Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 03 November 2017

Puasa Sunah Hari Asyura (10 Muharam)



Puasa Asyura

Puasa Asyura memiliki kedudukan tinggi setelah puasa Arafah. Ini karena puasa hari Arafah bisa menghapus dosa selama dua tahun, sedangkan puasa Asyura bisa menghapus dosa selama setahun.
Keutamaan menghapus dosa setahun penuh tidak ragu lagi merupakan kebaikan yang besar dan keutamaan yang agung, sehingga seorang Muslim hendaknya berusaha melaksanakan puasa tersebut agar bisa menghapus dosa-dosa yang telah dilakukannya sepanjang tahun, khususnya di masa kita ini, di mana agama telah disekat sehingga menjadi sesuatu yang asing, sedangkan kemaksiatan, kemunkaran, keburukan dan kekejian merebak di berbagai tempat, hingga seseorang yang beragama hampir tidak bisa mendapati sejengkal tanah yang nyaman untuk ditinggali dan menjaga agamanya, atau menyelamatkan diri dari keburukan dan dosa-dosa.

Puasa Asyura disebutkan dalam beberapa nash berikut:

1. Dari Abu Qatadah ra., dari Rasulullah Saw., beliau Saw. bersabda:

“Puasa Asyura itu bisa menebus dosa pada tahun yang lalu, dan puasa Arafah bisa menebus dosa dua tahun: tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” (HR. an-Nasai [2809] dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Ahmad, al-Baihaqi, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

Ibnu Majah [1738] dan Abdurrazaq meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Rasulullah Saw. bersabda: (Dengan) berpuasa pada hari Asyura, sungguh aku berharap Allah Swt. akan menghapus dosa setahun yang lalu.”

Hadits serupa diriwayatkan pula oleh Tirmidzi [749] dan dia berkata: ...dengan hadits Abu Qatadah inilah Ahmad dan Ishaq berpendapat.

Sebelumnya kami telah mencantumkan hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya, yang bisa Anda temukan dalam poin pertama puasa hari Arafah. Di dalamnya disebutkan:

“menghapus dosa satu tahun sebelumnya.”

2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku tidak melihat Nabi Saw. menjaga puasa suatu hari yang diutamakannya dibanding yang lain melainkan puasa pada hari ini, (yaitu) hari Asyura, dan bulan ini (yakni) bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari [2006], Muslim, an-Nasai dan Ahmad)

Sebenarnya, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama, dan bukan hari kesembilan, sebagaimana dikatakan oleh segelintir orang. Sebab, kata ‘Asyura yang bermakna hari kesepuluh, itu merupakan tuntutan isytiqaq dan tasmiyah, sedangkan hari kesembilan dinamai dengan Tasu’a. Selain itu, hadits-hadits yang ada menunjukkan hal ini, di mana ada riwayat dari Abdullah bin Abbas ra. berkata:

“Rasulullah Saw. memerintahkan berpuasa Asyura pada hari kesepuluh.” (HR. Tirmidzi [752], dan ia berkata: hadits Ibnu Abbas ini adalah hadits hasan shahih)

Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. memerintahkan berpuasa ‘Asyura pada hari kesepuluh.” (HR. al-Bazzar [1051])

Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang shahih.

Kedua hadits ini menunjukkan secara tekstual bahwa Asyura itu adalah hari kesepuluh.

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Seandainya aku masih ada hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan.”

Dalam riwayat Abu Bakar dia berkata, yakni puasa Asyura.” (HR. Muslim [2667], Ahmad dan al-Baihaqi)

Dalam riwayat Muslim yang kedua [2666], serta riwayat Abu Dawud dari jalur yang sama, disebutkan dengan redaksi:

“Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani. Maka Nabi Saw. bersabda: “Jika tiba di tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa hari kesembilan. Dia berkata: Dan ketika tahun depannya itu belum tiba, Rasulullah Saw. lebih dahulu wafat.”

Hadits ini pun menunjukkan bahwa Asyura itu adalah hari kesepuluh, bukan hari kesembilan sebagaimana disangkakan oleh sejumlah fukaha. Hal ini karena Rasulullah Saw. biasa berpuasa hari Asyura, sebagaimana disebutkan dalam nash-nash yang ada.
Hadits ini menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. berniat berpuasa pada hari kesembilan, tetapi beliau Saw. lebih dahulu wafat sebelum beliau sempat melakukannya. Dan ketika beliau Saw. belum sempat melakukannya, ini menjadi dalil yang sangat kuat dan jelas bahwa hari kesepuluh itu adalah puasa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Saw., sedangkan puasa pada hari kesembilan belum sempat dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. sama sekali.

Terdapat lafadz hadits dari Ibnu Majah [1736] yang menjelaskan ‘illat puasa hari kesembilan di tahun depan, sebagai berikut:

“Seandainya aku masih ada hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan.”

Abu Ali berkata: Ahmad bin Yunus meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Abi Dzi'bin, dan dia menambahkan di dalamnya: khawatir Asyura luput darinya.

Karena itu, niat beliau Saw. untuk berpuasa hari kesembilan itu merupakan kehati-hatian saja.

Adapun hadits yang diriwayatkan al-Hakam bin al-A'raj dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Jika aku melihat hilal Muharram, maka bersiaplah dan berpuasalah pada hari kesembilan.” Aku berkata: Adakah seperti ini Rasulullah Saw. melakukannya? Dia berkata: Ya.” (HR. Muslim [2664], an-Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Jika kita mengambil zhahir hadits ini saja tanpa penakwilan, niscaya kita akan mengatakan bahwa hadits ini menyalahi banyak hadits lainnya. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri, yang mengatakan puasa pada hari kesepuluh. Ketika terjadi pertentangan seperti itu, maka kita harus menolak salah satunya, dan kita harus menolak hadits terakhir ini, karena telah menyalahi banyak hadits lain yang mengatakan hari kesepuluh.
Namun, dalam kondisi seperti ini, penakwilan lebih diutamakan, jika memang kita tidak perlu menolak salah satunya. Dengan penakwilan bisa kita katakan:

Sesungguhnya Ibnu Abbas ra. telah menukil bahwa Rasulullah Saw. berniat berpuasa juga pada hari kesembilan, tetapi beliau Saw. terlebih dahulu wafat sebelum melaksanakan niat itu, sehingga Ibnu Abbas memiliki pemahaman bahwa puasa hari Asyura itu dimulai sejak hari kesembilan, dan ini menjadi sesuatu yang disyariatkan oleh Rasulullah saw. Jadi, Ibnu Abbas berfatwa seperti ini saat itu. Dalam hadits yang sedang kita bahas ini, Ibnu Abbas telah memfatwakan hukum ini. Dia berkata:

“Jika aku melihat hilal Muharram, maka bersiaplah dan berpuasalah pada hari kesembilan.”

Sebenarnya ucapan seperti ini tidak ada masalah, dan kita pun seluruhnya menyepakati dan sependapat dengannya. Akan tetapi sang penanya ingin lebih membuktikan apakah fatwa ini ijtihad dari Ibnu Abbas sendiri, ataukah syariat yang telah ditetapkan Nabi? Lalu dia bertanya:

“Adakah seperti ini Rasulullah Saw. melakukannya?”

Yang maknanya: adakah beliau Saw. telah mensyariatkan puasa tersebut? Maka Ibnu Abbas berkata: Ya.
Kesamaran dan kerumitan itu sesungguhnya berasal dari kata penanya:

“(Kaana) yashumuhu (biasa melakukan puasa tersebut)?”
Seandainya dia bertanya dengan ungkapan:

“(Beliau Saw.) memerintahkan puasa ini?” atau, “beliau Saw. mensyariatkan puasa ini?”
Niscaya akan hilanglah kesamaran ini. Dengan penakwilan seperti ini kita bisa mengamalkan semua nash yang ada, dan bisa menghilangkan sesuatu yang nampak sebagai pertentangan dan perbedaan.

Pensyariatan puasa pada hari kesembilan ini, selain karena sikap kehati-hatian -yakni khawatir luput dari Asyura, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, juga memiliki alasan lain yang lebih utama dan lebih mendasar, yakni bahwa orang Yahudi biasa berpuasa Asyura sebagaimana akan kami jelaskan setelah ini.
Dan Rasulullah Saw., selamanya, memerintahkan kita untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani, sehingga beliau Saw. ingin berpuasa satu hari sebelum Asyura, atau satu hari sesudahnya, sehingga penyelisihan terhadap orang kafir ini bisa terlaksana.

Ahmad [2154] dan Baihaqi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Lakukanlah puasa hari Asyura, dan selisihilah orang Yahudi di dalamnya.”

“(Karena itu) berpuasalah kalian satu hari sebelumnya, atau satu hari sesudahnya.”

Pensyariatan puasa Tasu'a tiada lain untuk menyelisihi orang Yahudi saja, bukan karena keistimewaan hari itu, dan bukan berarti itu adalah Asyura.

Jika tidak demikian, maka sikap menyelisihi Yahudi tidak bisa terwujud. Hadits ini lebih menguatkan pemahaman kita bahwa hari yang kesepuluh itulah yang ditetapkan, sedangkan puasa hari kesembilan hanya dipadukan saja ke dalamnya. Dengan mengkompromikan di antara hadits-hadits yang nampak seperti bertentangan, maka puaslah jiwa, dan lapanglah hati. Dan segala puji hanya bagi Allah Swt., Penguasa alam semesta.

Mengenai penyebab disyariatkannya puasa hari Asyura, sejumlah hadits berikut yang sengaja kami pilihkan telah menyebutkan hal itu:

1. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Nabi Saw. tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka Nabi Saw. bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka berkata: Ini adalah hari yang baik, ini adalah hari di mana Allah Swt. menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, lalu Musa berpuasa pada hari itu. Nabi Saw. bersabda: “Kalau begitu, akulah yang lebih berhak dengan Musa daripada kalian.” Maka beliau Saw. berpuasa pada hari itu dan memerintahkannya.” (HR. Bukhari [2004], Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, Ahmad dan ad-Darimi)

2. Dari Abu Musa ra., ia berkata:

“Penduduk Khaibar biasa berpuasa pada hari Asyura. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari raya, mereka memakaikan kaum wanita perhiasan dan pakaian yang indah pada hari itu. Maka Nabi Saw. bersabda: “(Karena itu) berpuasalah kalian pada hari itu.” (HR. Muslim [2661]) Bukhari [2005] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Hari Asyura dipandang sebagai hari raya oleh orang Yahudi. Maka Nabi Saw. bersabda: “(Karena itu) berpuasalah kalian pada hari itu.”

Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mensyariatkan puasa Asyura kepada kita, karena Allah Swt. menyelamatkan Nabi Musa pada hari itu dari kejaran Fir’aun, sehingga Musa berpuasa di hari itu sebagai tanda syukur. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kita untuk berpuasa juga.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam