Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 01 November 2017

Haram Puasa Wishal yang Lebih Dari Sahur-Ke-Sahur Sehari-Semalam



Puasa Wishal

Wishal adalah melakukan puasa secara berkesinambungan sehari-semalam atau lebih tanpa berbuka.
Ahmad dan Ishaq, Muhammad bin al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hajar dari kalangan penganut madzhab Syafi'i, dan sejumlah ulama dari kalangan Malikiyah, berpendapat bolehnya Wishal hingga sahur, yakni puasa sehari dan semalam sesudahnya hingga akhir malam. Muhammad bin al-Mundzir menceritakan adanya ketetapan makruhnya puasa Wishal yang ditetapkan oleh Malik, Sufyan at-Tsauri, Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq, dan ini sebenarnya adalah pernyataan Ibnu Qudamah. Ibnu Hajar berkata: sebagian besar kalangan menetapkan haramnya Wishal, dan dari kalangan penganut madzhab Syafi'i sendiri terbagi pada dua pendapat: ada yang mengharamkan, dan ada yang memakruhkan, hal itu telah diceritakan secara ringkas oleh an-Nawawi. Syafi'i sendiri telah menetapkan dalam kitab al-Umm bahwa Wishal itu diharamkan. Ibnu Hazm pun mengharamkannya. Berbeda dengan Abdullah bin Zubair dan putranya, yakni Amir, dan saudara perempuan Abu Said, Abu al-Jauza dan lbrahim at-Taimi yang membolehkan Wishal ini.

Agar kita bisa mengambil kesimpulan hukum yang benar dalam perkara ini, maka kita harus mengkaji dan mencermati nash-nash berikut ini:

1. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang dari wishal karena rasa kasihan kepada mereka. Mereka (para sahabat) bertanya.: Sesungguhnya engkau sendiri melakukan wishal? Beliau Saw. menjawab: “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, karena Tuhanku telah memberi makan dan minum kepadaku.” (HR. Bukhari [1964], Muslim dan an-Nasai)

2. Dari Ibnu Umar ra.:

“Sesungguhnya Nabi Saw. melarang dari puasa wishal. Mereka (para sahabat) bertanya: Sesungguhnya engkau sendiri berpuasa wishal. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum.” (HR. Muslim [2563], Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jauhilah wishal oleh kalian. Mereka (para sahabat) bertanya: Sesungguhnya engkau sendiri berpuasa wishal wahai Rasulullah? Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya kalian dalam hal itu tidak seperti aku, aku tidur (dalam keadaan) diberi makan dan minum oleh Tuhanku, karena itu bebanilah diri kalian dengan suatu perbuatan yang mampu kalian lakukan.” (HR. Muslim [2567])

Ibnu Khuzaimah [2071], Ahmad, Malik dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Jauhilah oleh kalian puasa wishal. Beliau Saw. mengatakannya tiga kali.”

Ad-Darimi [1704] dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Jauhilah oleh kalian puasa wishal. (Beliau katakan) sebanyak dua kali.”

4. Dari Anas ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Janganlah kalian berwishal. Mereka bertanya: Sesungguhnya engkau sendiri melakukan wishal. Beliau Saw. berkata: “Aku tidak seperti salah seorang dari kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum, atau sesungguhnya aku bermalam (dalam keadaan) diberi makan dan minum.” (HR. Bukhari [1961], Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan ad-Darimi)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: untuk mengamalkan hadits ini menurut sebagian ahli ilmu, mereka memakruhkan wishal dalam berpuasa. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa dia (Ibnu Zubair-pen.) suka berpuasa wishal dalam beberapa hari dan tidak berbuka.

5. Dari Laila isteri Basyir bin al-Khashashiyah, ia berkata:

“Aku ingin berpuasa dua hari secara bersambung, lalu Basyir melarangku, dan ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang hal itu. Ia (Basyir) berkata: Orang-orang Nashrani melakukan hal seperti itu (berwishal).” (HR. Ahmad [22301], Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, Said bin Manshur, Abdun bin Humaid dengan sanad yang dishahihkan oleh Ibnu Hajar)

6. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. seringkali berwishal hingga sahur, lalu sebagian sahabatnya melakukan hal serupa, kemudian beliau Saw. melarang hal itu. Dia (sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melakukan hal itu? Beliau Saw. berkata: “Kalian tidak seperti aku, sesungguhnya aku senantiasa berada di sisi Tuhanku, Dia memberiku makan dan minum.” (HR. Ibnu Khuzaimah [2072] dengan sanad yang shahih)

7. Dari Abu Dzar ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berwishal antara dua hari dan satu malam, lalu beliau Saw. didatangi Jibril dan berkata: Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menerima puasa wishalmu, dan setelahmu ini tidak halal (wishal tersebut) pada seorangpun. Hal ini karena Allah Swt. telah berfirman: “Dan sempurnakanlah puasamu hingga malam, dan tidak ada puasa setelah (memasuki) malam hari, dan Dia telah memerintahkanku untuk berwitir setelah fajar.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath [3162])
Di dalam rangkaian sanadnya terdapat nama Abdul Malik. Al-Haitsami berkata: aku tidak mengetahui Abdul Malik. Ibnu Hajar berkata: sanadnya ini tidak shahih, dan karenanya hadits ini tidak layak dijadikan hujjah.

8. Dari Samurrah bin Jundub ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang kami berwishal, dan larangan tersebut bukan bersifat suatu 'azimah (ketetapan). (HR. al-Bazzar [1024], Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir) Al-Haitsami berkata: sanad haditsnya dhaif.

9. Dari Ali ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. suka berwishal hingga sahur.” (HR. Ahmad [700], Ibnu Abi Syaibah, Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

Al-Haitsami berkata: para perawi dalam sanad ini termasuk rijal yang shahih.

Abdurrazaq [7752] meriwayatkan hadits ini dari jalur Muhammad bin Ali dengan redaksi:

“Bahwa Nabi Saw. suka berwishal dari sahur hingga sahur (lagi).”

10. Dari Abdurrahman bin Abi Laila, telah memberitahukan kepadaku seseorang dari kalangan sahabat Nabi Saw.:

“Bahwa Rasulullah Saw. melarang dari berbekam dan berwishal, dan beliau Saw. tidak mengharamkan keduanya, karena belas kasihan kepada para sahabatnya. Lalu ditanyakan kepada beliau Saw.: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sendiri berwishal hingga sahur? Maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya aku berwishal hingga sahur, dan Tuhanku memberikan aku makan dan minum.” (HR. Abu Dawud [2374], Ahmad, Abdurrazaq dan Ibnu Abi Syaibah)

Ibnu Hajar menshahihkan sanad hadits ini dan berkata: sanad hadits ini termasuk sanad yang paling baik yang menceritakan hal itu.

11. Dari Abu Said ra. bahwa dia mendengar Nabi Saw. bersabda:

“Janganlah kalian berpuasa wishal, siapa saja di antara kalian yang ingin melakukannya maka hendaklah dia berwishal hingga sahur saja. Mereka bertanya: Sesungguhnya engkau berwishal wahai Rasulullah? Beliau Saw. menjawab: “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian ini, aku bermalam dalam keadaan memiliki seseorang yang memberiku makan dan memberiku minum.” (HR. Bukhari [1963], Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hazm)

Ibnu Hazm berkata: kami meriwayatkan hadits ini juga secara musnad dan berstatus shahih dari Aisyah, Anas, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya berasal dari Rasulullah Saw.
Bukhari berkata: Nabi Saw. melarang dari berpuasa wishal karena belas kasih kepada mereka, dan dibencinya sikap melebihi batas dalam sesuatu.

12. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang dari berpuasa wishal, lalu seseorang dari kaum Muslim bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melakukan wishal? Rasulullah Saw. berkata: “Siapa di antara kalian yang seperti aku? Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Tuhanku.” Ketika mereka enggan untuk menghentikan wishal, mereka berwishal satu hari kemudian satu hari lagi, kemudian mereka melihat hilal. Maka beliau Saw. berkata: “Seandainya hilal ini bisa diundurkan niscaya aku akan menambah untuk kalian.” Seperti hendak memberi sanksi kepada mereka ketika mereka enggan untuk berhenti.” (HR. Muslim [2566], Bukhari, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Hazm dan ad-Darimi)

Dalam riwayat Muslim yang kedua [2570], juga riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah disebutkan dengan lafadz:

“Dia berkata: Rasulullah Saw. kemudian melakukan wishal, dan ini terjadi di akhir bulan Ramadhan. Lalu sekelompok sahabat juga melakukan wishal. Maka Nabi Saw. berkata: “Mengapa orang-orang itu terus-menerus melakukan wishal? Sesungguhnya kalian tidak seperti aku. Demi Allah, seandainya bulan ini diperpanjang, niscaya aku akan terus berwishal hingga mereka meninggalkan sikapnya yang melebihi batas.”

Dua hadits pada poin 7 dan 8 adalah hadits dhaif sehingga harus ditinggalkan dan tidak boleh dijadikan hujjah.
Larangan berwishal datang dalam tiga ungkapan, pertama: “beliau Saw. melarang dari wishal”, yakni pada hadits 1, 2, 5, 10, dan 12; kedua: “hindarilah oleh kalian berpuasa wishal”, yakni dalam hadits 3; dan ketiga: “janganlah kalian melakukan wishal”, yakni pada hadits 4 dan 11. Larangan dalam bentuk tiga redaksi kalimat ini membantah mereka yang mengatakan bolehnya berwishal. Yang tersisa kini hanya makruh atau haram. Karena itu, sekarang kita tinggal mencari dalil atau qarinah yang bisa menentukan mana yang disyariatkan dari salah satu dari dua hukum ini.

Dalam hadits ketiga riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan:

“Jauhilah oleh kalian puasa wishal. Beliau Saw. mengatakannya tiga kali.”

Ucapan Rasulullah Saw. itu seperti ini:

“Jauhilah oleh kalian puasa wishal, jauhilah oleh kalian puasa wishal, jauhilah oleh kalian puasa wishal.”

Saya tidak melihat Rasulullah Saw. begitu tegas melarang wishal dengan larangan seperti ini melainkan karena wishal itu haram dan tidak boleh dilakukan. Pengulangan seperti ini bisa menjadi qarinah bahwa larangan itu adalah larangan yang bersifat jazm (larangan yang tegas).

Kemudian hadits keduabelas menyebutkan bahwa Nabi Saw. memberikan sanksi kepada mereka yang berwishal dan enggan berhenti dari berwishal, yakni mereka yang menolak larangan berwishal.
Semua ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bersifat jazm, yang menghasilkan keharaman perbuatan tersebut. Seandainya larangan ini tidak jazm, tentu Rasulullah Saw. tidak akan memberikan sanksi kepada mereka.
Hadits ini layak menjadi dalil bahwa hukum wishal itu adalah haram, dan sekaligus bisa menjadi qarinah bahwa larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits sebelumnya itu merupakan larangan yang bersifat jazm (tegas).

Dalam riwayat Muslim yang kedua ditemukan sesuatu yang lebih menunjukkan ketegasan dan keharusannya, dengan adanya ucapan beliau Saw.:

“Demi Allah, seandainya bulan ini diperpanjang niscaya aku akan terus berwishal hingga mereka meninggalkan sikapnya yang melebihi batas.”

Beliau Saw. telah menyebut mereka yang berwishal sebagai orang yang melebihi batas, dan mengancam mereka dengan wishal yang lebih lama lagi sebagai sanksinya, hingga mereka mematuhi larangan ini dan meninggalkan wishal. Menjanjikan satu sanksi itu menjadi qarinah, menggolongkan mereka yang berwishal dengan sifat melebihi batas juga menjadi qarinah bahwa larangan dari wishal dalam beberapa hadits itu adalah larangan yang mengharamkan, bukan larangan yang sekedar memakruhkan saja.

Mengenai ancaman dengan sanksi adalah jelas, sedangkan menyebut tindakan seperti itu sebagai sikap melebihi batas, hal ini karena sikap melebihi batas dalam syariat itu jelas-jelas diharamkan.
Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Celakalah orang-orang yang melebihi batas. Beliau Saw. mengucapkannya tiga kali.” (HR. Muslim [6784], Abu Dawud dan Ahmad)

Al-Mutanaththi’un berasal dari kata at-tanaththu', artinya at-ta'ammuq (melebihi batas). Hal ini dikatakan oleh pengarang kitab Mukhtarus Shihah, penulis kitab Asasul Balaghah dan juga penyusun kitab Lisanul Arab, dan selainnya. At-Tanaththu' menurut bahasa adalah at-ta'ammuq, sehingga ucapan beliau Saw.:

“Celakalah orang-orang yang ber-tanaththu',” artinya, celakalah orang-orang yang ber-ta'ammuq (melebihi batas).

Ucapan seperti ini tidak akan dilontarkan sampai tiga kali, seandainya sikap melebihi batas itu tidak diharamkan.

Akhirnya datanglah hadits kelima, yang menyebut (mengkategorikan) wishal itu sebagai perbuatan orang-orang Nashrani, dan ini merupakan redaksi kalimat paling jelas yang bertujuan mengharamkan. Sebab, bertaklid kepada orang-orang kafir dalam perkara-perkara agama, itu jelas tidak boleh alias diharamkan. Puasa itu ibadah, dan ibadah itu agar benar adanya dan boleh dilakukan, maka harus ditemukan tuntunannya dalam syariat. Jika tidak ditemukan tuntunannya dalam syariat maka tidak sah untuk melakukannya, karena perkara seperti itu bukan termasuk ibadah sama sekali.
Begitu pula halnya dengan berwishal dalam puasa. Agar wishal itu menjadi satu ibadah yang sesuai dengan syariat dan sah dilakukan, maka harus dijelaskan (disebutkan) dalam nash-nash syariat. Jika ditemukan tuntunannya dalam syariat maka kita boleh melakukannya, jika tidak, maka kita harus menjauhinya. Kalau kita bersikukuh melakukan sesuatu yang tidak ditemukan tuntunannya dalam syariat, berarti kita telah menyembah Allah Swt. dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, dan hal ini jelas haram alias tidak boleh dilakukan.
Pertanyannya sekarang: di mana dalil yang membolehkan wishal? Jika seseorang berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. seringkali berwishal. Maka kami menjawab pernyataan seperti itu dengan sabda beliau Saw.: “sesungguhnya aku tidak seperti kalian,” dan “sesungguhnya kalian tidak seperti aku dalam perkara itu,” dan “aku tidak seperti salah seorang dari kalian,” dan “kalian tidak seperti aku,” dan “adakah di antara kalian yang serupa denganku?” Semua itu merupakan bentuk pernyataan paling tegas dan jelas bahwa wishal itu termasuk hal-hal yang dikhususkan bagi Rasulullah Saw. Siapapun selain beliau (Saw.) tidak boleh melakukannya, dan tidak boleh mengklaim bahwa wishal itu disyariatkan juga bagi selain beliau Saw. Perkara yang dikhususkan bagi Rasulullah Saw., tidak disyariatkan bagi kaum Muslim yang lain. Semata-mata disyariatkan hanya untuk beliau Saw. saja, terbatas untuk diri beliau Saw. semata. Dan ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam masalah syariat Allah bagi setiap orang yang paham agama.

Jika seseorang berkata: ‘hadits yang pertama itu menjelaskan bahwa larangan dari wishal itu semata-mata karena rasa kasih sayang beliau Saw. kepada manusia, dan bahwa hadits yang kesepuluh yang mengungkapkan: beliau Saw. melarang dari berbekam dan berwishal dan beliau tidak mengharamkan keduanya sebagai belas kasihan beliau Saw. kepada para sahabatnya. Ini merupakan dasar alasan larangan berwishal, dan ‘illat hukum itu beredar bersama hukum yang di'illatinya, dalam kondisi ada dan tidak ada. Jika 'illat itu ada maka hukumnya pun ada, dan jika 'illatnya hilang, maka hukumnya pun ternafikan, sehingga jika seseorang mampu untuk berwishal maka sebenarnya 'illat rahmat (alasan karena kasihan) kepadanya telah hilang?’ Untuk menjawab pernyataan seperti ini kami paparkan sebagai berikut:

Penetapan alasan larangan wishal tersebut adalah belas kasih kepada para sahabat, merupakan pernyataan Aisyah dalam hadits yang pertama, dan juga berasal dari pernyataan seorang sahabat dalam hadits yang kesepuluh. Jadi, bukan berasal dari ungkapan Rasulullah Saw. Aisyah telah menyebutkan bahwa larangan dari Rasulullah Saw. itu semata-mata karena kasih sayang beliau Saw. kepada orang-orang, dan seorang sahabat menyebutkan bahwa larangan Rasulullah Saw. tersebut semata-mata belas kasihan kepada mereka. Ta'lil (penetapan 'illat) seperti ini bisa diterima seandainya tidak ada nash yang jelas dan tegas mengharamkan wishal secara mutlak, sehingga ta'lil seperti ini harus ditinggalkan, dan tidak boleh dijadikan bahan pertimbangan (karena adanya nash yang jelas mengharamkan wishal tersebut).

Rasulullah Saw. yang mulia telah melarang manusia berpuasa wishal karena dua perkara: pertama, karena wishal termasuk perkara yang dikhususkan untuk beliau Saw. saja -sebagaimana telah kami jelaskan-, kedua, karena perbuatan tersebut dipandang sebagai sikap melebihi batas dalam agama, dan beliau Saw. tidak menyebutkan larangan ini sebagai belas kasih kepada mereka. Dengan demikian, hendaknya kita berpegang pada apa yang telah dijelaskan Rasulullah Saw., dan kita tinggalkan apa yang disangkakan oleh Aisyah dan yang diduga oleh sahabat di atas.

Dan pernyataan serupa saya kemukakan, khususnya untuk mengomentari pernyataan sahabat dalam hadits yang kesepuluh: “beliau Saw. telah melarang dari berbekam dan wishal, tetapi beliau Saw. tidak mengharamkan keduanya.” Jika ungkapan “beliau Saw. melarang berbekam dan wishal” dipandang sebagai sesuatu yang marfu' (disandarkan kepada Nabi Saw.) sehingga wajib untuk diterima, maka pernyataan sahabat selanjutnya “dan beliau Saw. tidak mengharamkannya”, ini hanyalah sebuah ijtihad dan pemahaman sahabat tersebut terhadap riwayat yang dinukilnya, dan kita tidak diharuskan untuk menetapi ijtihad dan pemahaman sahabat, terlebih lagi ketika nash-nash yang ada bertentangan dengan ijtihad dan pemahaman ini.

Seseorang bisa saja berpendapat: hadits yang kesebelas telah menetapkan bagi kaum Muslim untuk wishal hingga waktu sahur, sehingga wishal disyariatkan bagi kaum Muslim. Maka kami katakan kepadanya: Ini adalah pentakhsisan untuk sesuatu yang bersifat umum. Tentu saja, syariat yang berhak mentakhsis sesuatu yang umum tersebut, dan syariat yang mengharamkan wishal -secara umum ini- telah mengecualikan wishal hingga waktu sahur dari keumuman tersebut.
Artinya, syariat telah membolehkan wishal hingga sahur saja dan tidak membolehkan selebihnya, tidak mentakhsis selainnya. Hukum umum ini belum dinasakh, dan hukum umum ini masih tetap berlaku.
Inilah yang tampak dalam hadits kesebelas, di mana bagian awalnya menyebutkan “janganlah kalian melakukan wishal” dalam bentuk mutlak. Kemudian menyebutkan: “maka siapa saja di antara kalian yang ingin melakukan wishal, hendaklah melakukannya hingga sahur.” Pernyataan kedua ini tidak menasakh pernyataan pertama, sehingga pernyataan pertama tetap berlaku, dan di sisi lain, pernyataan kedua pun berlaku. Keduanya disyariatkan, sehingga salah satu dari keduanya tidak dinasakh dan tidak bisa diabaikan.

Jadi, sekali lagi kami katakan bahwa wishal lebih dari sehari semalam hingga sahur, yakni waktunya makan sahur, adalah haram alias tidak boleh dilakukan. Menjadi lebih haram lagi ketika waktu wishalnya bertambah dan lebih lama, sehingga wishal dua hari itu haram, begitu juga dengan wishal tiga hari lebih haram lagi, begitu seterusnya. Sebab, lebih banyak melakukan satu keharaman, sama artinya lebih jauh melewati batas syariat dan perintah Allah Swt., dan lebih dalam lagi terjerumus dalam jurang kemaksiatan.

Dengan demikian, jelas bahwa pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama yang mengharamkan wishal itu adalah pendapat yang shahih, dan jelas pula bahwa pendapat yang memakruhkannya adalah pendapat yang keliru, terlebih lagi yang membolehkannya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam