Hukum Puasa Di Perjalanan
Sebagian besar
sahabat, tabi'in dan para ulama setelahnya, di antaranya para imam yang empat,
membolehkan puasa dan membolehkan berbuka dalam perjalanan. Akan tetapi, mereka
berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara keduanya yang lebih utama.
Abu Hanifah, Malik,
as-Syafi'i, at-Tsauri, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa puasa dalam perjalanan
(as-safar) itu lebih utama daripada berbuka bagi siapa saja yang kuat
melakukannya dan tidak mendapatkan kesulitan karenanya. Pendapat ini
diriwayatkan berasal dari Anas bin Malik, Utsman bin Abil Ash, dan Hudzaifah
bin al-Yaman dari kalangan sahabat ra., sebagaimana diriwayatkan pula oleh
Urwah bin Zubair, Said bin Jubair, Abdullah bin Mubarak dan Ibrahim an-Nakha’i.
Sedangkan Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, dan al-Auza'i berpendapat bahwa berbuka
dalam perjalanan itu lebih utama daripada berpuasa, sebagai sikap mengambil rukhshah. Hal ini diriwayatkan berasal dari
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat, sebagaimana diriwayatkan pula
dari Said bin al-Musayyab, Amir as-Sya’bi, dan Ibnu al-Majisyun. Umar bin Abdul
Aziz dan Ibnu al-Mundzir berpendapat bahwa yang paling utama adalah yang paling
mudah di antara keduanya, berdasarkan firman Allah Swt.:
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185)
Diriwayatkan dari Umar
bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Hurairah dari
kalangan sahabat ra., dan dari Ibnu Syihab az-Zuhri dari kalangan tabi'in, yang
tidak membolehkan puasa ketika dalam perjalanan. Dan ketika seseorang berpuasa
Ramadhan dalam perjalanan maka wajib baginya untuk mengqadhanya ketika sudah
pulang dan bermukim di tempat asal.
Supaya menjadi jelas
mana pendapat yang benar dalam masalah ini, maka kita perlu mengkaji nash-nash
berikut ini:
1. Dari Aisyah ra., istri Nabi Saw.:
“Bahwa Hamzah bin Amr
al-Aslami berkata kepada Nabi Saw.: Apakah aku harus berpuasa ketika dalam
perjalanan, sementara dia dikenal banyak berpuasa. Maka Nabi Saw. bersabda:
“Jika engkau menghendaki maka silakan berpuasa, dan jika engkau menghendaki
maka silakan pula engkau berbuka.” (HR. Bukhari [1943], an-Nasai, Ahmad dan
ad-Darimi)
2. Dari Abu Murawih, dari Hamzah bin Amr
al-Aslami ra., bahwa dia berkata:
“Wahai Rasulullah, aku
mendapati dalam diri ini ada kekuatan untuk berpuasa selama dalam perjalanan,
apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah rukhshah dari Allah. Barangsiapa yang
mengambil rukhshah itu maka itu sesuatu
yang baik, dan barangsiapa yang lebih suka untuk berpuasa maka tidak ada dosa
atasnya.” (HR. Muslim [2629], an-Nasai dan Ibnu Hibban)
3. Dari Hamzah al-Aslami ra., ia berkata:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta banyak yang harus aku urus. Aku
harus melakukan perjalanan membawanya, dan mungkin bulan ini, yakni Ramadhan,
akan menjumpaiku, dan aku memiliki kekuatan karena aku seseorang yang masih
muda, dan berpuasa lebih mudah bagiku wahai Rasulullah daripada aku harus
mengundurkannya sehingga menjadi utang. Apakah dengan berpuasa itu bagiku lebih
besar pahalanya wahai Rasulullah, ataukah dengan berbuka? Beliau Saw. berkata:
“(Silakan kerjakan) yang manapun yang engkau kehendaki wahai Hamzah.” (HR. Abu
Dawud [2403] dan al-Hakim)
4. Dari Aisyah ra.:
“Bahwa Hamzah bin Amr
al-Aslami bertanya kepada Nabi Saw., dia berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku seorang lelaki yang terbiasa berpuasa terus-menerus, apakah
aku mesti berpuasa ketika dalam perjalanan? Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah
jika engkau menghendaki, dan berbukalah jika engkau menghendaki.” (HR. Muslim
[2626], an-Nasai dan Ahmad)
5. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Kami berperang
bersama Rasulullah Saw. setelah enam belas hari telah lewat dalam bulan
Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami pun ada yang
berbuka. Yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka pun
tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR. Muslim [26 l 5] , an-Nasai, Tirmidzi,
Ahmad dan Ibnu Hibban)
6. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Kami melakukan
perjalanan bersama Nabi saw. Yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka,
dan yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari [1947],
Muslim, Abu Dawud, Malik dan al-Baihaqi)
7. Dari Abu Darda ra., ia berkata:
“Kami keluar bersama
Nabi Saw. dalam sebagian perjalanannya pada hari yang panas, hingga seseorang
meletakkan tangannya di atas kepala karena begitu panasnya. Dan di antara kami
tidak ada yang berpuasa selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.” (HR. Bukhari [1945],
Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
8. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berada dalam satu perjalanan. Lalu beliau melihat kerumunan dan seorang lelaki
yang sedang diteduhi. Beliau Saw. bertanya: “Ada apa ini?” Mereka berkata: Dia
sedang berpuasa. Maka beliau Saw. berkata: “Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa
dalam perjalanan.” (HR. Bukhari [1946], Muslim, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad)
An-Nasai [2260]
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Dari Rasulullah Saw.,
beliau Saw. bersabda: “Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.
Kalian harus mengambil rukhshah yang
diberikan Allah azza wa jalla, dan
terimalah rukhshah itu.”
Thabrani meriwayatkan
hadits ini dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir.
Ucapan:
“Bukanlah termasuk
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.” Telah diriwayatkan pula dari jalur
Abdullah bin Umar, yang ditakhrij oleh
Ibnu Majah [1665], Ibnu Hibban, at-Thabrani dan at-Thahawi dengan sanad yang shahih, dan diriwayatkan pula dari jalur Kaab
bin Ashim al-Asy'ari, yang ditakhrij
oleh Ibnu Majah [1664], at-Thabrani, an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi dan at-Thahawi.
Ahmad [24079] dan
at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir
telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Kaab dengan lafadz:
“Bukanlah termasuk
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.”
Lafadz hadits ini
menggunakan dialek penduduk Yaman, karena Kaab al-Asy’ari adalah seseorang yang
berasal dari Yaman, di mana penduduk Yaman mengucapkan () yang berfungsi mema'rifatkan isim
sebagai pengganti (), dan dari jalur Abdullah bin Abbas ra. yang ditakhrij oleh al-Bazzar [985] dan at-Thabrani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir.
Al-Haitsami berkata: para perawi hadits al-Bazzar itu adalah orang-orang yang shahih.
9. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Janganlah engkau
mencela orang yang berpuasa, dan jangan pula mencela orang yang berbuka, karena
sungguh Rasulullah Saw. berpuasa dalam perjalanan dan juga berbuka.” (HR.
Muslim [2609], Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)
Abu Dawud at-Thayalisi
[2677] meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwa Nabi Saw. biasa
berpuasa dalam perjalanan, dan juga biasa berbuka.”
10. Dari Abu Thu’mah, ia berkata:
“Aku berada di samping
Ibnu Umar, tiba-tiba datang seorang laki-laki menemuinya dan berkata: Wahai Abu
Abdirrahman, sesungguhnya aku lebih kuat untuk berpuasa dalam perjalanan. Maka
Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. berkata: “Barangsiapa yang
tidak menerima keringanan yang diberikan Allah Swt. maka dosa baginya semisal
gunung Arafah.” (HR. Ahmad [5392] dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dengan sanad yang dihasankan oleh al-Haitsami)
11. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Kami berperang
bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa
dan di antara kami ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak marah
kepada orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak marah kepada orang yang
berpuasa. Mereka memandang bahwa siapa saja yang memiliki kekuatan lalu dia
berpuasa maka sesungguhnya hal itu sesuatu yang baik, dan mereka memandang
bahwa siapa yang mendapati kelemahan lalu dia berbuka maka sesungguhnya hal itu
pun sesuatu yang baik.” (HR. Muslim [2618], Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad, Ibnu
Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
12. Dari Qaza’ah, dari Abu Said al-Khudri ra.,
ia berkata:
“Kami melakukan
perjalanan bersama Rasulullah Saw. ke Makkah dalam keadaan berpuasa. Dia
berkata: Lalu kami singgah di satu tempat. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya kalian telah mendekati (posisi) musuh kalian, dan berbuka itu
lebih kuat (dorongannya) bagi kalian. Sehingga berbuka saat itu menjadi satu
keringanan. Maka dari kami ada yang berpuasa, ada pula yang berbuka. Kemudian
kami singgah lagi di tempat lain, maka beliau Saw. bersabda: Esok pagi kalian
akan berada di tengah-tengah musuh kalian, dan berbuka itu lebih kuat
(dorongannya) bagi kalian maka berbukalah. Dan berbuka saat itu menjadi satu
ketetapan. Maka kami pun berbuka. Kemudian dia berkata: Sungguh aku melihat
kami berpuasa setelah itu bersama Rasulullah Saw. dalam perjalanan.” (HR.
Muslim [2624], Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan at-Thahawi)
13. Dari Anas ra., ia berkata:
“Kami bersama Nabi
Saw. dalam satu perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa ada juga yang
berbuka. Dia berkata: Lalu kami singgah di satu tempat pada hari yang sangat
panas. Sebagian besar dari kami bernaung dengan kain, dan di antara kami ada
yang berlindung dari terik matahari dengan tangannya. Dia berkata: Lalu
orang-orang yang berpuasa duduk berjatuhan (banyak istirahat dalam perjalanan
karena lemah), sedangkan yang berbuka tetap berdiri. Kemudian mereka mendirikan
tenda dan memberi minum hewan tunggangan. Maka Rasulullah Saw. berkata:
“Orang-orang yang
berbuka pada hari ini telah membawa pergi semua pahala.” (HR. Muslim [2622],
an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)
14. Dari Ibnu Umar ra., dari Rasulullah Saw.,
beliau Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah
Swt. mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia mencintai
ketetapannya ditunaikan.” (HR. Ibnu Hibban [3568], al-Bazzar dan at-Thabrani)
Ibnu Hibban dan Ahmad
meriwayatkan hadits ini juga dengan redaksi:
“Sesungguhnya Allah
Swt. mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia membenci
perbuatan maksiat kepada-Nya dijalani.”
15. Dari Abu Umayyah ad-Dhamri ra., ia berkata:
“Aku datang menemui
Rasulullah Saw. sepulang dari perjalanan. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya.
Ketika hendak pergi keluar, beliau Saw. berkata: “Tunggulah sejenak menanti
hidangan wahai Abu Umayyah.” Aku berkata: Sesungguhnya aku berpuasa wahai Nabiyallah. Beliau berkata: “Kemarilah, aku
beritahu engkau sesuatu terkait seorang musafir (orang yang melakukan
perjalanan). Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat kewajiban puasa dan setengah
shalat dari seorang musafir.” (HR. anNasai [2269], Bukhari dalam kitab at-Tarikh, ad-Darimi dan at-Thahawi)
Dan hadits dari jalur
Anas bin Malik al-Ka'bi ra., yang diriwayatkan Abu Dawud [2408], an-Nasai, Ibnu
Majah, Ahmad dan Tirmidzi disebutkan dengan redaksi:
“Sesungguhnya Allah
Swt. mengangkat kewajiban separuh atau setengah shalat dan puasa dari seorang
musafir, dan dari wanita yang menyusui atau wanita hamil. Demi Allah, beliau
Saw. mengucapkan keduanya seluruhnya atau salah satunya.”
Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi.
Dan redaksi hadits
yang diriwayatkan oleh an-Nasai [2274] berbunyi:
“Sesungguhnya Allah
Swt. mengangkat kewajiban dari seorang musafir setengah shalat dan puasa, dan
dari wanita yang menyusui serta wanita hamil.”
Maka saya bisa
jelaskan sebagai berikut:
Sesungguhnya orang
yang mencermati nash-nash ini bisa memahami dengan jelas, bahwa berpuasa dalam
perjalanan sebanding atau senilai dengan berbuka, tanpa ada kelebihan apapun
pada salah satu dari keduanya. Rasulullah Saw. telah menerangkan kesamaan atau kesetaraan
ini dalam banyak nash, walaupun berbagai macam pertanyaan diarahkan kepada
beliau Saw., atau dalam berbagai kondisi dan keadaan. Semua itu menegaskan
kesetaraan penuh antara berbuka dan berpuasa dalam perjalanan. Hadits yang
pertama menyebutkan:
“Jika engkau
menghendaki maka silakan berpuasa, dan jika engkau menghendaki maka silakan
pula engkau berbuka.”
Hadits yang kedua
menyebutkan:
“Ini adalah rukhshah dari Allah. Barangsiapa yang
mengambil rukhshah itu, maka itu sesuatu
yang baik, dan barangsiapa yang lebih suka untuk berpuasa maka tidak ada dosa
atasnya.”
Hadits ketiga
menyebutkan:
“(Silakan kenakan)
yang manapun yang engkau kehendaki wahai Hamzah.”
Hadits kesepuluh
menyebutkan:
“Barangsiapa yang
tidak menerima keringanan yang diberikan Allah Swt. maka dosa baginya semisal
gunung Arafah.”
Hadits kesebelas
menyebutkan:
“Mereka memandang
bahwa siapa saja yang memiliki kekuatan lalu dia berpuasa, maka hal itu sesuatu
yang baik, dan mereka memandang bahwa siapa yang mendapati kelemahan lalu dia
berbuka, maka hal itu pun sesuatu yang baik.”
Hamzah al-Aslami ra.
melontarkan pertanyaan-pertanyaan dengan beberapa redaksi: dalam hadits yang
pertama pertanyaannya bersifat umum, dan jawaban yang diberikan menunjukkan
kesetaraan penuh (antara berbuka dan berpuasa).
Dan dalam hadits
kedua, pertanyaan yang dilontarkan berbunyi:
“Wahai Rasulullah, aku
mendapati dalam diri ini kekuatan untuk berpuasa selama dalam perjalanan,
apakah aku berdosa?”
Seolah-olah dia
(Hamzah) ingin mengutamakan puasa daripada berbuka, walaupun begitu, jawaban
yang diberikan tetap menunjukkan kesamaan nilai antara berpuasa dan berbuka.
Dan dalam hadits
ketiga ditemukan ucapan:
“Dan aku memiliki
kekuatan karena aku seseorang yang masih muda, dan berpuasa lebih mudah bagiku
wahai Rasulullah daripada aku harus mengundurkannya sehingga menjadi utang.”
Hamzah menambah
penjelasan keinginannya untuk lebih mengutamakan berpuasa, walaupun begitu,
jawabannya tetap menunjukkan kesamaan antara berpuasa dengan berbuka.
Dalam hadits keempat,
Hamzah menyampaikan alasan yang baru, mengapa dia lebih mengutamakan puasa
daripada berbuka, dia berkata:
“Sesungguhnya aku
seorang lelaki yang terbiasa berpuasa terus-menerus.”
Dan tidak ada yang
terlontar dari mulut beliau Saw. sebagai jawabannya selain:
“Berpuasalah jika
engkau menghendaki, dan berbukalah jika engkau menghendaki.”
Semua ini tiada lain
menunjukkan bahwa berpuasa dalam perjalanan (as-safar) itu senilai pahala dan
keutamaannya dengan berbuka, satu sama lain tidak memiliki kelebihan satu
derajat pun. Dan perhatikan dalam nash-nash lainnya, niscaya Anda akan
mendapati bahwa kesamaan nilai di antara keduanya tetap ada.
Dengan demikian, jelaslah kebolehan berpuasa dan
berbuka -dalam perjalanan- dalam derajat yang sama, tanpa ada kelebihan antara
yang satu dengan lainnya.
Berdasarkan penjelasan
ini pula, jelaslah kesalahan orang yang melebihkan nilai berpuasa daripada
berbuka dalam perjalanan, dan salah pula orang yang mengutamakan berbuka
daripada berpuasa dalam perjalanan. Lebih jelas lagi kesalahan orang yang tidak
membolehkan berpuasa dalam perjalanan, dan berpendapat bahwa orang yang
berpuasa dalam perjalanan harus mengqadha
puasanya.
Bagaimana kita
menginterpretasikan ucapan Rasulullah Saw.:
“Bukan termasuk
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.”
Bukankah ucapan
tersebut menunjukkan keutamaan berbuka? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa
diberikan dari beberapa hal:
Pertama: perintah
untuk melakukan satu perbuatan, tidak secara otomatis berarti larangan dari
sesuatu yang sebaliknya; atau larangan dari satu perbuatan tidak secara
otomatis berarti perintah untuk melakukan hal sebaliknya. Di sini kami katakan,
bahwa penafian kebajikan dari berpuasa dalam perjalanan tidak berarti bahwa
kebajikan itu hanya bisa diraih dengan berbuka.
Kedua: agar kita mampu
menjawab pertanyaan ini, kita harus mengetahui pengertian kebajikan (al-birr)
menurut bahasa dan syariat. Para ahli bahasa berbeda pendapat seperti halnya
para fukaha dalam menentukan makna al-birr. As-Syafi'i berkata: mungkin maksudnya
bukanlah kebajikan yang diwajibkan, di mana orang yang menyalahinya berdosa.
Dalam hadits ini bisa dipahami, kebajikan itu dinafikan dari orang yang enggan
menerima rukhshah. An-Nasai [2260] telah
meriwayatkan hadits dengan lafadz:
“Bukan termasuk
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, dan terimalah rukhshah itu.”
At-Thahawi berkata:
kebajikan (al-birr) di sini adalah kebajikan yang sempurna, yang memiliki
kedudukan tertinggi. Sehingga maksud hadits ini bukan mengeluarkan berpuasa
dalam perjalanan dari kategori kebajikan. Sebagian mereka berkata: kebajikan
adalah segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla. Al-Birr (kebajikan) kadangkala
ditafsirkan sebagai as-shidqu (kejujuran), di antaranya ada ungkapan: al-birru fil yamiin, yakni memenuhi sumpah dan
tidak melanggarnya. Bisa juga ditafsirkan sebagai at-tha'ah
(ketaatan), di antaranya ada ungkapan birr
al-walidain yakni mentaati keduanya. Bisa juga diartikan sebagai as-shalah (kelayakan) atau al-khair (kebaikan).
Dengan demikian, kata
al-birr ini merupakan kata yang memiliki beberapa arti, yang semua itu bisa
dicakup dengan satu kata: al-khair
(kebaikan). Al-Birr (kebajikan) itu adalah sesuatu yang baik (khair), dan sesuatu yang baik itu (al-khoir)
agar sesuai dengan syariat maka harus dituntut dan diperintahkan oleh syariat,
di mana perintahnya bisa bersifat tegas (al-amr al-jazim) sehingga hukumnya
menjadi fardhu; bisa pula perintahnya tidak bersifat tegas (ghair al-jazim) sehingga hukumnya mandub.
Kebajikan atau
kebaikan itu tidak keluar dari dua kondisi ini, sehingga al-birr (kebajikan)
ataupun al-khair (kebaikan) tidak
mungkin berasal dari sesuatu yang dibolehkan (min al-mubahat), di mana antara
melakukan dan meninggalkannya memiliki nilai yang sama, dan tidak ada pahala
atau dosa di dalamnya, sehingga al-birr (kebajikan) itu tidak ada kecuali dalam
perbuatan yang difardhukan dan disunatkan saja, lain tidak. Begitulah makna
al-birr yang harus dipahami dari hadits ini.
Pengertiannya adalah
bahwa puasa dalam perjalanan itu tidak difardhukan dan juga tidak disunatkan
atas kalian, nilainya sama dengan tidak berpuasa dalam perjalanan, dan inilah
makna yang berulang-ulang ditunjukkan dalam beberapa hadits yang telah kami utarakan
sebelumnya.
“Berpuasalah jika
engkau menghendaki, dan berbukalah jika engkau menghendaki.”
Yakni, termasuk
pilihan yang mubah yang memiliki nilai sama antara melakukan dan
meninggalkannya.
Sehingga siapa saja
yang menghendaki dia boleh berpuasa, dan siapa yang menghendaki dia boleh
berbuka. Pengertian ini bisa dijalin oleh hadits-hadits di atas, di antaranya
dengan ucapan:
“Bukan termasuk
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.”
Sehingga maknanya
adalah: bukan sesuatu yang diwajibkan dan bukan pula sesuatu yang disunahkan
berpuasa dalam perjalanan.
Pengertian ini pula
yang dikandung oleh ucapan beliau Saw. dalam hadits poin 15:
“Kemarilah, aku
beritahu engkau sesuatu terkait seorang musafir (orang yang melakukan
perjalanan). Sesungguhnya Allah Swt. mengangkat kewajiban puasa dan setengah
shalat dari seorang musafir”
Yaitu tidak
memerintahkannya, dan menjadikan puasa atau tidak puasa termasuk pilihan yang
dibolehkan, yang sama saja nilainya.
Ketika dalam
perjalanan di bulan Ramadhan, seseorang yang memilih untuk tidak puasa, tetap
wajib mengerjakan puasa itu (mengqadha)
di luar Ramadhan.
Begitulah, kami telah
mengkompromikan semua hadits di atas, dan mengkompromikan di antara
hadits-hadits itu lebih utama daripada mengabaikan salah satunya, sebagaimana
hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul.
Tinggallah kini
pertanyaan: bagaimana kita menginterpretasikan hadits nomor 8:
“Kalian harus
mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, maka terimalah rukhshah itu.”
Dan hadits nomor 10:
“Barangsiapa yang
tidak menerima keringanan yang diberikan Allah Swt., maka dosa baginya semisal
gunung Arafah.”
Bukankah kedua hadits
ini menunjukkan perintah untuk berbuka, dan bahwa berbuka itu lebih utama
daripada berpuasa?
Jawabannya:
sesungguhnya hal itu adalah perintah untuk menerima rukhshah, bukan perintah untuk berbuka. Kedua perkara ini
berbeda. Yang dimaksud dengan menerima rukhshah
di sini adalah meninggalkan sikap menetapi puasa dalam perjalanan, baik puasa
wajib ataupun puasa sunah, dan rukhshah
itu telah didatangkan untuk menghilangkan sikap menetapinya (al-iltizam), dan
menjadikan puasa dalam wilayah yang dibolehkan. Hadits pada poin 8 jelas
menunjukkan apa yang saya katakan, di mana beliau Saw. berkata:
“Bukan termasuk
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah azza wa jalla, dan terimalah rukhshah itu.”
Pengertiannya adalah
bahwa berpuasa dalam perjalanan ini bukanlah sesuatu yang difardhukan atau
disunatkan, setelah sebelumnya seperti itu, karena termasuk rukhshah dari Allah Swt., sehingga inilah yang
harus diucapkan dan diamalkan, serta meninggalkan sikap menetapi sesuatu yang
wajib atau sunah yang semula dilakukan sebelum ada rukhshah.
Hadits poin 10
menunjukkan pengertian yang sama, yakni peringatan keras bagi siapa saja yang
bersikeras mengatakan wajibnya atau mandubnya
berpuasa dalam perjalanan, seraya tidak mau mengambil rukhshah Allah Swt. yang telah menasakh
kewajiban atau kemanduban tersebut. Dua
hadits ini, yakni poin 8 dan 10, saling menguatkan dengan hadits-hadits lain
sebelumnya, yang memberikan pilihan kepada seorang Muslim antara berpuasa dan
berbuka dalam perjalanan. Inilah yang dipahami oleh para sahabat ra.,
sebagaimana bisa dipahami dari hadits nomor 5:
“Yang berpuasa tidak
mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela orang yang
berpuasa.”
Dan hadits nomor 6:
“Yang berpuasa tidak
mencela orang yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela orang yang
berpuasa.”
Hadits nomor 9:
“Janganlah engkau
mencela orang yang berpuasa, dan jangan pula mencela orang yang berbuka.”
Serta hadits nomor 11:
“Di antara kami ada
yang berpuasa, dan di antara kami ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa
tidak marah kepada orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak marah
kepada orang yang berpuasa.”
Adapun hadits nomor
14:
“Sesungguhnya Allah
Swt. mencintai rukhshah-rukhshahnya diambil, sebagaimana Dia mencintai
ketetapannya ditunaikan.”
Seperti hadits-hadits
lain sebelumnya, hadits ini menunjukkan adanya kesamaan, yakni kesamaan nilai
antara berpuasa dan berbuka:
“Mencintai rukhshah-rukhshahnya
diambil, sebagaimana Dia mencintai ketetapannya ditunaikan.”
Rukhshah ini dicintai dengan nilai kecintaan
yang sama terhadap 'azimah, tidak ada
kelebihan satu sama lain, sehingga hadits ini menopang dan menguatkan
hadits-hadits lain sebelumnya yang menyatakan kesetaraan dan kesamaan nilai
antara berpuasa dan berbuka dalam perjalanan.
Dalam hadits ini
terdapat nuktah (titik hitam di atas
warna putih), yang menurut saya tidak akan samar di hadapan banyak orang, yakni
bahwa Allah Swt. ketika memberikan pilihan di antara dua perkara, dan
memasukkan keduanya dalam wilayah yang dibolehkan, maka hal itu tidak berarti
bahwa seseorang boleh memilih salah satunya selamanya (secara terus-menerus)
dan meninggalkan yang lainnya secara terus-menerus pula, walaupun hal itu
boleh-boleh saja. Namun, yang sebenarnya, Allah Swt. menyukai orang itu
melakukan dua perkara tersebut secara bergantian. Suatu saat melakukan yang
ini, sedangkan kali yang lain melakukan yang itu. Dan hadits ini menggunakan
kata yuhibbu (Dia mencintai), di mana
kecintaan ini tidak sampai pada derajat fardhu dan keharusan.
Dengan kata lain,
bahwa dari seorang Muslim telah diangkat kefardhuan dan kemanduban berpuasa dalam perjalanan, tidak
berarti dia harus tidak berpuasa dalam perjalanan secara terus-menerus atau
berbuka dalam perjalanan secara terus-menerus. Hadits ini semata-mata
memberikan pengertian bahwa pilihan yang dicintai Allah Swt. adalah: hendaknya
seseorang melakukan hal itu sekali atau beberapa kali, dan melakukan yang ini
sekali atau beberapa kali, tidak menetapinya dan juga tidak mengharuskannya,
sehingga perkara ini tetap menjadi pilihan, baik secara de jure ataupun de facto.
Inilah pengertian yang
juga ditunjukkan oleh hadits nomor 7:
“Dan di antara kami
tidak ada yang berpuasa, selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.”
Dan hadits nomor 9:
“Sungguh Rasulullah
Saw. berpuasa dalam perjalanan dan juga berbuka.”
Beliau Saw. yang
menyampaikan kepada kita bahwa Allah azza wa
jalla suka untuk memberi pilihan-pilihan di atas, dan beliau Saw. telah
melakukan sesuatu berdasarkan hal itu. Beliau Saw. berpuasa dan berbuka, dengan
tanpa menetapi atau mengharuskan diri dengan salah satu dari keduanya.
Sekarang kita tinggal
membedah dua hadits, yakni hadits 12 dan 13.
Hadits Nomor 12
Rasulullah Saw.
berpuasa, padahal beliau Saw. sedang melakukan perjalanan dari Madinah ke
Makkah, dan para sahabatnya juga berpuasa. Ketika posisi mereka sudah dekat
dengan musuh, Rasulullah Saw. mengingatkan para sahabat akan rukhshah Allah Swt. yang menyamakan antara
berpuasa dan berbuka. Beliau Saw. mengingatkan mereka kepada sesuatu yang
menyamai puasa, yakni berbuka, dan menjelaskan kepada mereka bahwa berbuka itu
lebih kuat tuntutannya kepada mereka, karena kondisi mereka adalah kondisi
siap-siap berperang. Sedangkan yang dibutuhkan mereka dalam peperangan adalah
menyiapkan kekuatan, yang di antaranya adalah kekuatan badan, tetapi dengan
tanpa memerintahkan mereka untuk berbuka. Beliau Saw. hanya cukup dengan
mengingatkan saja.
Inilah hukum syara dalam kondisi dan keadaan lainnya yang
semisal, yakni bahwa seseorang
yang berpuasa dalam perjalanan (safar), jika merasa lemah maka lebih cenderung
untuk memilih berbuka, dan jika memiliki kekuatan maka dia boleh berpuasa.
Tanpa hal itu, maka tidak bisa disebut telah mengambil rukhshah, yang memberikan pengertian adanya kesamaan di antara
dua perkara ini.
Tatkala sebentar lagi
akan berperang tanding melawan musuh, di mana perang melawan musuh itu
memerlukan kekuatan badan, maka beliau Saw. memerintahkan para sahabat untuk
mempersiapkan kekuatan ini, dengan memerintahkan mereka untuk berbuka, sehingga
di sini berbuka bagi mereka menjadi sesuatu yang wajib, dan perkara tersebut
(yakni berbuka), sepenuhnya berada di luar konteks kesetimbangan nilai (antara
berbuka dan berpuasa), karena mempersiapkan kekuatan untuk berperang itu
sesuatu yang wajib, sehingga berbuka saat itu pun menjadi wajib. Dan akhirnya,
seluruh sahabat berbuka untuk mengikuti dan menetapi hukum syara dalam kondisi ini.
Namun, kondisi ini
tidak menghilangkan hukum kesetimbangan dan kesamaan nilai antara berpuasa dan
berbuka dalam perjalanan. Perkara ini adalah masalah lain, yang berkaitan
dengan peperangan, dan apa yang harus dilakukan oleh seorang pejuang yang
sedang berjihad (al-mujahid) pada saat itu, sehingga dalam hadits ini tidak ada
dilalah apapun yang melebihutamakan
berbuka daripada berpuasa dalam perjalanan.
Hadits Nomor 13
Rasulullah Saw.
melakukan perjalanan bersama para sahabat ra. Di antara mereka ada yang
berpuasa dan ada pula yang berbuka di hari yang sangat panas. Ini perkara alami
dan menunjukkan sikap mengambil rukhshah.
Di sini beliau Saw. tidak melarang para sahabat yang berpuasa dan staminanya
lebih lemah daripada yang tidak berpuasa.
Hadits yang kedua
menyebutkan:
“Barangsiapa yang
mengambil rukhshah itu, maka itu sesuatu
yang baik, dan barangsiapa yang lebih suka untuk berpuasa maka tidak ada dosa
atasnya.”
Hadits yang ketujuh:
Dari Abu Darda ra., ia berkata:
“Kami keluar bersama
Nabi Saw. dalam sebagian perjalanannya pada hari yang panas, hingga seseorang
meletakkan tangannya di atas kepala karena begitu panasnya. Dan di antara kami
tidak ada yang berpuasa selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.” (HR. Bukhari [1945],
Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Di sini beliau Saw.
tidak melarang Ibnu Rawahah yang berpuasa pada hari yang sangat panas.
Ucapan beliau Saw.
dalam hadits ke-13:
“Orang-orang yang
berbuka pada hari ini telah membawa pergi semua pahala.”
Jika kita bisa melihat
bahwa orang-orang yang berbuka itulah yang membangun tenda, dan mereka juga
yang memberi minum hewan tunggangan -di mana dua perbuatan tersebut termasuk
ibadah dan ketaatan pada Allah Swt.- maka kita bisa mengetahui dilalah ucapan Nabi Saw. bahwa orang yang
berbuka hari itu telah membawa semua pahala, karena mengambil rukhshah lalu pahala membangun tenda serta
pahala memberi minum hewan tunggangan.
Dengan demikian, jelas
bahwa hadits-hadits ini saling menguatkan dan selaras seluruhnya dengan
pendapat bahwa berpuasa dalam perjalanan itu, sama seperti halnya berbuka. Satu
sama lain berderajat sama, tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lain.
(Pembahasan)
Dalil-Dalil Mereka yang Mengatakan Wajibnya Berbuka Ketika Dalam Perjalanan
Sekarang kita menelaah
berbagai dalil dan syubhat yang dilontarkan mereka yang mewajibkan berbuka, dan
tidak membolehkan berpuasa dalam perjalanan:
1. Allah Swt. berfirman:
“Maka barangsiapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.” (TQS. al-Baqarah [2]: 184)
2. Dari Ibnu Abbas
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar pada tahun penaklukkan (fathu Makkah), lalu beliau Saw. berpuasa, dan
orang-orang pun berpuasa hingga sampai di al-Kadid. Kemudian beliau berbuka,
dan orang-orang pun berbuka. Mereka berpegang pada sesuatu yang paling baru,
sedangkan yang paling baru itu berasal dari perbuatan Rasulullah Saw.” (HR.
ad-Darimi [1709], Muslim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Abi Syaibah)
Al-Kadid bisa dibaca
juga Kudaid, adalah mata air dengan jarak 48 mil dari Makkah, terletak antara
Makkah dan Qudaid.
3. Dari Jabir bin Abdillah:
“Bahwa Rasulullah Saw.
pada tahun penaklukkan berangkat ke Makkah pada bulan Ramadhan, lalu beliau
Saw. berpuasa hingga tiba di Kuraa' al-Ghamim
(satu lembah di dekat 'Ushfan) dan orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau
Saw. meminta satu wadah berisi air lalu mengangkatnya hingga orang-orang bisa
melihatnya. Setelah itu beliau Saw. minum, lalu beliau diberitahu bahwa
sebagian orang tetap berpuasa. Maka beliau berkata: “Mereka adalah orang-orang
yang durhaka, mereka adalah orang-orang yang durhaka.” (HR. Muslim [2610],
Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
An-Nasai [2263], Ahmad
dan al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Dan orang-orang pun
berpuasa, lalu beliau Saw. diberitahu bahwa orang-orang merasa kepayahan
berpuasa. Maka beliau Saw. meminta satu wadah berisi air setelah ashar, lalu
beliau Saw. minum dan orang-orang melihatnya.”
Dalam riwayat Muslim
[2611] yang kedua, disebutkan dengan redaksi:
“Lalu dikatakan kepada
beliau Saw. bahwa orang-orang merasa kepayahan berpuasa, dan mereka hanya
mengikuti apa yang engkau lakukan. Setelah itu beliau Saw. meminta satu wadah
berisi air setelah ashar.”
4. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berada dalam satu perjalanan, lalu beliau Saw. melihat satu kerumunan dan
seorang laki-laki sedang dinaungi. Beliau Saw. bertanya: “Apa ini?” Mereka
berkata: Dia sedang berpuasa. Maka beliau Saw. berkata: “Bukanlah satu
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Bukhari [1946], Muslim, Abu Dawud,
an-Nasai, ad-Darimi dan Ahmad)
5. Dari Abdurrahman
bin Auf ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Seseorang yang
berpuasa Ramadhan dalam perjalanan itu seperti orang yang berbuka saat dia
bermukim (tidak melakukan perjalanan).” (HR. Ibnu Majah [1666])
An-Nasai [2284]
meriwayatkan hadits ini secara mauquf.
Kedua riwayat hadits
ini munqathi'.
6. Dari Anas bin Malik
al-Ka’bi, ia berkata:
“Aku mendatangi
Rasulullah Saw. ...dan beliau Saw. sedang makan, lalu beliau Saw. mengajakku
makan, tetapi aku berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Maka beliau Saw.
berkata: “Mendekatlah, aku beritahu engkau sesuatu tentang itu. Sesungguhnya
Allah mengangkat kewajiban puasa dan setengah shalat dari seorang musafir.”
(HR. an-Nasai [2276], Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
Tirmidzi meriwayatkan
juga hadits ini dan menghasankannya.
Lihat kembali nomor 15 sebelumnya.
Berdasarkan ayat di
atas, mereka berkata: pengertian iddah:
yang wajib atas seorang musafir itu adalah mengganti. Ayat ini menunjukkan
bahwa seorang musafir itu berbuka dan menggantinya di hari yang lain, dan di
dalamnya tidak disebutkan kata puasa. Maka saya katakan: taqdirnya adalah: berbukalah dan gantilah, dan
ayat ini memiliki ungkapan sangat umum, tetapi tidak datang untuk menafikan
puasa dan membatasi hanya pada berbuka saja, serta tidak ada dilalah apapun atas apa yang mereka katakan.
Adapun hadits nomor 2
maka ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama berasal dari perkataan Ibnu
Abbas:
“Rasulullah Saw.
keluar pada tahun penaklukkan (fathu Makkah) lalu beliau Saw. berpuasa dan
orang-orang pun berpuasa hingga sampai di al-Kadid. Kemudian beliau berbuka dan
orang-orang pun berbuka.”
Dalam teks hadits ini
tidak ada dilalah apapun yang
menunjukkan sesuatu yang mereka katakan. Justru bersesuaian dengan banyak dalil
yang sebelumnya telah kami sebutkan, khususnya yang tercantum dalam hadits poin
9 sebelumnya.
Adapun bagian kedua:
“Mereka berpegang pada
sesuatu yang paling baru, sedangkan yang paling baru itu berasal dari perbuatan
Rasulullah Saw.”
Ini adalah ucapan Ibnu
Syihab az-Zuhri, yang diselipkan dalam hadits itu, sebagaimana telah dipastikan
oleh Bukhari dalam bab tentang jihad: “Ini adalah ucapannya, dan hal itu
merupakan sesuatu yang lain dari dua perkara tersebut.”
Begitu pula ditemukan
tambahan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, sebagai sesuatu yang diselipkan
(al-mudraj). Kemudian, diceritakan bahwa
Nabi Saw. berpuasa seusai kisah ini, sebagaimana diceritakan dalam hadits poin
12 sebelumnya:
“Sungguh aku melihat
kami berpuasa setelah itu bersama Rasulullah Saw. dalam perjalanan.”
Tambahan ini berasal
dari ucapan az-Zuhri, dan ucapan az-Zuhri tidak bisa menjadi dalil.
Setelah meriwayatkan
hadits ini, Ibnu Khuza'imah [2035] menyatakan: “Sufyan berkata: Aku tidak
mengetahui apakah ini berasal dari ucapan Ibnu Abbas, ucapan Ubaidillah,
ataukah berasal dari ucapan az-Zuhri.” Asal-muasal tambahan tersebut diragukan,
tambahan tersebut menyalahi hadits nomor 12 dari jalur Abu Said al-Khudri ra.
yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya, sehingga tambahan ini tidak boleh
menjadi bahan pertimbangan.
Hadits ketiga:
“Mereka adalah
orang-orang yang durhaka, mereka adalah orang-orang yang durhaka.”
Perang melawan musuh
itu memerlukan kekuatan badan, maka beliau Saw. memerintahkan para sahabat
untuk berbuka dalam perjalanan itu, sebab ketika puasa itu telah menyulitkan
mereka, dan ketika timbul kesusahan (al-masyaqqah)
dalam kondisi itu, maka rukhshah harus
diambil.
Mengenai hadits
keempat:
“Bukanlah satu
kebajikan, berpuasa dalam perjalanan.” Hal ini telah kami jelaskan dilalah dan maknanya secara lengkap
sebelumnya, dan kami tidak perlu mengulangnya lagi.
Hadits kelima:
“Seseorang yang
berpuasa Ramadhan dalam perjalanan itu seperti orang yang berbuka saat dia
bermukim (tidak melakukan perjalanan).”
Statusnya sama, baik
yang marfu' maupun yang mauquf, sama-sama sebagai hadits munqathi', di mana Abu Salamah bin Abdurrahman
tidak pernah mendengar sesuatupun dari ayahnya. Hal ini dikatakan oleh Yahya
bin Ma'in dan Bukhari. Selain sanadnya
terputus, Ibnu Majah menyandarkan hadits ini pada seorang perawi bernama Usamah
bin Zaid yang disepakati kedhaifannya.
Abu Ishaq berkata: hadits ini tidak bernilai apapun. Dengan demikian, hadits
ini sangat lemah sehingga harus ditinggalkan.
Adapun hadits keenam:
“Sesungguhnya Allah
mengangkat kewajiban puasa dan setengah shalat dari seorang musafir.”
Sebelumnya telah kami
jelaskan pula dilalah dan makna hadits
ini, dan kami tidak memandang perlu untuk mengulangnya kembali. Dengan
demikian, jelaslah bahwa apa yang mereka sebut sebagai dalil, pada faktanya
tidak menunjukkan pada apa yang mereka katakan.
Apa yang dipandang
oleh banyak orang dengan mengutamakan puasa daripada berbuka, dan sebagian lagi
dengan mengutamakan berbuka daripada berpuasa, maka setiap kelompok dari
keduanya telah mengambil hadits-hadits di atas yang dipandangnya menunjukkan
dan memperkuat pandangannya, tanpa berupaya keras untuk mengkaji hadits-hadits
tersebut seluruhnya. Misalnya: banyak orang berkata bahwa berbuka itu lebih
utama untuk mengamalkan rukhshah yang
disebutkan dalam beberapa hadits dan mengamalkan ucapan: bukanlah termasuk
kebajikan berpuasa dalam perjalanan. Sedangkan yang lain berkata: sesungguhnya
berpuasa itu lebih utama, dengan berpegang pada akhir hadits nomor 7 yang
sebelumnya telah kami sebutkan:
“Dan di antara kami
tidak ada yang berpuasa, selain Nabi Saw. dan Ibnu Rawahah.”
Dan hadits nomor 12
yang lalu juga:
“Sungguh aku melihat
kami berpuasa setelah itu bersama Rasulullah Saw. dalam perjalanan.”
Serta riwayat yang
kami jelaskan sebelumnya:
“Mereka berpegang pada
sesuatu yang paling baru, sedangkan yang paling baru itu berasal dari perbuatan
Rasulullah Saw.”
Ijtihad seperti itu
tidak sah, bahkan tidak boleh. Apabila sang mujtahid melakukannya dengan tanpa
melihat seluruh nash yang ada dan meletakkan seluruhnya dalam satu akar
pembahasan, dia tidak diperkenankan mengambil sebagian nash yang selaras dan
menunjukkan pandangannya, seraya meninggalkan nash lain.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar