Puasa Dalam Berjihad
Jihad itu adalah
mercusuar Islam. Pahalanya sangat besar dan kebajikannya melimpah, sehingga
ketika dipadukan dengan puasa dengan segala bentuk kepayahan di dalamnya, maka
pahalanyapun menjadi semakin berlimpah, karena Allah Swt. menjauhkan pelakunya
dari Neraka sejauh 70 tahun.
Selain itu, menjaga
perbatasan (ar-ribath) pun termasuk bagian dari jihad
fi sabilillah, sehingga berpuasa ketika menjaga perbatasan, sama seperti
berpuasa dalam jihad fi sabilillah.
Hadits-hadits berikut
menyebutkan keutamaan puasa dalam jihad:
1. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Aku mendengar Nabi
Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah
Swt. menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun.” (HR. Bukhari [2840],
Muslim, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Ibnu Majah [1718],
an-Nasai, Tirmidzi, dan Ahmad meriwayatkan hadits ini juga dari jalur Abu
Hurairah.
Ibnu Abi Syaibah
[4/572] meriwayatkan hadits yang sama dari jalur Anas ra.
An-Nasai [2252]
meriwayatkan hadits ini dari jalur Uqbah bin Amir ra.
Sedangkan Thabrani
meriwayatkan hadits ini dalam kitab al-Mu'jam
al-Ausath [2194] dari jalur Jabir ra., dan di dalamnya ada Baqiyyah bin
al-Walid.
2. Dari Abu Darda ra., ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah Swt. akan menjadikan antara
dirinya dengan Neraka satu parit dengan lebar sejauh langit dan bumi.” (HR.
Thabrani dalam kitab al-Mu'jam as-Shagir
[449] dan al-Mu'jam al-Ausath, dengan
sanad yang dihasankan oleh al-Haitsami
dan al-Mundziri)
Tirmidzi [1674]
meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Umamah ra., dan ia berkata: ini adalah
hadits gharib.
Di sini perlu
diperhatikan, bahwa jika suatu hadits dikatakan sebagai hadits gharib, bukan berarti hadits tersebut adalah
hadits dhaif, sebagaimana disangkakan
oleh sebagian orang.
Hadits gharib itu adalah istilah hadits yang di
dalamnya tercakup hadits shahih, hasan
dan dhaif. Kadangkala dikatakan: shahih gharib,
atau hasan gharib, atau bisa juga dhaif gharib.
Hadits gharib itu adalah hadits yang diriwayatkan
seorang perawi secara menyendiri, dan perawi ini jika memiliki sifat adil dan dhabit serta tsiqah,
maka haditsnya berstatus shahih. Dan
jika perawinya jujur maka haditsnya berstatus hasan misalnya, dan jika
perawinya bercacat dalam keadilannya dan dituduh berdusta maka haditsnya
berstatus dhaif atau matruk. Begitu
seterusnya.
3. Dari Uqbah bin Amir ra., dari Rasulullah
Saw. beliau Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
berpuasa sehari di jalan Allah Swt., maka Allah Swt. akan menjauhkan Neraka
Jahanam dari dirinya sepanjang perjalanan 100 tahun.” (HR. an-Nasai [2254])
Diriwayatkan juga oleh
Abdurrazaq [9684], Thabrani dalam kitab al-Mu’jam
al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath
dari jalur Amr bin Abasah ra.
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang yang dipandang tsiqah.
Al-Mundziri berkata: sanad hadits ini tidak bermasalah.
Abdurrazaq [9683] juga
meriwayatkan dari jalur Abu Umamah ra. dengan lafadz:
“Barangsiapa yang
berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah Swt. akan menjauhkan wajahnya
dari Neraka sejauh perjalanan 100 tahun dengan memacu kuda gesit dan ramping.”
Nash-nash ini bersifat
umum untuk semua jenis puasa, sehingga mencakup puasa fardhu, juga puasa sunat.
Mengenai puasa sunat sudah sangat jelas, sedangkan puasa fardhu jika
dilaksanakan dalam perjalanan (as-safar) yang sama halnya jika dilakukan dalam jihad fi sabilillah, tidak ditentukan harus
dilaksanakan pada waktunya (adaa'an),
sehingga seseorang yang berpuasa boleh berbuka.
Nash-nash ini telah
mendorong untuk berpuasa dengan dua jenis kondisi tersebut dalam keadaan
berjihad fi sabilillah, sehingga tidak benar membatasi nash-nash tersebut hanya
untuk puasa fardhu saja.
Kata yang disebutkan
dalam hadits-hadits:
“di jalan Allah.”
Maka lafadz ini,
walaupun disebutkan dalam semua hadits tersebut, maknanya adalah jihad, yaitu
berperang melawan orang kafir. Maknanya tidak bisa dipalingkan (pada arti lain)
kecuali dengan adanya qarinah
(indikasi). Dan dalam topik yang sedang kita bahas ini tidak ada qarinah yang memalingkannya, sehingga
pengertiannya tetap pada makna asalnya, yaitu jihad:
berperang melawan (militer) orang kafir.
Sahnya Memutus Puasa Sunat
Seseorang yang
berpuasa sunat dibolehkan untuk memutuskan puasanya, kapanpun dia inginkan,
baik karena ada udzur ataupun tidak. Sebelumnya telah kami cantumkan
hadits-hadits yang menyebutkan hal itu pada pembahasan “Mengqadha Puasa Sunat”
dalam topik “Mengqadha Puasa”, di mana telah kami nyatakan saat itu: “Dengan
demikian, kebolehan memutuskan puasa sunat telah disebutkan dalam banyak
hadits, dan disebutkan oleh hadits-hadits tersebut dengan tanpa menyebutkan
udzur apapun, sehingga siapapun yang telah mengetahui hadits-hadits ini tidak
boleh mengharamkan tindakan memutuskan puasa sunat atau membatasinya dengan
suatu udzur.”
Dan jika sudi, kami
persilakan kepada para pembaca untuk menelaah pembahasan tersebut kembali.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar