Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 November 2017

Bekam Tidak Batal Puasa



Berbekam

Berbekam (al-hijamah) adalah merobek atau memecah kulit (biasanya) kepala dengan satu alat yang disebut al-mihjam atau al-mihjamah (alat bekam), dan sang pembekam (al-hajim) menyedot darah yang keluar dari kulit yang robek tersebut. Berbekam dilakukan ketika volume darah dalam tubuh cukup banyak dan berlimpah. Biasanya bekam itu dilakukan pada kepala.
Dari Abdurrahman al-A'raj dari Ibnu Buhainah:

“Bahwa Nabi Saw. berbekam di jalan Makkah, dan beliau Saw. sedang berihram, berbekam di bagian tengah kepalanya.” (HR. Muslim [2886])

Para ahli fikih, termasuk generasi sebelum mereka yakni para sahabat, telah berbeda pendapat: apakah berbekam itu membatalkan atau tidak membatalkan puasa? Muhammad bin Sirin, al-Hasan al-Bashri, Atha, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Tsaur, al-Auza'i dan ad-Dawudi dari kalangan Malikiyah, Muhammad bin al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari kalangan as-Syafi’iyah berpendapat bahwa berbekam itu membatalkan puasa, baik yang membekam (al-hajim) ataupun yang dibekam (al-muhtajim), dan mereka mewajibkan qadha atas keduanya. Bahkan Atha mewajibkan kaffarat juga atas keduanya itu, dan ini merupakan pendapat yang ganjil. Hal ini diriwayatkan pula berasal dari Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asyari, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, dan Aisyah dari kalangan sahabat ra.

Said bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, aS-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha'i, Abu Hanifah, Malik, as-Syafi’i, dan ats-Tsauri berpendapat bahwa berbekam itu tidak membatalkan puasa. Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari sahabat seperti Ummu Salamah, Abdullah bin Abbas, Abu Said al-Khudri, Anas bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, Saad bin Abi Waqqash, dan dari Aisyah serta Abdullah bin Umar dalam riwayat kedua darinya.

Agar kita bisa mengetahui mana yang benar di antara dua hukum ini, maka kita harus meneliti beberapa nash-nash berikut:

1. Dari Tsauban ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Orang yang membekam dan orang yang dibekam itu batal puasanya.” (HR. Abu Dawud [2367], an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, ad-Darimi dan Ibnu Khuzaimah)

Sanad haditsnya shahih sesuai syarat al-Bukhari.

2. Dari Syaddad bin Aus ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. mendatangi seorang lelaki di Baqi', dia sedang berbekam, dan beliau Saw. memegang tanganku pada hari kedelapan belas dari bulan Ramadhan. Lalu beliau Saw. bersabda: “Orang yang membekam dan dibekam itu batal puasanya.” (HR. Abu Dawud [2369], Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan ad-Darimi)

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban [3534] dan al-Baihaqi dengan lafadz:

“Aku bersama Rasulullah Saw. pergi ke Baqi di masa penaklukan.”

3. Dari Rafi bin Khadij ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Orang yang berbekam dan dibekam itu telah batal puasanya.” (HR. Ibnu Hibban [3535], Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, at-Thabrani dan al-Hakim)

Dishahihkan oleh Ibnu al-Madini, dan hal itu disebutkan Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim. Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih. Ahmad bin Hanbal berkata: hadits Syaddad bin Aus adalah hadits paling shahih yang diriwayatkan dalam bab ini, dan sanad hadits Rafi itu berstatus jayyid. Dia berkata: hadits Tsauban dan Syaddad adalah dua hadits shahih. Ibnu Qudamah berkata: hadits ini diriwayatkan dari Nabi Saw. oleh sebanyak 11 orang.

4. Dari Abdullah bin Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berbekam dan beliau sedang berihram. Beliau juga berbekam padahal beliau Saw. sedang berpuasa.” (HR. Bukhari [1938], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad [1943] dan al-Baihaqi dengan lafadz:

“Rasulullah Saw. berbekam di antara Makkah dan Madinah, padahal beliau Saw. sedang berpuasa dan berihram.”

5. Dari Tsabit al-Bunani, ia berkata:

“Anas bin Malik ditanya: Apakah kalian memakruhkan berbekam pada orang yang berpuasa? Dia menjawab: Tidak, kecuali kalau melemahkan -Syababah menambahkan: Syu'bah telah bercerita kepada kami: di masa Nabi Saw.” (Riwayat Bukhari [1939], Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Al-Baihaqi [4/268] dan ad-Daruquthni telah meriwayatkan dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Yang pertama aku tidak sukai adalah berbekam bagi orang yang berpuasa. Bahwasanya Ja’far bin Abu Thalib ra. berbekam dan dia sedang berpuasa, lalu Nabi Saw. lewat padanya dan berkata: “Dua orang ini telah batal puasanya.” Kemudian Nabi Saw. memberi keringanan (rukhshah) setelahnya untuk berbekam bagi orang yang berpuasa. Dan Anas seringkali berbekam, padahal dia sedang berpuasa.”

Ad-Daruquthni berkata: semua perawinya tsiqah, aku tidak mengetahui ada ilat (cacat) dalam hadits ini.

6. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tiga perkara yang tidak membatalkan puasa seseorang: muntah, berbekam dan mimpi.” (HR. al-Bazzar [1016])

Ad-Daruquthni [2/183] dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Said al-Khudri ra.

Sebelumnya hadits ini telah kami cantumkan dalam pembahasan “muntah” pada bab ini.

7. Dari Abu Said ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. memberikan keringanan (rukhshah) untuk mencium bagi orang yang berpuasa, dan memberi keringanan untuk berbekam bagi orang yang berpuasa.” (HR. an-Nasai dalam kitab as-Sunan al-Kubra [3224], ad-Daruquthni dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath)

Hadits ini diriwayatkan al-Bazzar [1012] dengan lafadz:

“Bahwa Nabi Saw. memberikan rukhshah untuk berbekam bagi orang berpuasa.”

Para perawinya adalah orang-orang shahih. Diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm. Sedangkan Ibnu Khuzaimah telah membenarkan kemauqufannya kepada Abu Said.

Saya katakan sebagai berikut:

Tidak diragukan lagi bahwa tiga hadits yang pertama layak untuk dijadikan hujjah, layak untuk menjadi dalil yang menunjukkan bahwa syariat yang lurus telah mengharamkan berbekam dari seseorang yang berpuasa, dan menjadikan berbekam sebagai salah satu perkara yang membatalkan puasa. Berbagai penakwilan terhadap nash-nash yang sangat jelas ini sama dengan menolak dan membatalkannya, seperti ucapan mereka: sesungguhnya orang yang membekam dan dibekam bisa jadi melakukan ghibah, dalam puasa keduanya, lalu dilontarkanlah berbagai pendapat yang tidak layak. Bahkan as-Syafi'i berkata: berdasarkan penakwilan seperti ini, yang dimaksud dengan batalnya puasa keduanya adalah hilangnya pahala keduanya. Seperti yang disebutkan oleh al-Khattabi, bahwa pengertiannya adalah keduanya mendorong dirinya sendiri untuk berbuka. Orang yang dibekam -karena lemah tubuhnya akibat keluarnya darah- sehingga timbullah kesulitan yang akhirnya mendorongnya berbuka, sedangkan orang yang membekam bisa jadi ada tetesan darah yang sampai di perutnya ketika dia menyedot darah dengan dua bibirnya. Dan beragam penakwilan lainnya yang bisa dikatakan sebagai penakwilan batil. Mengenai pernyataan pertama, untuk membantahnya bisa dilakukan dari beberapa arah:

Pertama: sesungguhnya ghibah itu tidak membatalkan puasa seseorang menurut pendapat yang paling shahih, hingga tidak perlu dikatakan bahwa keduanya bisa jadi berbekam sambil mengghibah.

Kedua: hadits-hadits orang yang membekam dan dibekam itu telah batal puasanya telah disebutkan dalam beberapa keadaan, dan tidak digambarkan sedikitpun di dalam setiap keadaan tersebut adanya ghibah. Lagi pula dalam hadits-hadits tersebut tidak ada penyebutan kata ghibah. Jadi, darimana mereka mendapatkan kata ghibah tersebut?

Ketiga: penakwilan itu tidak sah ditakwilkan lagi, karena takwil itu sendiri lemah. Jika ditakwilkan, maka tanpa ragu lagi akan semakin lemah. Ditakwilkannya hadits ini dengan mengatakan keduanya batal puasa karena mengghibah tidak bisa ditakwilkan lagi dengan mengatakan penakwilan lain, bahwa kedua orang ini telah hilang pahalanya.

Tentang pendapat kedua yang disebutkan al-Khattabi bahwa kedua orang ini mendorong dirinya sendiri untuk berbuka, kemudian ucapan ini ditafsirkan dengan peluang timbulnya kelemahan dan kepayahan, atau peluang masuknya sebagian darah ke dalam perut pembekam, maka untuk membantahnya adalah bahwa fikih itu tidak dibangun di atas dasar berbagai kemungkinan. Terlebih lagi jika kemungkinan-kemungkinan itu tidak ada. Dikatakan tidak ada, karena mengakui kemungkinan di atas menjadikan kita harus mengatakan bahwa berkumur juga membatalkan puasa, karena mungkin sebagian air akan masuk ke dalam perut orang yang berpuasa ketika berwudhu. Lalu apakah kita akan menggugurkan berkumur dari orang yang berpuasa?

Di sisi lain, kita mendapati sebagian ulama mengatakan bahwa berbekam itu membatalkan puasa, karena melihat tiga nash ini dan nash-nash lain yang semisal tanpa mau sedikit berpayah diri membaca sesuatu setelahnya. Dan kalaupun telah membacanya, mereka malah menakwilkannya juga, seperti pernyataan mereka tentang hadits pada poin empat bahwa Nabi Saw. ketika berbekam dalam keadaan berihram. Sebenarnya, itu terjadi ketika beliau Saw. sedang berangkat haji, yakni sedang melakukan perjalanan (as-safar). Dan seorang musafir itu (dibolehkan) tidak berpuasa. Lebih dari itu, Rasulullah Saw. terbukti -menurut beberapa riwayat yang ada- beliau Saw. pasti berbuka dalam perjalanan! Sayangnya, mereka mengatakan bahwa beliau Saw. ketika berbekam dalam perjalanan, beliau Saw. tidak berpuasa! Begitulah akhirnya, mereka menolak hadits yang demikian luas, dan menutup mata mereka dari hadits kelima dan keenam karena sulitnya untuk menakwilkan keduanya.

Besarnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan fukaha disebabkan karena mereka mengambil sebagian nash dalam satu masalah, seraya meninggalkan sebagian yang lain. Seperti ketika mereka mengambil hadits-hadits umum, dan meninggalkan hadits-hadits lain yang mentakhsisnya, atau mereka mengambil hadits-hadits yang datang sebelumnya, seraya meninggalkan hadits-hadits yang datang berikutnya yang menasakhnya, atau mereka menganalogikan beberapa perkara pada perkara lainnya, padahal mereka memiliki nash-nash yang jelas yang menerangkan perkara tersebut, di mana dengannya mereka tidak memerlukan qiyas (analogi) lagi, atau mereka berusaha menemukan seluruh makna lafadz, seperti yang diungkapkan seluruhnya oleh kamus-kamus bahasa, yang akhirnya mereka malah mengingkari makna yang dicari.
Dari sebagian ulama, khususnya ulama kontemporer yang hidup di zaman modern ini, ada yang berusaha menjaga manfaat dan kesusahan yang bersifat umum, lalu mereka membolehkan sesuatu yang diharamkan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Semua itu saya temukan ketika saya membaca kitab-kitab fikih yang ada.
Seandainya para ulama dan fukaha bersepakat untuk meninggalkan (alias tidak melakukan) semua itu, niscaya perbedaan di antara mereka akan sangat berkurang.

Untuk mendapatkan kejelasan dalam masalah ini, dari nash-nash di atas saya paparkan sebagai berikut:

Sesungguhnya tiga hadits yang pertama menyebutkan bahwa berbekam itu membatalkan puasa seseorang, tetapi hadits-hadits ini bukanlah satu-satunya nash yang berbicara tentang masalah tersebut.
Kita memiliki nash keempat yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. berbekam, padahal beliau Saw. sedang berpuasa, dan ini merupakan hadits shahih. Seandainya dengan tiga hadits ini kita tidak mendapati lagi selain hadits keempat tersebut, niscaya pemahaman kita akan berlainan dalam masalah ini karena adanya pertentangan (at-ta'arudh) di antara kedua nash tersebut. Tetapi dengan meneliti seluruh nash dalam satu masalah, niscaya akan mencegah timbulnya perbedaan pendapat di antara kita sebagaimana telah kami ceritakan, atau akan menekan perbedaan tersebut seminimal mungkin.

Kemudian datanglah hadits kelima yang menyebutkan bahwa berbekam itu pada awalnya dipandang membatalkan puasa seseorang, kemudian diberikanlah keringanan (tarkhish) setelahnya.
Lalu datanglah hadits ketujuh, yang menekankan pengertian ini dengan lafadz rakhkhasha (beliau Saw. memberikan keringanan). Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa kata rakhkhasha itu biasanya tidak disebutkan kecuali setelah adanya pengharaman, dan tidak disebutkan sebagai permulaan, sehingga kalimat rakhkhasha itu sendiri menunjukkan bahwa hal tersebut sebelumnya belum diberi keringanan. Karena itu, tidak ada alternatif lain bagi kita, setelah kita meneliti nash-nash ini, untuk menyatakan adanya nasakh dalam masalah ini, yakni nasakh terhadap hukum yang didapat dari tiga hadits pertama.

Bisa saja seseorang mengatakan bahwa hadits Syaddad dalam poin kedua terjadi pada waktu penaklukkan Makkah (fathu Makkah) pada tahun kedelapan hijriyah. Perkataan seperti ini memberikan pengertian bahwa ucapan Nabi Saw. yang mengatakan batalnya pembekam (al-hajim) dan orang yang dibekam (al-mahjum) itu datang belakangan, sehingga tidak ada nasakh di dalamnya. Maka kami menjawabnya, bahwa Ibnu Abbas ra. yang meriwayatkan hadits keempat itu menemani Nabi Saw. pada waktu haji wada, dan belum menemani beliau Saw. berihram pada waktu-waktu sebelumnya. Padahal haji wada itu terjadi pada tahun kesepuluh hijriyah, yakni terjadi dua tahun setelah penaklukkan kota Makkah. Jadi, pernyataan hadits keempat itu (terjadi) dua tahun belakangan setelah ucapan hadits kedua, sehingga hadits Ibnu Abbas inilah yang menasakh hadits sebelumnya. Penjelasan ini saja sudah cukup membantah pendapat di atas.

Setelah itu datang hadits keenam, yang menetapkan tentang tidak batalnya puasa seseorang karena berbekam.

Adapun hadits kelima yang diriwayatkan oleh Bukhari yang menyebutkan makruhnya berbekam, dan menyebutkan bahwa ‘illat hukum ini adalah kelemahan yang bisa menimpa orang yang dibekam disebabkan keluarnya darah dari tubuh, maka seseorang bisa saja mengatakan: sesungguhnya hukum karahah ini -kadang ahli fikih menyebut kata ini dengan maksud pengharaman (tahrim)- tetap ada dan tidak dinasakh, karena ‘illat itu beredar bersama hukum yang di 'illatinya, baik ada ataupun tidak adanya. Dan ‘illat dalam hadits ini tetap ada, karena kelemahan yang menimpa orang yang dibekam itu tidak diperselisihkan lagi, sehingga yang wajib kita lakukan adalah mengamalkan ‘illat ini. Karena itu, menurutnya, pendapat yang benar adalah makruh atau haramnya berbekam.
Kita akan membantah pernyataan seperti ini dari beberapa poin:

Pertama: perkataan ini adalah perkataan Anas bin Malik, bukan perkataan yang dimarfu'kan kepada Rasulullah Saw., sehingga tidak bisa dipandang sebagai dalil syara yang harus ditetapi.

Kedua: sesungguhnya ditetapkannya ‘illat kemakruhan berbekam itu sebagai kelemahan, hanya cocok diterapkan pada orang yang dibekam, tidak layak diterapkan pada orang yang membekam, sehingga orang yang dibekam itu kadang menjadi lemah karena keluarnya darah dari tubuhnya, tetapi tidak demikian dengan orang yang membekam. Maka bagaimana kita bisa memakruhkan berbekam pada dua orang ini secara bersamaan? Kondisi seperti ini mengakibatkan kita meragukan keabsahan perkataan ini dinisbatkan kepada Anas ra. Sama ragunya jika ucapan ini dinisbatkan kepada Rasulullah Saw.

Ketiga: sebab dibekamnya seseorang adalah seseorang merasa cukup dan berlimpah volume darahnya, kuat tekanannya, sehingga dampaknya merasa kurang sehat, yang akhirnya dia memilih dibekam untuk menghilangkan kondisi badan yang tidak enak, serta untuk menyegarkan badan. Maka, kalau kondisinya seperti itu bagaimana bisa dikatakan bahwa berbekam itu akan mengakibatkan kelemahan yang mengharuskannya berbuka?

Keempat: mengenai perkataan bahwa ‘illat itu tetap ada, dan qiyas sah dilakukan dengan adanya ‘illat itu, maka ini adalah perkataan yang benar. Tetapi hal ini berlaku ketika hukumnya masih berlaku dan masih tetap serta belum dinasakh. Dalam masalah yang kita bahas ini tidak bisa dikatakan seperti itu, karena hukumnya sudah dinasakh.

Dengan keempat poin tersebut maka kami katakan: sesungguhnya hadits kelima ini tidak boleh dipertimbangkan sebagai dalil, karena bertentangan dengan perkataan Nabi Saw. yang membolehkan berbekam, sehingga hukum bolehnya berbekam bagi seseorang yang berpuasa telah terbukti dan tetap.

Berdasarkan pemaparan di atas, yakni berdasarkan hukum bolehnya berbekam bagi orang yang berpuasa, di mana berbekam itu adalah keluar dan mengeluarkan darah dari badan, maka kami katakan sebagai berikut:

1. Sesungguhnya proses mendonorkan darah di zaman modern ini, pada faktanya adalah aktivitas mengeluarkan darah dari badan, dan mengeluarkan darah itu boleh dan tidak membatalkan seseorang yang sedang berpuasa.

2. Sesungguhnya luka-luka, dan biasanya disertai dengan keluarnya darah, baik yang terjadi dalam perang fi sabilillah, kecelakaan kendaraan bermotor, tertembak senapan dan akibat jatuhnya seseorang dari tempat yang tinggi, serta berbagai kondisi lainnya, maka semua itu tidak membatalkan seseorang yang sedang berpuasa.

3. Sesungguhnya proses cuci darah (pada ginjal), yakni mengeluarkan darah dari tubuh untuk dialirkan pada sistem pencucian/pembersihan, kemudian setelah dibersihkan akan dikembalikan ke dalam tubuh, maka proses ini tidak membatalkan seseorang yang berpuasa, karena keluarnya darah pada proses ini persis seperti keluarnya darah dalam berbekam. Keduanya adalah proses yang sama, sehingga hukum yang diterapkan pada berbekam sepenuhnya diterapkan pada proses ini.

4. Sesungguhnya menyedot darah dengan jarum untuk melakukan pemeriksaan medis di laboratorium adalah dibolehkan dan tidak membatalkan puasa.

5. Sesungguhnya menghisap darah dengan menggunakan lintah itu tidak membatalkan puasa, 'Alaq merupakan bentuk mufrad (tunggal) dari ‘alaqah (sesuatu yang menempel), yaitu sejenis ulat yang hidup di air yang digunakan untuk menghisap darah dari tubuh sebagai bentuk pengobatan.

Dengan demikian, keluarnya darah atau mengeluarkannya dari tubuh tidak membatalkan puasa, bagaimanapun sebab dan motif keluar atau mengeluarkannya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam