Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 20 November 2017

Latar Belakang Penaklukan Makkah Oleh Negara Islam



Putaran pertama: di Makkah

a. Pendahuluan

Setelah perang Mu’tah, Rasulullah Saw. tinggal di Madinah pada bulan Jumadil Akhir dan Rajab, tahun kedelapan Hijriyah. Tidak lama setelah itu, kabilah Bani Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah menyerang kabilah Bani Khuza’ah. Sedang pemicu terjadinya perang antara kabilah Bani Bakr dengan kabilah Khuza'ah adalah bahwa orang dari Bani al-Hadhrami bernama Malik bin Abbad -ketika itu Bani al-Hadhrami bersekutu dengan Bani al-Aswad bin Razn ad-Daili dari kabilah Bani Bakr- keluar untuk berdagang. Ketika ia berada di tengah-tengah daerah kabilah Khuza'ah, orang-orang kabilah Khuza'ah menyerangnya hingga ia tewas dan mereka mengambil harta bendanya. Sebagai gantinya, kabilah Bani Bakr menyerang salah seorang dari kabilah Khuza’ah hingga tewas.
Sebelum Islam datang, kabilah Khuza’ah menyerang tokoh-tokoh Bani al-Aswad bin Razn ad-Daili, yaitu Salma, Kultsum, dan Dhuaib, mereka membunuhnya di perbatasan tanah haram. Ketika kabilah Bani Bakr dan kabilah Khuza’ah dalam keadaan saling menyerang, Islam menghentikan kedua belah pihak yang sedang berperang itu, sebab masing-masing dari mereka lebih sibuk memikirkan Islam.
Ketika perjanjian damai al-Hudaibiyah dibuat antara Rasulullah Saw. dengan kaum kafir Quraisy, yang di dalamnya ada persyaratan dari kedua belah pihak, yaitu siapa saja yang ingin bergabung ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan Rasulullah Saw., maka bergabunglah ke dalamnya; dan siapa saja yang ingin bergabung ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan kaum Quraisy, maka bergabunglah ke dalamnya. Kemudian, kabilah Bani Bakr masuk ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan kaum Quraisy, sedang kabilah Khuza’ah masuk ke dalam perlindungan dan jaminan keamanan Rasulullah Saw. Informasi-informasi ini harus kami kemukakan sebelum membicarakan tentang penaklukan Makkah (fathu Makkah).

b. Sebab Dilakukannya Penaklukan Makkah

Sebab sebenarnya dilakukan penaklukan Makkah adalah pelaksanaan atas program yang telah disusun oleh Rasulullah Saw. dalam rangka membersihkan musuh-musuh Negara Islam.
Setelah pembersihan terhadap institusi politik kaum Yahudi dan seluruh komunitas mereka selesai, tiba periode pembersihan institusi politik dan agama bangsa Arab penganut paganisme di Jazirah Arab. Mengingat kaum kafir Quraisy sebagai batu pondasi bagi institusi ini, maka dengan bersihnya institusi kaum kafir Quraisy secara otomatis orang-orang Arab yang menganut agama kaum kafir Quraisy akan ikut menyerah. Sebab, jika berhala-berhala itu sudah tidak mampu melindungi kaum kafir Quraisy, sedang kaum kafir Quraisy merupakan pelayannya dan sekaligus penjaganya, maka menjaga selain mereka tentu lebih tidak mampu lagi.
Inilah yang terjadi secara riil. Setelah pembersihan institusi kaum kafir Quraisy, setelah itu tidak ada lagi perlawanan terhadap Negara Islam, dan kalaupun ada, Negara Islam mudah sekali membasminya.
Adapun sebab yang secara langsung terkait dengan dilakukannya penaklukan Makkah, maka ketika berlangsungnya perjanjian genjatan senjata antara Rasulullah dan kaum kafir Quraisy, Bani ad-Dail dari Bani Bakr memanfaatkan kesempatan untuk balas dendam atas terbunuhnya orang-orang mereka -Bani al-Aswad bin Razn- yang dibunuh kabilah Khuza’ah di perbatasan tanah haram.

Naufal bin Muawiyah ad-Daili -yang ketika itu ia menjadi pemimpin Bani ad-Dail- pergi bersama Bani ad-Dail, namun tidak semua orang Bani ad-Dail mengikutinya. Mereka menyerang orang-orang Khuza'ah pada malam hari, ketika orang-orang Khuza’ah sedang berada di mata air mereka yang bernama al-Watir, sehingga satu orang dari orang-orang Khuza’ah terbunuh. Akhirnya, berkobarlah perang antara mereka.
Kaum kafir Quraisy membantu sekutunya, Bani Bakr dengan persenjataan dan beberapa orang kafir Quraisy, sehingga orang-orang Khuza’ah terpaksa mundur ke tanah haram untuk berlindung, namun Naufal bin Muawiyah -pemimpin Bani Bakr- memerintahkan kelompoknya agar memasuki tanah haram dan memerangi orang-orang Khuza’ah meski mereka berada di tanah haram. Sekelompok dari kaumnya menjalankan apa yang diperintahkan Naufal. Di Makkah orang-orang Khuza’ah berlindung di rumah Budail bin Warqa, al-Khuza’iy dan berlindung di rumah sekutu mereka yang lain yang bernama Rafi’.
Setelah Bani Bakr membunuh orang-orang Khuza’ah, dan merusak perjanjian gencatan senjata antara mereka dan Rasulullah Saw., maka keadaan inilah yang mendorong Amru bin Salim al-Khuza’iy pergi kepada sekutunya, Rasulullah, dan meminta bantuan kepada beliau. Dengan cepat Amru bin Salim berangkat ke Madinah al-Munawwarah. Ketika ia telah sampai di Madinah, ia langsung menuju masjid, di mana Rasulullah dan para sahabatnya sedang berada.
Setelah Amru bin Salim berada di dekat Rasulullah, maka Amru bin Salim mulai mengungkapkan apa yang diinginkannya:

Sungguh aku memanggil Muhammad, wahai Tuhanku
Sekutu orang tua kami dan orang tuanya dulu
Tadinya kalian adalah anak, sedang kami adalah ayah
Di sana kami berdamai, dan kami tidak pernah mengubah
Tolonglah! Semoga sekarang juga kamu diberi pertolongan
Serulah hamba-hamba Allah datang sebagai bala bantuan
Di dalamnya ada Rasulullah yang tidak memihakkan
Namun, wajahnya akan berubah jika dihinakan
Dalam pasukan besar seperti laut yang mengalir hingga buih dikeluarkan
Sesungguhnya kaum Quraisy mengingkari janjinya denganmu
Melanggar perjanjian yang disepakati bersamamu
Di Kada' mereka mengincar untuk membunuhku
Mereka mengira tak seorangpun yang bisa aku ajaknya
Sedang mereka lebih hina dan lebih sedikit jumlahnya
Mereka meryerang kami di al-Watir saat kami bertahajjud
Dan membunuh kami ketika sedang ruku’ dan sujud

Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Amru bin Salim, engkau akan dibantu.” Kemudian ditampakkan kepada Rasulullah Saw. mendung di langit. Melihat itu beliau bersabda: “Sesungguhnya mendung ini akan turun membawa pertolongan untuk Bani Ka'ab.”
Budail bin Warqa’ bersama sekelompok orang dari orang-orang Khuza’ah pergi ke Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah Saw. Sesampainya di Madinah, mereka memberitahu Rasulullah apa yang sedang mereka alami dan dukungan kaum Qurasiy terhadap Bani Bakr dalam menghadapi mereka. Setelah itu mereka kembali ke Makkah.
Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabat: “Sepertinya Abu Sufyan bin Harb akan datang kepada kalian untuk memperkuat perjanjian dan menambah masa berlakunya.” Budail bin Warqa’ kembali ke Makkah tanpa mengetahui sesuatu yang menjadi tekad Rasulullah Saw.

c. Kaum Quraisy Tetap Menginginkan Perdamaian

Budail bin Warqa’ bersama anak buahnya terus berjalan hingga akhirnya mereka bertemu Abu Sufyan bin Harb di ‘Usfan. Kaum Quraisy mengutus Abu Sufyan bin Harb kepada Rasulullah Saw. untuk memperkuat perjanjian dan memperpanjang masa berlakunya, setelah kaum Quraisy merasa akan mendapatkan kesulitan karena membantu sekutunya, Bani Bakr, menyerang orang-orang Khuza’ah sekutu Rasulullah.
Kaum Quraisy tahu betul bahwa mereka tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk melawan Negara Islam. Apalagi, setelah Rasulullah Saw. berhasil membersihkan semua institusi politik yang memusuhinya termasuk institusi kaum Yahudi.
Sehingga setelah perjanjian damai al-Hudaibiyah banyak dari kabilah-kabilah bangsa Arab yang menganut agama beliau, dan banyak dari kabilah-kabilah yang lain mengadakan gencatan senjata dengan beliau. Kaum Quraisy yakin bahwa sikap yang bijak adalah mengklarifikasi masalahnya dengan Negara Islam, dan tetap memelihara benang perdamaian.
Kaum Quraisy mengutus Abu Sufyan untuk menjalankan tugas ini. Abu Sufyan berangkat ke Madinah al-Munawwarah. Ketika dalam perjalanan ia bertemu dengan Budail bin Warqa’.
Abu Sufyan bertanya kepada Budail bin Warqa’, “Wahai Budail, kamu datang dari mana?” Abu Sufyan bin Harb yakin bahwa Budail bin Warqa’ baru saja menemui Rasulullah Saw. Budail bin Warqa’ menjawab, “Aku bersama orang-orang Khuza’ah baru saja berjalan-jalan di pantai ini dan di pedalaman lembah ini.” Abu Sufyan bertanya, “Apakah kamu baru saja menemui Muhammad?” Budail bin Warqa’ menjawab, “Tidak.”
Ketika Budail bin Warqa’ tiba di Makkah, Abu Sufyan berkata, “Jika Budail bin Warqa' baru tiba dari Madinah, pasti untanya memakan biji kurma.” Usai berkata seperti itu, Abu Sufyan bin Harb segera mendatangi tempat pemberhentian unta Budail bin Warqa’ dan mengambil kotorannya. Ia meremukkan kotoran unta tersebut dan ternyata ia melihat biji kurma ada di dalamnya. Lalu ia berkata, “Aku bersumpah bahwa Budail bin Warqa’ telah menemui Muhammad.”

Abu Sufyan bin Harb tampak gugup dan bingung, ia sadar bahwa perang tidak mungkin dihindari lagi, dan dalam perang kali ini kaum Quraisy akan mengalami kehancuran, sehingga dengan segera ia pergi ke Madinah al-Munawwarah. Dan tanpa pikir panjang, ia langsung menuju ke rumah putrinya, Ummu Habibah, istri Rasulullah Saw. agar Ummu Habibah mau membantunya menghadap Rasulullah guna mewujudkan apa yang diinginkannya. Namun, tidak lama ia berada di rumah Ummu Habibah, ia merasa frustasi, karena ia melihat perlakuan kurang baik dari putrinya, sedang putrinya lebih mengutamakan ridha Rasulullah.
Hal itu tampak olehnya, ketika ia tiba di rumah Ummu Habibah, ia hendak duduk di atas tilam suaminya, Rasulullah, lalu Ummu Habibah melipat dan menjauhkan tilam itu darinya. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Wahai putriku, aku tidak tahu apakah engkau senang dengan aku dan benci pada tilam ini, atau engkau senang dengan tilam ini dan benci kepadaku.” Ummu Habibah menjawabnya, “Tilam ini milik Rasulullah Saw. sedang engkau orang musyrik dan najis. Sehingga aku tidak rela engkau duduk di atasnya.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Demi Allah, engkau menjadi jahat setelah lama berpisah denganku.”
Setelah itu, Abu Sufyan bin Harb pergi ke tempat Rasulullah Saw., ia berbicara dengannya, namun beliau tidak menghiraukannya. Kemudian, ia pergi ke tempat Abu Bakar dan menyuruhnya berbicara dengan Rasulullah Saw., namun Abu Bakar berkata, “Aku tidak mau.”
Selanjutnya, ia mendatangi Umar bin Khaththab dan berbicara dengannya, namun Umar bin Khaththab malah berkata, “Apa? Aku harus menolong kalian di hadapan Rasulullah? Demi Allah, jika aku hanya mendapatkan semut kecil, maka aku akan memerangimu dengannya.”
Abu Sufyan keluar dari rumah Umar, lalu pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Ketika itu, Ali sedang bersama istrinya, Fatimah bintu Rasulullah Saw., dan di dekat Fatimah ada putranya Hasan bin Ali yang sedang merangkak. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Wahai Ali, engkau orang yang paling penyayang. Aka datang kepadamu untuk suatu keperluan. Untuk itu, jangan biarkan aku pulang hanya membawa kegagalan. Maka, tolonglah aku menghadap Rasulullah.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Celakalah engkau, wahai Abu Sufyan, demi Allah, Rasulullah Saw. telah bertekad kepada sesuatu dan kita tidak lagi dapat bernegosiasi dengan beliau.”

Abu Sufyan bin Harb menoleh ke arah Fatimah, lalu berkata, “Wahai putri Muhammad, maukah engkau menyuruh anak kecilmu ini menyelamatkan manusia dari hukuman yang akan dijatuhkan Rasulullah kepada mereka, kemudian ia menjadi pemimpin bangsa Arab sepanjang zaman?” Fatimah menjawab, “Demi Allah, anakku tidak dapat menyelamatkan manusia, dan bahkan tidak seorangpun yang bisa menyelamatkan mereka dari hukuman yang akan dijatuhkan Rasulullah Saw.”
Dan demikian itulah etika yang diajarkan al-Qur’an kepada kaum muslimin:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (TQS. al-Hujurat [49]: 1)

Inilah konsep politik yang ideal, di mana selain kepala negara tidak ada yang memiliki otoritas untuk membuat keputusan.

Abu Sufyan bin Harb menoleh ke arah Ali bin Abi Thalib, lalu berkata, “Wahai Abu Hasan, aku melihat permasalahan menjadi semakin sulit bagiku, untuk itu nasehatilah aku.” Ali bin Abu Thalib berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah masih ada sesuatu yang bermanfaat bagimu? Yang jelas, engkau adalah pemimpin Bani Kinanah, oleh karena itu, berdirilah, dan selamatkan manusia, kemudian pulanglah ke tempat asalmu.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Apakah hal tersebut bermanfaat bagiku?” Ali bin Abu Thalib berkata, “Tidak, demi Allah, aku yakin hal itu tidak akan bermanfaat bagimu, namun aku tidak menemukan ada alternatif yang lain.”
Abu Sufyan bin Harb melaksanakan nasehat Ali, lalu ia pergi ke masjid, ketika para sahabat sedang berkumpul, setelah ia berdiri di depan mereka, maka ia pun berkata, “Wahai manusia, sungguh aku telah menyelamatkan manusia.” Namun, tidak seorangpun yang memperhatikannya. Selanjutnya, Abu Sufyan bin Harb menaiki untanya dan kembali ke Makkah.

Setibanya di Makkah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Informasi apa yang engkau bawa?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Aku datang kepada Muhammad dan berbicara dengannya, namun ia tidak menghiraukan aku. Kemudian aku datang kepada Ibnu Abu Quhafah, namun aku tidak melihat ada kebaikan padanya. Selanjutnya, aku datang kepada Umar bin Khaththab dan aku mendapatinya sebagai orang yang paling keras permusuhannya. Lalu, aku datang kepada Ali bin Abi Thalib dan aku mendapatinya sebagai orang yang paling lembut. Ia menasebatiku agar melakukan sesuatu, namun demi Allah, aku tidak tahu apakah sesuatu itu bermanfaat bagiku atau tidak?” Orang-orang Quraisy berkata, “Apa yang diperintahkan Ali bin Abi Thalib kepadamu?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ia menyuruhku menyelamatkan manusia dan akupun melakukannya.”
Orang-orang Quraisy berkata, “Apakah Muhammad membolehkannya?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Tidak.” Orang-orang Quraisy berkata, “Celakalah engkau! Engkau hanya dipermainkan Ali bin Abi Thalib. Apa yang engkau katakan tadi sama sekali tidak bermanfaat bagimu.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Demi Allah, aku tidak mendapatkan alternatif lain.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam