Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 14 Desember 2017

Munafik Abdullah bin Ubay bin Salul menghina Umat Islam



2. Pembersihan Institusi Politik Bani Mushtaliq

a. Peperangan (perang ini disebut juga dengan perang Muraisi’)

Rasulullah Saw. menerima informasi bahwa Bani Mushtaliq bersatu untuk melawan beliau. Mereka dikomandoi oleh Harits bin Dhirar. Setelah Rasulullah Saw. mengetahui rencana mereka, pada bulan Sya’ban tahun keenam Hijriyah, beliau pergi pada mereka, sampai akhirnya beliau bertemu mereka di mata air yang bernama al-Muraisi’ dari arah Qadid ke as-Sahil.
Di tempat ini kedua belah pihak saling serang dan bertempur hingga akhirnya Allah mengalahkan Bani Mushtaliq. Banyak dari pihak Bani Mushtaliq yang tewas.
Selanjutnya Rasulullah Saw. menguasai anak-anak mereka, para istri mereka dan harta benda mereka. Allah memberikan semua itu kepada Rasulullah Saw. sebagai harta rampasan perang (fay’i).

b. Kejadian-kejadian penting

Sungguh, dalam peperangan ini telah terjadi peristiwa-peristiwa penting, yang tidak terpisahkan dari perjalanan peperangan ini, di antaranya:

1. Api fitnah

Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di mata air, setelah berhasil mengatasi musuhnya, orang-orang pun berdatangan. Umar bin Khaththab datang bersama Jahjah bin Mas’ud dari Bani Ghifar yang dipekerjakan sebagai penuntun kuda Umar. Di mata air ini Jahjah berdesak-desakan dengan Sir bin Wabar al-Juhni, lalu keduanya bertengkar. Al-Juhni teriak, “Wahai orang-orang Anshar!” Sedang Jahjah berteriak, “Wahai orang-orang Muhajirin!”
Melihat kejadian itu, Abdullah bin Ubay bin Salul -yang ketika itu bersama sekelompok orang di antara kaumnya, termasuk di antara mereka Zaid bin Arqam yang masih muda belia- marah, lalu berkata, “Lihat apa yang mereka lakukan! Mereka sok kuasa dan meremehkan kita di negeri kita sendiri. Demi Allah, kita tidak rela menjadi bawahan gembel-gembel Quraisy ini (Julukan bagi orang-orang Islam dari kalangan Muhajirin. Kaum Musyrikin menjuluki mereka dengan julukan gembel-gembel Quraisy.), namun seperti perkataan orang-orang tua dulu, “Gemukkan anjingmu, niscaya ia memakanmu.” Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, maka orang-orang mulia pasti akan mengusir orang-orang hina ini dari Madinah.”
Abdullah bin Ubay bin Salul menghadap kepada orang-orang di antara kaumnya yang berada di tempat itu, lalu berkata, “Inilah hasil dari perbuatan kalian sendiri. Kalian tempatkan mereka di negeri kalian, dan membagi harta benda kalian dengan mereka. Demi Allah, seandainya kalian tidak memberikan apapun yang kalian miliki kepada mereka, niscaya mereka pasti telah pergi meninggalkan negeri kalian.”

Ucapan Abudullah bin Ubay bin Salul didengar oleh Zaid bin Arqam. Kemudian, Zaid pun pergi kepada Rasulullah Saw. guna memberitahukan apa yang ia dengar. Ketika itu Rasulullah Saw. ditemani Umar bin Khaththab. Umar berkata, “Kirimlah Abbad bin Bisyir untuk membunuhnya!” Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika itu dilakukan, apa kata orang nanti wahai Umar, orang akan mengatakan, “Lihat itu Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.” Tidak! Wahai Umar, namun umumkan pada mereka agar kembali ke Madinah.” Peristiwa itu terjadi pada saat Rasulullah Saw. belum kembali ke Madinah, sedang orang-orang telah kembali ke Madinah.

Abdullah bin Ubay bin Salul pergi menghadap Rasulullah Saw., setelah mengetahui bahwa Zaid bin Arqam melaporkan apa yang telah didengarnya kepada Rasulullah Saw. Di depan Rasulullah Saw. Abdullah bin Ubay bin Salul bersumpah atas nama Allah, “Aku tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Zaid, sungguh aku tidak pernah mengatakannya.”
Di tengah-tengah kaumnya, Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh yang diagungkan. Sehingga salah seorang di antara sahabat dari kaum Anshar yang ketika itu bersama Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Rasulullah, bisa jadi pemuda itu (Zaid) salah dalam ucapannya, sebab ia tidak hafal apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay bin Salul.” Dia berkata yang demikian itu karena rasa simpatik kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, dan untuk membelanya.

Ketika Rasulullah Saw. dalam perjalanan pulang menuju Madinah, beliau bertemu dengan Usaid bin Hudhair, lalu Usaid mengucapkan salam kenabian kepada beliau, dan ia berkata: “Wahai Nabi Allah, demi Allah, tampaknya engkau pergi dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Sebab aku tahu bahwa engkau belum pernah pergi dalam kondisi seperti ini sebelumnya.” Rasulullah Saw. bersabda: “Apakah kamu belum mendengar apa yang dikatakan sahabat kalian?“ “Sahabat yang mana, wahai Rasulullah?” tanya Usaid. Rasulullah Saw. bersabda: “Abdullah bin Ubay bin Salul.” Usaid bertanya, “Apa yang ia katakan?” Rasulullah Saw. bersabda: “Katanya, jika telah kembali ke Madinah, maka orang-orang mulia pasti akan mengusir orang-orang hina dari Madinah.” Usaid berkata, “Engkaulah yang akan mengusirnya jika engkau mau, wahai Rasulullab. Sebab, dialah sebenarnya yang hina, sedang engkau yang mulia.”
Kemudian Usaid berkata lagi, “Wahai Rasulullah, perlakukan ia dengan lemah-lembut. Sebab, demi Allah, pada saat engkau datang kepada kami, kaumnya berkumpul meminta ketegaran sikapnya, karena ia memandang bahwa engkau telah merampas kekuasaannya.”
Kemudian Rasulullah Saw. meneruskan perjalanannya bersama kaum Muslimin. Mereka terus berjalan sejak siang hingga malam, dari malam sampai pagi, dan mereka terus berjalan ketika memasuki hari berikutnya hingga panasnya sinar matahari terasa menyengat mereka. Kemudian, beliau meminta mereka berhenti untuk istirahat.
Tidak lama mereka istirahat, mereka pun mengantuk dan tertidur. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ini tidak lain kecuali agar mereka melupakan ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul yang diucapkannya kemarin. Dengan sikap dan tindakan yang amat sangat bijak ini Rasulullah Saw. hendak mengubur fitnah sedalam-dalamnya.

Dan turunlah “Surat al-Munafiqun” terkait dengan Abdullah bin Ubay bin Salul dan yang sejenisnya. Ketika surat ini turun, Rasulullah Saw. memegang telinga Zaid bin Arqam, lalu beliau bersabda: “Orang inilah yang menepati janjinya kepada Allah melalui telinganya.” Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar perkara yang terjadi tentang ayahnya. Lalu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendengar bahwa engkau hendak membunuh Abdullah bin Salul, sebab ucapannya yang telah engkau dengar itu. Jika engkau benar-benar akan melakukannya, maka perintahlah aku untuk menjalankan tugas itu, sebab pasti aku akan membawa kepalanya kepadamu. Demi Allah, orang-orang Khazraj tahu betul bahwa di kalangan mereka tidak ada anak yang lebih berbakti kepada orangtuanya daripada aku. Aku khawatir engkau menyuruh orang lain untuk membunuhnya. Jika itu yang terjadi, maka jangan biarkan aku melihat orang yang telah membunuh Abdullah bin Salul berjalan di tengah-tengah manusia, sebab pasti aku membunuhnya. Sehingga, akhirnya ada seorang (mukmin) yang membunuh orang Mukmin (juga) karena membela orang kafir, yang menjadikannya masuk Neraka.” Lalu, Rasulullah Saw. bersabda: “Namun yang kita lakukan justru sebaliknya, kita akan bersikap lembut dan bersahabat baik dengannya selama ia masih bersama kita.”

Tidak lama setelah kejadian itu, Abdullah bin Ubay bin Salul tiba-tiba melakukan kesalahan, sehingga kaumnya sendiri yang mengecam, menghukum, dan memarahinya. Ketika masalah Abdullah bin Ubay bin Salul dan kaumnya ini sampai pada Rasulullah Saw., beliau bersabda kepada Umar bin Khaththab: “Bagaimana pendapatmu, hai Umar? Demi Allah, kalau saja aku membunuhnya pada hari engkau menyuruhku membunuhnya, niscaya dengan membunuhnya ketika itu akan terjadi goncangan yang dahsyat. Kalau saja sekarang aku disuruh membunuhnya, niscaya aku pasti membunuhnya.” Umar bin Khaththab berkata: “Demi Allah, aku benar-benar tahu bahwa perintah Rasulullah Saw. lebih besar keberkahannya daripada perintahku.”

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam