Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 November 2017

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA



1. Memutuskan Niat Puasa

Puasa adalah ibadah, sehingga memerlukan niat dari awal hingga akhirnya. Jika niat itu diputuskan, maka terputuslah puasanya.

2. Makan dan Minum dengan Sengaja

Dalam masalah ini kami tidak perlu menyebutkan lagi dalilnya, karena termasuk perkara yang pasti diketahui, baik oleh orang 'alim ataupun awam.

3. Haid dan Nifas

Hal ini pun pasti diketahui, dan kami telah membahasnya dalam bab “Puasa Ramadhan: Hukum-Hukumnya Secara Umum.”




5. Bersetubuh (al-Jima’)

Jima’ itu membatalkan seseorang yang berpuasa, dan ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam perkara agama (ma'lum min ad-din bi ad-dharurah). Tinjauan dari berbagai aspek dan seginya telah kami kemukakan dalam pembahasan “Halalnya Jima’ Di Malam-Malam Bulan Puasa” pada bab “Puasa Ramadhan: Hukum-Hukumnya Secara Umum.” Begitu pula dalam pembahasan: “Puasa Orang yang Menyetubuhi Isterinya di Siang Hari Bulan Ramadhan” pada bab “Kaffarat”, juga dalam pembahasan “Seseorang yang Menyetubuhi Isterinya di Siang Hari Bulan Ramadhan, dan Tidak Sanggup Melaksanakan Puasa Dua Bulan Berturut-turut” pada bab “Kaffarat”, maka kami persilakan para pembaca untuk menelaahnya kembali.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah


6. As-Su'uth

Disebut juga dengan istilah an-nusyuq dan an-nusyugh, artinya meletakkan satu benda di hidung lalu dihirup, sehingga obat yang dihirup melalui hidung itu disebut as-sa'uth.

As-Su'uth dalam sejumlah hadits telah disebutkan seperti obat, tetapi tidak satupun di antara hadits-hadits ini yang menyebutkan istilah ini yang disandingkan dengan puasa. Karena itu para ahli hadits tidak menemukan hadits yang menyebutkan istilah ini dalam masalah puasa kecuali hadits yang diriwayatkan dari Laqith bin Shabrah ra., ia berkata:

“Aku berkata: wahai Rasulullah Saw. ajarilah aku tentang wudhu. Beliau Saw. berkata: “Sempurnakanlah wudhu, dan berlebihlah dalam istinsyaq (menghirup air dengan hidung), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Majah [407], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)

Sehingga kemudian para ahli hadits memasukkan istinsyaq dalam wudhu ke dalam kategori as-su'uth.

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah as-su'uth ini: apakah dibolehkan bagi seseorang yang berpuasa dan tidak membatalkannya, atau termasuk perkara yang membatalkan puasa?
Bukhari [1934] berkata: al-Hasan berkata: as-su'uth tidak masalah dilakukan oleh seseorang yang berpuasa, jika tidak sampai ke kerongkongannya, begitu pula dengan bercelak.
Ibnu Abi Syaibah [2/462] menyebutkan secara maushul dengan redaksi yang hampir sama.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari al-Qa'qa, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Ibrahim an-Nakha'i tentang as-su'uth dengan menggunakan as-shabiri (perasan pohon yang pahit) bagi seseorang yang berpuasa, maka dia berpendapat tidak apa-apa melakukannya.”
Dalam riwayat lain:

“Ia berkata: as-su'uth itu tidak apa-apa dilakukan seseorang yang berpuasa.”

Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa as-su'uth itu membatalkan puasa dan mewajibkan qadha.

Para ulama berbeda pendapat tentang air yang dihirup melalui hidung (istinsyaq) oleh seseorang yang berpuasa, lalu sampai ke tenggorokan tanpa sengaja:
Hanafiyah, Malikiyah, dan imam as-Syafi’i berpendapat dalam salah satu qaulnya: hal itu merusak puasa.
Sedangkan Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, al-Auza'i dan para pengikut as-Syafi’i berpendapat: bahwa hal tersebut tidak merusak puasa sebagaimana orang yang lupa.
Al-Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha'i berkata: hal itu merusak puasa jika disengaja.

Terdapat larangan melakukan istinsyaq secara berlebihan dalam kondisi puasa, untuk menjaga agar air tersebut tidak sampai ke kerongkongan. Ini merupakan peringatan yang disampaikan oleh al-Hasan yang telah disebutkan oleh Bukhari di atas.

Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. masuk, lalu ia berkata: “Wahai Aisyah, apakah ada remukan roti?” Lalu aku membawa roti bulat pipih untuknya, kemudian meletakkannya pada mulutnya. Maka beliau Saw. bertanya: “Wahai Aisyah, apakah ada yang masuk darinya ke dalam perutku? Begitu pula ciuman seseorang yang berpuasa, karena berbuka itu disebabkan sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar.” (HR. Abu Ya'la [8/4954]) Al-Haitsami berkata: diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan dalam sanadnya ada perawi yang tidak aku ketahui. Dalam sanad hadits ini adalah seorang perawi yang tidak dikenal (al-majhul), sehingga status hadits ini dhaif. Al-Haitsami menunjuk pada perempuan yang meriwayatkan hadits ini yang dipanggil Salma dari kabilah Bakr bin Wail, dia seorang wanita tidak dikenal, sehingga hadits ini tidak boleh digunakan.

As-su'uth dan segala sesuatu yang dihirup oleh manusia lewat hidung akan masuk ke dalam paru-paru (lungs) melalui hulu kerongkongan (pharynx), yakni masuk ke dalam dada.

Jika yang dihirup hidung adalah wewangian atau bau-bauan, baik yang harum ataupun yang berbau busuk, tidak bermasalah jika seseorang yang berpuasa menyengaja menciumnya.
At-Thabrani telah meriwayatkan dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath [4449] dan dalam al-Mu'jam as-Shagir [614] dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya, apakah seseorang yang berpuasa boleh mencium? Beliau Saw. menjawab: “Apakah ada masalah dengan bau-bauan yang diciumnya.”

Sanad hadits ini berstatus hasan.

Rasulullah Saw. telah menyerupakan mencium isteri (at-taqbil) dengan mencium (as-syamm) wewangian. Penyerupaan ini menunjukkan bahwa mencium wewangian itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana mencium isteri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam