Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 19 November 2017

Pasukan Nabi Saw. Ke Tabuk Melawan Romawi



H. Membuka Front Peperangan Dengan Romawi

Setelah kembalinya pasukan-pasukan yang disebar oleh Rasulullah di padang pasir bangsa Arab untuk membersihkan kantong-kantong perlawanan yang ada di sana, dan setelah semuanya dimenangkan oleh Negara Islam, maka seluruh padang pasir tunduk kepada Rasulullah, dan menyatakan loyalitasnya kepada Negara Islam.
Dengan demikian, telah tiba saatnya bagi Negara Islam membuka front dengan Romawi, dan orang-orang yang tunduk dan loyal terhadap Romawi, yang terdiri dari orang-orang Arab yang beragama Nashrani. Rasulullah Saw. mulai menyiapkan perlengkapan untuk berangkat ke Tabuk.

1. Perang Tabuk

a. Sebab Perang Tabuk

Sebab-sebab yang jauh dan hakiki dilakukannya perang Tabuk ini adalah melaksanakan rencana politik dan militer yang telah dirancang oleh Rasulullah Saw. bagi Negara Islam.
Adapun sebab-sebab yang secara langsung terkait dengan perang Tabuk ini adalah ketika sampai informasi kepada bangsa Romawi tentang kemenangan Rasulullah yang luas dan merata meliputi orang-orang penganut Yahudi dan paganisme, serta informasi tentang berhasilnya Rasulullah membersihkan institusi-institusi politik keduanya di Jazirah Arab. Mendengar itu, Romawi merasa bahwa batas-batas wilayah kekuasaannya sedang terancam bahaya.
Sebab di sampingnya telah berdiri negara baru yang kuat. Negara inilah yang telah mengakhiri pusat-pusat kekuatan orang-orang Yahudi, lalu mengakhiri pusat-pusat kekuatan kaum paganisme. Maka dapat dipastikan negara ini akan sungguh-sungguh berusaha mengakhiri pusat-pusat kekuatan orang-orang Nashrani, sehingga pertempuran di antara keduanya pasti akan terjadi.
Untuk itu, Negara Romawi melihat perlunya menyiapkan tentara yang akan mengakhiri pusat-pusat kekuatan negara ini sebelum urusannya menjadi lebih gawat. Negara Romawi menyiapkan tentara berkekuatan empat puluh ribu serdadu untuk digerakkan menuju Jazirah Arab, dan untuk mengakhiri legenda ketangguhan Negara Islam.

b. Menyiapkan Tentara Islam

Rasulullah Saw. mengetahui informasi tentang tentara yang dimobilisir oleh Negara Romawi untuk memerangi beliau ini dari mata-mata yang beliau sebar. Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabatnya agar bersiap-siap memerangi Romawi, dan tidak boleh seorangpun yang tidak ikut.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Rajab. Ketika itu kaum muslimin sedang dalam kesulitan, cuaca sangat panas, tanah gersang, sedang buah telah matang, sehingga kaum muslimin merasa senang tetap tinggal di tempat menikmati buah dan berteduh di bawahnya, mereka tidak ingin pergi dalam kondisi seperti ini.
Rasulullah Saw. tidak jarang ketika hendak pergi berperang mengunakan kata kiasan. Beliau memberitahukan bahwa beliau hendak menuju ke suatu tempat, padahal bukan tempat itu yang beliau tuju. Namun tidak dengan perang Tabuk, beliau kali ini berterus terang kepada kaum muslimin, mengingat jauhnya perjalanan, sulitnya medan, sempitnya zaman, dan banyaknya jumlah musuh, agar kaum muslimin benar-benar menyiapkan apa yang diperlukan, dan agar kaum muslimin benar-benar siap menghadapi musuhnya.

Kami katakan bahwa kaum muslimin benar-benar dalam keadaan kesusahan dan kesulitan, sehingga mayoritas dari mereka tidak memiliki sesuatu yang akan dipersiapkan untuk turut dalam peperangan. Begitu juga halnya dengan Negara Islam, Negara Islam juga tidak memiliki sesuatu yang memadai untuk mempersiapkan tentara Islam ini. Untuk itu, beliau menganjurkan kaum muslimin berinfak untuk membiayai tentara Islam ini.
Para sahabat pun berinfak, sebab anjuran itu tidak terbatas kepada orang-orang tertentu saja. Di antara para sahabat yang terkenal banyak memberikan hartanya untuk keperluan tentara ini adalah kedermawanan Utsman bin Affan ra. yang membekali sepertiga tentara dengan hartanya, yaitu sepuluh ribu mujahid, kemudian ia membawa seribu dinar dan meletakkannya di tempat Rasulullah Saw. Melihat itu, Rasulullah mulai menciumnya dengan kedua tangan beliau. Dan beliau bersabda:

“Tidak akan membahayakan Utsman apa yang ia kerjakan setelah hari ini.” (HR. Tirmidzi).

Abdurahman bin Auf berinfak seratus uqiyah perak, para sahabat yang lain pun banyak yang turut berinfak sehingga semua keperluan tentara telah terpenuhi.

Ada sekelompok orang yang tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw. dan tidak menyusul tentara kaum muslimin. Di antara mereka ada yang tidak ikut berangkat perang karena terdapat penyakit dalam hatinya, dan ada pula yang karena kemunafikannya, seperti al-Jadd bin Qais. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Wahai al-Jadd, apakah tahun ini engkau ikut memerangi orang-orang berkulit kuning (Romawi)? al-Jadd menjawab, “Wahai Rasulullah, berilah aku izin, dan janganlah engkau menjerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku telah mengenaliku bahwa tidak ada seorang lelaki pun yang lebih cepat tertarik kepada wanita daripada aku. Oleh karena itu, aku khawatir jika aku melihat wanita-wanita berkulit kuning (Romawi), maka aku tidak sabar.” Rasulullah Saw. memalingkan muka dari al-Jadd bin Qais dan bersabda, “Aku mengizinkanmu.” Tentang al-Jadd bin Qais ini turunlah firman Allah Swt. bagian dari surat at-Taubah:

“Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (TQS. at-Taubah [9]: 49)

Maksudnya, jika al-Jadd bin Qais khawatir tergoda wanita-wanita Romawi, padahal itu tidak akan terjadi padanya. Namun, fitnah yang ia telah jatuh ke dalamnya itu lebih besar, yaitu tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw. dan lebih mementingkan dirinya daripada beliau. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.”

Di antara mereka (orang-orang munafik) yang tidak ikut berangkat perang beralasan karena suhu udara yang sangat panas. Kemudian, sebagian dari mereka menganjurkan kepada sebagian yang lain, “Janganlah kalian berangkat perang dalam terik panas seperti ini.” Mereka berkata demikian karena ingin mengecilkan arti jihad, membuat keraguan tentang kebenaran, dan menggoyahkan kepercayaan kaum muslimin kepada Rasulullah Saw. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat terkait dengan mereka ini:

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikat berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah: “Api Neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)”, jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa tedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (TQS. at-Taubah [9]: 81-82)

Dan di antara mereka (orang-orang munafik) yang tidak ikut berangkat perang adalah mereka yang bersama Abdullah bin Ubay bin Salul yang membuat perkemahannya berada dekat dengan gunung Dzubab di Madinah al-Munawwarah. Orang-orang munafik yang bersama Abdullah bin Ubay bin Salul jumlahnya kurang lebih separuh dari jumlah tentara kaum muslimin. Ketika Rasulullah Saw. berangkat, Abdullah bin Ubay bin Salul bersama kelompok kaum munafik dan orang-orang yang masih ada keraguan dalam hatinya tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw.

Dan di antara kaum mukminin yang tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah Saw. karena tugas yang Rasulullah Saw. bebankan kepadanya adalah Ali bin Abu Thalib. Rasulullah Saw. membebani Ali bin Abi Thalib tugas untuk mengawasi dan mengurusi keluarga beliau dan keluarga orang-orang yang sedang pergi berjihad bersama Rasulullah Saw. Orang-orang munafik menyebarkan berita bahwa Rasulullah Saw. tidak memerintahkan Ali untuk tidak ikut berangkat perang dengan tinggal di Madinah. Namun Ali melakukan itu untuk menyelamatkan diri dari perang.
Setelah Ali mendengar berita itu, Ali mengambil senjatanya, dan menyusul Rasulullah Saw. Ali bertemu dengan Rasulullah Saw. di al-Jurf. Ali berkata kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau menyuruh aku tidak ikut berangkat perang, karena engkau melihat aku merasa keberatan dan menghindar dari kewajiban perang ini.” Rasulullah Saw. bersabda kepada Ali, “Mereka dusta, namun aku menyuruhmu tidak ikut berangkat perang bersamaku agar kamu mengurusi keluargaku yang sedang aku tinggalkan.” Kemudian, Ali bin Abu Thalib ra. kembali lagi ke Madinah alaMunawwarah.

Datang menemui Rasulullah Saw. sekelompok orang di antara orang-orang Arab yang tinggal di sekitar Madinah al-Munawwarah, mereka berasal dari Bani Ghafar, mereka belum banyak mengetahui tentang tujuan-tujuan mulia Islam. Mereka datang kepada Rasulullah Saw. untuk meminta izin, mereka menjelaskan kesulitan yang sedang mereka hadapi, dan ketidakmampuan mereka untuk pergi berjihad bersama beliau. Rasulullah Saw. tidak menerima alasan mereka. Beliau tetap memerintahkan mereka agar pergi berjihad. Akhirnya sebagian dari kelompok tersebut langsung bergabung dengan Rasulullah Saw., dan sebagian yang lain berdiam diri tidak ikut berjihad tanpa meminta izin tentang ketidakikutannya ini. Kemudian, Allah menurunkan ayat tentang mereka ini:

“Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan uzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak pergi berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.” (TQS. at-Taubah [9]: 90)

Begitu juga ada sekelompok orang yang hampir-hampir tertinggal dari tentara Islam. Mereka adalah orang-orang yang paling ikhlas dan paling dalam imannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun karena kondisi mereka yang miskin dan ada dalam kondisi kesulitan, sehingga yang mampu mereka lakukan hanyalah menangis.
Mereka adalah tujuh orang dari kaum Anshar dan yang lainnya. Dari Bani Amr bin Auf adalah Salim bin Umair, Ulbah bin Zaid saudara Bani Haritsah, Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab saudara Bani Mazin bin Najjar, Amr bin Humam bin Jamuh saudara Bani Salamah, Abdullah bin Mughaffal al-Muzani -sebagian orang berkata, yang benar adalah Abdullah bin Amr al-Muzani, Harami bin Abdullah saudara Bani Waqif, dan Irbadh bin Sariyah al-Fazari.
Mereka semua mendatangi Rasulullah Saw. dan meminta kepada beliau agar beliau membiayai persiapan jihad mereka, sebab mereka orang-orang miskin. Rasulullah Saw. bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa untuk membiayai jihad kalian.” Mereka pun keluar dari tempat Rasulullah Saw. sambil menangis karena sedih, sebab mereka tidak mendapatkan infak untuk membiayai persiapan jihad mereka.
Ibnu Yamin bin Umair bin Ka’ab an-Nadhri bertemu Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab dan Abdullah bin al-Mughaffal, yang ketika itu keduanya sedang menangis. Ibnu Yamin berkata kepada keduanya, “Mengapa engkau berdua menangis?” Keduanya menjawab, “Kami datang kapada Rasulullah Saw. dan meminta kepada beliau agar beliau membiayai persiapan jihad kami, namun kami melihat beliau tidak memiliki apa-apa untuk membiayai persiapan jihad kami. Akhirnya kami tetap tidak memiliki bekal untuk berangkat bersama beliau.” Kemudian, Ibnu Yamin memberikan untanya dan sedikit kurma untuk bekal keduanya. Akhirnya, kedua sahabat tersebut berangkat perang bersama Rasulullah Saw.

Ada juga sekelompok orang di antara para sahabat Rasulullah Saw. yang telat berniat. Hal itu terjadi secara kebetulan ketika iman dalam kondisi lemah, sebab kondisi yang demikian ini terkadang menimpa seorang manusia, yang menjadikannya tunduk terhadap keinginan hawa nafsunya. Kemudian, setelah hatinya terjaga dan kuat, ia sangat menyesali apa yang terjadi ketika imannya dalam kondisi lemah. Kelompok para sahabat yang sedang mengalami kondisi seperti ini telat dalam berniat. Akhirnya mereka tertinggal tidak ikut berangkat bersama Rasulullah bukan karena mereka ragu atau tidak percaya kepada Rasulullah.
Di antara mereka itu adalah Ka'ab bin Malik bin Abu Ka’ab, Mararah bin Rabi’, Hilal bin Umayyah, dan Abu Khaitsamah. Mereka adalah orang-orang jujur, yang tidak diragukan lagi tentang keIslamannya.
Setelah Rasulullah Saw. pergi dan membuat perkemahannya di Tsaniyah al-Wada’ (Tsaniyah al-Wada' adalah celah yang berada di dataran tinggi Madinah. Celah ini dilewati setiap orang yang hendak ke Makkah). Abu Khaitsamah ra. kembali kepada keluarganya di hari yang sangat panas setelah beberapa hari sejak Rasulullah Saw. meninggalkan Madinah. Setibanya di Madinah, ia-mendapati kedua istrinya sedang berada di gubuk milik keduanya, di kebun kurma Abu Khaitsamah. Masing-masing dari kedua istrinya sedang mengapur gubuknya. Di dalam gubuk tersebut, kedua istrinya telah mendinginkan air, dan menyiapkan makanan untuknya. Ketika Abu Khaitsamah hendak memasuki gubuk, ia tidak langsung masuk, ia berdiri di pintu gubuk, kemudian ia melihat kedua istrinya dan apa yang sedang dilakukan keduanya. Ia berkata, “Rasulullah Saw. sedang berada di bawah terik panas sinar matahari, kencangnya angin, dan hawa panas, sedang Abu Khaitsamah berada di dalam naungan yang dingin, makanan yang telah siap disantap, dan dua istri yang cantik yang tersedia di kebunnya? Ini tidak adil.”
Abu Khaitsamah berkata kepada kedua istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan masuk ke gubuk salah seorang dari kalian berdua, sebelum aku berhasil menyusul Rasulullah Saw. Untuk itu, kalian berdua harus segera menyiapkan bekal untukku.”
Kedua istrinya melakukan apa yang diperintahkannya. Setelah untanya diberikan kepadanya, ia segera berangkat pergi mencari Rasulullah Saw. Sehingga akhirnya ia bertemu beliau ketika beliau sedang berhenti di Tabuk. Di tengah perjalanan, Abu Khaitsamah bertemu dengan Umair bin Wahb al-Jumahi yang juga sedang menyusul Rasulullah Saw. Kemudian keduanya berjalan bersama.
Ketika keduanya telah mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahb, “Sesungguhnya aku mempunyai dosa, oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau engkau di belakangku hingga aku terlebih dahulu tiba di tempat Rasulullah Saw.” Umair bin Wahb mengabulkan keinginan Abu Khaitsamah.
Ketika Abu Khaitsamah telah mendekati tempat Rasulullah Saw. yang ketika itu sedang berhenti di Tabuk, orang-orang berkata, “Musafir yang melintasi jalan ini telah datang.” Rasulullah Saw. bersabda, “Dialah Abu Khaitsamah.” Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, dia Abu Khaitsamah.”
Setelah menghentikan untanya, Abu Khaitsamah berjalan dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Khaitsamah, “Wahai Abu Khaitsamah, Aula laka” (Aula laka adalah kalimat yang bermakna ancaman (at-tahdid). Ia adalah isim namun dinamakan dengan fi’il. Sedang artinya, seperti yang dikatakan para mufassir adalah danauta min al-halakah (engkau telah mendekati kebinasaan). Abu Khaitsamah mengemukakan alasan kepada Rasulullah Saw., kenapa ia tertinggal. Beliau pun berkata baik kepadanya, dan bahkan beliau mendo’akan kebaikan kepadanya.

c. Berangkat ke Tabuk

Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanan, kemudian salah seorang di antara sahabatnya tertinggal. Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang tertinggal.” Rasulullah Saw. bersabda, “Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan, maka Allah akan menyusulkannya kepada kalian. Jika tidak, maka Allah akan menghibur kalian daripadanya.” Dikatakan kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, yang tertinggal adalah Abu Dzar, karena untanya berjalan lambat.” Rasulullah Saw. bersabda, “Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan, maka Allah akan menyusulkannya kepada kalian. Jika tidak, maka Allah akan menghibur kalian daripadanya.”

Abu Dzar berhenti sejenak sambil menunggu untanya. Namun karena untanya tetap berjalan lambat, Abu Dzar mengambil perbekalannya, kemudian memikulnya. Selanjutnya ia berjalan kaki menelusuri jejak-jejak Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw. sedang berhenti di salah satu jalan, tiba-tiba salah seorang di antara kaum muslimin melihat bayangan hitam kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki sendirian." Rasulullah Saw. bersabda, “Dialah Abu Dzar.” Ketika orang-orang telah melihatnya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, betul ia Abu Dzar.” Rasulullah Saw. bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar yang berjalan kaki sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian.”
(Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Ketika Utsman mengasingkan Abu Dzar ke ar-Rabadah, di ar-Rabadah Abu Dzar merasa hidupnya sudah tidak lama lagi. Ia tidak ditemani seorangpun kecuali istri dan anaknya. Abu Dzar berpesan kepada keduanya: (jika kelak aku telah meninggal), maka mandikanlah aku, kafanilah aku, kemudian letakkanlah aku di tengah jalan. Lalu katakan kepada rombongan orang yang pertama melintasi kalian, “Ini Abu Dzar, ia sahabat Rasulullah, untuk itu, tolonglah kami menguburnya.” Ketika Abu Dzar meninggal, maka keduanya melakukan seperti yang dipesan Abu Dzar. Kemudian keduanya menaruh jenazah Abu Dzar di tengah jalan. Abdullah bin Mas'ud bersama para rombongan orang-orang Iraq datang. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali jenazah yang ada di tengah jalan. Ketika unta hampir menginjaknya, tiba-tiba seorang anak mendekati mereka, lalu berkata, “Ini Abu Dzar, ia sahabat Rasulullah, untuk itu, tolonglah kami menguburnya.” Melihat itu, Abdullah bin Mas’ud mulai menangis hingga air matanya bercucuran, ia berkata, “Rasulullah Saw. benar. (Beliau bersabda:) Abu Dzar yang berjalan kaki sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian.” Kemudian, ia dan para sahabatnya berhenti, lalu mengubumya. Peristiwa ini merupakan bukti kebenaran sabda Rasulullah Saw. di perang Tabuk, dan sebagai bukti baru atas kenabian Rasulullah Saw.)
Tentara Islam bergerak maju menuju Tabuk dengan penuh kehati-hatian. Akan tetapi, setelah tentara Romawi mengetahui bahwa tentara kaum muslimin telah datang, mereka lebih mengutamakan untuk menjauhi medan perang dan menghindari terjadinya pertempuran. Sebab mereka sadar bahwa peperangan tidak menguntungkan pihak mereka. Negara Romawi masih belum bisa melupakan perang Mu’tah sebelumnya. Yaitu perang di mana tiga ribu tentara kaum muslimin berhadapan dengan dua ratus ribu serdadu orang-orang Romawi. Ternyata kaum muslimin keluar dari medan perang sebagai pemenang, sebab kerugian di pihak musuh melebihi kerugian di pihak kaum muslimin.
Sekarang, bagaimana mungkin kaum muslimin mau menghadapi kesulitan dengan mengadakan kontak bersenjata dengan tentara Romawi, kalau saja kaum muslimin tidak menyiapkannya dengan baik sebelumnya. Tentara kaum muslimin datang sambil membakar batas-batas wilayah kekuasaan Romawi? Kalau saja dalam diri kaum muslimin tidak ada kemampuan dan kekuatan untuk meraih kemenangan, tentu mereka tidak akan pergi dari negaranya untuk menghancurkan batas-batas kekuasaan kekaisaran Romawi. Sehingga, ketika Rasulullah Saw. sampai di Tabuk, beliau tidak mendapatkan seorangpun di antara tentara Romawi.






(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam