Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 05 November 2017

Perjalanan/Safar Berlaku Rukhshah Boleh Tidak Puasa



Ukuran Jauhnya Perjalanan yang Menjadikan Seseorang Boleh Berbuka

Ahlur Ra'yi, Malik, as-Syafi’i, al-Auza'i, Yahya al-Anshari, Ibrahim an-Nakha’i, az-Zuhri dan Makhul berpendapat bahwa orang yang mukim itu jika berniat berpuasa kemudian dia bersafar (melakukan perjalanan) maka dia tidak boleh berbuka, dia harus meneruskan puasanya. Dan seorang musafir, jika berniat berpuasa pada malam harinya kemudian ingin berbuka, maka dia baru boleh berbuka.
Yang membolehkan hal itu (bolehnya berbuka bagi seorang mukim yang kemudian bersafar) adalah Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, al-Hasan al-Bashri, al-Muzani, Dawud bin Ali, ‘Amir as-Sya'bi, Ibnu al-Mundzir, as-Syaukani dan Atha.
Ahmad, Ishaq, Atha dan al-Hasan berkata: boleh baginya untuk berbuka walaupun dia masih di rumahnya yang berada di negerinya sendiri sebelum dia keluar darinya. Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Anas ra., Ibnu Hazm dan ad-Dzahiriyah yang berpendapat bolehnya berbuka bagi orang yang melakukan perjalanan sejauh satu mil. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas tentang bolehnya berbuka dalam jarak lebih dari 4 barid, yakni sejauh lebih dari 48 mil.

Sekarang kita akan meneliti nash-nash yang terkait dengan masalah ini:

1. Dari Kulaib bin Dzuhl al-Hadlrami, dari Ubaid bin Jabr, ia berkata:

“Aku naik perahu bersama Abu Bashrah al-Ghifari dari al-Fusthath pada bulan Ramadhan. Lalu dia menyodorkan dan mendekatkan makanannya, kemudian berkata: Mendekatlah. Aku bertanya: Bukankah engkau masih melihat rumah-rumah? Abu Bashrah balik bertanya: Apakah engkau tidak menyukai sunnah Rasulullah Saw.?” (HR. ad-Darimi [1714], Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi)
Hadits ini dhaif. Ibnu Khuzaimah [2040] meriwayatkan hadits ini juga dan berkata: aku tidak mengenal Kulaib bin Dzuhl, juga Ubaid bin Jabr, dan aku tidak menerima kesalehan orang yang tidak aku ketahui keadilannya.

2. Dari Muhammad bin Kaab, ia berkata:

“Aku mendatangi Anas bin Malik pada bulan Ramadhan. Saat itu dia akan melakukan perjalanan. Dia telah dinaikkan ke atas tunggangannya, lalu dia memakai baju perjalanan dan meminta makanan, kemudian dia makan. Aku bertanya kepadanya: Apakah ini sunnah? Dia berkata: Ya sunnah. Kemudian diapun menunggang kendaraannya.” (HR. Tirmidzi [796])
Tirmidzi berkata hadits ini adalah hadits hasan.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Abdullah bin Ja'far yang didhaifkan oleh Ibnu Ma’in dan Abu Hatim, bahkan Abu Hatim berkata: haditsnya sangat munkar. Orang tersebut juga telah didhaifkan Ibnu Ali al-Madini dan al-Jauzjani, dia berkata: sesungguhnya orang tersebut banyak salah dalam menuturkan hadits. An-Nasai berkata: dia adalah orang yang dituduh berdusta dalam meriwayatkan hadits. Dengan demikian, hadits ini sangat dhaif walaupun telah dihasankan oleh Tirmidzi.

3. Dari Manshur al-Kalbi, ia berkata:

“Sesungguhnya Dihyah bin Khalifah keluar dari desanya di Damsyiq ke sekitar desa Uqbah di Fusthath, dan ini berjarak tiga mil di bulan Ramadhan. Kemudian dia berbuka, dan orang-orang yang bersamanya pun ikut berbuka. Tetapi sebagian yang lain tidak mau berbuka. Ketika dia pulang ke desanya, dia berkata: Demi Allah, pada hari ini sungguh aku melihat satu perkara yang telah aku duga sebelumnya bahwa aku akan melihatnya, yakni akan ada satu kaum yang tidak menyukai petunjuk Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Dia menunjukkan ucapan itu kepada orang-orang yang berpuasa. Kemudian dia berkata saat itu: Ya Allah, wafatkanlah aku.” (HR. Abu Dawud [2413], Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan at-Thahawi)
Manshur al-Kalbi adalah orang yang tidak dikenal (al-majhul). Hal ini dikatakan oleh Ali bin al-Madini, al-Khaththabi dan Ibnu Khuzaimah, sehingga status hadits ini dhaif dari segi sanad.

4. Dari al-Lajlaj, ia berkata:

“Kami suka melakukan perjalanan bersama Umar ra. sejauh tiga mil, lalu dia meringkas shalat dan berbuka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/4361)
Di dalam hadits ini terdapat al-Jariri, namanya adalah Said bin Iyas, di mana dia menjadi pikun tiga tahun sebelum meninggal, sehingga banyak ahli hadits yang meninggalkan haditsnya setelah itu.

5. Dari Nafi:

“Bahwa Ibnu Umar suka keluar menuju al-Ghabah, dan dia tidak berbuka dan juga tidak meringkas shalatnya.” (HR. Abu Dawud [2414] dan al-Baihaqi)

Al-Mundziri mendiamkannya.

Al-Ghabah adalah satu tempat yang berjarak 1 barid dari Madinah menuju arah Syam, dan 1 barid itu sama dengan 4 farsakh, yakni sekitar 12 mil.

Empat atsar yang pertama semuanya berstatus dhaif, sehingga tidak boleh digunakan. Sebagian orang berusaha menshahihkan atsar-atsar ini dengan beralasan bahwa salah satu atsar ditopang oleh atsar yang lain sehingga statusnya menjadi lebih kuat. Penetapan keshahihan seperti ini tidak dibenarkan.
Ini karena sesuatu yang dhaif tidak bisa menjadi kuat hanya karena ditopang oleh yang dhaif lainnya. Yang ada justru makin menambah kedhaifannya, sehingga kaidah seperti di atas tidak perlu dipertimbangkan.

Sekarang kita tinggal membahas atsar Ibnu Umar, di mana beliau keluar menuju al-Ghabah yang berjarak 12 mil dari kota Madinah, dan dia tidak berbuka juga tidak mengqashar shalatnya. Maka saya katakan:

Pertama: perbuatan ini berasal dari Ibnu Umar ra., dan tidak menjadi dalil syara. Itu hanya sekedar menjadi hukum syara bagi orang yang bertaqlid kepada Ibnu Umar dalam masalah tersebut. Dan kami di sini tidak bertaqlid kepada siapapun dalam masalah ini.

Kedua: ketika Ibnu Umar tidak berbuka, bukan berarti bahwa dia mengharamkan berbuka dan tidak membolehkannya. Hal ini karena seorang musafir diberi rukhshah untuk berbuka, dan boleh pula baginya berpuasa, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Karena itu, ketika seseorang memilih berbuka atau memilih berpuasa, itu tiada lain karena keduanya dibolehkan, bukan menunjukkan harus mengambil salah satu dan mencegah dari yang lain.

Dengan demikian, jelas bahwa kita tidak memiliki satu nash yang shahih ataupun hasan dalam menentukan jarak perjalanan yang harus dipenuhi sehingga sah untuk berbuka.
Setelah itu, di hadapan kita tidak ada nash apapun selain firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 184:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Perjalanan di sini bersifat mutlaq, yang tidak dibatasi oleh suatu jarak tertentu, baik dekat ataupun jauh, sehingga apapun yang layak disemati dengan istilah perjalanan (as-safar) maka itu menjadi udzur yang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.

Apa yang diceritakan oleh beberapa hadits bahwa Rasulullah Saw. berbuka pada tahun penaklukkan ketika beliau Saw. melakukan perjalanan dari Madinah ke Makkah, dan beliau Saw. sampai di al-Kadid (al-Kadid adalah satu mata air yang berjarak 48 mil dari Makkah -atau ketika sampai ke Kuraa’ al-Ghamim -suatu lembah di dekat ‘Usfan berjarak 8 mil, di mana jaraknya dari Makkah lebih dari 50 mil-) sebagaimana disebutkan dalam hadits poin 2 dan 3 dari pembahasan “Dalil-Dalil Mereka yang Mengatakan Wajibnya Berbuka Ketika Dalam Perjalanan”, maka dalam hadits-hadits tersebut tidak ada dilalah apapun terhadap masalah kita ini. Alasannya karena:

Pertama: sesungguhnya jarak ini telah disepakati sebagai suatu realita yang terindera. Dan realita yang terlihat (waqa'i al-a'yan) itu pada umumnya tidak digunakan sebagai hujjah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul. (Realitas jarak yang disebutkan itu semata-mata realitas saja, tidak ada yang menunjukkannya sebagai batas minimal bagi berlakunya rukhshah)

Kedua: sesungguhnya jarak ini datang untuk menjelaskan jauhnya tempat berbuka dari Makkah, tidak setelahnya dari Madinah yang menjadi tempat asal keluar mereka. Artinya, penyebutan jarak ini tidak untuk menjelaskan jarak yang ditempuh Rasulullah Saw. (untuk berbuka) dalam perjalanannya, hingga bisa dikatakan jarak ini memiliki suatu dilalah yang menunjukkan objek pembahasan kita.

Dengan demikian, jelas bahwa orang yang membolehkan berbuka bagi orang yang berpuasa jika dia telah menempuh jarak sekian atau jarak sekian, maka pendapatnya telah salah, karena hal ini tidak diceritakan oleh syariat, tidak ada dalam al-Qur'an ataupun dalam Sunnah Nabi.

Kami perlu meringkas pembahasan di atas dengan pernyataan berikut: seorang musafir itu berhak berbuka jika dia melakukan perjalanan pada hari puasanya itu. Tidak ada penghalang apapun yang menghalanginya dari berbuka. Syariat tidak menetapkan jarak perjalanan tertentu sebagai udzur berbuka bagi seseorang yang berpuasa. Syariat semata-mata hanya menetapkan bahwa perjalanan (as-safar) menjadi udzur untuk berbuka.
Sesuatu yang mutlaq tetap dalam kemutlakannya, sehingga tidak sah mentaqyidnya dengan perbuatan sahabat, perbuatan tabi’in, perbuatan atau perkataan seorang ahli fikih, sehingga segala sesuatu yang layak disemati terhadap istilah perjalanan (as-safar) menjadi udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka.
Selama tidak termasuk kategori as-safar maka tidak boleh orang tersebut berbuka. Dengan demikian, orang-orang yang membolehkan berbuka sebelum keluar dari rumah juga telah salah alias keliru dalam pendapatnya, karena niat safar itu berbeda dengan safar itu sendiri. Safar itulah yang menjadi udzur, bukan niatnya. Begitu pula orang yang menetapkan batasan mulai berbuka dalam jarak tertentu, seperti 1 mil atau 4 barid, mereka juga telah salah dalam pembatasannya itu, karena dalam hal ini tidak ada dalil dari nash-nash yang shahih atau hasan, sehingga kita hanya menetapkan bahwa perjalanan (as-safar) itu menjadi udzur, dan orang yang melakukan perjalanan boleh berbuka.

Sekarang kita tinggal mengupas, kapan satu aktivitas keluar (al-khuruj) itu bisa dikategorikan sebagai perjalanan (as-safar) atau bukan? Maka saya nyatakan sebagai berikut: sesungguhnya aktivitas keluar (al-khuruj) itu agar bisa dikategorikan sebagai safar yang membolehkan berbuka, adalah ketika seseorang meninggalkan kotanya dan tanah wilayah kotanya, lalu dia masuk ke wilayah lainnya. Karena itu, seseorang ketika berada di kotanya tidak bisa dikategorikan sebagai musafir, dan petani ketika berada di tanah wilayah kotanya tidak dipandang sebagai musafir, walaupun tanahnya itu beberapa mil jauhnya dari kotanya. Seseorang tidak dipandang sebagai musafir, kecuali jika dia meninggalkan kotanya dan tanah wilayah kotanya itu (tempat dia mukim). Saat itu saja dia sudah boleh berbuka, baik dengan makan, minum, atapun dengan bersetubuh.

Adapun ahlu ra’yi, Malik, as-Syafi'i dan selainnya yang mengatakan bahwa seseorang yang bermukim itu -jika berniat berpuasa- kemudian melakukan perjalanan maka dia tidak boleh berbuka, dia harus meneruskan puasanya, dengan beralasan bahwa puasa itu adalah ibadah yang berbeda ketika dalam kondisi mukim (hadhar) dan dalam kondisi melakukan perjalanan (safar). Jika keduanya bertemu dalam satu ibadah maka yang dimenangkan adalah kondisi hadhar, seperti shalat, dan pernyataan as-Syafi’i: barangsiapa yang suatu pagi dalam keadaan mukim, lalu hendak melakukan perjalanan, maka dia tidak boleh berpuasa kecuali benar-benar terbukti hadits Nabi Saw. bahwasanya beliau Saw. berbuka pada hari perjalanan mereka di al-Kadid. Untuk membantah mereka, jawabannya adalah sebagai berikut:

Pertama: hadits yang berasal dari Rasulullah Saw., bahwa beliau berbuka pada hari al-Kadid, telah tetap dan terbukti, di mana hadits ini telah diriwayatkan oleh ad-Darimi, Muslim dan selainnya, dan kami telah mencantumkannya dalam pembahasan: “Dalil-Dalil Mereka yang Mengatakan Wajibnya Berbuka Ketika Dalam Perjalanan" pada poin 2. Begitu pula telah diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya, bahwa beliau Saw. telah berbuka di Kuraa' al-Ghamim, sebagaimana disebutkan dalam poin 3 pembahasan yang sama. Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:

“Rasulullah Saw. melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga sampai di Usfan. Kemudian beliau Saw. meminta satu wadah berisi air, lalu beliau Saw. meminumnya di siang hari agar orang-orang melihatnya. Setelah itu beliau Saw. berbuka hingga masuk ke kota Makkah.”

Ini adalah tiga hadits yang telah tetap dan terbukti, dan bukan satu hadits saja, sehingga para pengikut pendapat as-Syafi'i harus menarik kembali pendapat mereka.

Kedua: bahwa puasa itu adalah ibadah yang berbeda dalam kondisi hadhar dan safar, sehingga jika keduanya bertemu dalam satu ibadah maka yang dimenangkan adalah hukum hadhar seperti shalat. Saya justru merasa lebih heran lagi dengan pendapat seperti ini, sehingga untuk membantahnya saya hanya cukup mengatakan bahwa hukum apapun adalah bersifat terus dan tetap, hingga ada udzur yang membolehkan untuk meninggalkan hukum tersebut. Saat itulah berlakunya hukum tersebut dihentikan, lalu mengamalkan yang terakhir, tanpa melihat lagi apakah udzurnya datang lebih dulu atau belakangan, apakah udzur tersebut melawan hukum asal dan kemudian salah satunya memenangkan pertentangan tersebut. Kaidah ini begitu mudah untuk dimengerti.

Berdasarkan hal itu, seseorang yang mukim itu jika berniat dan berpuasa maka berlaku hukum berpuasa, dan jika kemudian ada udzur perjalanan padanya maka udzur ini menjadikan dia boleh berbuka. Jika tidak, maka untuk apa keberadaan udzur ini? Bahkan tidak ada nilainya dari udzur-udzur lain seluruhnya. Semoga Allah Swt. mengampuni kita semua.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam