1. Memutuskan Niat Puasa
Puasa adalah ibadah,
sehingga memerlukan niat dari awal hingga akhirnya. Jika niat itu diputuskan,
maka terputuslah puasanya.
2. Makan dan Minum dengan
Sengaja
Dalam masalah ini kami
tidak perlu menyebutkan lagi dalilnya, karena termasuk perkara yang pasti
diketahui, baik oleh orang 'alim ataupun awam.
3. Haid dan Nifas
Hal ini pun pasti
diketahui, dan kami telah membahasnya dalam bab “Puasa Ramadhan: Hukum-Hukumnya
Secara Umum.”
5. Bersetubuh (al-Jima’)
Jima’ itu membatalkan
seseorang yang berpuasa, dan ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam
perkara agama (ma'lum min ad-din bi ad-dharurah).
Tinjauan dari berbagai aspek dan seginya telah kami kemukakan dalam pembahasan
“Halalnya Jima’ Di Malam-Malam Bulan Puasa” pada bab “Puasa Ramadhan:
Hukum-Hukumnya Secara Umum.” Begitu pula dalam pembahasan: “Puasa Orang yang
Menyetubuhi Isterinya di Siang Hari Bulan Ramadhan” pada bab “Kaffarat”, juga
dalam pembahasan “Seseorang yang Menyetubuhi Isterinya di Siang Hari Bulan
Ramadhan, dan Tidak Sanggup Melaksanakan Puasa Dua Bulan Berturut-turut” pada
bab “Kaffarat”, maka kami persilakan para pembaca untuk menelaahnya kembali.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
6. As-Su'uth
Disebut juga dengan
istilah an-nusyuq dan an-nusyugh, artinya meletakkan satu benda di hidung lalu
dihirup, sehingga obat yang dihirup melalui hidung itu disebut as-sa'uth.
As-Su'uth dalam
sejumlah hadits telah disebutkan seperti obat, tetapi tidak satupun di antara
hadits-hadits ini yang menyebutkan istilah ini yang disandingkan dengan puasa.
Karena itu para ahli hadits tidak menemukan hadits yang menyebutkan istilah ini
dalam masalah puasa kecuali hadits yang diriwayatkan dari Laqith bin Shabrah
ra., ia berkata:
“Aku berkata: wahai
Rasulullah Saw. ajarilah aku tentang wudhu. Beliau Saw. berkata:
“Sempurnakanlah wudhu, dan berlebihlah dalam istinsyaq (menghirup air dengan
hidung), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Majah [407], Abu
Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)
Sehingga kemudian para
ahli hadits memasukkan istinsyaq dalam wudhu ke dalam kategori as-su'uth.
Para ahli fikih
berbeda pendapat dalam masalah as-su'uth ini: apakah dibolehkan bagi seseorang
yang berpuasa dan tidak membatalkannya, atau termasuk perkara yang membatalkan
puasa?
Bukhari [1934]
berkata: al-Hasan berkata: as-su'uth tidak masalah dilakukan oleh seseorang
yang berpuasa, jika tidak sampai ke kerongkongannya, begitu pula dengan
bercelak.
Ibnu Abi Syaibah
[2/462] menyebutkan secara maushul dengan redaksi yang hampir sama.
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari al-Qa'qa, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Ibrahim an-Nakha'i tentang as-su'uth dengan menggunakan as-shabiri (perasan pohon yang pahit) bagi seseorang yang
berpuasa, maka dia berpendapat tidak apa-apa melakukannya.”
Dalam riwayat lain:
“Ia berkata: as-su'uth
itu tidak apa-apa dilakukan seseorang yang berpuasa.”
Namun, mayoritas ulama
berpendapat bahwa as-su'uth itu membatalkan puasa dan mewajibkan qadha.
Para ulama berbeda
pendapat tentang air yang dihirup melalui hidung (istinsyaq) oleh seseorang
yang berpuasa, lalu sampai ke tenggorokan tanpa sengaja:
Hanafiyah, Malikiyah,
dan imam as-Syafi’i berpendapat dalam salah satu qaulnya:
hal itu merusak puasa.
Sedangkan Ahmad, Ishaq
bin Rahuwaih, al-Auza'i dan para pengikut as-Syafi’i berpendapat: bahwa hal
tersebut tidak merusak puasa sebagaimana orang yang lupa.
Al-Hasan al-Bashri dan
Ibrahim an-Nakha'i berkata: hal itu merusak puasa jika disengaja.
Terdapat larangan melakukan
istinsyaq secara berlebihan dalam kondisi puasa, untuk menjaga agar air
tersebut tidak sampai ke kerongkongan. Ini merupakan peringatan yang
disampaikan oleh al-Hasan yang telah disebutkan oleh Bukhari di atas.
Hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
masuk, lalu ia berkata: “Wahai Aisyah, apakah ada remukan roti?” Lalu aku
membawa roti bulat pipih untuknya, kemudian meletakkannya pada mulutnya. Maka
beliau Saw. bertanya: “Wahai Aisyah, apakah ada yang masuk darinya ke dalam
perutku? Begitu pula ciuman seseorang yang berpuasa, karena berbuka itu
disebabkan sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar.” (HR. Abu
Ya'la [8/4954]) Al-Haitsami berkata: diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan dalam sanadnya ada perawi yang tidak aku ketahui.
Dalam sanad hadits ini adalah seorang perawi yang tidak dikenal (al-majhul),
sehingga status hadits ini dhaif.
Al-Haitsami menunjuk pada perempuan yang meriwayatkan hadits ini yang dipanggil
Salma dari kabilah Bakr bin Wail, dia seorang wanita tidak dikenal, sehingga
hadits ini tidak boleh digunakan.
As-su'uth dan segala
sesuatu yang dihirup oleh manusia lewat hidung akan masuk ke dalam paru-paru (lungs) melalui hulu kerongkongan (pharynx),
yakni masuk ke dalam dada.
Jika yang dihirup
hidung adalah wewangian atau bau-bauan, baik yang harum ataupun yang berbau
busuk, tidak bermasalah jika seseorang
yang berpuasa menyengaja menciumnya.
At-Thabrani telah
meriwayatkan dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath
[4449] dan dalam al-Mu'jam as-Shagir
[614] dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya, apakah seseorang yang berpuasa boleh mencium? Beliau Saw. menjawab:
“Apakah ada masalah dengan bau-bauan yang diciumnya.”
Sanad hadits ini
berstatus hasan.
Rasulullah Saw. telah
menyerupakan mencium isteri (at-taqbil) dengan mencium (as-syamm) wewangian.
Penyerupaan ini menunjukkan bahwa mencium wewangian itu tidak membatalkan
puasa, sebagaimana mencium isteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar