Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 06 November 2017

Muntah Dengan Sengaja, Puasa Batal



4. Muntah dengan Sengaja

Muhammad bin al-Mundzir berkata: Terdapat kesepakatan (al-ijma’) tentang batalnya puasa disebabkan muntah yang disengaja. Tetapi Ibnu Bathal telah menukil riwayat dari Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Mas'ud ra.: Tidak membatalkan secara mutlak. Dan ini pun merupakan salah satu dari dua riwayat dari para sahabat Malik. Atha bin Abi Rabah dan Abu Tsaur berkata: Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia harus mengqadha dan melakukan kaffarat.
Sebuah pendapat telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Malik, at-Tsauri, al-Auza'i, Ahmad, Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, as-Syafi'i dan kalangan ahlur ra’yi, bahwa barangsiapa yang terpaksa muntah -atau muntah tidak disengaja- maka puasanya tidak batal.
Ibnu al-Mundzir telah menukil kesepakatan, yakni ijma para ulama, untuk tidak melakukan qadha bagi orang yang terpaksa muntah dan tidak menyengaja melakukannya, kecuali salah satu dari riwayat dari al-Hasan al-Bashri.

Kami merasa perlu untuk menyebutkan sejumlah hadits dan atsar yang terkait dengan masalah ini.

a. Dari Ma’dan bin Thalhah bahwa Abu Darda ra. telah mengabarkan kepadanya:

“Bahwa Rasulullah Saw. muntah lalu beliau berbuka. Kemudian aku bertemu Tsauban pelayan Rasulullah Saw. di masjid Damsyiq, maka aku berkata: Abu Darda telah mengabarkan kepadaku bahwa Rasulullah Saw. muntah, lalu beliau Saw. berbuka. Dia (Tsauban) berkata: Benar, akulah yang menuangkan air wudhu pada beliau Saw.” (HR. Abu Dawud [2381], an-Nasai, Ibnu Hibban dan ad-Darimi)

Tirmidzi dan Ahmad pun meriwayatkan hadits ini, dan keduanya berkata: hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dalam masalah ini. Ibnu Manduh berkata: sanadnya shahih dan bersambung (muttashil).

b. Dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Darda ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. muntah, lalu beliau Saw. berbuka, kemudian dihantarlah air kepadanya, dan beliau Saw. berwudhu.” (HR. Abdurrazaq [7548], an-Nasai, dan Ahmad, sanad haditsnya shahih)

c. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang terpaksa muntah, sedangkan dia dalam keadaan berpuasa, maka tidak wajib qadha atasnya. Dan jika dia muntah (dengan sengaja) maka hendaklah dia mengqadhanya.” (HR. Abu Dawud [2380], Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan gharib. Hadits ini pun dishahihkan oleh al-Hakim dan ad-Dzahabi. Bukhari berkata: aku menganggap hadits ini tidak ada dalam hafalan. Ahmad berkata: hadits ini tidak memiliki arti apapun.

An-Nasai telah meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan al-Kubra [3117] dengan redaksi:

“Jika seseorang yang berpuasa terpaksa muntah maka hal itu tidak membatalkannya, dan jika muntah dengan disengaja maka dia harus mengqadhanya.”

An-Nasai berkata: Hadits ini telah dimauqufkan oleh Atha kepada Abu Hurairah.

d. Dari Umar bin al-Hakam bin Tsauban:

“Dia mendengar Abu Hurairah ra. berkata: Jika seseorang muntah maka janganlah dia berbuka, karena sesungguhnya dia hanya mengeluarkan dan tidak memasukkan. Disebutkan dari Abu Hurairah bahwa orang tersebut telah berbuka, dan yang pertamalah yang lebih shahih. Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata puasa itu (menahan diri) dari sesuatu yang masuk, bukan dari sesuatu yang keluar…”

Bukhari telah menyebutkannya dalam bab al-hijamah wa al-qai li as-sha'im (berbekam dan muntah bagi orang yang berpuasa).

e. Dari Nafi, dari Ibnu Umar ra., bahwa dia berkata:

“Barangsiapa yang muntah (tidak disengaja) maka tidak ada kewajiban qadha atasnya, dan barangsiapa yang muntah (disengaja) maka ada kewajiban qadha atasnya.” (Riwayat al-Baihaqi [4/219])

Malik [48] meriwayatkan hadits ini dalam Kitab as-Shaum.

f. Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tiga perkara yang tidak membatalkan orang yang berpuasa: muntah, berbekam dan mimpi.” (HR. al-Bazzar [1016])

Al-Haitsami berkata: al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dengan dua sanad, dan dia menshahihkan salah satunya, dan zhahir hadits ini shahih.

Sedangkan ulama yang lain mendhaifkan hadits ini. Ad-Daruquthni [2/183] dan at-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Wasith dari jalur Abu Said al-Khudri telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang hampir sama dengan di atas.

Dalam hadits yang pertama disebutkan: beliau taqayya'a (muntah) lalu beliau berbuka, kalimat ini telah ditafsirkan oleh hadits kedua: Rasulullah Saw. istaqaa'a (muntah disengaja) lalu beliau Saw. berbuka, dan hadits ketiga: dan jika istaqaa’a (muntah disengaja) maka hendaklah dia mengqadhanya.
Ungkapan muntah secara disengaja menggunakan dua lafadz: istaqaa'a dan taqayya'a.
Dan hadits ketiga ini, walaupun diragukan keterpeliharaannya oleh Bukhari dan Ahmad, tetapi ketika dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Tirmidzi maka cukuplah alasan bisa diterimanya hadits ini.

Hadits-hadits Nabi ini telah menyebutkan bahwa orang yang taqayyaa atau istaqaa'a, yakni sengaja muntah, maka dia telah batal puasanya, dan wajib atasnya untuk mengqadha puasanya. Saya tidak menemukan satu pun hadits yang marfu' yang bertentangan dengan nash-nash ini, sehingga hadits-hadits ini bisa diamalkan. Bisa dikatakan bahwa muntah dengan sengaja merupakan salah satu perkara yang membatalkan puasa. Atsar Ibnu Umar dalam poin lima yang telah kami sebutkan selaras dengan pendapat yang kami ungkapkan ini.

Tentang hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., telah diriwayatkan dua pendapat (dari Abu Hurairah) yang nampak saling bertentangan, di mana dalam hadits ketiga telah kami sebutkan pernyataan Atha bahwa hadits ini mauquf pada Abu Hurairah. Seandainya pendapat Atha ini kita pandang sebagai pendapat yang benar maka kami nyatakan bahwa Abu Hurairah telah berkata:

“Jika muntah maka wajib qadha atasnya.”

“Jika dia muntah maka hendaklah dia mengqadhanya.”

Yaitu jika muntah dengan sengaja maka batallah puasanya, dan dia telah berbuka.

Mengenai riwayat yang disebutkan Bukhari dari Abu Hurairah, riwayat tersebut datang dalam bentuk umum: jika seseorang muntah maka janganlah dia berbuka (membatalkan puasanya); dari Abu Hurairah bahwasanya dia berbuka. Yang dipandang lebih kuat adalah riwayat pertama, sehingga sebaiknya kita mengambil riwayat yang lebih rajih berdasarkan riwayatnya: jika dia muntah maka janganlah dia berbuka (membatalkan puasanya). Riwayat ini tidak membedakan antara muntah yang disengaja dengan muntah yang tidak disengaja. Redaksinya disebutkan dalam bentuk umum, dan kita tidak bisa mengingkari bahwa muntah yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa, sehingga kita memiliki dua riwayat dari Abu Hurairah: pertama yang men-takhsish muntah yang disengaja bahwa hal itu membatalkan puasa, dan kedua yang menggeneralisir muntah bahwasanya hal itu tidak membatalkan.
Karena itu riwayat yang mesti dijadikan pegangan adalah riwayat yang mentakhsis, yang menyatakan bahwa muntah yang disengaja itu membatalkan.
Sedangkan riwayat yang berbentuk umum dipahami pada perkara lain selain itu. Dengan demikian, bisa ditetapkan bahwa pernyataan yang mentakhsis yang disebutkan dalam hadits ketiga inilah, yang memiliki pengertian sesuai dengan hadits-hadits marfu' di atas.

Kemudian kita bahas atsar Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh al-Bazzar: al-Bazzar telah menyebutkan dua sanad dari Ibnu Abbas dengan satu redaksi, dan dalam dua sanad tersebut ada Muhammad bin Abdul Aziz. Dia ini adalah Abu Abdillah ar-Ramali, yang dikenal dengan Ibnu al-Wasithi sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, bahwa perawi ini telah dikomentari oleh Abu Zur'ah sebagai orang yang tidak kuat. Abu Hatim berkata: orang ini memiliki sejumlah keanehan, dan menurut para ulama hadits tidak termasuk orang yang terpuji, sehingga lebih condong untuk didhaifkan. Tetapi Ibnu Hibban telah mentsiqahkannya. Ibnu Hibban dikenal sebagai orang yang mudah mentsiqahkan para perawi. Walaupun begitu dia (Ibnu Hibban) berkata: seringkali menyalahi riwayat shahih. Al-Haitsami berkomentar tentangnya -dengan dua sanad dan menshahihkan salah satunya- (maka al-Haitsami berkata) bahwa al-Bazzar telah menshahihkan salah satu dari dua sanad tersebut, adalah komentar yang kurang cermat. Hal ini karena al-Bazzar telah berkata setelah meriwayatkan dua riwayat ini: ini adalah sanad yang paling baik dan paling shahih, karena Muhammad bin Abdul Aziz tidak termasuk penghafal hadits yang baik. Pernyataan ini tidak memberi pengertian bahwa sanad hadits ini shahih, tetapi hanya memberi pengertian bahwa sanad ini adalah sanad yang paling shahih dibandingkan yang lain. Selain itu al-Bazzar telah berkata mengomentari Muhammad bin Aziz ini: dia tidak termasuk penghafal hadits yang baik.
Dengan demikian, dalam hadits ini terdapat kelemahan.
Yang serupa dengan hadits ini adalah riwayat ad-Daruquthni dari jalur Abu Said, di dalamnya ada Hisyam bin Saad, di mana orang ini telah didhaifkan oleh an-Nasai, Ahmad dan Yahya bin Ma'in. Orang ini dipandang lemah oleh Ibnu ‘Adi, dan dia berkata: walaupun dia memiliki kelemahan tetapi haditsnya tetap dicatat. Abdul Haq telah berkata: haditsnya ditulis tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Di sisi lain, Muslim telah berhujjah dengannya, dan Bukhari menjadikannya sebagai syahid.

Seandainya kita berasumsi bahwa hadits ini layak untuk dijadikan hujjah dan dalil, maka kami perlu komentari dengan komentar yang kami gunakan ketika menanggapi atsar Abu Hurairah yang bersifat umum di hadapan atsarnya yang bersifat khusus. Karena hadits Daruquthni dan al-Bazzar disebutkan dalam bentuk umum: “muntah”, tanpa penjelasan apakah disengaja atau tidak disengaja, maka hadits ini kami takhsis dengan hadits-hadits yang kami sebutkan sebelumnya, yang menyatakan bahwa muntah yang disengajalah yang membatalkan puasa seseorang.

Jadi, muntah itu -jika disengaja- maka termasuk perkara yang membatalkan puasa seseorang, dan pembahasan lebih panjang lebar lagi dalam masalah ini telah kami kemukakan dalam topik “Mengqadha Puasa Bagi Orang Yang Muntah Dengan Sengaja” dalam bab “Mengqadha Puasa.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam