4. Muntah dengan Sengaja
Muhammad bin
al-Mundzir berkata: Terdapat kesepakatan (al-ijma’) tentang batalnya puasa
disebabkan muntah yang disengaja. Tetapi Ibnu Bathal telah menukil riwayat dari
Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Mas'ud ra.: Tidak membatalkan secara mutlak. Dan ini
pun merupakan salah satu dari dua riwayat dari para sahabat Malik. Atha bin Abi
Rabah dan Abu Tsaur berkata: Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia
harus mengqadha dan melakukan kaffarat.
Sebuah pendapat telah
diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Malik, at-Tsauri, al-Auza'i,
Ahmad, Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, as-Syafi'i dan kalangan ahlur ra’yi, bahwa barangsiapa yang terpaksa
muntah -atau muntah tidak disengaja- maka puasanya tidak batal.
Ibnu al-Mundzir telah
menukil kesepakatan, yakni ijma para
ulama, untuk tidak melakukan qadha bagi
orang yang terpaksa muntah dan tidak menyengaja melakukannya, kecuali salah
satu dari riwayat dari al-Hasan al-Bashri.
Kami merasa perlu
untuk menyebutkan sejumlah hadits dan atsar yang terkait dengan masalah ini.
a. Dari Ma’dan bin Thalhah bahwa Abu Darda ra.
telah mengabarkan kepadanya:
“Bahwa Rasulullah Saw.
muntah lalu beliau berbuka. Kemudian aku bertemu Tsauban pelayan Rasulullah
Saw. di masjid Damsyiq, maka aku berkata: Abu Darda telah mengabarkan kepadaku
bahwa Rasulullah Saw. muntah, lalu beliau Saw. berbuka. Dia (Tsauban) berkata:
Benar, akulah yang menuangkan air wudhu pada beliau Saw.” (HR. Abu Dawud
[2381], an-Nasai, Ibnu Hibban dan ad-Darimi)
Tirmidzi dan Ahmad pun
meriwayatkan hadits ini, dan keduanya berkata: hadits ini merupakan hadits yang
paling shahih dalam masalah ini. Ibnu
Manduh berkata: sanadnya shahih dan bersambung (muttashil).
b. Dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Darda ra.,
ia berkata:
“Rasulullah Saw.
muntah, lalu beliau Saw. berbuka, kemudian dihantarlah air kepadanya, dan
beliau Saw. berwudhu.” (HR. Abdurrazaq [7548], an-Nasai, dan Ahmad, sanad
haditsnya shahih)
c. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
terpaksa muntah, sedangkan dia dalam keadaan berpuasa, maka tidak wajib qadha atasnya. Dan jika dia muntah (dengan
sengaja) maka hendaklah dia mengqadhanya.”
(HR. Abu Dawud [2380], Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi dan
Ibnu Hibban)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan gharib. Hadits ini pun
dishahihkan oleh al-Hakim dan
ad-Dzahabi. Bukhari berkata: aku menganggap hadits ini tidak ada dalam hafalan.
Ahmad berkata: hadits ini tidak memiliki arti apapun.
An-Nasai telah
meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan al-Kubra
[3117] dengan redaksi:
“Jika seseorang yang
berpuasa terpaksa muntah maka hal itu tidak membatalkannya, dan jika muntah
dengan disengaja maka dia harus mengqadhanya.”
An-Nasai berkata:
Hadits ini telah dimauqufkan oleh Atha
kepada Abu Hurairah.
d. Dari Umar bin al-Hakam bin Tsauban:
“Dia mendengar Abu
Hurairah ra. berkata: Jika seseorang muntah maka janganlah dia berbuka, karena
sesungguhnya dia hanya mengeluarkan dan tidak memasukkan. Disebutkan dari Abu
Hurairah bahwa orang tersebut telah berbuka, dan yang pertamalah yang lebih shahih. Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata puasa
itu (menahan diri) dari sesuatu yang masuk, bukan dari sesuatu yang keluar…”
Bukhari telah
menyebutkannya dalam bab al-hijamah wa al-qai
li as-sha'im (berbekam dan muntah bagi orang yang berpuasa).
e. Dari Nafi, dari Ibnu Umar ra., bahwa dia
berkata:
“Barangsiapa yang
muntah (tidak disengaja) maka tidak ada kewajiban qadha
atasnya, dan barangsiapa yang muntah (disengaja) maka ada kewajiban qadha atasnya.” (Riwayat al-Baihaqi [4/219])
Malik [48]
meriwayatkan hadits ini dalam Kitab as-Shaum.
f. Dari Ibnu Abbas ra.
dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga perkara yang
tidak membatalkan orang yang berpuasa: muntah, berbekam dan mimpi.” (HR.
al-Bazzar [1016])
Al-Haitsami berkata:
al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dengan dua sanad, dan dia menshahihkan salah satunya, dan zhahir hadits ini shahih.
Sedangkan ulama yang
lain mendhaifkan hadits ini.
Ad-Daruquthni [2/183] dan at-Thabrani dalam al-Mu'jam
al-Wasith dari jalur Abu Said al-Khudri telah meriwayatkan hadits ini
dengan redaksi yang hampir sama dengan di atas.
Dalam hadits yang
pertama disebutkan: beliau taqayya'a
(muntah) lalu beliau berbuka, kalimat ini telah ditafsirkan oleh hadits kedua:
Rasulullah Saw. istaqaa'a (muntah
disengaja) lalu beliau Saw. berbuka, dan hadits ketiga: dan jika istaqaa’a (muntah disengaja) maka hendaklah
dia mengqadhanya.
Ungkapan muntah secara
disengaja menggunakan dua lafadz: istaqaa'a
dan taqayya'a.
Dan hadits ketiga ini,
walaupun diragukan keterpeliharaannya oleh Bukhari dan Ahmad, tetapi ketika dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dan
dihasankan oleh Tirmidzi maka cukuplah
alasan bisa diterimanya hadits ini.
Hadits-hadits Nabi ini
telah menyebutkan bahwa orang
yang taqayyaa
atau istaqaa'a,
yakni sengaja muntah, maka dia telah batal puasanya, dan wajib atasnya untuk
mengqadha puasanya. Saya tidak
menemukan satu pun hadits yang marfu' yang bertentangan dengan nash-nash ini,
sehingga hadits-hadits ini bisa diamalkan. Bisa dikatakan bahwa muntah dengan
sengaja merupakan salah satu perkara yang membatalkan puasa. Atsar Ibnu Umar
dalam poin lima yang telah kami sebutkan selaras dengan pendapat yang kami
ungkapkan ini.
Tentang hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., telah diriwayatkan dua pendapat (dari Abu
Hurairah) yang nampak saling bertentangan, di mana dalam hadits ketiga telah
kami sebutkan pernyataan Atha bahwa hadits ini mauquf pada Abu Hurairah. Seandainya
pendapat Atha ini kita pandang sebagai pendapat yang benar maka kami nyatakan
bahwa Abu Hurairah telah berkata:
“Jika muntah maka
wajib qadha atasnya.”
“Jika dia muntah maka
hendaklah dia mengqadhanya.”
Yaitu jika muntah
dengan sengaja maka batallah puasanya, dan dia telah berbuka.
Mengenai riwayat yang
disebutkan Bukhari dari Abu Hurairah, riwayat tersebut datang dalam bentuk
umum: jika seseorang muntah maka janganlah dia berbuka (membatalkan puasanya);
dari Abu Hurairah bahwasanya dia berbuka. Yang dipandang lebih kuat adalah riwayat
pertama, sehingga sebaiknya kita mengambil riwayat yang lebih rajih berdasarkan riwayatnya: jika dia muntah
maka janganlah dia berbuka (membatalkan puasanya). Riwayat ini tidak membedakan
antara muntah yang disengaja dengan muntah yang tidak disengaja. Redaksinya
disebutkan dalam bentuk umum, dan kita tidak bisa mengingkari bahwa muntah yang
tidak disengaja tidak membatalkan puasa, sehingga kita memiliki dua riwayat
dari Abu Hurairah: pertama yang men-takhsish
muntah yang disengaja bahwa hal itu membatalkan puasa, dan kedua yang
menggeneralisir muntah bahwasanya hal itu tidak membatalkan.
Karena itu riwayat
yang mesti dijadikan pegangan adalah riwayat yang mentakhsis, yang menyatakan bahwa muntah yang disengaja itu
membatalkan.
Sedangkan riwayat yang
berbentuk umum dipahami pada perkara lain selain itu. Dengan demikian, bisa
ditetapkan bahwa pernyataan yang mentakhsis
yang disebutkan dalam hadits ketiga inilah, yang memiliki pengertian sesuai
dengan hadits-hadits marfu' di atas.
Kemudian kita bahas
atsar Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh al-Bazzar: al-Bazzar telah menyebutkan
dua sanad dari Ibnu Abbas dengan satu redaksi, dan dalam dua sanad tersebut ada
Muhammad bin Abdul Aziz. Dia ini adalah Abu Abdillah ar-Ramali, yang dikenal
dengan Ibnu al-Wasithi sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, bahwa perawi ini telah
dikomentari oleh Abu Zur'ah sebagai orang yang tidak kuat. Abu Hatim berkata:
orang ini memiliki sejumlah keanehan, dan menurut para ulama hadits tidak
termasuk orang yang terpuji, sehingga lebih condong untuk didhaifkan. Tetapi Ibnu Hibban telah mentsiqahkannya. Ibnu Hibban dikenal sebagai
orang yang mudah mentsiqahkan para
perawi. Walaupun begitu dia (Ibnu Hibban) berkata: seringkali menyalahi riwayat
shahih. Al-Haitsami berkomentar
tentangnya -dengan dua sanad dan menshahihkan
salah satunya- (maka al-Haitsami berkata) bahwa al-Bazzar telah menshahihkan salah satu dari dua sanad tersebut,
adalah komentar yang kurang cermat. Hal ini karena al-Bazzar telah berkata
setelah meriwayatkan dua riwayat ini: ini adalah sanad yang paling baik dan
paling shahih, karena Muhammad bin Abdul
Aziz tidak termasuk penghafal hadits yang baik. Pernyataan ini tidak memberi
pengertian bahwa sanad hadits ini shahih,
tetapi hanya memberi pengertian bahwa sanad ini adalah sanad yang paling shahih dibandingkan yang lain. Selain itu
al-Bazzar telah berkata mengomentari Muhammad bin Aziz ini: dia tidak termasuk
penghafal hadits yang baik.
Dengan demikian, dalam
hadits ini terdapat kelemahan.
Yang serupa dengan
hadits ini adalah riwayat ad-Daruquthni dari jalur Abu Said, di dalamnya ada
Hisyam bin Saad, di mana orang ini telah didhaifkan
oleh an-Nasai, Ahmad dan Yahya bin Ma'in. Orang ini dipandang lemah oleh Ibnu
‘Adi, dan dia berkata: walaupun dia memiliki kelemahan tetapi haditsnya tetap
dicatat. Abdul Haq telah berkata: haditsnya ditulis tetapi tidak bisa dijadikan
hujjah. Di sisi lain, Muslim telah berhujjah
dengannya, dan Bukhari menjadikannya sebagai syahid.
Seandainya kita
berasumsi bahwa hadits ini layak untuk dijadikan hujjah dan dalil, maka kami
perlu komentari dengan komentar yang kami gunakan ketika menanggapi atsar Abu
Hurairah yang bersifat umum di hadapan atsarnya yang bersifat khusus. Karena
hadits Daruquthni dan al-Bazzar disebutkan dalam bentuk umum: “muntah”, tanpa
penjelasan apakah disengaja atau tidak disengaja, maka hadits ini kami takhsis
dengan hadits-hadits yang kami sebutkan sebelumnya, yang menyatakan bahwa
muntah yang disengajalah yang membatalkan puasa seseorang.
Jadi, muntah itu -jika disengaja- maka
termasuk perkara yang membatalkan puasa seseorang, dan pembahasan lebih
panjang lebar lagi dalam masalah ini telah kami kemukakan dalam topik “Mengqadha Puasa Bagi Orang Yang Muntah Dengan
Sengaja” dalam bab “Mengqadha Puasa.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar