Puasa Bulan Sya'ban
Rasulullah Saw. tidak
diketahui banyak berpuasa pada satu dari beberapa bulan sepanjang tahun
hijriyah setelah Ramadhan selain pada bulan Sya'ban. Bahkan beliau Saw.
seringkali berpuasa hampir sepanjang bulan Sya'ban, kecuali sedikit saja,
sehingga disunahkan pada kaum Muslim untuk berpuasa sunat pada bulan ini.
Inilah sejumlah hadits
yang mencakup masalah ini:
1. Dari Ummu Salamah ra., ia berkata
“Aku tidak melihat
Rasulullah Saw. berpuasa dua bulan berturut-turut, selain bahwa beliau Saw.
suka menyambung Sya'ban dengan Ramadhan.” (HR. an-Nasai [2496] dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Ahmad)
2. Dari Abu Salamah, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah ra. tentang puasa Rasulullah Saw. Dia berkata: Beliau Saw. biasa
berpuasa, sampai-sampai kami mengatakan sungguh beliau berpuasa (tidak pernah
berbuka), dan biasa berbuka sampai-sampai kami mengatakan sungguh beliau Saw.
berbuka (seperti tidak pernah berpuasa sunat). Dan aku tidak pernah melihat
beliau Saw. berpuasa paling banyak dalam satu bulan selain di bulan Sya'ban.
Beliau Saw. biasa berpuasa bulan Sya'ban seluruhnya, dan biasa pula berpuasa
hampir sepanjang bulan Sya'ban, kequali tinggal beberapa hari.” (HR. Muslim
[2722], Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
3. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Bulan yang paling
disukai Rasulullah Saw. untuk berpuasa adalah bulan Sya’ban, bahkan beliau Saw.
suka menyambungnya dengan Ramadhan.” (HR. an-Nasai [2666], Ahmad dan Thabrani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)
4. Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. biasa berpuasa di beberapa hari secara berturut-turut hingga dikatakan:
Beliau Saw. tidak berbuka. Dan beliau Saw. suka berbuka pada beberapa hari
hingga hampir tidak berpuasa, kecuali dua hari dari minggu itu, jika keduanya
berada dalam rangkaian puasanya. Jika tidak, maka beliau Saw. berpuasa pada dua
hari itu. Dan beliau Saw. tidak sering berpuasa dalam suatu bulan selain yang
beliau lakukan pada bulan Sya'ban. Maka aku berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya engkau suka berpuasa hingga hampir-hampir engkau tidak berbuka,
dan suka berbuka hingga hampir-hampir tidak berpuasa, kecuali dua hari jika
masuk dalam puasamu, dan jika tidak, maka engkau akan berpuasa pada dua hari
itu. Beliau Saw. bertanya: “Dua hari yang manakah itu?” Dia berkata: aku
berkata: Hari Senin dan hari Kamis. Beliau Saw. berkata: “Pada dua hari itulah
catatan amal kita disodorkan kepada Penguasa Semesta Alam, dan aku ingin
catatan amalku disodorkan ketika aku dalam keadaan berpuasa.” Dia berkata: aku
berkata: Dan aku tidak melihat engkau berpuasa sebulan sebagaimana yang engkau
lakukan pada bulan Sya’ban. Beliau Saw. berkata: “Itulah bulan yang suka
dilalaikan oleh manusia, di antara Rajab dan Ramadhan. Pada bulan itu catatan
amal diangkat kepada Penguasa Semesta Alam, dan aku suka catatan amalku
diangkat ketika aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad [22096])
Ibnu Abi Syaibah
[2/514] meriwayatkan bagian akhir hadits ini saja dengan lafadz:
“Aku bertanya: Wahai
Rasulullah, aku melihat engkau melakukan puasa pada bulan Sya'ban yang tidak
engkau lakukan dalam bulan-bulan lainnya kecuali dalam bulan Ramadhan. Beliau
Saw. berkata: “Itulah bulan yang dilalaikan oleh manusia, antara Rajab dan bulan
Ramadhan diangkatlah catatan amal manusia, dan aku suka catatan amalku tidak
diangkat melainkan aku dalam keadaan berpuasa.”
Para ahli fikih
berbeda pendapat tentang hukum puasa pada paruh kedua (an-nishfu ats-tsani)
bulan Sya’ban. Jumhur ulama membolehkan puasa tathawwu'
(sunat) pada paruh kedua bulan Sya'ban, walaupun puasa di saat itu bukan
kebiasaan seseorang, dan walaupun tidak bersambung dengan paruh pertama. Hal
itu tidak dimakruhkan, kecuali berpuasa pada hari syak.
Banyak ulama Syafi'iyah yang melarang puasa sunat pada paruh kedua bulan
Sya'ban, dan larangan ini dimulai sejak tanggal 16 bulan Sya'ban. Mereka yang
melarang itu telah berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-'Ala
in Abdirrahman bin Ya'kub, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika telah sampai
pertengahan bulan Sya'ban, maka tidak ada puasa hingga tiba bulan Ramadhan.
(HR. Ibnu Majah [1651], an-Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad dan
ad-Darimi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm, Tirmidzi dan Ibnu
Abdil Barr.
Untuk membantahnya,
kita jelaskan sebagai berikut:
1. Sesungguhnya hadits ini porosnya hanya pada
al-'Ala bin Abdirrahman, selainnya tidak ada seorangpun yang meriwayatkan
hadits ini. Al-'Ala adalah seorang yang didhaifkan
oleh Ibnu Ma'in, dengan ucapannya pada satu kali: haditsnya tidak bisa
dijadikan hujjah; dan ucapannya di kali yang lain: sesungguhnya orang ini dhaif; dan ucapannya di kali ketiga:
orang-orang senantiasa menjaga diri dari haditsnya. Abu Hatim berkata: dia
seorang shalih, di mana orang-orang tsiqah
meriwayatkan darinya, tetapi ada beberapa haditsnya yang diingkari. Abu Zur'ah
berkata: dia itu bukan orang kuat. Abu Dawud berkata: para ahli hadits
mengingkari al-‘Ala terkait hadits puasa Sya'ban. Di sisi lain dia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, an-Nasai dan
Ahmad. Jadi, orang ini diperselisihkan.
2. Hadits ini didhaifkan
oleh Ahmad dan Yahya bin Ma'in, tatkala keduanya mengatakan bahwa ini adalah
hadits munkar. Begitu pula didhaifkan
oleh al-Baihaqi, at-Thahawi, dan Abdurrahman bin Mahdi.
3. Sesungguhnya hadits ini bertentangan
dengan-banyak hadits shahih yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. suka berpuasa pada sebagian besar bulan
Sya'ban, dan beliau Saw. menyambung Sya'ban dengan Ramadhan. Sebagian besar
hadits tersebut telah kami sebutkan sebelumnya, sehingga tidak ada peluang
mengkompromikan antara hadits shahih
tersebut dengan hadits ini.
Hadits seperti ini
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tidak disepakati ketsiqahannya, dan haditsnya menyalahi dan
menyelisihi banyak hadits shahih, maka
hukumnya adalah tertolak, dan tidak boleh digunakan sebagai hujjah. Dengan
demikian tetaplah hukum kebolehan berpuasa sunat pada paruh kedua bulan
Sya'ban, sama saja hukumnya dengan puasa pada paruh pertama. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama.
Mengenai pendapat
jumhur: “tidak dimakruhkan kecuali puasa pada hari syak”, maksudnya adalah hari
yang diragukan. Namun, apakah hari itu adalah hari terakhir bulan Sya’ban,
ataukah hari pertama bulan Ramadhan? Secara lebih lengkap akan kami terangkan
dalam pembahasan “Puasa
Pada Hari Syak” pada bab “Puasa yang Diharamkan, yang Tidak Boleh
Dilakukan.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar