Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 04 November 2017

Puasa Sunah Di Bulan Sya’ban



Puasa Bulan Sya'ban

Rasulullah Saw. tidak diketahui banyak berpuasa pada satu dari beberapa bulan sepanjang tahun hijriyah setelah Ramadhan selain pada bulan Sya'ban. Bahkan beliau Saw. seringkali berpuasa hampir sepanjang bulan Sya'ban, kecuali sedikit saja, sehingga disunahkan pada kaum Muslim untuk berpuasa sunat pada bulan ini.
Inilah sejumlah hadits yang mencakup masalah ini:

1. Dari Ummu Salamah ra., ia berkata

“Aku tidak melihat Rasulullah Saw. berpuasa dua bulan berturut-turut, selain bahwa beliau Saw. suka menyambung Sya'ban dengan Ramadhan.” (HR. an-Nasai [2496] dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

2. Dari Abu Salamah, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah ra. tentang puasa Rasulullah Saw. Dia berkata: Beliau Saw. biasa berpuasa, sampai-sampai kami mengatakan sungguh beliau berpuasa (tidak pernah berbuka), dan biasa berbuka sampai-sampai kami mengatakan sungguh beliau Saw. berbuka (seperti tidak pernah berpuasa sunat). Dan aku tidak pernah melihat beliau Saw. berpuasa paling banyak dalam satu bulan selain di bulan Sya'ban. Beliau Saw. biasa berpuasa bulan Sya'ban seluruhnya, dan biasa pula berpuasa hampir sepanjang bulan Sya'ban, kequali tinggal beberapa hari.” (HR. Muslim [2722], Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Bulan yang paling disukai Rasulullah Saw. untuk berpuasa adalah bulan Sya’ban, bahkan beliau Saw. suka menyambungnya dengan Ramadhan.” (HR. an-Nasai [2666], Ahmad dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)

4. Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. biasa berpuasa di beberapa hari secara berturut-turut hingga dikatakan: Beliau Saw. tidak berbuka. Dan beliau Saw. suka berbuka pada beberapa hari hingga hampir tidak berpuasa, kecuali dua hari dari minggu itu, jika keduanya berada dalam rangkaian puasanya. Jika tidak, maka beliau Saw. berpuasa pada dua hari itu. Dan beliau Saw. tidak sering berpuasa dalam suatu bulan selain yang beliau lakukan pada bulan Sya'ban. Maka aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau suka berpuasa hingga hampir-hampir engkau tidak berbuka, dan suka berbuka hingga hampir-hampir tidak berpuasa, kecuali dua hari jika masuk dalam puasamu, dan jika tidak, maka engkau akan berpuasa pada dua hari itu. Beliau Saw. bertanya: “Dua hari yang manakah itu?” Dia berkata: aku berkata: Hari Senin dan hari Kamis. Beliau Saw. berkata: “Pada dua hari itulah catatan amal kita disodorkan kepada Penguasa Semesta Alam, dan aku ingin catatan amalku disodorkan ketika aku dalam keadaan berpuasa.” Dia berkata: aku berkata: Dan aku tidak melihat engkau berpuasa sebulan sebagaimana yang engkau lakukan pada bulan Sya’ban. Beliau Saw. berkata: “Itulah bulan yang suka dilalaikan oleh manusia, di antara Rajab dan Ramadhan. Pada bulan itu catatan amal diangkat kepada Penguasa Semesta Alam, dan aku suka catatan amalku diangkat ketika aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad [22096])

Ibnu Abi Syaibah [2/514] meriwayatkan bagian akhir hadits ini saja dengan lafadz:

“Aku bertanya: Wahai Rasulullah, aku melihat engkau melakukan puasa pada bulan Sya'ban yang tidak engkau lakukan dalam bulan-bulan lainnya kecuali dalam bulan Ramadhan. Beliau Saw. berkata: “Itulah bulan yang dilalaikan oleh manusia, antara Rajab dan bulan Ramadhan diangkatlah catatan amal manusia, dan aku suka catatan amalku tidak diangkat melainkan aku dalam keadaan berpuasa.”

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum puasa pada paruh kedua (an-nishfu ats-tsani) bulan Sya’ban. Jumhur ulama membolehkan puasa tathawwu' (sunat) pada paruh kedua bulan Sya'ban, walaupun puasa di saat itu bukan kebiasaan seseorang, dan walaupun tidak bersambung dengan paruh pertama. Hal itu tidak dimakruhkan, kecuali berpuasa pada hari syak. Banyak ulama Syafi'iyah yang melarang puasa sunat pada paruh kedua bulan Sya'ban, dan larangan ini dimulai sejak tanggal 16 bulan Sya'ban. Mereka yang melarang itu telah berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-'Ala in Abdirrahman bin Ya'kub, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika telah sampai pertengahan bulan Sya'ban, maka tidak ada puasa hingga tiba bulan Ramadhan. (HR. Ibnu Majah [1651], an-Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad dan ad-Darimi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm, Tirmidzi dan Ibnu Abdil Barr.
Untuk membantahnya, kita jelaskan sebagai berikut:

1. Sesungguhnya hadits ini porosnya hanya pada al-'Ala bin Abdirrahman, selainnya tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadits ini. Al-'Ala adalah seorang yang didhaifkan oleh Ibnu Ma'in, dengan ucapannya pada satu kali: haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah; dan ucapannya di kali yang lain: sesungguhnya orang ini dhaif; dan ucapannya di kali ketiga: orang-orang senantiasa menjaga diri dari haditsnya. Abu Hatim berkata: dia seorang shalih, di mana orang-orang tsiqah meriwayatkan darinya, tetapi ada beberapa haditsnya yang diingkari. Abu Zur'ah berkata: dia itu bukan orang kuat. Abu Dawud berkata: para ahli hadits mengingkari al-‘Ala terkait hadits puasa Sya'ban. Di sisi lain dia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, an-Nasai dan Ahmad. Jadi, orang ini diperselisihkan.

2. Hadits ini didhaifkan oleh Ahmad dan Yahya bin Ma'in, tatkala keduanya mengatakan bahwa ini adalah hadits munkar. Begitu pula didhaifkan oleh al-Baihaqi, at-Thahawi, dan Abdurrahman bin Mahdi.

3. Sesungguhnya hadits ini bertentangan dengan-banyak hadits shahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. suka berpuasa pada sebagian besar bulan Sya'ban, dan beliau Saw. menyambung Sya'ban dengan Ramadhan. Sebagian besar hadits tersebut telah kami sebutkan sebelumnya, sehingga tidak ada peluang mengkompromikan antara hadits shahih tersebut dengan hadits ini.

Hadits seperti ini yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tidak disepakati ketsiqahannya, dan haditsnya menyalahi dan menyelisihi banyak hadits shahih, maka hukumnya adalah tertolak, dan tidak boleh digunakan sebagai hujjah. Dengan demikian tetaplah hukum kebolehan berpuasa sunat pada paruh kedua bulan Sya'ban, sama saja hukumnya dengan puasa pada paruh pertama. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Mengenai pendapat jumhur: “tidak dimakruhkan kecuali puasa pada hari syak”, maksudnya adalah hari yang diragukan. Namun, apakah hari itu adalah hari terakhir bulan Sya’ban, ataukah hari pertama bulan Ramadhan? Secara lebih lengkap akan kami terangkan dalam pembahasan “Puasa Pada Hari Syak” pada bab “Puasa yang Diharamkan, yang Tidak Boleh Dilakukan.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam