Puasa Asyura
Puasa Asyura memiliki
kedudukan tinggi setelah puasa Arafah. Ini karena puasa hari Arafah bisa
menghapus dosa selama dua tahun, sedangkan puasa Asyura bisa menghapus dosa
selama setahun.
Keutamaan menghapus
dosa setahun penuh tidak ragu lagi merupakan kebaikan yang besar dan keutamaan
yang agung, sehingga seorang Muslim hendaknya berusaha melaksanakan puasa
tersebut agar bisa menghapus dosa-dosa yang telah dilakukannya sepanjang tahun,
khususnya di masa kita ini, di mana agama telah disekat sehingga menjadi
sesuatu yang asing, sedangkan kemaksiatan, kemunkaran, keburukan dan kekejian
merebak di berbagai tempat, hingga seseorang yang beragama hampir tidak bisa
mendapati sejengkal tanah yang nyaman untuk ditinggali dan menjaga agamanya,
atau menyelamatkan diri dari keburukan dan dosa-dosa.
Puasa Asyura
disebutkan dalam beberapa nash berikut:
1. Dari Abu Qatadah ra., dari Rasulullah Saw.,
beliau Saw. bersabda:
“Puasa Asyura itu bisa
menebus dosa pada tahun yang lalu, dan puasa Arafah bisa menebus dosa dua
tahun: tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” (HR. an-Nasai [2809] dalam
kitab as-Sunan al-Kubra, Ahmad,
al-Baihaqi, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
Ibnu Majah [1738] dan
Abdurrazaq meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Rasulullah Saw.
bersabda: (Dengan) berpuasa pada hari Asyura, sungguh aku berharap Allah Swt.
akan menghapus dosa setahun yang lalu.”
Hadits serupa
diriwayatkan pula oleh Tirmidzi [749] dan dia berkata: ...dengan hadits Abu
Qatadah inilah Ahmad dan Ishaq berpendapat.
Sebelumnya kami telah
mencantumkan hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya,
yang bisa Anda temukan dalam poin pertama puasa hari Arafah. Di dalamnya
disebutkan:
“menghapus dosa satu
tahun sebelumnya.”
2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Aku tidak melihat
Nabi Saw. menjaga puasa suatu hari yang diutamakannya dibanding yang lain
melainkan puasa pada hari ini, (yaitu) hari Asyura, dan bulan ini (yakni) bulan
Ramadhan.” (HR. Bukhari [2006], Muslim, an-Nasai dan Ahmad)
Sebenarnya, ‘Asyura
adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Ini adalah pendapat yang dipegang
oleh jumhur ulama, dan bukan hari kesembilan, sebagaimana dikatakan oleh
segelintir orang. Sebab, kata ‘Asyura yang bermakna hari kesepuluh, itu
merupakan tuntutan isytiqaq dan
tasmiyah, sedangkan hari kesembilan dinamai dengan Tasu’a. Selain itu,
hadits-hadits yang ada menunjukkan hal ini, di mana ada riwayat dari Abdullah
bin Abbas ra. berkata:
“Rasulullah Saw.
memerintahkan berpuasa Asyura pada hari kesepuluh.” (HR. Tirmidzi [752], dan ia
berkata: hadits Ibnu Abbas ini adalah hadits hasan
shahih)
Dari Aisyah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
memerintahkan berpuasa ‘Asyura pada hari kesepuluh.” (HR. al-Bazzar [1051])
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang shahih.
Kedua hadits ini
menunjukkan secara tekstual bahwa Asyura itu adalah hari kesepuluh.
Dari Ibnu Abbas ra.,
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Seandainya aku masih
ada hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan.”
Dalam riwayat Abu
Bakar dia berkata, yakni puasa Asyura.” (HR. Muslim [2667], Ahmad dan
al-Baihaqi)
Dalam riwayat Muslim
yang kedua [2666], serta riwayat Abu Dawud dari jalur yang sama, disebutkan
dengan redaksi:
“Mereka bertanya:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nashrani. Maka Nabi Saw. bersabda: “Jika tiba di tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa hari
kesembilan. Dia berkata: Dan ketika tahun depannya itu belum tiba, Rasulullah
Saw. lebih dahulu wafat.”
Hadits ini pun
menunjukkan bahwa Asyura itu adalah hari kesepuluh, bukan hari kesembilan
sebagaimana disangkakan oleh sejumlah fukaha. Hal ini karena Rasulullah Saw.
biasa berpuasa hari Asyura, sebagaimana disebutkan dalam nash-nash yang ada.
Hadits ini menyebutkan
bahwa Rasulullah Saw. berniat berpuasa pada hari kesembilan, tetapi beliau Saw.
lebih dahulu wafat sebelum beliau sempat melakukannya. Dan ketika beliau Saw.
belum sempat melakukannya, ini menjadi dalil yang sangat kuat dan jelas bahwa
hari kesepuluh itu adalah puasa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Saw.,
sedangkan puasa pada hari kesembilan belum sempat dilaksanakan oleh Rasulullah
Saw. sama sekali.
Terdapat lafadz hadits
dari Ibnu Majah [1736] yang menjelaskan ‘illat
puasa hari kesembilan di tahun depan, sebagai berikut:
“Seandainya aku masih
ada hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan.”
Abu Ali berkata: Ahmad
bin Yunus meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Abi Dzi'bin, dan dia menambahkan di
dalamnya: khawatir Asyura luput darinya.
Karena itu, niat
beliau Saw. untuk berpuasa hari kesembilan itu merupakan kehati-hatian saja.
Adapun hadits yang
diriwayatkan al-Hakam bin al-A'raj dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Jika aku melihat
hilal Muharram, maka bersiaplah dan berpuasalah pada hari kesembilan.” Aku
berkata: Adakah seperti ini Rasulullah Saw. melakukannya? Dia berkata: Ya.”
(HR. Muslim [2664], an-Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu
Khuzaimah)
Jika kita mengambil zhahir hadits ini saja tanpa penakwilan,
niscaya kita akan mengatakan bahwa hadits ini menyalahi banyak hadits lainnya.
Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri, yang mengatakan
puasa pada hari kesepuluh. Ketika terjadi pertentangan seperti itu, maka kita
harus menolak salah satunya, dan kita harus menolak hadits terakhir ini, karena
telah menyalahi banyak hadits lain yang mengatakan hari kesepuluh.
Namun, dalam kondisi
seperti ini, penakwilan lebih diutamakan, jika memang kita tidak perlu menolak
salah satunya. Dengan penakwilan bisa kita katakan:
Sesungguhnya Ibnu
Abbas ra. telah menukil bahwa Rasulullah Saw. berniat berpuasa juga pada hari
kesembilan, tetapi beliau Saw. terlebih dahulu wafat sebelum melaksanakan niat
itu, sehingga Ibnu Abbas memiliki pemahaman bahwa puasa hari Asyura itu dimulai
sejak hari kesembilan, dan ini menjadi sesuatu yang disyariatkan oleh
Rasulullah saw. Jadi, Ibnu Abbas berfatwa seperti ini saat itu. Dalam hadits
yang sedang kita bahas ini, Ibnu Abbas telah memfatwakan hukum ini. Dia
berkata:
“Jika aku melihat
hilal Muharram, maka bersiaplah dan berpuasalah pada hari kesembilan.”
Sebenarnya ucapan
seperti ini tidak ada masalah, dan kita pun seluruhnya menyepakati dan
sependapat dengannya. Akan tetapi sang penanya ingin lebih membuktikan apakah
fatwa ini ijtihad dari Ibnu Abbas sendiri, ataukah syariat yang telah
ditetapkan Nabi? Lalu dia bertanya:
“Adakah seperti ini
Rasulullah Saw. melakukannya?”
Yang maknanya: adakah
beliau Saw. telah mensyariatkan puasa tersebut? Maka Ibnu Abbas berkata: Ya.
Kesamaran dan
kerumitan itu sesungguhnya berasal dari kata penanya:
“(Kaana) yashumuhu
(biasa melakukan puasa tersebut)?”
Seandainya dia
bertanya dengan ungkapan:
“(Beliau Saw.)
memerintahkan puasa ini?” atau, “beliau Saw. mensyariatkan puasa ini?”
Niscaya akan hilanglah
kesamaran ini. Dengan penakwilan seperti ini kita bisa mengamalkan semua nash
yang ada, dan bisa menghilangkan sesuatu yang nampak sebagai pertentangan dan
perbedaan.
Pensyariatan puasa
pada hari kesembilan ini, selain karena sikap kehati-hatian -yakni khawatir
luput dari Asyura, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, juga
memiliki alasan lain yang lebih utama dan lebih mendasar, yakni bahwa orang
Yahudi biasa berpuasa Asyura sebagaimana akan kami jelaskan setelah ini.
Dan Rasulullah Saw.,
selamanya, memerintahkan kita untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani,
sehingga beliau Saw. ingin berpuasa satu hari sebelum Asyura, atau satu hari
sesudahnya, sehingga penyelisihan terhadap orang kafir ini bisa terlaksana.
Ahmad [2154] dan
Baihaqi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Lakukanlah puasa hari
Asyura, dan selisihilah orang Yahudi di dalamnya.”
“(Karena itu)
berpuasalah kalian satu hari sebelumnya, atau satu hari sesudahnya.”
Pensyariatan puasa
Tasu'a tiada lain untuk menyelisihi orang Yahudi saja, bukan karena
keistimewaan hari itu, dan bukan berarti itu adalah Asyura.
Jika tidak demikian,
maka sikap menyelisihi Yahudi tidak bisa terwujud. Hadits ini lebih menguatkan
pemahaman kita bahwa hari yang kesepuluh itulah yang ditetapkan, sedangkan
puasa hari kesembilan hanya dipadukan saja ke dalamnya. Dengan mengkompromikan di
antara hadits-hadits yang nampak seperti bertentangan, maka puaslah
jiwa, dan lapanglah hati. Dan segala puji hanya bagi Allah Swt., Penguasa
alam semesta.
Mengenai penyebab disyariatkannya puasa
hari Asyura, sejumlah hadits berikut yang sengaja kami pilihkan telah
menyebutkan hal itu:
1. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Nabi Saw. tiba di
Madinah, lalu beliau melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka Nabi
Saw. bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka berkata: Ini adalah hari yang baik, ini
adalah hari di mana Allah Swt. menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, lalu
Musa berpuasa pada hari itu. Nabi Saw. bersabda: “Kalau begitu, akulah yang
lebih berhak dengan Musa daripada kalian.” Maka beliau Saw. berpuasa pada hari
itu dan memerintahkannya.” (HR. Bukhari [2004], Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah,
an-Nasai, Ahmad dan ad-Darimi)
2. Dari Abu Musa ra., ia berkata:
“Penduduk Khaibar
biasa berpuasa pada hari Asyura. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari raya,
mereka memakaikan kaum wanita perhiasan dan pakaian yang indah pada hari itu.
Maka Nabi Saw. bersabda: “(Karena itu) berpuasalah kalian pada hari itu.” (HR. Muslim
[2661]) Bukhari [2005] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Hari Asyura dipandang
sebagai hari raya oleh orang Yahudi. Maka Nabi Saw. bersabda: “(Karena itu)
berpuasalah kalian pada hari itu.”
Dengan demikian,
Rasulullah Saw. telah mensyariatkan puasa Asyura kepada kita, karena Allah Swt.
menyelamatkan Nabi Musa pada hari itu dari kejaran Fir’aun, sehingga Musa
berpuasa di hari itu sebagai tanda syukur. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kita
untuk berpuasa juga.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar