Ukuran Jauhnya Perjalanan yang
Menjadikan Seseorang Boleh Berbuka
Ahlur Ra'yi, Malik,
as-Syafi’i, al-Auza'i, Yahya al-Anshari, Ibrahim an-Nakha’i, az-Zuhri dan
Makhul berpendapat bahwa orang yang mukim itu jika berniat berpuasa kemudian
dia bersafar (melakukan perjalanan) maka dia tidak boleh berbuka, dia harus
meneruskan puasanya. Dan seorang musafir, jika berniat berpuasa pada malam
harinya kemudian ingin berbuka, maka dia baru boleh berbuka.
Yang membolehkan hal
itu (bolehnya berbuka bagi seorang mukim yang kemudian bersafar) adalah Ahmad,
Ishaq bin Rahuwaih, al-Hasan al-Bashri, al-Muzani, Dawud bin Ali, ‘Amir
as-Sya'bi, Ibnu al-Mundzir, as-Syaukani dan Atha.
Ahmad, Ishaq, Atha dan
al-Hasan berkata: boleh baginya untuk berbuka walaupun dia masih di rumahnya
yang berada di negerinya sendiri sebelum dia keluar darinya. Pendapat seperti
ini diriwayatkan berasal dari Anas ra., Ibnu Hazm dan ad-Dzahiriyah yang berpendapat
bolehnya berbuka bagi orang yang melakukan perjalanan sejauh satu mil.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas tentang bolehnya
berbuka dalam jarak lebih dari 4 barid, yakni sejauh lebih dari 48 mil.
Sekarang kita akan
meneliti nash-nash yang terkait dengan masalah ini:
1. Dari Kulaib bin
Dzuhl al-Hadlrami, dari Ubaid bin Jabr, ia berkata:
“Aku naik perahu
bersama Abu Bashrah al-Ghifari dari al-Fusthath pada bulan Ramadhan. Lalu dia
menyodorkan dan mendekatkan makanannya, kemudian berkata: Mendekatlah. Aku
bertanya: Bukankah engkau masih melihat rumah-rumah? Abu Bashrah balik
bertanya: Apakah engkau tidak menyukai sunnah Rasulullah Saw.?” (HR. ad-Darimi
[1714], Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi)
Hadits ini dhaif. Ibnu Khuzaimah [2040] meriwayatkan
hadits ini juga dan berkata: aku tidak mengenal Kulaib bin Dzuhl, juga Ubaid
bin Jabr, dan aku tidak menerima kesalehan orang yang tidak aku ketahui
keadilannya.
2. Dari Muhammad bin
Kaab, ia berkata:
“Aku mendatangi Anas
bin Malik pada bulan Ramadhan. Saat itu dia akan melakukan perjalanan. Dia
telah dinaikkan ke atas tunggangannya, lalu dia memakai baju perjalanan dan
meminta makanan, kemudian dia makan. Aku bertanya kepadanya: Apakah ini sunnah?
Dia berkata: Ya sunnah. Kemudian diapun menunggang kendaraannya.” (HR. Tirmidzi
[796])
Tirmidzi berkata
hadits ini adalah hadits hasan.
Di dalam sanad hadits
ini terdapat Abdullah bin Ja'far yang didhaifkan
oleh Ibnu Ma’in dan Abu Hatim, bahkan Abu Hatim berkata: haditsnya sangat
munkar. Orang tersebut juga telah didhaifkan
Ibnu Ali al-Madini dan al-Jauzjani, dia berkata: sesungguhnya orang tersebut
banyak salah dalam menuturkan hadits. An-Nasai berkata: dia adalah orang yang
dituduh berdusta dalam meriwayatkan hadits. Dengan demikian, hadits ini sangat dhaif walaupun telah dihasankan oleh Tirmidzi.
3. Dari Manshur
al-Kalbi, ia berkata:
“Sesungguhnya Dihyah
bin Khalifah keluar dari desanya di Damsyiq ke sekitar desa Uqbah di Fusthath,
dan ini berjarak tiga mil di bulan Ramadhan. Kemudian dia berbuka, dan
orang-orang yang bersamanya pun ikut berbuka. Tetapi sebagian yang lain tidak
mau berbuka. Ketika dia pulang ke desanya, dia berkata: Demi Allah, pada hari
ini sungguh aku melihat satu perkara yang telah aku duga sebelumnya bahwa aku
akan melihatnya, yakni akan ada satu kaum yang tidak menyukai petunjuk
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Dia menunjukkan ucapan itu kepada
orang-orang yang berpuasa. Kemudian dia berkata saat itu: Ya Allah, wafatkanlah
aku.” (HR. Abu Dawud [2413], Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan at-Thahawi)
Manshur al-Kalbi
adalah orang yang tidak dikenal (al-majhul). Hal ini dikatakan oleh Ali bin
al-Madini, al-Khaththabi dan Ibnu Khuzaimah, sehingga status hadits ini dhaif dari segi sanad.
4. Dari al-Lajlaj, ia
berkata:
“Kami suka melakukan
perjalanan bersama Umar ra. sejauh tiga mil, lalu dia meringkas shalat dan
berbuka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/4361)
Di dalam hadits ini
terdapat al-Jariri, namanya adalah Said bin Iyas, di mana dia menjadi pikun
tiga tahun sebelum meninggal, sehingga banyak ahli hadits yang meninggalkan
haditsnya setelah itu.
5. Dari Nafi:
“Bahwa Ibnu Umar suka
keluar menuju al-Ghabah, dan dia tidak
berbuka dan juga tidak meringkas shalatnya.” (HR. Abu Dawud [2414] dan
al-Baihaqi)
Al-Mundziri
mendiamkannya.
Al-Ghabah adalah satu tempat yang berjarak 1
barid dari Madinah menuju arah Syam, dan 1 barid itu sama dengan 4 farsakh,
yakni sekitar 12 mil.
Empat atsar yang
pertama semuanya berstatus dhaif,
sehingga tidak boleh digunakan. Sebagian orang berusaha menshahihkan atsar-atsar ini dengan beralasan
bahwa salah satu atsar ditopang oleh atsar yang lain sehingga statusnya menjadi
lebih kuat. Penetapan keshahihan seperti
ini tidak dibenarkan.
Ini karena sesuatu
yang dhaif tidak bisa menjadi kuat hanya
karena ditopang oleh yang dhaif lainnya.
Yang ada justru makin menambah kedhaifannya,
sehingga kaidah seperti di atas tidak perlu dipertimbangkan.
Sekarang kita tinggal
membahas atsar Ibnu Umar, di mana beliau keluar menuju al-Ghabah yang berjarak 12 mil dari kota Madinah, dan dia tidak
berbuka juga tidak mengqashar shalatnya.
Maka saya katakan:
Pertama: perbuatan ini
berasal dari Ibnu Umar ra., dan tidak menjadi dalil syara. Itu hanya sekedar menjadi hukum syara bagi orang yang bertaqlid
kepada Ibnu Umar dalam masalah tersebut. Dan kami di sini tidak bertaqlid kepada siapapun dalam masalah ini.
Kedua: ketika Ibnu
Umar tidak berbuka, bukan berarti bahwa dia mengharamkan berbuka dan tidak
membolehkannya. Hal ini karena seorang musafir diberi rukhshah untuk berbuka, dan boleh pula baginya berpuasa,
sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Karena itu, ketika seseorang
memilih berbuka atau memilih berpuasa, itu tiada lain karena keduanya
dibolehkan, bukan menunjukkan harus mengambil salah satu dan mencegah dari yang
lain.
Dengan demikian, jelas
bahwa kita tidak memiliki satu nash yang shahih
ataupun hasan dalam menentukan jarak perjalanan yang harus dipenuhi sehingga
sah untuk berbuka.
Setelah itu, di
hadapan kita tidak ada nash apapun selain firman Allah Swt. dalam surat
al-Baqarah ayat 184:
“Maka barangsiapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.”
Perjalanan di sini bersifat
mutlaq, yang tidak dibatasi oleh suatu jarak tertentu, baik dekat ataupun jauh,
sehingga apapun yang layak disemati dengan istilah perjalanan (as-safar) maka
itu menjadi udzur yang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.
Apa yang diceritakan
oleh beberapa hadits bahwa Rasulullah Saw. berbuka pada tahun penaklukkan
ketika beliau Saw. melakukan perjalanan dari Madinah ke Makkah, dan beliau Saw.
sampai di al-Kadid (al-Kadid adalah satu mata air yang berjarak 48 mil dari Makkah
-atau ketika sampai ke Kuraa’ al-Ghamim
-suatu lembah di dekat ‘Usfan berjarak 8 mil, di mana jaraknya dari Makkah
lebih dari 50 mil-) sebagaimana disebutkan dalam hadits poin 2 dan 3 dari
pembahasan “Dalil-Dalil Mereka yang Mengatakan Wajibnya Berbuka Ketika Dalam
Perjalanan”, maka dalam hadits-hadits tersebut tidak ada dilalah apapun terhadap masalah kita ini.
Alasannya karena:
Pertama: sesungguhnya
jarak ini telah disepakati sebagai suatu realita yang terindera. Dan realita
yang terlihat (waqa'i al-a'yan) itu pada
umumnya tidak digunakan sebagai hujjah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu
ushul. (Realitas jarak yang disebutkan itu semata-mata realitas saja, tidak ada
yang menunjukkannya sebagai batas minimal bagi berlakunya rukhshah)
Kedua: sesungguhnya
jarak ini datang untuk menjelaskan jauhnya tempat berbuka dari Makkah, tidak
setelahnya dari Madinah yang menjadi tempat asal keluar mereka. Artinya,
penyebutan jarak ini tidak untuk menjelaskan jarak yang ditempuh Rasulullah
Saw. (untuk berbuka) dalam perjalanannya, hingga bisa dikatakan jarak ini
memiliki suatu dilalah yang menunjukkan
objek pembahasan kita.
Dengan demikian, jelas
bahwa orang yang membolehkan berbuka bagi orang yang berpuasa jika dia telah
menempuh jarak sekian atau jarak sekian, maka pendapatnya telah salah, karena
hal ini tidak diceritakan oleh syariat, tidak ada dalam al-Qur'an ataupun dalam
Sunnah Nabi.
Kami perlu meringkas
pembahasan di atas dengan pernyataan berikut: seorang musafir itu berhak berbuka jika dia melakukan
perjalanan pada hari puasanya itu. Tidak ada penghalang apapun yang
menghalanginya dari berbuka. Syariat tidak menetapkan jarak perjalanan tertentu
sebagai udzur berbuka bagi seseorang yang berpuasa. Syariat semata-mata hanya
menetapkan bahwa perjalanan (as-safar) menjadi udzur untuk berbuka.
Sesuatu yang mutlaq
tetap dalam kemutlakannya, sehingga tidak sah mentaqyidnya
dengan perbuatan sahabat, perbuatan tabi’in, perbuatan atau perkataan seorang
ahli fikih, sehingga segala sesuatu yang layak disemati terhadap istilah
perjalanan (as-safar) menjadi udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka.
Selama tidak termasuk kategori
as-safar maka tidak boleh orang tersebut berbuka. Dengan demikian, orang-orang
yang membolehkan berbuka sebelum keluar dari rumah juga telah salah alias
keliru dalam pendapatnya, karena niat safar itu berbeda dengan safar itu
sendiri. Safar itulah yang menjadi udzur, bukan niatnya. Begitu pula
orang yang menetapkan batasan mulai berbuka dalam jarak tertentu, seperti 1 mil
atau 4 barid, mereka juga telah salah dalam pembatasannya itu, karena dalam hal
ini tidak ada dalil dari nash-nash yang shahih
atau hasan, sehingga kita hanya menetapkan bahwa perjalanan (as-safar) itu
menjadi udzur, dan orang yang melakukan perjalanan boleh berbuka.
Sekarang kita tinggal
mengupas, kapan satu aktivitas keluar (al-khuruj) itu bisa dikategorikan
sebagai perjalanan (as-safar) atau bukan? Maka saya nyatakan sebagai berikut:
sesungguhnya aktivitas keluar (al-khuruj) itu agar bisa dikategorikan sebagai safar yang membolehkan berbuka,
adalah ketika seseorang meninggalkan kotanya dan tanah wilayah kotanya, lalu
dia masuk ke wilayah lainnya. Karena itu, seseorang ketika berada di
kotanya tidak bisa dikategorikan sebagai musafir, dan petani ketika berada di
tanah wilayah kotanya tidak dipandang sebagai musafir, walaupun tanahnya itu
beberapa mil jauhnya dari kotanya. Seseorang tidak dipandang sebagai musafir,
kecuali jika dia meninggalkan kotanya dan tanah wilayah kotanya itu (tempat dia
mukim). Saat itu saja dia sudah boleh berbuka, baik dengan makan, minum, atapun
dengan bersetubuh.
Adapun ahlu ra’yi, Malik, as-Syafi'i dan selainnya
yang mengatakan bahwa seseorang yang bermukim itu -jika berniat berpuasa-
kemudian melakukan perjalanan maka dia tidak boleh berbuka, dia harus
meneruskan puasanya, dengan beralasan bahwa puasa itu adalah ibadah yang berbeda
ketika dalam kondisi mukim (hadhar) dan
dalam kondisi melakukan perjalanan (safar). Jika keduanya bertemu dalam satu
ibadah maka yang dimenangkan adalah kondisi hadhar,
seperti shalat, dan pernyataan as-Syafi’i: barangsiapa yang suatu pagi dalam
keadaan mukim, lalu hendak melakukan perjalanan, maka dia tidak boleh berpuasa
kecuali benar-benar terbukti hadits Nabi Saw. bahwasanya beliau Saw. berbuka
pada hari perjalanan mereka di al-Kadid. Untuk membantah mereka, jawabannya
adalah sebagai berikut:
Pertama: hadits yang
berasal dari Rasulullah Saw., bahwa beliau berbuka pada hari al-Kadid, telah
tetap dan terbukti, di mana hadits ini telah diriwayatkan oleh ad-Darimi,
Muslim dan selainnya, dan kami telah mencantumkannya dalam pembahasan:
“Dalil-Dalil Mereka yang Mengatakan Wajibnya Berbuka Ketika Dalam
Perjalanan" pada poin 2. Begitu pula telah diriwayatkan oleh Muslim dan
selainnya, bahwa beliau Saw. telah berbuka di Kuraa'
al-Ghamim, sebagaimana disebutkan dalam poin 3 pembahasan yang sama.
Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
“Rasulullah Saw.
melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga sampai di
Usfan. Kemudian beliau Saw. meminta satu wadah berisi air, lalu beliau Saw.
meminumnya di siang hari agar orang-orang melihatnya. Setelah itu beliau Saw.
berbuka hingga masuk ke kota Makkah.”
Ini adalah tiga hadits
yang telah tetap dan terbukti, dan bukan satu hadits saja, sehingga para
pengikut pendapat as-Syafi'i harus menarik kembali pendapat mereka.
Kedua: bahwa puasa itu
adalah ibadah yang berbeda dalam kondisi hadhar
dan safar, sehingga jika keduanya bertemu dalam satu ibadah maka yang
dimenangkan adalah hukum hadhar seperti
shalat. Saya justru merasa lebih heran lagi dengan pendapat seperti ini,
sehingga untuk membantahnya saya hanya cukup mengatakan bahwa hukum apapun
adalah bersifat terus dan tetap, hingga ada udzur yang membolehkan untuk
meninggalkan hukum tersebut. Saat itulah berlakunya hukum tersebut dihentikan,
lalu mengamalkan yang terakhir, tanpa melihat lagi apakah udzurnya datang lebih
dulu atau belakangan, apakah udzur tersebut melawan hukum asal dan kemudian
salah satunya memenangkan pertentangan tersebut. Kaidah ini begitu mudah untuk
dimengerti.
Berdasarkan hal itu, seseorang
yang mukim itu jika berniat dan berpuasa maka berlaku hukum berpuasa, dan jika
kemudian ada udzur perjalanan padanya maka udzur ini menjadikan dia boleh
berbuka. Jika tidak, maka untuk apa keberadaan udzur ini? Bahkan tidak ada
nilainya dari udzur-udzur lain seluruhnya. Semoga Allah Swt. mengampuni kita
semua.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar