyak, engkau mampu mencari wanita pengganti. Kalau tidak percaya, tanyakan kepada budak wanita, niscaya ia akan membenarkanmu.” Rasulullah Saw. memanggil Barirah untuk bertanya kepadanya (Barirah adalah budak wanita Aisyah). Ali bin Abi Thalib pergi kepada Barirah dan memukulnya dengan pukulan keras sambil berkata, “Berkatalah jujur kepada Rasulullah.” Barirah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah mencela sesuatu pada Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti kemudian aku menyuruh Aisyah menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing datang dan memakan adonan roti tersebut.”

“Rasulullah Saw. menemuiku. Ketika itu, aku sedang ditemani oleh kedua orangtuaku dan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan seorang wanita dari kaum Anshar itu ikut menangis. Rasulullah Saw. duduk, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda: “Wahai Aisyah, kamu pasti telah mendengar omongan orang-orang tentang dirimu, karenanya, bertakwalah kepada Allah. Dan jika kamu telah mengerjakan kesalahan sebagaimana omongan orang-orang, maka bertaubatlah kepada Allah. Sebab Allah pasti menerima taubat hamba-Nya.” Sabda Rasulullah Saw. ini membuat air mataku jatuh berderai tanpa aku sadari. Aku menunggu kedua orang tuaku menjawab pertanyaan beliau mewakiliku. Namun, keduanya tidak berkata sepatab kata pun. Demi Allah, diriku terlalu hina, dan persoalanku terlalu kecil kalau misalnya tentang masalahku ini Allah menurunkan al-Qur’an yang akan dibaca di masjid-masjid dan dijadikan bacaan ketika shalat. Namun, aku tetap berharap Rasulullah Saw. bermimpi di mana Allah tidak membenarkan omongan orang-orang tentang diriku. Sebab Allah tahu tentang kesucianku, atau Allah memberitahukan sesuatu kepada beliau. Adapun berharap turunnya al-Qur'an tentang masalahku, maka demi Allah, harapan itu terlalu jauh mengingat diriku yang sangat hina ini! Ketika kulihat kedua orang tuaku tidak berbicara, maka aku berkata kepada keduanya, “Mengapa kalian tidak menjawab pertanyaan Rasulullah Saw.?” Kedua orang tuaku berkata, “Demi Allah kami tidak tahu harus menjawab apa?” Demi Allah, aku tidak tahu ada keluarga yang mendapat ujian seperti yang sedang dihadapi keluarga Abu Bakar saat ini.”

“Ketika kedua orang tuaku tidak berkata sepatah kata pun tentang diriku, aku sangat sedih, lalu menangis. Aku berkata kepada Rasulullah Saw. “Demi Allah, selamanya aku tidak akan bertaubat kepada Allah dari apa yang telah kamu katakan. Demi Allah, jika aku mengakui apa yang dikatakan mereka, padahal Allah mengetahui bahwa aku bersih dari tuduhan itu, maka hal itu sama artinya bahwa aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku lakukan. Dan kalau aku mengingkari omongan mereka, niscaya merekapun tidak akan mempercayaiku.” Aku mencari nama Ya'qub, namun tidak menemukannya. Akan tetapi aku akan mengatakan seperti yang pernah diucapkan oleb ayah Yusuf,

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.” (TQS. Yusuf [12]: 13)

Demi Allah, Rasulullah Saw. tetap tidak beranjak dari dudukiya. Tiba-tiba beliau pingsan (sepertinya beliau hendak memperoleh wahyu). Lalu, beliau diselimuti dengan pakaiannya, dan bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya. Ketika aku melihat hal tersebut, demi Allah, aku tidak kaget dan memperdulikannya, sebab aku yakin bahwa aku bersih dari tuduhan itu, dan percaya bahwa Allah tidak akan menzhalimiku. Sedang kedua orang tuaku, maka demi jiwa Aisyah yang berada dalam kekuasaan-Nya, keduanya tidak senang dengan apa yang terjadi pada Rasulullah Saw. sampai aku menduga bahwa keduanya akan pingsan, sebab keduanya takut datang sesuatu dari Allah yang membenarkan omongan orang-orang. Kedua orang tuaku kelihatan senang dengan keadaan Rasulullah Saw. Beliau duduk sedang keringatnya menetes dari badan beliau seperti biji intan berlian di musim hujan. Kemudian, mulailah beliau mengusap keringat dari keningnya, lalu bersabda: “Wahai Aisyah, bergembiralah, sebab Allah telah menurunkan ayat tentang kesucianmu.” Aku pun berkata, “Alhamdulillah!”

Kemudian beliau pergi menemui orang banyak, lalu beliau berkhuthbah di hadapan mereka, dan beliau membacakan kepada mereka ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau terkait dengan isu yang sedang beredar. Setelah itu beliau memanggil Misthah bin Atsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah bintu Jahsy, mereka di antara orang-orang yang turut menyebarkan berita bohong tersebut. Kemudian mereka pun dikenakan hukuman had. Ibnu Ishak berkata dari beberapa orang Bani Najjar: “Bahwa Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid ditanya oleh istrinya, Ummu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub, apakah kamu tidak mendengar omongan orang-orang tentang Aisyah?”Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid berkata, “Ya, aku telah mendengarnya, namun itu tidak benar. Apakah kamu juga ikut menyebarkannya, wahai Ummu Ayyub?” Ummu Ayub berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan hal itu. ” Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid berkata, “Demi Allah, Aisyah jauh lebih baik daripadamu.”

Turunlah ayat al-Qur'an yang menyebutkan tentang orang-orang berdosa yang turut menyebarkan berita bohong. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang andilnya paling besar dalam menyebarkan berita bohong itu maka baginya adzab yang besar. Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukmin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.“ (TQS. an-Nur [24]: 11-12)
Kemudian Allah Swt. berfirman:

“(Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal ia di sisi Allah adalah besar.” (TQS. an-Nur [24]: 15)

Ketika ayat tentang Aisyah dan orang-orang yang menyebarkan berita bohong turun, maka Abu Bakar -yang sebelumnya menanggung nafkah Misthah karena ia masih kerabat dan miskin- berkata, “Demi Allah, selamanya aku tidak akan memberikan sesuatu apapun kepada Misthah, dan tidak akan membantunya, setelah ia berandil besar menyebarkan berita bohong tentang Aisyah dan membuat cobaan dalam keluarga kami.”

Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat tentang ucapan Abu Bakar ini.

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. an-Nur [24]: 22)

Setelah itu, Abu Bakar berkata: “Ya, tentu saja bahwa aku ingin Allah Swt. mengampuniku.” Akhirnya Abu Bakar kembali lagi memberi nafkah kepada Misthah seperti sebelumnya. Dan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan pemberian nafkah ini selamanya.”

Kasus berita bohong itu merupakan episode perang urat saraf yang secara politik telah dirancang oleh orang-orang Yahudi dan konco-konconya, yaitu orang-orang munafik untuk melawan Negara Islam. Ketika kita perhatikan seperti apa pengaruh penyebaran berita bohong ini terhadap kehidupan bangsa Arab, ternyata pengaruh yang ditimbulkannya sangatlah besar. Orang-orang munafik mampu menyesatkan individu-individu kaum Muslimin, akibatnya mereka tanpa disadari telah turut membantu orang-orang munafik dalam menyebarkan berita bohong tersebut.

Orang-orang munafik sangat serius dalam menyebarkan berita bohong ini, sehingga gemanya menyebar dengan cepat di seluruh penjuru Negara Islam. Sedang mereka sendiri mengetahui bahwa omongan itu tidak memiliki sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, mereka terus saja menyebarkannya, meski mereka yakin bahwa Rasulullah Saw. sekali-kali tidak akan menjalankan had zina terhadap istrinya, Aisyah, dan Shafwan bin Muaththal as-Sulami yang juga sebagai tertuduh, sebab tidak terpenuhinya bukti-bukti materiil atas tuduhan itu. Akan tetapi mereka -Abdullah bin Ubay bin Salul dan konco-konconya dari kalangan orang-orang munafik dan Yahudi- tetap menyebarkannya, dan bahkan memperbesar isu tersebut, yaitu bahwa Muhammad menyembunyikan pelaku tindak kriminal terbesar -kriminal zina- sebab yang menjadi terdakwanya adalah istrinya sendiri.
Tindakan ini mereka lakukan untuk mencemarkan Rasulullah Saw. sebagai seorang Nabi, dan sebagai kepala negara. Adapun pencemaran terhadap beliau sebagai seorang Nabi adalah jikalau Muhammad itu benar-benar seorang Nabi, niscaya tidak mungkin ia membiarkan pelaku zina tinggal di dalam rumahnya, apalagi menjadikannya sebagai istri. Sedang pencemaran terhadap beliau sebagai kepala negara adalah bahwa keadilan dan persamaan manusia di hadapan syara’ (hukum) yang diserukan Muhammad segera berubah kesannya jika menyangkut kepentingannya sendiri. Dengan begitu, beliau yang seharusnya sebagai pelindung hukum, justru beliau sendiri orang pertama yang melanggarnya. Hal seperti ini tidak pantas dilakukan oleh orang yang memiliki tanggung jawab luas (kekuasaan penuh) dalam negara. Sehingga, pantaskah beliau sebagai seorang kepala negara melakukan hal seperti itu?

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam