Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 01 November 2017

Haram Puasa Pada Hari-Hari Tasyriq



Puasa Pada Hari-Hari Tasyriq

Malik dan al-Auza'i, Ahmad dan Ishaq bin Rahuwaih, dalam riwayat dari keduanya, telah mengharamkan puasa pada hari Tasyriq, kecuali bagi orang yang berhaji tamattu' yang tidak mendapati binatang yang akan disembelih sebagai kurban (al-hadyu). Masalah ini telah diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Umar, Urwah bin Zubair dan Ubaid bin Umair.
Abu Hanifah dan Ahmad (dalam riwayat yang paling shahih darinya), as-Syafi'i (menurut pendapatnya yang populer), Dawud bin Ali, Ibnu Hazm, Ibnu al-Mundri, al-Laits bin Saad, al-Hasan al-Bashri, dan Atha bin Abi Rabbah telah mengharamkan puasa pada hari Tasyriq secara mutlak. Hal ini telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Amr ra. Tetapi para sahabat as-Syafi'i melontarkan pendapat yang membolehkan puasa pada hari Tasyriq jika dilakukan dengan suatu sebab: karena nadzar, kaffarat, atau qadha saja. Sedangkan puasa yang tanpa sebab maka tidak ragu lagi hukumnya adalah tidak boleh. Ini sesuai dengan pendapat yang dipegang oleh Zubair bin al-Awwam, Abu Thalhah, Abdullah bin Umar, al-Aswad bin Yazid dan Ibnu Sirin, menurut riwayat yang berasal dari mereka yang membolehkan puasa pada hari Tasyriq secara mutlak.

Agar kita bisa mendapati hukum yang benar dalam masalah ini dengan izin Allah, marilah kita meneliti dalil-dalil berikut ini:

1. Dari Nubaisyah al-Hudzali dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Muslim [2677], al-Baihaqi dan at-Thahawi)

Ahmad [20997] meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum serta dzikir kepada Allah azza wa jalla.”

Hari-hari tasyriq adalah tiga hari (berturut-turut) yang mengiringi hari raya Idul Adha.

2. Dari Kaab bin Malik ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. telah mengutusnya bersama Aus bin al-Hadatsan pada hari-hari Tasyriq untuk berseru bahwa tidak akan masuk Surga kecuali yang beriman, dan hari-hari di Mina adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Muslim [2679], an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Dari Ummu Mas’ud bin al-Hakam ra., ia berkata:

“Seolah-olah aku melihat Ali bin Abi Thalib yang berada di atas bagal betina (hewan peranakan kuda dengan keledai) Rasulullah Saw. yang berwarna putih, dan dia berkata: Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, bukan hari-hari untuk berpuasa.” (HR. an-Nasai [2901] dalam as-Sunan al-Kubra, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Abu Ya’la)

4. Dari ‘Ashim bin Sulaiman, dari al-Muthalib:

“Dia telah mengundang makan seorang Arab dusun, dan itu terjadi setelah hari raya kurban. Maka orang Arab dusun tersebut berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Lalu dia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. mengingatkanku melarang dari berpuasa pada hari-hari (tasyriq) ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah [2148], an-Nasai dan Abdurrazaq)

An-Nasai [2914] telah meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan al-Kubra dengan lafadz:

“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan shalat, maka janganlah seseorang berpuasa pada hari-hari itu.”

5. Dari Saad bin Abi Waqash ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. memerintahkan aku untuk berseru pada hari-hari Mina: “Sesungguhnya hari-hari di Mina itu adalah hari-hari untuk makan dan minum, maka tidak ada puasa pada hari-hari itu, yakni pada hari-hari tasyriq.” (HR. Ahmad [1456])

Al-Bazzar [1067] telah meriwayatkan hadits ini tanpa ucapan:

“Maka tidak boleh berpuasa pada hari-hari itu.”

Al-Haitsami berkata: para perawi hadits ini adalah orang-orang yang shahih.

6. Dari Ummu Amar bin Salim az-Zuraqi ra. bahwasanya dia berkata:

“Ketika kami berada di Mina tiba-tiba Ali bin Abi Thalib datang di atas unta, dan dia berkata: sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah hari-hari untuk makan dan minum, maka seseorang tidak boleh berpuasa pada hari-hari itu.” Lalu orang-orang mengikutinya.” (HR. Ahmad [824] dan as-Syafi'i)

7. Dari Habibah bin Syuraiq ra.:

“Sesungguhnya dia bersama anak perempuannya yang gagap (tidak jelas bicaranya) pada hari-hari haji di Mina, dia berkata: lalu datanglah Badil bin Warqa di atas tunggangan Rasulullah Saw. dan berseru: sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa maka hendaklah dia berbuka, karena hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. al-Hakim [2/250], dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath)

8. Dari Abi Murrah, pelayan Ummu Hani:

“Bahwa dia bersama Abdullah bin Amr menemui ayah Abdullah, yakni Amr bin al-Ash, lalu dia menyodorkan makanan pada keduanya dan berkata: Makanlah. Lalu dia berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Kemudian Amr berkata: Makanlah, sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari di mana kami diperintahkan Rasulullah Saw. untuk berbuka, dan kami dilarang dari berpuasa. Malik berkata: Yakni hari-hari tasyriq.” (HR. Abu Dawud [2418], Ibnu Khuzaimah, ad-Darimi, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu al-Mundzir)

Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah.

9. Dari Uqbah bin Amir ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Hari Arafah, hari penyembelihan, dan hari-hari tasyriq adalah hari raya kita wahai pemeluk Islam, hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud [2419], an-Nasai, Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

10. Dari Abu as-Sya'tsa, ia berkata:

“Kami menemui Ibnu Umar pada pertengahan dari hari-hari tasyriq, ia berkata: lalu dihidangkanlah makanan. Orang-orang kemudian mendekat, tetapi anaknya menyingkir agak menjauh. Dia berkata: maka dia berkata kepadanya: Mendekatlah dan makanlah. Dia berkata: lalu dia berkata: Sesungguhnya aku berpuasa. Dia berkata: maka Ibnu Umar berkata: Adakah engkau tidak tahu bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Sesungguhnya hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan dan berdzikir?” (HR. Ahmad [4970])

Al-Haitsami berkata: para perawi hadits ini adalah orang-orang yang shahih.

Dengan meneliti hadits-hadits ini, kita mendapati bahwa hadits pertama, kedua dan ketujuh telah menyebutkan bahwa hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan dan minum.
Hadits keempat dalam riwayat an-Nasai terdapat tambahan “as-shalat ( shalat)”, dan dalam riwayat kesepuluh terdapat tambahan “adz-dzikr (berdzikir).”
Jadi, hadits-hadits ini telah menyebut hari-hari tasyriq sebagai hari-hari untuk makan, minum, shalat dan dzikir.

Sejumlah ulama telah menyimpulkan -dari hadits-hadits yang menyebutkan hari-hari tasyriq sebagai hari makan dan minum ini- bahwa puasa pada hari-hari tersebut adalah haram dan tidak boleh. Yang benar adalah bahwa istinbath seperti ini tidak benar, karena hanya dengan menyebut hari-hari tasyriq sebagai hari-hari makan dan minum tidak cukup menjadi dalil keharaman puasa pada hari-hari tersebut. Hadits-hadits di atas tidak hanya sekedar menyebutkan hari-hari tasyriq sebagai hari makan-minum, tetapi juga dengan menambahkan penafian dan pelarangan puasa pada hari-hari tersebut, di mana dalam hadits ketiga disebutkan:

“Bukan hari-hari untuk berpuasa.”

Dalam hadits keempat pada riwayat an-Nasai, dan dalam hadits keenam disebutkan:

“Maka seseorang tidak boleh berpuasa pada hari-hari itu.”

Dalam hadits kelima terdapat ucapan:

“Maka tidak ada puasa pada hari-hari itu.”

Kemudian datang larangan secara tekstual, dalam dua hadits keempat dan kedelapan:

“Beliau Saw. melarang dari berpuasa pada hari-hari (tasyriq) ini.”

“Dan kami dilarang (Rasulullah Saw.) dari berpuasa pada hari-hari itu.”

Sehingga pendapat yang mengharamkan puasa pada hari tasyriq itu memiliki hujjah karena ucapan dalam hadits keempat:

“Maka janganlah seseorang berpuasa pada hari-hari itu.”

Dan ucapan pada hadits keenam:

“Maka seseorang tidak boleh berpuasa pada hari-hari itu.”

Kedua hadits ini telah datang dalam bentuk ta’kid (penegasan). Bentuk kalimat seperti ini menunjukkan ketetapan, keputusan, dan sifatnya mewajibkan (al-ilzam), sehingga benarlah kesimpulan dari nash-nash ini bahwa larangan berpuasa pada hari-hari tasyriq adalah larangan bersifat jazm (tegas), yang menghasilkan hukum haram.

Ketika kita mendapati kalimat dalam hadits ketujuh:

“Barangsiapa yang berpuasa maka hendaklah dia berbuka.”

Dari kalimat tersebut kita memahami dan semakin yakin bahwa larangan berpuasa pada hari tasyriq itu bersifat jazm, yang menghasilkan hukum haram. Ini karena, memerintahkan orang yang berpuasa untuk berbuka itu tidak sah dan tidak boleh seandainya puasa tersebut boleh dan diterima. Perintah seperti itu sama sekali tidak boleh, kecuali jika puasanya tidak boleh, dan wajib diakhiri dengan cara berbuka.

Yang serupa dengan itu adalah hadits kedelapan, di mana Amr bin al-Ash telah memerintahkan anaknya yang sedang berpuasa pada hari-hari itu untuk makan dan mengakhiri puasanya. Ketika anaknya itu enggan untuk mengakhiri puasanya, Amr tanpa ragu lagi memerintahkan anaknya kembali untuk berbuka, dengan beralasan bahwa Rasulullah Saw. telah memerintahkan orang-orang yang berpuasa pada hari-hari itu untuk berbuka dan melarang mereka berpuasa.
DiIaIah yang sama bisa kita dapati dalam hadits kesepuluh.
Ketiga hadits ini -hadits ketujuh, kedelapan dan kesepuluh- layak menjadi qarinah dan dalil bahwa larangan dari puasa pada hari tasyriq itu adalah larangan bersifat jazm (tegas), yang menunjukkan keharaman puasa tersebut.

Sekarang tinggal masalah orang yang berhaji tamattu’, yang tidak mendapati al-hadyu, yakni seekor kambing untuk disembelih, atau dia mendapatinya tetapi dia tidak memiliki harta untuk membelinya: apakah boleh baginya untuk berpuasa tiga hari dalam berhaji di hari-hari tasyriq? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita harus menelaah nash-nash terkait berikut ini:

1. Firman Allah Swt.:

“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) al-hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” (TQS. al-Baqarah [2]: 196)

Al-Hadyu di sini artinya: kambing untuk disembelih.

2. Dari Aisyah dan Ibnu Umar ra., keduanya berkata:

Rukhshah berpuasa pada hari tasyriq tidak diberikan kecuali bagi orang yang tidak mendapati kambing untuk disembelih.” (Riwayat Bukhari [1997-1998], ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan at-Thabari)

3. Dari Ali ra. tentang firman-Nya:

“Firman-Nya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.” Dia berkata: Sebelum tarwiyah satu hari, pada hari tarwiyah dan hari Arafah.” (HR. al-Baihaqi [5/25], at-Thabari, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq)

4. Dari Ibnu Umar ra. tentang firman-Nya:

“Firman-Nya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.” Dia berkata: Satu hari sebelum tarwiyah, pada hari tarwiyah, dan hari Arafah. Jika puasa itu luput darinya maka dia boleh berpuasa pada hari-hari di Mina.” (HR. Ibnu Jarir at-Thabari [2/247], Muhammad bin al-Mundzir, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

5. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata:

“Puasa bagi orang yang mengerjakan umrah sebelum haji hingga hari Arafah, jika tidak mendapati kambing untuk disembelih dan belum berpuasa, maka dia bisa berpuasa pada hari-hari di Mina.” (HR. Bukhari [1999], Malik, as-Syafi'i dan al-Baihaqi)

6. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Firman Allah Swt.: [Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji)] hingga [dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali] orang yang berhaji tamattu' jika tidak mendapatkan kambing untuk disembelih, maka dia harus berpuasa tiga hari ketika masih berhaji sebelum hari Arafah, dan jika hari Arafah itu merupakan hari ketiga puasanya, maka dipandang terlaksana puasanya, dan tujuh hari jika dia telah kembali ke keluarganya.” (HR. Ibnu Jarir at-Thabari [2/248])

Firman Allah Swt. dalam ayat:

“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji”

Ditafsirkan oleh Ali, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas dalam atsar poin 3, 4 dan 6 bahwa puasa itu harus dilaksanakan sebelum hari Arafah, atau hari terakhirnya dilaksanakan ketika hari Arafah. Ini berarti puasa tiga hari tersebut tidak dilaksanakan pada hari-hari tasyriq, karena adanya larangan berpuasa pada hari-hari tasyriq. Tetapi karena puasa tiga hari ini hukumnya wajib menurut syara, dan bahwa hari-hari tasyriq adalah hari-hari terakhir dari rangkaian ibadah haji, maka orang yang belum sempat berpuasa tiga hari ini pada waktunya dibolehkan oleh syariat untuk berpuasa pada hari-hari yang dilarang, yakni pada hari-hari tasyriq.

Dengan demikian, maka berpuasa pada hari-hari tasyriq bagi orang yang belum sempat berpuasa tiga hari itu merupakan rukhshah, sebagaimana disebutkan dalam hadits poin 2:

Rukhshah berpuasa pada hari tasyriq tidak diberikan kecuali bagi orang yang tidak mendapati kambing untuk disembelih.”

Rukhshah ini telah dibatasi (ditaqyid) hanya bagi orang yang tidak mungkin lagi bisa berpuasa, bukan sebagai rukhshah yang bersifat mutlak, karena sebagaimana telah kami jelaskan, menurut asalnya, puasa tiga hari itu harus dilaksanakan sebelum hari-hari tasyriq, di mana pengertian ini disebutkan dalam atsar poin 4:

“Jika puasa itu luput darinya maka dia boleh berpuasa pada hari-hari di Mina.”

Dan disebutkan pula dalam atsar poin 5:

“Jika tidak mendapati kambing untuk disembelih dan belum berpuasa, maka dia bisa berpuasa pada hari-hari di Mina.”

Atsar merupakan perkataan para sahabat, walaupun tidak menjadi dalil, tetapi bisa menjadi hukum syara yang boleh diikuti. Di sini, ucapan sahabat tersebut menjelaskan dan menafsirkan ayat al-Qur’an, sehingga penjelasan dan penafsiran tersebut bisa diterima, terlebih lagi karena mereka itu adalah kaum Muslim yang paling mampu memahami ayat al-Qur’an dan menjelaskan kandungannya.

Dengan demikian, maka kita katakan bahwa pendapat kelompok pertama menjadi pendapat yang benar, di mana mereka mengharamkan puasa pada hari-hari tasyriq kecuali bagi yang berhaji tamattu’, yang tidak mendapati kambing untuk disembelih. Saya perlu tambahkan ke dalam pendapat mereka ini “dan peluang untuk berpuasa telah luput dari orang tersebut”, karena memang pendapat mereka di atas harus diberi tambahan ini.
Mengenai para sahabat as-Syafi'i, pendapat mereka benar jika mereka membatasi sebab kebolehan itu pada hilangnya peluang berpuasa tiga hari sebelum hari-hari tasyriq, tetapi, pendapat mereka keliru ketika mereka meragamkan sebab-sebab tersebut seperti nadzar, kaffarat dan qadha, karena nash-nash yang ada tidak menunjukkan hal itu kecuali hanya pada satu sebab saja, yakni hilangnya peluang berpuasa sebelum hari-hari Mina saja, bukan nadzar, kaffarat ataupun qadha yang menjadi sebab diberikannya rukhshah tersebut. Lagi pula, menurut hukum asalnya seorang Muslim itu harus terikat dengan hukum syara’, terlebih lagi dalam masalah ibadah.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam