Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 03 November 2017

Puasa Sunah Di Hari Arafah



Puasa Pada Hari Arafah

Arafah adalah hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Berpuasa pada hari ini lebih utama daripada berpuasa pada hari-hari lainnya, kecuali tentunya berpuasa pada bulan Ramadhan.
Puasa Arafah ini bisa menebus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya, dan tentu saja hal ini merupakan keutamaan yang agung dan kebajikan yang besar.
Para ulama dan fukaha seluruhnya sangat menganjurkan puasa Arafah ini. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada seorangpun yang menyelisihi kemanduban puasa Arafah ini. Salah satu yang disepakati mereka adalah bahwa puasa tersebut disunatkan bagi orang yang tidak sedang berhaji.
Adapun orang yang sedang berada di Arafah melaksanakan ibadah haji, maka mereka berbeda pendapat -terkait pelaksanaan puasa Arafah ini- menjadi dua: Abu Hanifah, Malik, as-Syafi'i dan Sufyan at-Tsauri sangat menganjurkan berbuka bagi orang yang berada di Arafah. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ibnu Umar ra. Sedangkan Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan Qatadah, al-Khattabi dan al-Mutawalli dari kalangan as-Syafi’iyah, berpendapat sangat menganjurkan berpuasa jika orang yang sedang berhaji itu mampu melakukannya, selama tidak melemahkannya dari doa, dzikir dan ibadah yang dituntut lainnya. Diriwayatkan bahwa Aisyah, Usamah bin Zaid, dan Abdullah bin Zubair ra. biasa berpuasa pada hari Arafah ketika mereka sedang berhaji. At-Thabari berkata: Rasulullah Saw. berbuka (tidak berpuasa) di Arafah semata-mata hanya untuk menunjukkan adanya pilihan bagi orang yang sedang berhaji di Makkah, agar puasa itu tidak melemahkan mereka dari doa, dzikir dan rangkaian ibadah lainnya pada hari Arafah.

Inilah sejumlah nash terkait puasa Arafah:

1. Dari Abu Qatadah ra., ia berkata:

“Seorang lelaki telah datang kepada Nabi Saw. dan bertanya: Bagaimana engkau berpuasa? Maka Rasulullah Saw. marah, Rasulullah Saw. bersabda: “Tiga hari dari setiap bulan, dan Ramadhan ke Ramadhan, maka ini sepenuhnya menyamai puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), puasa hari Arafah (yang dengannya) aku berharap Allah Swt. akan menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya, dan puasa hari Asyura (yang dengannya) aku berharap Allah Swt. akan menghapus dosa satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim [2746], Abu Dawud, an-Nasai, dan Tirmidzi)

Ahmad [22958] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Puasa hari Arafah itu menjadi penghapus dosa selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang, dan puasa hari Asyura itu menjadi penghapus dosa selama satu tahun.”

2. Dari Sahal bin Saad ra., ia berkata: Rasulullah Saw.:

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari Arafah maka akan diampuni dosanya selama dua tahun berturut-turut.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir [6/5923], Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ya'la)

Al-Haitsami berkata: para perawi Abu Ya'la adalah orang-orang yang shahih.

3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang dari puasa hari Arafah (bagi orang yang berada) di Arafah.” (HR. an-Nasai [2843] dalam kitab as-Su'nan al-Kubra, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan Ahmad)

Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim. Dalam sanad hadits ini terdapat Mahdi al-Abdi, yang Ibnu Ma’in mengomentarinya dengan: saya tidak mengetahuinya, tetapi disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, dan dishahihkan haditsnya oleh Ibnu Khuzaimah. Hadits seperti ini sah dan boleh digunakan sebagai hujjah.

4. Dari Ummu Fadl ra., ia berkata:

“Sejumlah orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. merasa ragu terkait puasa pada hari Arafah, dan kami berada di Arafah bersama Rasulullah saw. Lalu aku mengirimkan satu wadah dari kayu berisi susu kepadanya dan beliau Saw. sedang berada di Arafah, lalu beliau Saw. meminumnya.” (HR. Muslim [2635], Ibnu Hibban, Abu Dawud dan Ahmad)

Dalam lafadz Muslim yang kedua [2632], dan lafadz dari Bukhari [1988]:

“Lalu aku mengirimkan satu wadah berisi susu kepadanya, dan beliau sedang berada di atas untanya di Arafah, kemudian beliau Saw. meminumnya.”

5. Dari Maimunah ra.:

“Bahwa orang-orang merasa ragu dengan puasa Nabi Saw. pada hari Arafah, lalu dia (Maimunah) mengirimkan bejana (wadah susu hasil perahan) kepadanya, sementara beliau Saw. sedang berwukuf di tempat wuquf. Lalu beliau Saw. meminumnya, dan orang-orang pun melihatnya.” (HR. Bukhari [1989], Muslim, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Maimunah adalah putri al-Harits, isteri Nabi Saw., dan bibi dari Ibnu Abbas dan saudara perempuan ibunya, Ummu al-Fadl, yang meriwayatkan hadits sebelumnya.
Ibnu Hibban berkata setelah meriwayatkan hadits Ummu al-Fadl dan Maimunah ini: Pada haji wada', isteri-isteri Nabi Saw. ikut bersama beliau Saw., begitu pula sejumlah kerabatnya, sehingga nampaknya Ummu al-Fadhl dan Maimunah berada di Arafah di satu tempat, di mana wadah berisi susu dari keduanya telah dibawa kepada Nabi Saw. Lalu wadah dan pengiriman itu kadang dinisbatkan pada Ummu al-Fadl dalam satu riwayat, dan pada Maimunah dalam riwayat lain.

6. Dari Ubaid bin Umair, berkata:

“Umar melarang puasa pada hari Arafah.” (Riwayat an-Nasai [2845] dalam kitab as-Sunan al-Kubra)

7. Dari Nafi’, ia berkata:

“Ibnu Umar ditanya tentang puasa pada hari Arafah, lalu dia berkata: Nabi Saw. tidak melakukannya. Abu Bakar, Umar serta Utsman tidak melakukan puasa pada hari Arafah.” (HR. Ahmad [5080] dan an-Nasai dalam kitab as-Sunan al-Kubra)

8. Dari Abu Najih, ia berkata:

“Ibnu Umar ditanya tentang puasa pada hari Arafah (ketika orang itu berada) di Arafah, maka dia berkata: Aku berhaji bersama Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak melakukan puasa tersebut. Dan (juga berhaji) bersama Abu Bakar, dan dia tidak melakukannya. Dan (berhaji) bersama Umar, dia pun tidak melakukannya, serta (berhaji) bersama Utsman di mana dia pun tidak melakukan puasa tersebut. Dan aku tidak melakukan puasa Arafah, tidak memerintahkannya dan tidak melarangnya.” (HR. Tirmidzi [748] dan dia berkata: hadits ini hasan)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban, ad-Darimi, an-Nasai dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dan at-Thahawi.
Nama Abu Najih adalah Yasar al-Maki, pelayan Tsaqif.

9. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Dia mengundang makan saudaranya, Ubaidillah, pada hari Arafah. Lalu Ubaidillah berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Maka Ibnu Abbas berkata: Kalian adalah para pemimpin yang akan diikuti, sungguh aku melihat Rasulullah Saw. meminta satu wadah berisi susu pada hari ini, kemudian beliau meminumnya. Pada kesempatan lain Yahya berkata: (Kalian ini) adalah ahlu bait yang akan diikuti.” (HR. Ahmad [3239] dengan sanad yang sangat baik)

Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath [9182] dengan lafadz:

“...Mengundang al-Fadl (untuk makan) pada hari Arafah..., dan bahwa manusia akan mengikuti jalan kalian.”

Dua hadits yang pertama dan kedua menyebutkan keutamaan puasa pada hari Arafah, di mana puasa pada hari Arafah itu akan menghapus dosa selama dua tahun. Makna dan pemahaman seperti ini telah disepakati dan tidak diperselisihkan lagi. Yang dimaksudkannya adalah puasa Arafah bagi orang yang tidak sedang berhaji.

Sedangkan yang diperselisihkan oleh para ahli fikih adalah puasa Arafah bagi orang yang sedang berhaji dan berada di Arafah. Pendapat yang shahih adalah yang ditunjukkan oleh nash-nash dalam poin tujuh berikutnya, yakni berbuka (tidak berpuasa) bagi seorang yang sedang berhaji itu berhukum mustahab (sangat dianjurkan), dan bukannya berpuasa. Karena itu, pendapat yang menganjurkan puasa Arafah di Arafah bagi orang yang berhaji adalah pendapat yang keliru. Rasulullah Saw. sendiri telah melarang puasa tersebut -bagi orang yang sedang berhaji- dengan lafadz hadits berikut:

“Rasulullah Saw. melarang puasa pada hari Arafah (bagi orang yang berada) di Arafah.”

Tidak pernah disebutkan adanya penasakhan terhadap hadits ini. Juga tidak ada hadits yang menyelisihinya, sehingga hukum larangan telah tetap, dan kita tidak boleh mengatakan pendapat yang menyalahinya.

Nash-nash dalam poin sisanya lebih menegaskan lagi hukum ketidakbolehan puasa Arafah bagi orang yang berada di Arafah. Nabi Saw. telah menyertakan ucapan dengan perbuatan, di mana beliau Saw. sendiri berbuka (tidak berpuasa) ketika di Arafah, sehingga antara ucapan dan perbuatan Nabi Saw. saling menguatkan. Tidak ada lagi hujjah yang tersisa bagi mereka yang menganjurkan puasa saat itu.

Jika kita mengingat kembali bahwa puasa Arafah itu bisa menghapus dosa selama dua tahun, namun, meski begitu beliau Saw. tetap berbuka (tidak berpuasa), begitu pula para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya, maka hal itu menuntut kita untuk mengatakan bahwa berbuka itu menjadi satu ketetapan yang ditentukan bagi seorang yang berhaji, hukumnya mustahab (sangat dianjurkan), Rasulullah Saw. tidak akan menghalangi kaum Muslim dari kebaikan puasa ini seandainya perkara tersebut bersifat pilihan, sebagaimana yang dikatakan oleh at-Thabari.
Sebab, siapa di antara kaum Muslim -khususnya para sahabat- yang akan lebih memilih berbuka seraya melepaskan pahala puasa yang bisa menghapus dosa dua tahun, seandainya perbuatan tersebut (yakni puasa Arafah bagi orang yang sedang di Arafah) bersifat pilihan, bukan berhukum mustahab?
Dan sejak kapan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya melepaskan ibadah yang mandub, bahkan bisa jadi ibadah mandub terbesar? Karena itu, tidaklah Rasulullah Saw. dan para sahabat berbuka (tidak berpuasa Arafah) ketika berada di Arafah melainkan karena berbuka itu hukumnya mandub, bukan berpuasa.

Mengenai pendapat sebagian kalangan bahwa berpuasa (Arafah) itu lebih utama kecuali bagi orang yang bisa menjadi lemah dari dzikir dan doa, sehingga berbuka itu lebih utama bagi orang seperti itu, maka ini adalah ucapan tanpa dalil, hanya takwil dan ta’lil (penetapan 'illat) yang tidak disebutkan dalam nash-nash yang ada, sehingga pendapat seperti ini tidak layak untuk diperhatikan. Berdasarkan hal itu, saya katakan: puasa di Arafah bagi orang yang tidak berhaji adalah mandub, dan berbuka di Arafah bagi orang yang berhaji adalah mandub.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam