Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 31 Oktober 2017

Dilarang Puasa Sepanjang Tahun (Haram Puasa ad-Dahri)



Puasa Sepanjang Tahun (Shaum ad-Dahri)

Yang kami maksud puasa ad-dahru adalah puasa setiap hari di sepanjang tahun, kecuali pada lima hari yang diharamkan puasa, yakni dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha) dan tiga hari tasyriq, yang akan kami bahas kemudian.

Jumhur ulama membolehkan puasa ad-dahru bagi siapa saja yang kuat melakukannya dan tidak akan melalaikan kewajibannya, sehingga jika menimbulkan madharat dan menjadikannya melalaikan kewajiban maka hukumnya menjadi makruh. An-Nawawi telah menyebutkan dalam kitab al-Majmu' sebagian nama tokoh, baik dari generasi salaf ataupun khalaf yang melakukan puasa ad-dahru, di antaranya Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abu Thalhah al-Anshari, Abu Umamah dan isterinya yakni Aisyah, Said bin al-Musayyab, al-Aswad bin Yazid, Said bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf. Ahmad berkata: aku berharap melakukannya bukanlah satu masalah. As-Syafi'i dan para sahabatnya menyatakan bahwa terus-menerus berpuasa, yakni melakukan puasa ad-dahru, tidak dimakruhkan, malah sebaliknya sangat dianjurkan (mustahab), asalkan tidak menimbulkan dharar dan tidak melalaikannya dari kewajiban. Penganut Zhahiriyah, Ibnu al-Arabi dari kalangan Malikiyah, Ishaq bin Rahuwaih, Ahmad dalam riwayatnya yang kedua, telah memakruhkan puasa ad-dahru ini. Ibnu Hazm secara menyendiri berpendapat mengharamkan puasa ad-dahru.

Agar kita bisa mendapatkan hukum yang shahih seputar puasa ad-dahru ini, maka kita harus meneliti nash-nash berikut:

1. Dari Abdullah bin Amr, ia berkata:

“Nabi Saw. bersabda: “Benarkah engkau berpuasa setiap hari dan melakukan qiyam setiap malam?” Maka aku menjawab: Ya. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau jika melakukan hal itu maka cekunglah matamu dan lemahlah dirimu. Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa setiap hari sepanjang tahun.” (HR. Bukhari [1979], Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)

Dalam redaksi hadits Bukhari yang kedua [1977] disebutkan:

“Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa selamanya, sebanyak dua kali.”

2. Dari Abdullah bin Amr:

“Bahwa perkara puasaku telah diceritakan kepada Rasulullah Saw., kemudian beliau Saw. mengunjungiku. Aku menyodorkan bantal dari kulit yang isinya adalah rumput kering, tetapi beliau Saw. duduk di atas tanah, sehingga bantal itu berada di tengah-tengah antara aku dengannya, lalu beliau Saw. bertanya: “Apa tidak cukup bagimu berpuasa tiga hari dari setiap bulan?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Lima hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Tujuh hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Sembilan hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau Saw. bertanya: “Sebelas hari?” Aku berkata: Ya, wahai Rasulullah. Kemudian Nabi Saw. berkata: “Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis salam selama setengah tahun, berpuasalah engkau sehari dan berbukalah sehari.” (HR. Bukhari [1980], Muslim, Ibnu Hibban dan an-Nasai)

Hadits ini telah kami cantumkan dalam poin 2 pembahasan: “Puasa Satu dan Dua Hari...” dari bab: “Puasa Sunat.”

Bukhari meriwayatkan hadits lain dari jalur Abdullah bin Umar [1975], dan di dalamnya disebutkan:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kekuatan. Beliau Saw. bersabda: “Maka lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.” Aku berkata: Bagaimanakah cara puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam? Beliau Saw. bersabda: “Setengah tahun.” Maka setelah tua, Abdullah suka berkata: Andai saja dulu aku menerima rukhshah Nabi Saw.”

Muslim [2729] meriwayatkan hadits dengan redaksi:

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud alaihis salam, dan inilah puasa yang paling setimbang.” Dia berkata: aku berkata: Sesungguhnya aku mampu berpuasa lebih dari itu. Rasulullah Saw. berkata: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.”

3. Dari Abdullah bin Syikhir dia berkata, Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa selamanya, maka (dia dipandang) tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.” (HR. Ibnu Majah [1705], an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah, sanad hadits ini shahih)

4. Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., dari Nabi Saw.:

“Barangsiapa yang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka neraka jahanam dihimpitkan baginya seperti ini, lalu beliau Saw. menghimpitkan telapak tangannya.” (HR. Ahmad [19951], Ibnu Hiban, an-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah, sanad hadits ini jayyid)

5. Dari Imran bin Hushain ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. diberitahu: Sesungguhnya si fulan tidak berbuka di siang hari sepanjang tahun kecuali malam saja. Maka Nabi Saw. bersabda: “Dia tidak berpuasa dan juga tidak berbuka.” (HR. Ibnu Hibban [3582], an-Nasai, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)

Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh ad-Dzahabi.

6. Dari Abu Amr asy-Syaibani:

“Telah sampai kabar kepada Umar bahwa seseorang berpuasa ad-dahru, lalu dia dipukulnya, dan berkata: Makanlah wahai zaman, makanlah wahai zaman.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah [2/492])

Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm, sanad hadits ini dishahihkan pula oleh Ibnu Hajar.

7. Dari Nafi:

“Bahwa Umar bin Khattab biasa melakukan puasa secara terus-menerus sebelum beliau meninggal. Nafi berkata: Dan Abdullah bin Umar di akhir masa hidupnya suka berpuasa secara terus-menerus.” (Riwayat al-Baihaqi [4/301])

8. Dari Zur'ah bin Tsaub, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka dia berkata: Kami menganggap mereka yang (suka melakukannya) di antara kami sebagai orang-orang terdahulu.” (Riwayat al-Baihaqi [4/301])
Hadits ini dhaif.

Dalam rangkaian sanadnya terdapat Muawiyah bin Shalih, yang ditsiqahkan dan didhaifkan oleh Yahya bin Said, Yahya bin Ma’in dan Abu Ishaq al-Fazari. Di dalamnya juga ada Zur’ah bin Tsaub, ad-Dzahabi berkata dalam kitab Dzail al-Dhu'afa: dia seorang yang tidak dikenal (majhul), sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Hadits yang pertama menyebutkan:

“Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa setiap hari sepanjang tahun.”

Dan lafadz yang keduanya menyebutkan:

“Tidak dipandang berpuasa orang yang berpuasa selamanya, sebanyak dua kali.”

Hadits kedua menyebutkan:

“Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis salam.”

Dalam lafadz kedua disebutkan:

“Maka lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.”

Dalam lafadz ketiga disebutkan:

“Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.”

Hadits ketiga menyebutkan:

“Barangsiapa yang berpuasa selamanya, maka tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.”

Hadits keempat menyebutkan:

“Barangsiapa yang puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun), maka Neraka Jahanam dihimpitkan baginya.”

Dan hadits kelima menyebutkan:

“Dia tidak berpuasa dan juga tidak berbuka.”

Sedangkan atsar keenam menyebutkan:

“Lalu dia dipukulnya dan berkata: Makanlah wahai zaman.”

Atsar ketujuh menyebutkan:

“Bahwa Umar bin Khattab biasa melakukan puasa secara terus-menerus... dan Abdullah bin Umar suka berpuasa secara terus-menerus.”

Pertanyaannya: apa sebenarnya yang hendak ditunjukkan oleh nash-nash ini?

Bagi seseorang yang meneliti nash-nash tersebut, dia tidak akan sulit mengistinbath hukum mengharamkan puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun).
Lafadz hadits yang pertama bisa mengandung doa kejelekan dari Rasulullah Saw. bagi orang yang berpuasa ad-dahru, atau bisa juga sebagai pengingkaran (an-nafyu).
Jika kita bandingkan dengan hadits ketiga dan hadits kelima, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hadits yang pertama mengandung pengingkaran, sebagaimana hadits ketiga dan kelima yang mengandung makna pengingkaran yang sama, di mana makna pengingkaran itu terlihat ketika Rasulullah Saw. menyebut orang yang melakukan puasa ad-dahru sebagai orang yang tidak berpuasa. Ini berarti bahwa puasa ini tidak benar (ghair waqi’) dan tidak diterima (ghair maqbul). Sebab, puasa itu adalah ibadah, di mana semua ibadah itu bersifat tauqifi, sehingga akal tidak bisa turut campur menentukan dan mengatur tatacaranya (al-kaifiyat). Karena itu kita menetapkan bahwa ibadah apa saja yang dinafikan oleh syara', yakni tidak ada tuntunannya dan tidak diterima oleh syariat, maka ibadah tersebut sebagai sesuatu yang haram dan merupakan pelegislasian hukum (at-tasyri’) yang di luar syariat Allah Swt.
Ketiga hadits ini cukup menunjukkan keharaman puasa ad-dahru.

Jika kita tambahkan lagi hadits kedua ke dalamnya, yang berbunyi:

“Tidak ada puasa melebihi puasa Dawud alaihis salam.”

Maka semakin kuatlah pendirian kita tanpa keliru lagi, bahwa puasa ad-dahru itu diingkari dan tidak diakui oleh syariat.

Kemudian jika ditambahkan lagi riwayat:

“Maka lakukanlah puasa Nabiyullah Dawud alaihis salam, jangan menambahnya lagi.”

Berarti kita telah menambah pengingkaran berkali-kali itu, dipadukan dengan larangan puasa ad-dahru. Pengingkaran berpadu dengan larangan, di mana keduanya menjadi indikasi kuat atas tegasnya larangan tersebut, sehingga puasa ad-dahru tidak diragukan lagi keharamannya.

Berdasarkan hal itu, maka jelaslah bagi kita makna hadits keempat, yakni orang yang melakukan puasa ad-dahru -yang jelas-jelas diingkari dan dilarang syariat- sebagai orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah Swt., dan terjerumus dalam jurang kemaksiatan. Dan bagi orang seperti ini, tidak ada balasan selain Neraka Jahannam.

Semua nash ini jelas memiliki dilalah yang tidak samar lagi, bahwa puasa ad-dahru itu tidak disyariatkan, tidak diterima dan tidak benar, sehingga hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan.
Untuk apa Umar ra. memukul dan memberi sanksi kepada orang-orang yang melakukannya seandainya puasa ad-dahru ini tidak diharamkan sebagaimana disebutkan dalam atsar poin 6?

Adapun atsar poin 7 yang menyebutkan bahwa Umar dan anaknya biasa terus-menerus berpuasa, tidak boleh dipahami sebagai puasa ad-dahru. Semata-mata harus diinterpretasikan bahwa Umar itu sangat sering berpuasa secara kontinyu dan terus-menerus, dan ini jelas boleh dan tidak diharamkan. Kontinyu atau terus-menerus berpuasa tidak berarti berpuasa setiap hari sepanjang tahun.
Dalam bahasa Arab, penggunaan berbagai kalimat yang zhahirnya berarti pendawaman sesuatu sesungguhnya menunjukkan makna pada umumnya dan sebagian besar saja. Dan ini banyak ditemukan dalam al-Qur'an dan Sunnah yang mulia, di mana sedemikian banyaknya sehingga tidak perlu kami sebutkan contohnya di sini.

Walaupun semua nash ini tidak dinasakh dan tidak ada nash lain yang menyalahinya, jumhur ulama malah berpendapat membolehkan puasa ad-dahru dengan berbekal dalil hadits Aisyah ra.:

“Bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami bertanya kepada Nabi Saw.: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang yang suka berpuasa secara berturut-turut, apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan? Maka Nabi Saw. bersabda: “Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.” (HR. Muslim [2626] dan Bukhari)

Hadits ini telah kami sebutkan pada “Hukum Berpuasa Dalam Perjalanan" pada bab “Puasa di Perjalanan”, selain beberapa atsar yang menyebutkan bahwa para sahabat biasa berpuasa secara berturut-turut, yang telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam bab 4 halaman 301. Letak salahnya adalah mereka (jumhur ulama) itu telah menafsirkan sardu as-shaum (berpuasa secara berturut-turut) sebagai shaum ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), dan mereka tidak menafsirkannya dengan al-muwashalah (terus-menerus) dan at-tatabu' (berturut-turut). Seandainya mereka menafsirkannya sebagai terus-menerus dan berturut-turut, niscaya mereka tidak akan jatuh dalam kekeliruan fatal ini.

Sedangkan atsar sahabat, pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai dalil, hingga bisa menyalahi atau mentakhsis hadits-hadits Nabi Saw. yang jelas-jelas menunjukkan keharaman. Bahkan bila kita harus menafsirkan atsar-atsar tersebut sebagai puasa ad-dahri, maka atsar tersebut harus ditolak dan tidak boleh dipertimbangkan sama sekali. Semua atsar itu tidak lebih hanya sekedar ijtihad para sahabat, yang tidak harus diikuti, terlebih lagi bila atsar-atsar itu bertentangan dengan nash-nash Kitab dan Sunnah.

Hadits Aisyah tentang Hamzah bin Amr, ini tidak menunjukkan pendapat yang mereka pegang, bahkan menunjukkan hal sebaliknya, di mana Hamzah telah mengatakan:

“Sesungguhnya aku seseorang yang suka berpuasa secara berturut-turut (kontinyu).”

Maka Nabi Saw. menjawabnya:

“Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”

Redaksi kalimat seperti ini sekilas saja menunjukkan bahwa as-sardu (kontinuitas) di sini bukanlah shaum ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), karena seandainya Hamzah melakukan puasa ad-dahru, untuk apa dia melontarkan pertanyaan seperti ini kepada Rasulullah Saw.:

“Apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan?”

Jika seperti itu, dia tidak perlu melontarkan pertanyaan ini.
Dan seandainya Hamzah ini sedang melakukan puasa ad-dahru sedangkan Rasulullah Saw. mengetahui dan menyetujuinya, maka beliau Saw. tidak akan menjawabnya dengan:

“Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”

Semata-mata akan menjawabnya dengan ucapan misalnya: engkau harus tetap berpuasa dalam perjalanan, atau perjalanan tidak boleh menghentikan puasamu, atau bahwasanya perjalanan itu tidak menafikan puasa ad-dahru.

Dan ketika beliau Saw. berkata kepadanya:

“Berpuasalah engkau jika menghendaki, dan berbukalah engkau jika menghendaki.”

Ini menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut bukan tentang puasa ad-dahru (berpuasa setiap hari sepanjang tahun), tetapi tentang seseorang yang banyak berpuasa dan melakukannya secara berturut-turut, tidak lebih.

Selain itu, yang juga menunjukkan bahwa sardu as-shiyam (berturut-turut berpuasa) itu bukan berarti shaum ad-dahri (puasa setiap hari sepanjang tahun), melainkan memperbanyak berpuasa yang dilakukan secara berturut-turut saja, adalah hadits yang diriwayatkan Ahmad [22096] dari jalur Usamah bin Zaid ra. dengan lafadz:

“Adalah Rasulullah Saw. biasa berpuasa di beberapa hari secara berturut-turut hingga dikatakan: Beliau Saw. tidak berbuka. Dan beliau Saw. suka berbuka pada beberapa hari hingga hampir tidak berpuasa…”

Yang sebelumnya telah kami sebutkan dalam bab “Puasa Sunat” topik “Puasa Sya'ban.”
Di dalamnya disebutkan: beliau Saw. berturut-turut berpuasa hingga dikatakan beliau Saw. tidak berbuka, dan berbuka beberapa hari...” di mana hadits ini telah menghimpun kata as-sardu (berpuasa berturut-turut) dan al-ifthar (berbuka). Seandainya as-sardu itu bermakna puasa selamanya sepanjang tahun, niscaya tidak akan ada penghimpunan dua kata tersebut dalam hadits di atas.

Dan semoga Allah Swt. merahmati Tirmidzi, di mana beliau telah memahami bahwa sardu as-shaum itu artinya at-tatabu' (berturut-turut), bukan shaum ad-dahri (berpuasa setiap hari sepanjang tahun). Karena itu kita dapati beliau menyusun satu bab yang diberi judul: bab yang menghimpun hadits tentang sardu as-shaum (puasa berturut-turut), lalu dia mencantumkan hadits berikut di bawahnya:

Dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang puasa Nabi Saw. Aisyah berkata: Beliau Saw. biasa berpuasa hingga kami mengatakan beliau sungguh-sungguh berpuasa, dan biasa berbuka hingga kami mengatakan beliau sungguh berbuka. Dan tidaklah Rasulullah Saw. berpuasa satu bulan penuh melainkan pada bulan Ramadhan.”

Kemudian Tirmidzi menyebutkan dua hadits yang di dalamnya tidak disebutkan istilah atau sesuatu yang terkait dengan puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun). Ini menunjukkan bahwa beliau memahami sardu as-shaum itu sebagai banyak melakukan berpuasa saja (al-iktsar).
Karena hadits-hadits di atas saling menafsirkan satu sama lain, maka hadits-hadits kami di atas seluruhnya layak untuk menafsirkan hadits Hamzah ini, yaitu menunjukkan at-tatabu' (puasa secara berturut-turut), bukan puasa ad-dahru, karena puasa ad-dahru itu jelas-jelas dilarang.

Adapun pendapat jumhur ulama dan Syafi'i bahwa puasa ad-dahru itu dibolehkan atau sangat dianjurkan, asalkan tidak menimbulkan madharat dan tidak menyebabkan pelakunya melalaikan kewajiban, maka untuk membantahnya perlu dijelaskan: bahwa syarat seperti ini tak terbayang wujudnya, karena madharat dan melalaikan hak adalah dua perkara yang ditimbulkan dan pasti ditimbulkan dari puasa ad-dahru, di mana hadits yang pertama menyebutkan:

“Benarkah engkau berpuasa setiap hari dan melakukan qiyam setiap malam?” Maka aku menjawab: Ya. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya engkau jika melakukan hal itu maka akan cekunglah matamu dan akan lemahlah dirimu.”

Hadits ini telah menetapkan timbulnya madharat dari puasa ad-dahru, kecuali jika jumhur ulama, Syafi’i dan para sahabatnya itu menyatakan bahwa cekungnya mata dan lemahnya diri bukan sebagai madharat? Jika kami imbuhkan ke dalam pernyataan kami ini hadits berikutnya, yang menetapkan bahwa puasa dua pertiga tahun itu tidak akan mampu dilakukan oleh seorangpun, apatah lagi dengan puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang tahun)?
Dengan demikian, kita bisa menemukan letak kekeliruan yang telah mereka lakukan. Dari Abu Qatadah ra.:

“Bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw. tentang puasa yang beliau lakukan, sehingga beliau Saw. marah. Maka Umar berkata: Aku rela. Atau dia berkata: Kami rela ber-Tuhankan Allah, beragamakan Islam. Dia berkata: dan aku tidak mengetahui selain dia telah berkata: Dan Muhammad sebagai Rasul, serta rela terhadap bai'at yang telah kami lakukan. Dia berkata: Lalu Umar berdiri atau seorang lelaki yang lain. Lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah seseorang berpuasa sepanjang masa? Maka beliau Saw. berkata: “Dia tidak berpuasa dan juga tidak berbuka.” Dia berkata: Kalau puasa dua hari dan berbuka satu hari? Beliau Saw. berkata: “Siapa yang akan mampu melakukan hal itu?” (HR. Ahmad [22904])

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi dengan redaksi kalimat yang berbeda-beda.

Komentar beliau Saw. tentang puasa dua hari dan berbuka satu hari, yakni puasa dua pertiga tahun, dengan mengatakan: “siapa yang akan mampu melakukan hal itu?” sebagai pertanyaan dengan maksud mengingkari atau mencela, yang jelas menunjukkan bahwa puasa ad-dahru itu tidak akan mampu dilakukan oleh siapapun.

Kami memiliki dalil yang lebih kuat hujjahnya dan lebih jelas dilalahnya, yang menunjukkan bahwa puasa ad-dahru itu tidak akan mampu dilakukan, yakni hadits yang sebelumnya telah kami sebutkan dalam pembahasan “puasa satu hari setelah berbuka satu hari” dari bab “puasa sunat”:

“Rasulullah Saw. diberitahu bahwa aku berucap: Demi Allah, aku akan terus berpuasa setiap hari dan akan terus bangun untuk shalat pada setiap malam selama aku hidup. Maka aku berkata kepadanya: Sungguh aku telah mengucapkan sumpah itu. Beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal itu.” (HR. Bukhari [1976], Muslim dan selainnya)

Setelah semua ini begitu jelas, anehnya masih ada orang yang mengatakan bahwa puasa ad-dahru itu dibolehkan asalkan tidak menimbulkan madharat pada pelakunya?!

Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan satu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, an-Nasai, ad-Darimi, dan Ahmad, dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Tiga orang sahabat telah datang mengunjungi rumah isteri-isteri Nabi Saw., dan mereka bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika diberitahu, mereka merasa seolah-olah amal mereka sangat sedikit sekali, lalu mereka berkata: Di manakah kita dibanding Nabi Saw., padahal beliau Saw. telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan dating. Lalu salah seorang dari mereka berkata: Adapun aku, sungguh akan shalat malam selamanya. Yang lain berkata: Aku akan berpuasa ad-dahru (berpuasa setiap hari sepanjang tahun) dan tidak akan berbuka. Sedangkan yang lain lagi berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw. menemui mereka, seraya bertanya: “Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, (bangun) shalat malam dan tidur, dan aku menikahi kaum wanita, sehingga barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku.”

Bukankah dalam hadits ini terdapat sesuatu yang seharusnya mencegah seseorang berkata membolehkan puasa ad-dahru, terlebih lagi menganjurkannya? Apakah mereka tidak mendengar ucapan Rasulullah Saw. bagi orang yang shalat setiap malam selamanya, dan berpuasa setiap hari selamanya, serta orang yang tidak menikah selamanya:

“Sehingga barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku.”

Mengenai orang yang memakruhkan puasa ad-dahru sedikit keliru, kecuali jika maksudnya adalah karahah tahrim (makruh untuk mengharamkan), bukan karahah tanzih. Pendapat yang tidak diragukan lagi kebenarannya adalah bahwa puasa ad-dahru (puasa setiap hari sepanjang masa) itu diharamkan alias tidak boleh dilakukan, dan inilah pendapat yang dilontarkan oleh Ibnu Hazm.

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam