Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 10 Desember 2017

Nabi SAW Bersiap Menaklukkan Makkah



d. Rasulullah bersiap-siap untuk perang

Rasulullah Saw. memerintahkan kaum muslimin agar bersiap-siap untuk berperang. Namun, beliau tidak memberitahu seorangpun tujuan yang menjadi target serangan. Sehingga Abu Bakar pergi ke rumah putrinya, Aisyah, istri Rasulullah. Abu Bakar bertanya kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah memerintahmu menyiapkan perbekalan yang diperlukan beliau?” Aisyah menjawab, “Ya.” Abu Bakar bertanya lagi, “Tahukah engkau ke mana beliau akan pergi?” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu.”
Tidak lama setelah itu, Rasulullah Saw. memberitahukan para tentaranya bahwa beliau hendak pergi ke Makkah, benteng kemusyrikan dan kaum musyrikin. Kemudian, beliau mengangkat kedua tangannya ke langit, lalu berdo’a, “Ya Allah, rahasiakan informasi ini dari orang-orang Quraisy, agar kami bisa menyerang mereka dengan tiba-tiba di negeri mereka sendiri.”
Di Makkah Hathib bin Abu Balta'ah memiliki sanak keluarga dan harta benda yang melimpah. Hathib ingin tetap menguasainya. Hathib membuat surat untuk kaum Quraisy yang isinya memberitahukan tentang perginya Rasulullah menuju mereka. Hathib menyerahkan surat ini kepada budak perempuan milik salah seorang Bani Abdul Muththalib, namanya Sarah, yang berprofesi sebagai penyanyi. Hathib memberi Sarah upah, dan menyuruh Sarah menyampaikan surat tersebut kepada kaum Quraisy. Hathib melakukan itu, karena ia ingin berjasa kepada kaum Quraisy. Sehingga, apabila kemenangan di pihak Rasulullah, maka ia tetap beruntung sebagai salah seorang di antara kaum muslimin, dan harta bendanya pasti kembali kepadanya. Dan jika kemenangan di pihak kaum Quraisy, maka ia telah berjasa, untuk itu ia berharap kaum Quraisy dapat berbuat adil dengan mengembalikan harta bendanya. Sarah mengambil surat tersebut, lalu meletakkannya di antara lipatan rambutnya dan mengepang ujung-ujungnya. Kemudian, Sarah pergi meninggalkan Madinah.

Rasulullah Saw. mendapat informasi tentang perbuatan Hathib bin Abu Balta’ah tersebut. Untuk itu, beliau mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam. Beliau bersabda kepada keduanya, “Kejarlah wanita yang membawa surat Hatib bin Abu Balta’ah yang berisi informasi kepada orang-orang Quraisy tentang rencana kita terhadap mereka.” Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam berangkat dan berhasil mengejarnya. Keduanya langsung menggeledah kendaraannya untuk mencari surat tersebut, namun tidak menemukan apa-apa.
Ali bin Abi Thalib berkata kepada wanita tersebut, “Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa Rasulullah Saw. tidak berkata dusta dan kita tidak mendustakannya. Serahkan surat itu kepada kami atau kami akan menelanjangimu.” Ketika wanita tersebut melihat bahwa Ali bin Abu Thalib sungguh-sungguh, ia berkata “Berpalinglah dariku.” Ali bin Abu Thalib pun berpaling. Wanita itu segera membuka kepang rambutnya, mengeluarkan surat, dan menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali bin Abi Thalib menyerahkan surat tersebut kepada Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. memanggil Hathib bin Abu Balta’ah dan bersabda, “Wahai Hathib, apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Hathib bin Abu Balta'ah menjawab, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak berubah dan tidak berganti agama. Hanya saja aku orang yang tidak mempunyai asal-usul di Quraisy, sedangkan anak dan keluargaku ada di tempat mereka. Oleh karena itu, aku mengambil muka terhadap mereka.” Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang ini, karena ia telah munafik.” Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Umar, engkau tidak tahu apa yang akan terjadi, barangkali Allah melihatnya seperti para mujahid Badar pada saat perang Badar, kemudian Allah berfirman, “Kerjakan apa saja yang kalian inginkan, karena Aku telah mengampuni kalian.”

Terkait dengan kasus Hathib bin Abu Balta’ah ini, Allah Swt. menurunkan wahyu yang terdapat pada awal surat al-Mumtahanah.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan siapa saja di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (TQS. al-Mumtahanah [60]: 1-4) hingga akhir kisah.

e. Berjalan menuju Makkah

Rasulullah saw. berjalan menuju Makkah. Dan, sebagai imam sementara di Madinah, beliau menunjuk Abu Rahn Kultsum bin Hushain al-Ghifari. Beliau berangkat pada tanggal sepuluh Ramadhan, tahun kedelapan Hijriyah. Dengan demikian, beliau dan kaum muslimin yang bersamanya berpuasa. Namun, membatalkan puasanya ketika beliau dan kaum muslimin tiba di al-Kudaid, yaitu tempat antara Usfan dan Amaj. Kemudian Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanannya hingga beliau sampai di Marru adz-Dzahran bersama sepuluh ribu kaum muslimin. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sebab tidak seorangpun dari mereka yang tidak ikut, seribu dari kabilah Muzainah, dan hampir seribu dari Bani Sulaim.
Meski beliau dan kaum muslimin telah berada di Marru adz-Dzahran, kaum Quraisy tidak mengetahui informasi sama sekali tentang kedatangan beliau, sehingga kaum Quraisy tidak menyadari apa yang akan beliau lakukan. Di sana (Marru adz-Dzahran), beliau meminta pamannya, Abbas bin al-Muththalib mencarikan seorang dari kaum musyrikin, di antara mereka yang berkeperluan, seperti para penjual kayu bakar, para penjual susu, dan yang lainnya agar mereka menyampaikan informasi kepada kaum Quraisy bahwa Rasulullah Saw. datang dengan membawa pasukan yang besar.
Rasulullah Saw. lebih mengedepankan perdamaian dan menjauhi pertumpahan darah, sebab kedatangan beliau tidak lain, kecuali untuk pembersihan eksistensi politik kaum Quraisy. Namun, apabila kaum Quraisy keras kepala, dan mengangkat pedang untuk membela eksistensi politiknya, maka Rasulullah terpaksa memeranginya dengan peperangan yang di dalamnya tidak ada belas kasihan. Kalau hal itu benar terjadi, niscaya akan membawa pada pembersihan eksistensi politik kaum Quraisy dengan pembersihan secara fisik dengan melakukan peperangan yang menghancurkan, yang melibatkan antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Islam dan kekuatan kaum Quraisy. Sehingga dalam peperangan akan terdapat luka yang dalam dan menyakitkan. Sebab penduduk Makkah yang mayoritas suku Quraisy adalah kerabat bagi kaum muslimin Muhajirin. Dengan demikian, akan terpaksa seorang di antara kaum muslimin membunuh anaknya atau ayahnya dengan tangannya sendiri. Untuk itu, Rasulullah Saw. lebih mengutamakan jalan damai, dan memecahkan masalah dengan jalan diplomasi.

Rasulullah Saw. telah menyerahkan semuanya ini kepada pamannya (Abbas bin Abdul Muththalib) yang ditugaskan dan yang diminta melakukan tindakan atas dasar (mengutamakan jalan damai, dan memecahkan masalah dengan jalan diplomasi) ini. Rasulullah Saw. memberikan bighal-nya yang berwarna putih kepada pamannya, mendudukkannya di atas bighal tersebut, dan memintanya segera melakukan tindakan dengan cepat.

Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Akupun duduk di atas bighal milik Rasulullah Saw. yang berwarna putih tersebut, lalu aku pergi dengan mengendarainya. Setelah aku tiba di al-Urak, aku berkata, “Mudah-mudahan aku menemukan salah seorang penjual kayu, penjual susu, atau orang yang berkeperluan lainnya yang sedang menuju Makkah, sehingga ia akan memberitahu mereka (kaum Quraisy) tentang keberadaan Rasulullah Saw. agar dengan mendapatkan informasi ini mereka segera datang kepada Rasulullah untuk meminta jaminan keamanan kepada beliau, sebelum beliau memasuki mereka dengan kekerasan.”

Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Demi Allah, aku terus berjalan dengan mengendarai bighal milik Rasulullah Saw. dan mencari apa yang aku perlukan dalam kepergianku ini. Tiba-tiba, aku mendengar perbincangan Abu Sufyan bin Harb dan Budail bin Warqa’ yang sedang bertukar pendapat. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Aku belum pernah melihat api dan perkemahan seperti yang kulihat malam ini. ” Budail bin Warqa’ berkata, “Demi Allah, itu adalah api yang sedang dinyalakan orang-orang Khuza'ah.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Orang-orang Khuza’ah terlalu kecil dan sedikit sehingga tidak mungkin menyalakan api dan membuat perkemahan seperti yang terlihat ini.”

Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku mengenali suara Abu Sufyan bin Harb.” Lalu, aku berkata, “Wahai Abu Handzalah -nama julukan Abu Sufyan.” Abu Sufyan bin Harb juga mengenali suaraku, ia berkata, “Wahai Abu Fadhl -nama julukan Abbas.” Aku berkata, “Ya, betul.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, ada apa denganmu?” Aku berkata, “Celakalah engkau, wahai Abu Sufyan, itu adalah api dan perkemahan Rasulullah Saw. bersama pasukannya. Demi Allah, berhati-hatilah kaum Quraisy pada pagi ini.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu semua?” Aku berkata, “Demi Allah, jika Rasulullah Saw. berhasil menangkapmu, beliau memenggal lehermu. Oleb karena itu, naiklah di belakang bighal ini, hingga aku membawamu ke tempat Rasulullah Saw. kemudian kamu meminta kepada beliau jaminan keamanan untukmu.”
Abu Sufyan bin Harb pun naik di belakangku, sedang kedua temannya pulang ke Makkah. Aku membawa Abu Sufyan bin Harb, dan setiap kali aku melewati api kaum muslimin mereka bertanya, “Siapa orang ini?” Ketika mereka melihat bighal milik Rasulullah Saw. dan aku berada di atasnya, mereka berkata, “Paman Rasulullah Saw. sedang mengendarai bighal beliau.” Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin Khaththab. Ia berkata, “Siapa ini? “ Ia mendekatiku, dan ketika ia melihat Abu Sufyan bin Harb, ia berkata, “Abu Safyan bin Harb musuh Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian sebelumnya.”

Kemudian Umar bin Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah Saw., dan aku pun memacu bighal hingga mendahului Umar bin Khaththab seperti halnya hewan pelan yang mendahului orang yang jalannya pelan. Aku turun dari bighal, kemudian masuk ke tempat Rasulullah Saw., dan pada saat yang sama Umar bin Khaththab juga masuk ke tempat beliau. Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan bin Harb. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleb karena itu, izinkanlah aku memenggal lenernya.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melindungi Abu Sufyan bin Harb.” Setelah itu, aku duduk di dekat Rasulullah Saw. dan memegang kepala beliau sambil berkata, “Demi Allah, pada malam ini tidak boleh ada orang lain selain diriku yang berbicara denganmu.” Ketika Umar bin Khaththab banyak berbicara tentang Abu Sufyan bin Harb, aku berkata, “Wahai Umar, tenanglah. Demi Allah, seandainya Abu Sufyan bin Harb ini berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, tentu engkau tidak akan berkata seperti itu. Namun, engkau berkata seperti itu karena engkau tahu bahwa Abu Sufyan bin Harb berasal dari Bani Abdu Manaf.” Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Abbas, tenanglah. Demi Allah, keislamanmu ketika engkau masuk Islam itu lebih aku sukai daripada keislaman Khaththab kalau ia masuk Islam.” Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Abbas, pergilah dengan Abu Sufyan bin Harb ke tempat istirahatmu, dan menghadaplah kepadaku besok pagi.”

Aku pun pergi dengan Abu Sufyan bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku -kami yakin bahwa pada malam itu Abbas bin Abdul Muththalib memberi masukan kepada Abu Sufyan bin Harb dan menyakinkannya tentang pentingnya solusi secara damai, dan pentingnya menghindari pertumpahan darah, sebab kaum Quraisy tidak akan mampu berperang dengan Negara Islam- Abbas berkata, “Ketika pagi tiba, aku segera membawa Abu Sufyan bin Harb ke tempat Rasulullah Saw.”
Ketika beliau melihat Abu Sufyan bin Harb, beliau bersabda, “Celakalah engkau wahai Abu Sufyan, apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada Tuhan lain selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti sebelumnya telah mencukupiku dengan sesuatu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Celakalah engkau wahai Abu Sufyan, apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Adapun tentang hal ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat ganjalan hingga sekarang ini.”

Abbas bin Abdul Muththalib berkata kepada Abu Sufyan bin Harb, “Celakalah engkau wahai Abu Sufyan, masuk Islamlah, dan bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah...” Abbas berkata, “Akhirnya, Abu Sufyan bin Harb bersaksi dengan syahadat yang benar dan masuk Islam.” (Lihat Lampiran 13, Masuknya pasukan Islam ke Makkah al-Mukarramah)

Meredam Dendam

Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan bin Harb adalah orang yang senang dengan kebanggaan. Oleh karena itu, berikan sesuatu kepadanya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya, untuk itu, siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan bin Harb maka ia aman; siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia aman; dan siapa saja yang memasuki Masjidil Haram, maka ia aman.”

Sungguh kami katakan: Bahwa Rasulullah Saw. lebih mengedepankan pemberian amnesti dalam masalah-masalah internal, mengerahkan segala kemampuannya untuk meredam dendam kesumat, dan menanam benih-benih kasih sayang di dalam hati umatnya. Dan ini satu-satunya yang mampu menjamin loyalitas rakyat kepada beliau, dan menjamin keikhlasannya terhadap negaranya.
Abu Sufyan bin Harb ini masuk Islam bukan karena cintanya yang murni kepada Rasulullah Saw., namun dia masuk Islam karena untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Akan tetapi, rasa dendam Abu Sufyan bin Harb kepada Rasulullah yang tersembunyi dalam hatinya memungkinkannya dapat berbuat apa saja -mengingat dia di Makkah adalah pemimpin yang ditaati perintahnya- seperti yang pernah dilakukan Abdullah bin Ubay bin Salul di Madinah al-Munawwarah.
Rasulullah -sebagai seorang politisi yang bijak- harus meredam rasa dendam ini dari hati Abu Sufyan bin Harb, dan membuktikan kepadanya bahwa kedudukan yang dimilikinya di sisi kaum Quraisy tidak akan berkurang sedikitpun ketika memeluk Islam jika dia benar-benar ikhlas dalam memeluknya, dan mengerahkan segala kemampuannya untuk Islam.
Rasulullah Saw. mengutus orang yang akan menyeru: “Siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan bin Harb, maka ia aman…” Sungguh dengan semua itu, Rasulullah Saw. telah membeli Abu Sufyan bin Harb, permusuhannya, dan meredam rasa dendam di dadanya. Demikian itu merupakan tindakan politik yang bijak.
Rasulullah Saw. juga harus meredam rasa dendam dari hati penduduk Makkah, dan membuktikan kepada mereka, bahwa telah berbuat salah dengan memusuhi beliau. Untuk itu, ketika mereka telah berkumpul di hadapan Rasulullah, hati mereka dikuasai oleh perasaan takut.
Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka: “Menurut perkiraan kalian, aku akan berbuat apa pada kalian?” Mereka menjawab: -sedang hati mereka kacau gemetar karena rasa takut, mereka terbawa oleh prasangka bahwa sekali-kali tidak seorangpun dari mereka yang akan selamat- engkau akan berbuat baik, (sebab) engkau saudara (kami) yang baik, dan engkau anak dari saudara (kami) yang baik.” Rasulullah Saw. bersabda: “Pergi! Kalian semua bebas.” Mendengar sabda beliau, sepertinya hati mereka tidak percaya dengan kegembiraan yang sedang dirasakannya, akhirnya mereka yakin bahwa mereka telah melakukan kesalahan ketika mereka memusuhi Muhammad dan negaranya.
Sungguh, Muhammad telah membeli hati mereka dengan amnesti. Padahal beliau mampu membunuh mereka, menyiksa mereka, atau.... Akan tetapi untuk melakukan itu semua Rasulullah Saw. harus berpikir seribu kali. Dengan pemberian amnesti, berubah berbagai pandangan dan pertanyaan: Bagaimana mungkin ia akan merasa aman dan tentram berada di daerah yang rakyatnya memusuhinya, dan bagaimana mungkin keberadaan suatu negara akan terus berlangsung sedang rakyatnya senantiasa memeranginya… Sungguh ini kondisi yang membinasakan, jika itu terjadi, maka beliau tidak akan mampu mengembalikannya.
Dengan demikian, merupakan kebijakan yang paling bijak adalah memberi kedudukan kepada pemimpin Makkah, dan memaafkan penduduk Makkah yang selama dua puluh tahun selalu mengangkat senjata untuk memusuhinya. Pemberian maaf dan kedudukan dilakukan bukan karena cinta, namun dengan pemberian ampunan dan kedudukan ini beliau hendak membeli hati mereka dan pedang mereka.
Rasulullah Saw. berpendapat bahwa termasuk tindakan bijak adalah tidak membiarkan panglima perang kaum Quraisy (Abu Sufyan) kembali kepada kaumnya, sebelum ia melihat kekuatan kaum muslimin, sehingga ia benar-benar yakin bahwa kaum Quraisy tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk memerangi Negara Islam. Dengan begitu, kaum Quraisy akan menghentikan peperangan, dan mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sebab, bukan termasuk tujuan Negara Islam menciptakan pertumpahan darah, namun tujuan Negara Islam adalah memperkokoh agama Allah di muka bumi. Apabila tujuan itu dapat dicapai tanpa melalui pertumpahan darah, maka tidak perlu lagi menggunakan cara-cara lain, selain cara ini.

Untuk itu, Rasulullah Saw. memerintahkan agar menyiapkan parade militer yang secara khusus memperlihatkan kekuatan fisik dan non-fisik kaum muslimin. Rasulullah Saw. memerintahkan Abbas agar membawa Abu Sufyan bin Harb ke tempat yang tinggi, sebab parade militer akan dilewatkan di depannya, sehingga ia akan melihat tentara Allah. Tidak lama kemudian, berbagai kabilah berjalan melewatinya dengan membawa panji masing-masing. Setiap satu kabilah lewat, Abu Sufyan bin Harb berkata, “Wahai Abbas, siapa mereka itu?” Abbas berkata “Mereka itu kabilah Sulaim.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan kabilah Sulaim?“ Kemudian kabilah lain lewat, Abu Sufyan bin Harb kembali berkata, “Wahai Abbas, siapa mereka itu?” Abbas berkata, “Mereka itu kabilah Muzainah.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan Muzainah.”
Setiap kali kabilah lewat, Abu Sufyan bin Harb selalu bertanya kepada Abbas tentang kabilah-kabilah tersebut, dan ketika Abbas menjelaskan kepadanya tentang kabilah tersebut, ia berkata, ”Apa urusanku dengannya?”
Hingga akhirnya lewat batalion Rasulullah Saw. yang berwarna hijau yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallahu ‘anhum. Abu Sufyan melihat mereka semuanya dilindungi dengan baju besi. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Maha Suci Allah, wahai Abbas, siapa mereka itu?” Abbas berkata, “Itulah Rasulullah Saw. bersama kaum Muhajirin dan Anshar.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Tidak ada seorangpun yang mempunyai kekuatan untuk menghadapi mereka. Demi Allah, wahai Abu al-Fadhl, kerajaan anak saudaramu besok pagi akan menjadi sangat agung.” Abbas berkata, “Wahai Abu Sufyan, itulah kenabian.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Benar.” Abbas berkata, “Jika demikian, sekarang segeralah pergi kepada kaummu.”

Ibnu Hisyam berkata: Batalion Rasulullah Saw. dikatakan hijau karena banyaknya besi dan dominasinya warna hijau dalam batalion tersebut.

Abu Sufyan bin Harb meminta kaum Quraisy menghindari perang

Setelah parade militer selesai, dan Abu Sufyan bin Harb telah mengambil pelajaran dari semua itu, Rasulullah Saw. memberi izin Abu Sufyan bin Harb pergi dan kembali kepada kaumnya di Makkah. Ketika Abu Sufyan bin Harb sampai kepada mereka, Abu Sufyan bin Harb berteriak dengan suara sangat keras sekali. “Wahai orang-orang Quraisy, sebentar lagi Muhammad datang kepada kalian dengan membawa pasukan yang tidak ada tandingannya. Oleh karena itu, siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, maka ia aman.” Tiba-tiba istrinya, Hindun bintu Uthbah mendekat kepada Abu Sufyan bin Harb, lalu memegang kumisnya, dan berkata, “Perangilah orang yang besar badannya, banyak lemaknya, dan gendut. Sungguh buruk sekali orang yang ditugasi menjaga kalian.”
Abu Sufyan bin Harb berkata, “Celakalah kalian, janganlah kalian tertipu oleh wanita ini. Ingatlah oleh kalian, bahwa Muhammad datang kepada kalian dengan pasukan yang tidak ada tandingannya. Siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, maka ia aman.”
Orang-orang Quraisy berkata, “Semoga Allah membunuhmu. Apa arti rumahmu bagi kami?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka ia aman, dan siapa saja yang masuk ke dalam Masjidil Haram, maka ia aman.” Orang-orang Quraisy pun berpencar, ada yang pergi menuju rumah mereka, dan ada pula yang pergi menuju Masjidil Haram.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam