Berpuasa Pada Hari-hari Tertentu
Dalam Seminggu
Puasa sunat boleh
dilakukan pada hari apapun dalam seminggu. Puasa bisa dilakukan hari Senin dan
Kamis, sebagaimana disinggung sebelumnya. Juga bisa dilaksanakan pada hari-hari
lainnya, kecuali dengan menyendirikan hari Jumat dan Sabtu dengan berpuasa, artinya,
orang
yang ingin berpuasa pada hari Jumat atau pada hari Sabtu hendaknya
menggabungkan kedua hari tersebut satu hari sebelumnya atau satu hari
setelahnya, sehingga bisa berpuasa Jumat dan Sabtu, Kamis dan Jumat, Sabtu dan
Ahad, kecuali jika kedua hari tersebut bertepatan dengan hari Arafah misalnya,
atau hari Asyura, maka tidak mengapa menyendirikan kedua hari tersebut dengan
berpuasa, karena puasa pada kedua hari tersebut secara menyendiri dilakukan
karena ada pengertian lain.
Inilah sejumlah hadits
yang terkait dengan masalah ini:
1. Dari Ummu Salamah isteri Nabi Saw., dia
berkata:
“Rasulullah Saw. lebih
banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Jumat dibandingkan berpuasa pada hari-hari
lainnya. Dan beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya kedua hari ini adalah hari
raya orang-orang musyrik, dan aku sangat suka untuk menyelisihi mereka.” (HR.
Ahmad [26750], al-Baihaqi, dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith)
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, dan ia menshahihkannya. Hadits ini dishahihkan
oleh Ibnu Hajar dan ad-Dzahabi.
2. Dari Ubaidillah bin Muslim al-Qurasyi, dari
ayahnya, ia berkata:
“Aku bertanya atau
Nabi Saw. ditanya tentang puasa sepanjang tahun (shiyam
ad-dahri), maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya keluargamu memiliki
hak yang harus engkau tunaikan, berpuasalah di bulan Ramadhan dan pada
hari-hari berikutnya, dan pada setiap Rabu dan Kamis. Jika engkau lakukan hal
itu maka sungguh engkau telah (dianggap) berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Abu
Dawud [2432], an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra,
dan Bukhari dalam kitab at-Tarikh al-Kabir)
Tirmidzi meriwayatkan
pula hadits tersebut dan berkata: hadits ini gharib
(diriwayatkan secara menyendiri).
3. Dari Khaitsamah, dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
berpuasa pada suatu bulan pada hari Sabtu, Ahad, dan Senin, dan pada bulan yang
lain pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: hadits ini
hasan)
Dalam hadits ketiga
ini terdapat kelemahan, tetapi Tirmidzi telah menghasankannya
sehingga boleh diambil, terlebih lagi dalam objek yang sedang kita bahas ini.
Hadits ini tidak menyalahi hadits shahih.
Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah kalian
puasa pada hari Sabtu kecuali yang diwajibkan atas kalian, dan jika salah
seorang dari kalian tidak mendapati sesuatu kecuali ranting anggur atau kulit
pohon, maka hendaklah dia menghisapnya.” (HR. Ibnu Majah [1726], an-Nasai dan
Ahmad)
Ibnu Hibban dan
al-Hakim meriwayatkan dan menshahihkan
hadits ini, begitu pula Ibnu as-Sakan, dan hadits ini telah dihasankan pula oleh Tirmidzi. Tetapi at-Thahawi
berkata: status hadits ini adalah hadits syadz,
dan didhaifkan oleh Ahmad dan Malik.
Abu Dawud [2421]
meriwayatkan hadits ini dari jalur saudara perempuan Abdullah, dan dia berkata
di akhir riwayatnya: hadits ini telah dinasakh.
Tidak ragu lagi bahwa dalam hadits ini terdapat kelemahan, tetapi saya tidak
mengatakan bahwa ini adalah hadits dhaif.
Sehingga kita harus melihat dulu, jika hadits ini menyalahi hadits shahih yang pertama, lalu tidak ada peluang
untuk mengkompromikan di antara keduanya, maka hadits ini harus ditolak. Dan
jika tidak menyalahi hadits shahih yang
pertama serta masih bisa dikompromikan antara keduanya, maka hadits ini bisa
diambil dan digunakan sebagai dalil.
Dengan
mempertimbangkan hal itu, maka kita bisa mengatakan bahwa mengkompromikan
antara keduanya adalah sesuatu yang mungkin bahkan mudah, sehingga kedua hadits
ini bisa diamalkan. Saya katakan: larangan dari berpuasa pada hari Sabtu dalam
hadits ini ditujukan untuk puasa hari Sabtu secara menyendiri. Sedangkan
berpuasa pada hari Sabtu yang dipadukan dengan hari Jumat atau hari sesudahnya,
maka tidak termasuk dalam larangan ini. Hal itu dikuatkan oleh permintaan
Rasulullah Saw. kepada orang yang berpuasa pada hari Jumat untuk berpuasa juga
pada hari Sabtu (setelahnya), atau hari Kamis (sebelumnya), sebagaimana akan
kami singgung. Mengkompromikan kedua hadits ketika hal itu memungkinkan
dilakukan jauh lebih utama daripada menyatakannya sebagai hadits yang telah dinasakh, terlebih lagi menolaknya.
Kini tinggal puasa
hari Jumat. Topik ini ditemukan dalam beberapa hadits berikut:
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah salah
seorang dari kalian berpuasa pada hari Jumat, kecuali dia berpuasa sebelumnya
atau berpuasa sesudahnya.” (HR. Muslim [2683], Bukhari, Abu Dawud, Ahmad dan
Ibnu Hibban)
Muslim [2684] dan
an-Nasai meriwayatkan juga hadits ini dengan redaksi:
“Janganlah kalian
mengkhususkan malam Jumat untuk shalat malam daripada malam-malam lainnya, dan
janganlah kalian mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa daripada hari-hari
lainnya, kecuali jika seseorang biasa berpuasa pada hari itu.”
5. Dari Muhammad bin ‘Abbad, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Jabir ra., apakah Nabi Saw. melarang dari puasa pada hari Jumat? Dia berkata:
Ya. Selain Abu Ashim menambahkan: Yakni berpuasa di hari Jumat saja.” (HR.
Bukari [1984], Muslim, anNasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
6. Dari Juwairiyah binti al-Harits ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
mengunjunginya pada hari Jumat, dan dia (Juwairiyah) sedang berpuasa. Maka Nabi
Saw. bertanya: “Apakah engkau berpuasa kemarin?” Dia berkata: Tidak. Nabi Saw.
bertanya: “Apakah engkau akan berpuasa esok hari?” Dia berkata: Tidak. Maka Nabi
Saw. berkata: “Kalau begitu berbukalah engkau.” (HR. Bukhari [1986], an-Nasai,
Ahmad, Ibnu Hibban dan at-Thahawi)
7. Dari Basyir bin al-Khashashiyah:
“Bahwa dia bertanya
kepada Nabi Saw. Apakah aku boleh berpuasa pada hari Jumat dan pada hari itu
bolehkah aku tidak berbicara kepada siapapun? Nabi Saw. berkata: “Janganlah
engkau berpuasa pada hari Jumat, kecuali dalam rangkaian beberapa hari, dan
Jumat menjadi salah satunya atau dalam suatu bulan...” (HR. Ahmad [22300] dan sanadnya shahih)
8. Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw. biasa
berpuasa tiga hari dari awal setiap bulan, dan beliau Saw. jarang sekali
berbuka pada hari Jumat.” (HR. an-Nasai, Tirmidzi [2368], Ibnu Majah, Ahmad,
Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan gharib. Dan hadits ini
dishahihkan oleh Ibnu Hazm.
9. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Aku tidak pernah
melarang dari berpuasa pada hari Jumat. Muhammad Saw. dan Tuhan Pemilik Ka'bah
yang melarangnya.” (HR. Ibnu Hibban [3609], Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan
Abdurrazaq, status sanadnya shahih)
10. Dari Amir bin Ludain al-Asy'ari ra., ia
berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya hari
Jumat itu adalah hari raya kalian, maka janganlah kalian berpuasa pada hari
itu, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudahnya.” (HR. al-Bazzar
[1069] dengan sanad yang dihasankan oleh
al-Haitsami)
Ahmad dan al-Hakim
meriwayatkan lafadz ini dari jalur Abu Hurairah ra.
Kami katakan: larangan itu ditujukan pada
tindakan berpuasa pada hari Jumat saja, dan kami katakan pula bahwa orang yang
ingin berpuasa pada hari tersebut maka dia harus menggabungkannya dengan satu
hari sebelumnya, atau satu hari setelahnya.
Hadits keempat,
kelima, ketujuh dan kesepuluh menjadi dalil atas hukum ini, dan dilalah nash-nash tersebut begitu jelas.
Kami katakan juga,
hadits keenam menunjukkan hukum ini, di mana Juwairiyah ra. sedang berpuasa
pada hari Jumat, lalu Nabi Saw. ingin tahu apakah dia berpuasa hanya pada hari
Jum’at saja ataukah dia telah berpuasa pada hari Kamis sebelumnya, dengan
pertanyaannya:
“Apakah engkau
berpuasa kemarin?”
Ketika beliau Saw.
mengetahui bahwa Juwairiyah tidak berpuasa pada hari Kamis, beliau bertanya
lagi apakah dia berniat berpuasa pada hari Sabtu, sehari setelah Jum’at dengan
ucapannya:
“Apakah engkau akan
berpuasa esok hari?”
Ketika beliau Saw.
mengetahui bahwa Juwairiyah tidak berniat berpuasa pada esok harinya, sehingga
dengan demikian dia telah berpuasa di satu hari Jumat saja, maka beliau Saw.
memerintahkannya untuk berbuka. Artinya, beliau Saw. melarangnya berpuasa hanya
di satu hari Jum’at saja.
Tentang hadits Ibnu
Mas’ud yang kedelapan, harus dipahami bahwa Rasulullah Saw. biasa berpuasa pada
hari Jum’at yang disatukan dengan hari sebelum atau sesudahnya, di mana
Rasulullah Saw. adalah sosok yang dikenal banyak berpuasa. Puasa pada hari
Jum’at masuk dalam rangkaian puasanya itu, sehingga hadits ini tidak
menunjukkan bahwa Nabi Saw. menyendirikan puasa pada hari Jum’at saja.
Adapun hadits
kesembilan, maka tidak ragu lagi bahwa larangan yang disebutkan di sini
mencakup larangan dari menyendirikan puasa di hari Jum’at.
Dengan pemahaman
seperti ini, berarti kita telah mengamalkan seluruh hadits, dan kita telah
menghilangkan sesuatu yang nampaknya kontradiktif dalam hadits-hadits tersebut.
Berdasarkan hal itu,
saya katakan bahwa puasa sunat itu boleh dan sah dilakukan di hari apa saja
dari satu minggu, tanpa ada syarat apapun, kecuali hari Jumat dan Sabtu, di
mana berpuasa pada kedua hari itu disyaratkan tidak menyendirikan puasanya di
hari itu saja (yakni harus disambung sehari dengan sebelum atau sesudahnya). Ifrad (menyendirikan puasa Jumat atau Sabtu
saja) itu ternafikan ketika (digandengkan dengan) berpuasa satu hari sebelum
atau sehari setelahnya.
Sekarang marilah kita
lebih jauh melangkah pada pembahasan dan istidlal lainnya, di mana kita
memiliki hadits yang diriwayatkan oleh Alqamah:
“Aku bertanya kepada
Aisyah ra.: Apakah Rasulullah Saw. mengkhususkan suatu hari untuk berpuasa?
Aisyah berkata: Tidak, puasanya itu terus-menerus bersambung, dan siapakah di
antara kalian yang mampu melakukan sesuatu yang mampu dilakukan Rasulullah Saw?
(HR. Bukhari [1987], Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)
Di antara orang yang
melarang berpuasa di satu hari Jumat saja adalah Ahmad bin Hanbal, sebagian
golongan as-Syafi’iyah, Ibnu Hazm. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Abu Hurairah,
Salman, dan Abu Dzar ra. Ibnu Hazm berkata: kami tidak mengetahui ada sahabat
yang menyelisihi mereka dalam masalah ini.
Sedangkan Abu Hanifah,
Malik dan para sahabatnya, serta sebagian golongan as-Syafi'iyah berpendapat
bahwa berpuasa di satu hari Jumat saja itu tidak makruh. Para ulama Hanafiyah
berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud yang kami cantumkan pada poin 8. Al-Muzani
menukil pernyataan as-Syafi'i bahwa hal itu tidak dimakruhkan, kecuali bagi
orang yang dengan puasanya itu bisa melemahkannya dalam melakuan ibadah yang
lain. Ad-Dawudi berkata: mungkin larangan itu tidak sampai ke telinga Malik.
Jumhur ulama
berpendapat tentang adanya larangan ini, hukumnya hanya makruh.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar