Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 04 November 2017

PUASA DALAM PERJALANAN



Hukum Puasa Di Perjalanan

Sebagian besar sahabat, tabi'in dan para ulama setelahnya, di antaranya para imam yang empat, membolehkan puasa dan membolehkan berbuka dalam perjalanan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara keduanya yang lebih utama.
Abu Hanifah, Malik, as-Syafi'i, at-Tsauri, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa puasa dalam perjalanan (as-safar) itu lebih utama daripada berbuka bagi siapa saja yang kuat melakukannya dan tidak mendapatkan kesulitan karenanya. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari Anas bin Malik, Utsman bin Abil Ash, dan Hudzaifah bin al-Yaman dari kalangan sahabat ra., sebagaimana diriwayatkan pula oleh Urwah bin Zubair, Said bin Jubair, Abdullah bin Mubarak dan Ibrahim an-Nakha’i. Sedangkan Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, dan al-Auza'i berpendapat bahwa berbuka dalam perjalanan itu lebih utama daripada berpuasa, sebagai sikap mengambil rukhshah. Hal ini diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat, sebagaimana diriwayatkan pula dari Said bin al-Musayyab, Amir as-Sya’bi, dan Ibnu al-Majisyun. Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu al-Mundzir berpendapat bahwa yang paling utama adalah yang paling mudah di antara keduanya, berdasarkan firman Allah Swt.:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185)

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Hurairah dari kalangan sahabat ra., dan dari Ibnu Syihab az-Zuhri dari kalangan tabi'in, yang tidak membolehkan puasa ketika dalam perjalanan. Dan ketika seseorang berpuasa Ramadhan dalam perjalanan maka wajib baginya untuk mengqadhanya ketika sudah pulang dan bermukim di tempat asal.

Supaya menjadi jelas mana pendapat yang benar dalam masalah ini, maka kita perlu mengkaji nash-nash berikut ini:

1. Dari Aisyah ra., istri Nabi Saw.:

“Bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami berkata kepada Nabi Saw.: Apakah aku harus berpuasa ketika dalam perjalanan, sementara dia dikenal banyak berpuasa. Maka Nabi Saw. bersabda: “Jika engkau menghendaki maka silakan berpuasa, dan jika engkau menghendaki maka silakan pula engkau berbuka.” (HR. Bukhari [1943], an-Nasai, Ahmad dan ad-Darimi)

2. Dari Abu Murawih, dari Hamzah bin Amr al-Aslami ra., bahwa dia berkata:

“Wahai Rasulullah, aku mendapati dalam diri ini ada kekuatan untuk berpuasa selama dalam perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah rukhshah dari Allah. Barangsiapa yang mengambil rukhshah itu maka itu sesuatu yang baik, dan barangsiapa yang lebih suka untuk berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.” (HR. Muslim [2629], an-Nasai dan Ibnu Hibban)

3. Dari Hamzah al-Aslami ra., ia berkata:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta banyak yang harus aku urus. Aku harus melakukan perjalanan membawanya, dan mungkin bulan ini, yakni Ramadhan, akan menjumpaiku, dan aku memiliki kekuatan karena aku seseorang yang masih muda, dan berpuasa lebih mudah bagiku wahai Rasulullah daripada aku harus mengundurkannya sehingga menjadi utang. Apakah dengan berpuasa itu bagiku lebih besar pahalanya wahai Rasulullah, ataukah dengan berbuka? Beliau Saw. berkata: “(Silakan kerjakan) yang manapun yang engkau kehendaki wahai Hamzah.” (HR. Abu Dawud [2403] dan al-Hakim)

4. Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami bertanya kepada Nabi Saw., dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki yang terbiasa berpuasa terus-menerus, apakah aku mesti berpuasa ketika dalam perjalanan? Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah jika engkau menghendaki, dan berbukalah jika engkau menghendaki.” (HR. Muslim [2626], an-Nasai dan Ahmad)

5. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Kami berperang bersama Rasulullah Saw. setelah enam belas hari telah lewat dalam bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami pun ada yang berbuka. Yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka pun tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR. Muslim [26 l 5] , an-Nasai, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Hibban)

6. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Kami melakukan perjalanan bersama Nabi saw. Yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari [1947], Muslim, Abu Dawud, Malik dan al-Baihaqi)

7. Dari Abu Darda ra., ia berkata:

“Kami keluar bersama Nabi Saw. dalam sebagian perjalanannya pada hari yang panas, hingga seseorang meletakkan tangannya di atas kepala karena begitu panasnya. Dan di antara kami tidak ada yang berpuasa selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.” (HR. Bukhari [1945], Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

8. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berada dalam satu perjalanan. Lalu beliau melihat kerumunan dan seorang lelaki yang sedang diteduhi. Beliau Saw. bertanya: “Ada apa ini?” Mereka berkata: Dia sedang berpuasa. Maka beliau Saw. berkata: “Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Bukhari [1946], Muslim, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad)

An-Nasai [2260] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dari Rasulullah Saw., beliau Saw. bersabda: “Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, dan terimalah rukhshah itu.”

Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir.

Ucapan:

“Bukanlah termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.” Telah diriwayatkan pula dari jalur Abdullah bin Umar, yang ditakhrij oleh Ibnu Majah [1665], Ibnu Hibban, at-Thabrani dan at-Thahawi dengan sanad yang shahih, dan diriwayatkan pula dari jalur Kaab bin Ashim al-Asy'ari, yang ditakhrij oleh Ibnu Majah [1664], at-Thabrani, an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi dan at-Thahawi.
Ahmad [24079] dan at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Kaab dengan lafadz:

“Bukanlah termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.”

Lafadz hadits ini menggunakan dialek penduduk Yaman, karena Kaab al-Asy’ari adalah seseorang yang berasal dari Yaman, di mana penduduk Yaman mengucapkan () yang berfungsi mema'rifatkan isim sebagai pengganti (), dan dari jalur Abdullah bin Abbas ra. yang ditakhrij oleh al-Bazzar [985] dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir. Al-Haitsami berkata: para perawi hadits al-Bazzar itu adalah orang-orang yang shahih.

9. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Janganlah engkau mencela orang yang berpuasa, dan jangan pula mencela orang yang berbuka, karena sungguh Rasulullah Saw. berpuasa dalam perjalanan dan juga berbuka.” (HR. Muslim [2609], Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)

Abu Dawud at-Thayalisi [2677] meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. biasa berpuasa dalam perjalanan, dan juga biasa berbuka.”

10. Dari Abu Thu’mah, ia berkata:

“Aku berada di samping Ibnu Umar, tiba-tiba datang seorang laki-laki menemuinya dan berkata: Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya aku lebih kuat untuk berpuasa dalam perjalanan. Maka Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. berkata: “Barangsiapa yang tidak menerima keringanan yang diberikan Allah Swt. maka dosa baginya semisal gunung Arafah.” (HR. Ahmad [5392] dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dengan sanad yang dihasankan oleh al-Haitsami)

11. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Kami berperang bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak marah kepada orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak marah kepada orang yang berpuasa. Mereka memandang bahwa siapa saja yang memiliki kekuatan lalu dia berpuasa maka sesungguhnya hal itu sesuatu yang baik, dan mereka memandang bahwa siapa yang mendapati kelemahan lalu dia berbuka maka sesungguhnya hal itu pun sesuatu yang baik.” (HR. Muslim [2618], Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

12. Dari Qaza’ah, dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah Saw. ke Makkah dalam keadaan berpuasa. Dia berkata: Lalu kami singgah di satu tempat. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kalian telah mendekati (posisi) musuh kalian, dan berbuka itu lebih kuat (dorongannya) bagi kalian. Sehingga berbuka saat itu menjadi satu keringanan. Maka dari kami ada yang berpuasa, ada pula yang berbuka. Kemudian kami singgah lagi di tempat lain, maka beliau Saw. bersabda: Esok pagi kalian akan berada di tengah-tengah musuh kalian, dan berbuka itu lebih kuat (dorongannya) bagi kalian maka berbukalah. Dan berbuka saat itu menjadi satu ketetapan. Maka kami pun berbuka. Kemudian dia berkata: Sungguh aku melihat kami berpuasa setelah itu bersama Rasulullah Saw. dalam perjalanan.” (HR. Muslim [2624], Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan at-Thahawi)

13. Dari Anas ra., ia berkata:

“Kami bersama Nabi Saw. dalam satu perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa ada juga yang berbuka. Dia berkata: Lalu kami singgah di satu tempat pada hari yang sangat panas. Sebagian besar dari kami bernaung dengan kain, dan di antara kami ada yang berlindung dari terik matahari dengan tangannya. Dia berkata: Lalu orang-orang yang berpuasa duduk berjatuhan (banyak istirahat dalam perjalanan karena lemah), sedangkan yang berbuka tetap berdiri. Kemudian mereka mendirikan tenda dan memberi minum hewan tunggangan. Maka Rasulullah Saw. berkata:

“Orang-orang yang berbuka pada hari ini telah membawa pergi semua pahala.” (HR. Muslim [2622], an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

14. Dari Ibnu Umar ra., dari Rasulullah Saw., beliau Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt. mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia mencintai ketetapannya ditunaikan.” (HR. Ibnu Hibban [3568], al-Bazzar dan at-Thabrani)

Ibnu Hibban dan Ahmad meriwayatkan hadits ini juga dengan redaksi:

“Sesungguhnya Allah Swt. mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia membenci perbuatan maksiat kepada-Nya dijalani.”

15. Dari Abu Umayyah ad-Dhamri ra., ia berkata:

“Aku datang menemui Rasulullah Saw. sepulang dari perjalanan. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya. Ketika hendak pergi keluar, beliau Saw. berkata: “Tunggulah sejenak menanti hidangan wahai Abu Umayyah.” Aku berkata: Sesungguhnya aku berpuasa wahai Nabiyallah. Beliau berkata: “Kemarilah, aku beritahu engkau sesuatu terkait seorang musafir (orang yang melakukan perjalanan). Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat kewajiban puasa dan setengah shalat dari seorang musafir.” (HR. anNasai [2269], Bukhari dalam kitab at-Tarikh, ad-Darimi dan at-Thahawi)

Dan hadits dari jalur Anas bin Malik al-Ka'bi ra., yang diriwayatkan Abu Dawud [2408], an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Tirmidzi disebutkan dengan redaksi:

“Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat kewajiban separuh atau setengah shalat dan puasa dari seorang musafir, dan dari wanita yang menyusui atau wanita hamil. Demi Allah, beliau Saw. mengucapkan keduanya seluruhnya atau salah satunya.”

Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi.

Dan redaksi hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasai [2274] berbunyi:

“Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat kewajiban dari seorang musafir setengah shalat dan puasa, dan dari wanita yang menyusui serta wanita hamil.”

Maka saya bisa jelaskan sebagai berikut:

Sesungguhnya orang yang mencermati nash-nash ini bisa memahami dengan jelas, bahwa berpuasa dalam perjalanan sebanding atau senilai dengan berbuka, tanpa ada kelebihan apapun pada salah satu dari keduanya. Rasulullah Saw. telah menerangkan kesamaan atau kesetaraan ini dalam banyak nash, walaupun berbagai macam pertanyaan diarahkan kepada beliau Saw., atau dalam berbagai kondisi dan keadaan. Semua itu menegaskan kesetaraan penuh antara berbuka dan berpuasa dalam perjalanan. Hadits yang pertama menyebutkan:

“Jika engkau menghendaki maka silakan berpuasa, dan jika engkau menghendaki maka silakan pula engkau berbuka.”

Hadits yang kedua menyebutkan:

“Ini adalah rukhshah dari Allah. Barangsiapa yang mengambil rukhshah itu, maka itu sesuatu yang baik, dan barangsiapa yang lebih suka untuk berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.”

Hadits ketiga menyebutkan:

“(Silakan kenakan) yang manapun yang engkau kehendaki wahai Hamzah.”

Hadits kesepuluh menyebutkan:

“Barangsiapa yang tidak menerima keringanan yang diberikan Allah Swt. maka dosa baginya semisal gunung Arafah.”

Hadits kesebelas menyebutkan:

“Mereka memandang bahwa siapa saja yang memiliki kekuatan lalu dia berpuasa, maka hal itu sesuatu yang baik, dan mereka memandang bahwa siapa yang mendapati kelemahan lalu dia berbuka, maka hal itu pun sesuatu yang baik.”

Hamzah al-Aslami ra. melontarkan pertanyaan-pertanyaan dengan beberapa redaksi: dalam hadits yang pertama pertanyaannya bersifat umum, dan jawaban yang diberikan menunjukkan kesetaraan penuh (antara berbuka dan berpuasa).
Dan dalam hadits kedua, pertanyaan yang dilontarkan berbunyi:

“Wahai Rasulullah, aku mendapati dalam diri ini kekuatan untuk berpuasa selama dalam perjalanan, apakah aku berdosa?”

Seolah-olah dia (Hamzah) ingin mengutamakan puasa daripada berbuka, walaupun begitu, jawaban yang diberikan tetap menunjukkan kesamaan nilai antara berpuasa dan berbuka.
Dan dalam hadits ketiga ditemukan ucapan:

“Dan aku memiliki kekuatan karena aku seseorang yang masih muda, dan berpuasa lebih mudah bagiku wahai Rasulullah daripada aku harus mengundurkannya sehingga menjadi utang.”

Hamzah menambah penjelasan keinginannya untuk lebih mengutamakan berpuasa, walaupun begitu, jawabannya tetap menunjukkan kesamaan antara berpuasa dengan berbuka.
Dalam hadits keempat, Hamzah menyampaikan alasan yang baru, mengapa dia lebih mengutamakan puasa daripada berbuka, dia berkata:

“Sesungguhnya aku seorang lelaki yang terbiasa berpuasa terus-menerus.”

Dan tidak ada yang terlontar dari mulut beliau Saw. sebagai jawabannya selain:

“Berpuasalah jika engkau menghendaki, dan berbukalah jika engkau menghendaki.”

Semua ini tiada lain menunjukkan bahwa berpuasa dalam perjalanan (as-safar) itu senilai pahala dan keutamaannya dengan berbuka, satu sama lain tidak memiliki kelebihan satu derajat pun. Dan perhatikan dalam nash-nash lainnya, niscaya Anda akan mendapati bahwa kesamaan nilai di antara keduanya tetap ada.

Dengan demikian, jelaslah kebolehan berpuasa dan berbuka -dalam perjalanan- dalam derajat yang sama, tanpa ada kelebihan antara yang satu dengan lainnya.
Berdasarkan penjelasan ini pula, jelaslah kesalahan orang yang melebihkan nilai berpuasa daripada berbuka dalam perjalanan, dan salah pula orang yang mengutamakan berbuka daripada berpuasa dalam perjalanan. Lebih jelas lagi kesalahan orang yang tidak membolehkan berpuasa dalam perjalanan, dan berpendapat bahwa orang yang berpuasa dalam perjalanan harus mengqadha puasanya.

Bagaimana kita menginterpretasikan ucapan Rasulullah Saw.:

“Bukan termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.”

Bukankah ucapan tersebut menunjukkan keutamaan berbuka? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa diberikan dari beberapa hal:

Pertama: perintah untuk melakukan satu perbuatan, tidak secara otomatis berarti larangan dari sesuatu yang sebaliknya; atau larangan dari satu perbuatan tidak secara otomatis berarti perintah untuk melakukan hal sebaliknya. Di sini kami katakan, bahwa penafian kebajikan dari berpuasa dalam perjalanan tidak berarti bahwa kebajikan itu hanya bisa diraih dengan berbuka.

Kedua: agar kita mampu menjawab pertanyaan ini, kita harus mengetahui pengertian kebajikan (al-birr) menurut bahasa dan syariat. Para ahli bahasa berbeda pendapat seperti halnya para fukaha dalam menentukan makna al-birr. As-Syafi'i berkata: mungkin maksudnya bukanlah kebajikan yang diwajibkan, di mana orang yang menyalahinya berdosa. Dalam hadits ini bisa dipahami, kebajikan itu dinafikan dari orang yang enggan menerima rukhshah. An-Nasai [2260] telah meriwayatkan hadits dengan lafadz:

“Bukan termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, dan terimalah rukhshah itu.”

At-Thahawi berkata: kebajikan (al-birr) di sini adalah kebajikan yang sempurna, yang memiliki kedudukan tertinggi. Sehingga maksud hadits ini bukan mengeluarkan berpuasa dalam perjalanan dari kategori kebajikan. Sebagian mereka berkata: kebajikan adalah segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla. Al-Birr (kebajikan) kadangkala ditafsirkan sebagai as-shidqu (kejujuran), di antaranya ada ungkapan: al-birru fil yamiin, yakni memenuhi sumpah dan tidak melanggarnya. Bisa juga ditafsirkan sebagai at-tha'ah (ketaatan), di antaranya ada ungkapan birr al-walidain yakni mentaati keduanya. Bisa juga diartikan sebagai as-shalah (kelayakan) atau al-khair (kebaikan).
Dengan demikian, kata al-birr ini merupakan kata yang memiliki beberapa arti, yang semua itu bisa dicakup dengan satu kata: al-khair (kebaikan). Al-Birr (kebajikan) itu adalah sesuatu yang baik (khair), dan sesuatu yang baik itu (al-khoir) agar sesuai dengan syariat maka harus dituntut dan diperintahkan oleh syariat, di mana perintahnya bisa bersifat tegas (al-amr al-jazim) sehingga hukumnya menjadi fardhu; bisa pula perintahnya tidak bersifat tegas (ghair al-jazim) sehingga hukumnya mandub.
Kebajikan atau kebaikan itu tidak keluar dari dua kondisi ini, sehingga al-birr (kebajikan) ataupun al-khair (kebaikan) tidak mungkin berasal dari sesuatu yang dibolehkan (min al-mubahat), di mana antara melakukan dan meninggalkannya memiliki nilai yang sama, dan tidak ada pahala atau dosa di dalamnya, sehingga al-birr (kebajikan) itu tidak ada kecuali dalam perbuatan yang difardhukan dan disunatkan saja, lain tidak. Begitulah makna al-birr yang harus dipahami dari hadits ini.
Pengertiannya adalah bahwa puasa dalam perjalanan itu tidak difardhukan dan juga tidak disunatkan atas kalian, nilainya sama dengan tidak berpuasa dalam perjalanan, dan inilah makna yang berulang-ulang ditunjukkan dalam beberapa hadits yang telah kami utarakan sebelumnya.

“Berpuasalah jika engkau menghendaki, dan berbukalah jika engkau menghendaki.”

Yakni, termasuk pilihan yang mubah yang memiliki nilai sama antara melakukan dan meninggalkannya.

Sehingga siapa saja yang menghendaki dia boleh berpuasa, dan siapa yang menghendaki dia boleh berbuka. Pengertian ini bisa dijalin oleh hadits-hadits di atas, di antaranya dengan ucapan:

“Bukan termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.”

Sehingga maknanya adalah: bukan sesuatu yang diwajibkan dan bukan pula sesuatu yang disunahkan berpuasa dalam perjalanan.
Pengertian ini pula yang dikandung oleh ucapan beliau Saw. dalam hadits poin 15:

“Kemarilah, aku beritahu engkau sesuatu terkait seorang musafir (orang yang melakukan perjalanan). Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat kewajiban puasa dan setengah shalat dari seorang musafir”

Yaitu tidak memerintahkannya, dan menjadikan puasa atau tidak puasa termasuk pilihan yang dibolehkan, yang sama saja nilainya.
Ketika dalam perjalanan di bulan Ramadhan, seseorang yang memilih untuk tidak puasa, tetap wajib mengerjakan puasa itu (mengqadha) di luar Ramadhan.

Begitulah, kami telah mengkompromikan semua hadits di atas, dan mengkompromikan di antara hadits-hadits itu lebih utama daripada mengabaikan salah satunya, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul.

Tinggallah kini pertanyaan: bagaimana kita menginterpretasikan hadits nomor 8:

“Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, maka terimalah rukhshah itu.”

Dan hadits nomor 10:

“Barangsiapa yang tidak menerima keringanan yang diberikan Allah Swt., maka dosa baginya semisal gunung Arafah.”

Bukankah kedua hadits ini menunjukkan perintah untuk berbuka, dan bahwa berbuka itu lebih utama daripada berpuasa?

Jawabannya: sesungguhnya hal itu adalah perintah untuk menerima rukhshah, bukan perintah untuk berbuka. Kedua perkara ini berbeda. Yang dimaksud dengan menerima rukhshah di sini adalah meninggalkan sikap menetapi puasa dalam perjalanan, baik puasa wajib ataupun puasa sunah, dan rukhshah itu telah didatangkan untuk menghilangkan sikap menetapinya (al-iltizam), dan menjadikan puasa dalam wilayah yang dibolehkan. Hadits pada poin 8 jelas menunjukkan apa yang saya katakan, di mana beliau Saw. berkata:

“Bukan termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, dan terimalah rukhshah itu.”

Pengertiannya adalah bahwa berpuasa dalam perjalanan ini bukanlah sesuatu yang difardhukan atau disunatkan, setelah sebelumnya seperti itu, karena termasuk rukhshah dari Allah Swt., sehingga inilah yang harus diucapkan dan diamalkan, serta meninggalkan sikap menetapi sesuatu yang wajib atau sunah yang semula dilakukan sebelum ada rukhshah.
Hadits poin 10 menunjukkan pengertian yang sama, yakni peringatan keras bagi siapa saja yang bersikeras mengatakan wajibnya atau mandubnya berpuasa dalam perjalanan, seraya tidak mau mengambil rukhshah Allah Swt. yang telah menasakh kewajiban atau kemanduban tersebut. Dua hadits ini, yakni poin 8 dan 10, saling menguatkan dengan hadits-hadits lain sebelumnya, yang memberikan pilihan kepada seorang Muslim antara berpuasa dan berbuka dalam perjalanan. Inilah yang dipahami oleh para sahabat ra., sebagaimana bisa dipahami dari hadits nomor 5:

“Yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.”

Dan hadits nomor 6:

“Yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.”

Hadits nomor 9:

“Janganlah engkau mencela orang yang berpuasa, dan jangan pula mencela orang yang berbuka.”

Serta hadits nomor 11:

“Di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak marah kepada orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak marah kepada orang yang berpuasa.”

Adapun hadits nomor 14:

“Sesungguhnya Allah Swt. mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia mencintai ketetapannya ditunaikan.”

Seperti hadits-hadits lain sebelumnya, hadits ini menunjukkan adanya kesamaan, yakni kesamaan nilai antara berpuasa dan berbuka:

“Mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia mencintai ketetapannya ditunaikan.”

Rukhshah ini dicintai dengan nilai kecintaan yang sama terhadap 'azimah, tidak ada kelebihan satu sama lain, sehingga hadits ini menopang dan menguatkan hadits-hadits lain sebelumnya yang menyatakan kesetaraan dan kesamaan nilai antara berpuasa dan berbuka dalam perjalanan.

Dalam hadits ini terdapat nuktah (titik hitam di atas warna putih), yang menurut saya tidak akan samar di hadapan banyak orang, yakni bahwa Allah Swt. ketika memberikan pilihan di antara dua perkara, dan memasukkan keduanya dalam wilayah yang dibolehkan, maka hal itu tidak berarti bahwa seseorang boleh memilih salah satunya selamanya (secara terus-menerus) dan meninggalkan yang lainnya secara terus-menerus pula, walaupun hal itu boleh-boleh saja. Namun, yang sebenarnya, Allah Swt. menyukai orang itu melakukan dua perkara tersebut secara bergantian. Suatu saat melakukan yang ini, sedangkan kali yang lain melakukan yang itu. Dan hadits ini menggunakan kata yuhibbu (Dia mencintai), di mana kecintaan ini tidak sampai pada derajat fardhu dan keharusan.
Dengan kata lain, bahwa dari seorang Muslim telah diangkat kefardhuan dan kemanduban berpuasa dalam perjalanan, tidak berarti dia harus tidak berpuasa dalam perjalanan secara terus-menerus atau berbuka dalam perjalanan secara terus-menerus. Hadits ini semata-mata memberikan pengertian bahwa pilihan yang dicintai Allah Swt. adalah: hendaknya seseorang melakukan hal itu sekali atau beberapa kali, dan melakukan yang ini sekali atau beberapa kali, tidak menetapinya dan juga tidak mengharuskannya, sehingga perkara ini tetap menjadi pilihan, baik secara de jure ataupun de facto.
Inilah pengertian yang juga ditunjukkan oleh hadits nomor 7:

“Dan di antara kami tidak ada yang berpuasa, selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.”

Dan hadits nomor 9:

“Sungguh Rasulullah Saw. berpuasa dalam perjalanan dan juga berbuka.”

Beliau Saw. yang menyampaikan kepada kita bahwa Allah azza wa jalla suka untuk memberi pilihan-pilihan di atas, dan beliau Saw. telah melakukan sesuatu berdasarkan hal itu. Beliau Saw. berpuasa dan berbuka, dengan tanpa menetapi atau mengharuskan diri dengan salah satu dari keduanya.

Sekarang kita tinggal membedah dua hadits, yakni hadits 12 dan 13.

Hadits Nomor 12
Rasulullah Saw. berpuasa, padahal beliau Saw. sedang melakukan perjalanan dari Madinah ke Makkah, dan para sahabatnya juga berpuasa. Ketika posisi mereka sudah dekat dengan musuh, Rasulullah Saw. mengingatkan para sahabat akan rukhshah Allah Swt. yang menyamakan antara berpuasa dan berbuka. Beliau Saw. mengingatkan mereka kepada sesuatu yang menyamai puasa, yakni berbuka, dan menjelaskan kepada mereka bahwa berbuka itu lebih kuat tuntutannya kepada mereka, karena kondisi mereka adalah kondisi siap-siap berperang. Sedangkan yang dibutuhkan mereka dalam peperangan adalah menyiapkan kekuatan, yang di antaranya adalah kekuatan badan, tetapi dengan tanpa memerintahkan mereka untuk berbuka. Beliau Saw. hanya cukup dengan mengingatkan saja.
Inilah hukum syara dalam kondisi dan keadaan lainnya yang semisal, yakni bahwa seseorang yang berpuasa dalam perjalanan (safar), jika merasa lemah maka lebih cenderung untuk memilih berbuka, dan jika memiliki kekuatan maka dia boleh berpuasa. Tanpa hal itu, maka tidak bisa disebut telah mengambil rukhshah, yang memberikan pengertian adanya kesamaan di antara dua perkara ini.

Tatkala sebentar lagi akan berperang tanding melawan musuh, di mana perang melawan musuh itu memerlukan kekuatan badan, maka beliau Saw. memerintahkan para sahabat untuk mempersiapkan kekuatan ini, dengan memerintahkan mereka untuk berbuka, sehingga di sini berbuka bagi mereka menjadi sesuatu yang wajib, dan perkara tersebut (yakni berbuka), sepenuhnya berada di luar konteks kesetimbangan nilai (antara berbuka dan berpuasa), karena mempersiapkan kekuatan untuk berperang itu sesuatu yang wajib, sehingga berbuka saat itu pun menjadi wajib. Dan akhirnya, seluruh sahabat berbuka untuk mengikuti dan menetapi hukum syara dalam kondisi ini.
Namun, kondisi ini tidak menghilangkan hukum kesetimbangan dan kesamaan nilai antara berpuasa dan berbuka dalam perjalanan. Perkara ini adalah masalah lain, yang berkaitan dengan peperangan, dan apa yang harus dilakukan oleh seorang pejuang yang sedang berjihad (al-mujahid) pada saat itu, sehingga dalam hadits ini tidak ada dilalah apapun yang melebihutamakan berbuka daripada berpuasa dalam perjalanan.

Hadits Nomor 13
Rasulullah Saw. melakukan perjalanan bersama para sahabat ra. Di antara mereka ada yang berpuasa dan ada pula yang berbuka di hari yang sangat panas. Ini perkara alami dan menunjukkan sikap mengambil rukhshah. Di sini beliau Saw. tidak melarang para sahabat yang berpuasa dan staminanya lebih lemah daripada yang tidak berpuasa.

Hadits yang kedua menyebutkan:

“Barangsiapa yang mengambil rukhshah itu, maka itu sesuatu yang baik, dan barangsiapa yang lebih suka untuk berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.”

Hadits yang ketujuh: Dari Abu Darda ra., ia berkata:

“Kami keluar bersama Nabi Saw. dalam sebagian perjalanannya pada hari yang panas, hingga seseorang meletakkan tangannya di atas kepala karena begitu panasnya. Dan di antara kami tidak ada yang berpuasa selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.” (HR. Bukhari [1945], Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Di sini beliau Saw. tidak melarang Ibnu Rawahah yang berpuasa pada hari yang sangat panas.

Ucapan beliau Saw. dalam hadits ke-13:

“Orang-orang yang berbuka pada hari ini telah membawa pergi semua pahala.”

Jika kita bisa melihat bahwa orang-orang yang berbuka itulah yang membangun tenda, dan mereka juga yang memberi minum hewan tunggangan -di mana dua perbuatan tersebut termasuk ibadah dan ketaatan pada Allah Swt.- maka kita bisa mengetahui dilalah ucapan Nabi Saw. bahwa orang yang berbuka hari itu telah membawa semua pahala, karena mengambil rukhshah lalu pahala membangun tenda serta pahala memberi minum hewan tunggangan.
Dengan demikian, jelas bahwa hadits-hadits ini saling menguatkan dan selaras seluruhnya dengan pendapat bahwa berpuasa dalam perjalanan itu, sama seperti halnya berbuka. Satu sama lain berderajat sama, tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lain.

(Pembahasan) Dalil-Dalil Mereka yang Mengatakan Wajibnya Berbuka Ketika Dalam Perjalanan

Sekarang kita menelaah berbagai dalil dan syubhat yang dilontarkan mereka yang mewajibkan berbuka, dan tidak membolehkan berpuasa dalam perjalanan:

1. Allah Swt. berfirman:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (TQS. al-Baqarah [2]: 184)

2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar pada tahun penaklukkan (fathu Makkah), lalu beliau Saw. berpuasa, dan orang-orang pun berpuasa hingga sampai di al-Kadid. Kemudian beliau berbuka, dan orang-orang pun berbuka. Mereka berpegang pada sesuatu yang paling baru, sedangkan yang paling baru itu berasal dari perbuatan Rasulullah Saw.” (HR. ad-Darimi [1709], Muslim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Abi Syaibah)

Al-Kadid bisa dibaca juga Kudaid, adalah mata air dengan jarak 48 mil dari Makkah, terletak antara Makkah dan Qudaid.

3. Dari Jabir bin Abdillah:

“Bahwa Rasulullah Saw. pada tahun penaklukkan berangkat ke Makkah pada bulan Ramadhan, lalu beliau Saw. berpuasa hingga tiba di Kuraa' al-Ghamim (satu lembah di dekat 'Ushfan) dan orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau Saw. meminta satu wadah berisi air lalu mengangkatnya hingga orang-orang bisa melihatnya. Setelah itu beliau Saw. minum, lalu beliau diberitahu bahwa sebagian orang tetap berpuasa. Maka beliau berkata: “Mereka adalah orang-orang yang durhaka, mereka adalah orang-orang yang durhaka.” (HR. Muslim [2610], Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

An-Nasai [2263], Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dan orang-orang pun berpuasa, lalu beliau Saw. diberitahu bahwa orang-orang merasa kepayahan berpuasa. Maka beliau Saw. meminta satu wadah berisi air setelah ashar, lalu beliau Saw. minum dan orang-orang melihatnya.”

Dalam riwayat Muslim [2611] yang kedua, disebutkan dengan redaksi:

“Lalu dikatakan kepada beliau Saw. bahwa orang-orang merasa kepayahan berpuasa, dan mereka hanya mengikuti apa yang engkau lakukan. Setelah itu beliau Saw. meminta satu wadah berisi air setelah ashar.”

4. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berada dalam satu perjalanan, lalu beliau Saw. melihat satu kerumunan dan seorang laki-laki sedang dinaungi. Beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka berkata: Dia sedang berpuasa. Maka beliau Saw. berkata: “Bukanlah satu kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Bukhari [1946], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, ad-Darimi dan Ahmad)

5. Dari Abdurrahman bin Auf ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Seseorang yang berpuasa Ramadhan dalam perjalanan itu seperti orang yang berbuka saat dia bermukim (tidak melakukan perjalanan).” (HR. Ibnu Majah [1666])
An-Nasai [2284] meriwayatkan hadits ini secara mauquf.
Kedua riwayat hadits ini munqathi'.

6. Dari Anas bin Malik al-Ka’bi, ia berkata:

“Aku mendatangi Rasulullah Saw. ...dan beliau Saw. sedang makan, lalu beliau Saw. mengajakku makan, tetapi aku berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Maka beliau Saw. berkata: “Mendekatlah, aku beritahu engkau sesuatu tentang itu. Sesungguhnya Allah mengangkat kewajiban puasa dan setengah shalat dari seorang musafir.” (HR. an-Nasai [2276], Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)

Tirmidzi meriwayatkan juga hadits ini dan menghasankannya. Lihat kembali nomor 15 sebelumnya.

Berdasarkan ayat di atas, mereka berkata: pengertian iddah: yang wajib atas seorang musafir itu adalah mengganti. Ayat ini menunjukkan bahwa seorang musafir itu berbuka dan menggantinya di hari yang lain, dan di dalamnya tidak disebutkan kata puasa. Maka saya katakan: taqdirnya adalah: berbukalah dan gantilah, dan ayat ini memiliki ungkapan sangat umum, tetapi tidak datang untuk menafikan puasa dan membatasi hanya pada berbuka saja, serta tidak ada dilalah apapun atas apa yang mereka katakan.

Adapun hadits nomor 2 maka ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama berasal dari perkataan Ibnu Abbas:

“Rasulullah Saw. keluar pada tahun penaklukkan (fathu Makkah) lalu beliau Saw. berpuasa dan orang-orang pun berpuasa hingga sampai di al-Kadid. Kemudian beliau berbuka dan orang-orang pun berbuka.”

Dalam teks hadits ini tidak ada dilalah apapun yang menunjukkan sesuatu yang mereka katakan. Justru bersesuaian dengan banyak dalil yang sebelumnya telah kami sebutkan, khususnya yang tercantum dalam hadits poin 9 sebelumnya.

Adapun bagian kedua:

“Mereka berpegang pada sesuatu yang paling baru, sedangkan yang paling baru itu berasal dari perbuatan Rasulullah Saw.”
Ini adalah ucapan Ibnu Syihab az-Zuhri, yang diselipkan dalam hadits itu, sebagaimana telah dipastikan oleh Bukhari dalam bab tentang jihad: “Ini adalah ucapannya, dan hal itu merupakan sesuatu yang lain dari dua perkara tersebut.”
Begitu pula ditemukan tambahan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, sebagai sesuatu yang diselipkan (al-mudraj). Kemudian, diceritakan bahwa Nabi Saw. berpuasa seusai kisah ini, sebagaimana diceritakan dalam hadits poin 12 sebelumnya:

“Sungguh aku melihat kami berpuasa setelah itu bersama Rasulullah Saw. dalam perjalanan.”
Tambahan ini berasal dari ucapan az-Zuhri, dan ucapan az-Zuhri tidak bisa menjadi dalil.
Setelah meriwayatkan hadits ini, Ibnu Khuza'imah [2035] menyatakan: “Sufyan berkata: Aku tidak mengetahui apakah ini berasal dari ucapan Ibnu Abbas, ucapan Ubaidillah, ataukah berasal dari ucapan az-Zuhri.” Asal-muasal tambahan tersebut diragukan, tambahan tersebut menyalahi hadits nomor 12 dari jalur Abu Said al-Khudri ra. yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya, sehingga tambahan ini tidak boleh menjadi bahan pertimbangan.

Hadits ketiga:

“Mereka adalah orang-orang yang durhaka, mereka adalah orang-orang yang durhaka.”

Perang melawan musuh itu memerlukan kekuatan badan, maka beliau Saw. memerintahkan para sahabat untuk berbuka dalam perjalanan itu, sebab ketika puasa itu telah menyulitkan mereka, dan ketika timbul kesusahan (al-masyaqqah) dalam kondisi itu, maka rukhshah harus diambil.

Mengenai hadits keempat:

“Bukanlah satu kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.” Hal ini telah kami jelaskan dilalah dan maknanya secara lengkap sebelumnya, dan kami tidak perlu mengulangnya lagi.

Hadits kelima:

“Seseorang yang berpuasa Ramadhan dalam perjalanan itu seperti orang yang berbuka saat dia bermukim (tidak melakukan perjalanan).”
Statusnya sama, baik yang marfu' maupun yang mauquf, sama-sama sebagai hadits munqathi', di mana Abu Salamah bin Abdurrahman tidak pernah mendengar sesuatupun dari ayahnya. Hal ini dikatakan oleh Yahya bin Ma'in dan Bukhari. Selain sanadnya terputus, Ibnu Majah menyandarkan hadits ini pada seorang perawi bernama Usamah bin Zaid yang disepakati kedhaifannya. Abu Ishaq berkata: hadits ini tidak bernilai apapun. Dengan demikian, hadits ini sangat lemah sehingga harus ditinggalkan.

Adapun hadits keenam:

“Sesungguhnya Allah mengangkat kewajiban puasa dan setengah shalat dari seorang musafir.”

Sebelumnya telah kami jelaskan pula dilalah dan makna hadits ini, dan kami tidak memandang perlu untuk mengulangnya kembali. Dengan demikian, jelaslah bahwa apa yang mereka sebut sebagai dalil, pada faktanya tidak menunjukkan pada apa yang mereka katakan.

Apa yang dipandang oleh banyak orang dengan mengutamakan puasa daripada berbuka, dan sebagian lagi dengan mengutamakan berbuka daripada berpuasa, maka setiap kelompok dari keduanya telah mengambil hadits-hadits di atas yang dipandangnya menunjukkan dan memperkuat pandangannya, tanpa berupaya keras untuk mengkaji hadits-hadits tersebut seluruhnya. Misalnya: banyak orang berkata bahwa berbuka itu lebih utama untuk mengamalkan rukhshah yang disebutkan dalam beberapa hadits dan mengamalkan ucapan: bukanlah termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan. Sedangkan yang lain berkata: sesungguhnya berpuasa itu lebih utama, dengan berpegang pada akhir hadits nomor 7 yang sebelumnya telah kami sebutkan:

“Dan di antara kami tidak ada yang berpuasa, selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.”

Dan hadits nomor 12 yang lalu juga:

“Sungguh aku melihat kami berpuasa setelah itu bersama Rasulullah Saw. dalam perjalanan.”

Serta riwayat yang kami jelaskan sebelumnya:

“Mereka berpegang pada sesuatu yang paling baru, sedangkan yang paling baru itu berasal dari perbuatan Rasulullah Saw.”

Ijtihad seperti itu tidak sah, bahkan tidak boleh. Apabila sang mujtahid melakukannya dengan tanpa melihat seluruh nash yang ada dan meletakkan seluruhnya dalam satu akar pembahasan, dia tidak diperkenankan mengambil sebagian nash yang selaras dan menunjukkan pandangannya, seraya meninggalkan nash lain.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam