Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 November 2017

Bercelak Tidak Batal Puasa



Bercelak

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bercelak: apakah dibolehkan bagi seseorang yang berpuasa dan dipandang sebagai sesuatu yang tidak membatalkan, atau termasuk sesuatu yang dimakruhkan, atau diharamkan karena termasuk yang membatalkan puasa? Orang yang berpendapat bahwa bercelak itu membatalkan puasa adalah Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laila, Manshur bin al-Mu'tamir dan Sulaiman at-Taimi, hal ini diceritakan oleh Ibnu al-Mundzir. Orang yang memakruhkan bercelak bagi orang yang berpuasa adalah Malik, Ahmad, Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin al-Mubarak dan Ishaq. Malik dan Ahmad berkata: kecuali jika celak itu sampai ke kerongkongan maka hal itu membatalkan.
Abu Hanifah, as-Syafi'i, Abu Tsaur, al-Auza'i, Dawud bin Ali, Atha, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i, dan Ibnu Syihab az-Zuhri berpendapat membolehkan bercelak karena bagaimanapun tidak membatalkan puasa. Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abi Aufa dari kalangan sahabat ra.

Yang benar adalah bahwa masalah ini jelas sekali, sehingga tidak perlu terlalu lama diterangkan. Bercelak itu boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang berpuasa. Celak itu tidak membatalkan puasa, bagaimanapun kondisinya, karena tidak ada satu hadits shahih atau hasan pun yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., juga dari sahabatnya yang melarang seseorang yang berpuasa dari bercelak. Tidak ada larangan berbentuk jazm (tegas), juga tidak ada yang ghair jazm (tidak tegas).
Begitu pula tidak diriwayatkan satu hadits shahih atau hasan pun dari beliau Saw. yang membolehkan bercelak secara khusus bagi seseorang yang berpuasa.
Tatkala nash-nash tidak memasukkannya ke dalam perkara yang membatalkan puasa, maka hal itu menunjukkan bahwa bercelak itu termasuk perbuatan yang dibolehkan dalam berpuasa.
Beberapa hadits yang membolehkan atau melarang dari bercelak, seluruhnya adalah hadits dhaif atau munkar, yang tidak layak digunakan sebagai hujjah sama sekali. Saya sebutkan beberapa hadits sebagai contohnya:

1. Dari Abdurrahman bin an-Nu'man bin Ma’bad bin Haudzah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw.:

“Bahwa beliau Saw. memerintahkan bercelak dengan batu itsmid yang diberi wewangian misik ketika tidur, dan ia berkata: Tetapi hendaknya orang yang berpuasa menjauhinya.” (HR. Abu Dawud [2377])
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi [1734] dan al-Baihaqi dengan lafadz:

“Janganlah engkau bercelak di siang hari padahal engkau sedang berpuasa, bercelaklah di malam hari dengan batu itsmid karena bisa menerangkan pandangan dan menumbuhkan rambut.”
Itsmid adalah batu hitam yang terkenal bisa digunakan untuk bercelak.

Ini hadits munkar.

2. Dari Abu Rafi, ia berkata:

“Rasulullah Saw. biasa bercelak dengan batu itsmid, dan beliau Saw. sedang berpuasa.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir [1/939] dan al-Baihaqi)
Al-Haitsami berkata: di antara riwayat Hibban bin Ali dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi, walaupun keduanya dipandang tsiqah tetapi dalam haditsnya banyak diperdebatkan.
Ini hadits sangat dhaif.

3. Dari Zubaidi, dari Hisyam, dari Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bercelak padahal beliau Saw. sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Majah [1678], al-Baihaqi dan Ibnu Adi)
Ini hadits dhaif.

Hadits yang pertama, setelah menyebutkannya, Abu Dawud berkata: Yahya bin Ma’in berkata kepadaku: ini adalah hadits munkar, yakni hadits tentang bercelak. Karena itu, hadits pertama ini tidak layak dijadikan sebagai hujjah. Hadits ini menjadi sandaran Ibnu Syubrumah dan kelompoknya dalam menyatakan batalnya bercelak ketika berpuasa. Dengan gugurnya hadits ini maka gugur pula pendapat mereka.

Hadits kedua yang memberi pengertian bahwa bercelak itu boleh bagi orang yang berpuasa, ini adalah hadits dhaif, bahkan sangat dhaif. Al-Haitsami menduga al-Qari itu ragu dengan perkataannya. Bukhari berkata dalam kitab at-Tarikh al-Kabir dari Muhammad bin Ubaidillah: haditsnya ditinggalkan. Dikomentari pula oleh Yahya bin Ma'in: bukan siapa-siapa dan anaknya adalah Ma'mar. Ibnu al-Jauzi telah menukil penetapan kedhaifannya dari ad-Daruquthni. Ar-Razi berkata: al-Qari ini seseorang yang haditsnya sudah hilang (karena lupa). Al-Baihaqi berkata: bukan orang yang kuat.
Sedangkan Hibban bin Ali, walaupun ditsiqahkan oleh sejumlah orang tetapi telah dikomentari oleh Ibnu Abi Khaitsamah: haditsnya bukan apa-apa. Abu Dawud berkata: baik dia ataupun saudaranya, aku tidak menceritakan hadits yang berasal dari keduanya. Ali bin al-Madini berkata: aku tidak menuliskan haditsnya. Abu Zur’ah berkata: Hibban itu seseorang yang lemah. Abu Hatim berkata: haditsnya ditulis tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Bukhari berkata: menurut para ahli hadits, dia ini seseorang yang tidak kuat. Ad-Daruquthni berkata: orang ini dituduh berdusta. An-Nasai telah mendhaifkannya. Al-Juzjani berkata: orang yang haditsnya lemah. Hadits ini sangat dhaif sekali sehingga harus ditinggalkan.

Adapun hadits ketiga, maka az-Zubaidi, yang namanya adalah Said bin Abdul Jabar, adalah seseorang yang dhaif. Al-Baihaqi menyebut bahwa dia termasuk syeikh yang tidak dikenal, menyendiri meriwayatkan hadits yang tidak bertabi', sehingga haditsnya ditolak. Katakanlah seperti itu -terkait hadits-hadits selainnya- dalam bab ini, semuanya ada yang dhaif atau bahkan munkar, yang penyakitnya itu tidak bisa disembuhkan dan hausnya tidak bisa dihilangkan.

Tinggallah kini hadits-hadits shahih yang membolehkan bercelak secara umum dan berbentuk mutlak, yang tetap dalam keumuman dan kemutlakannya, membolehkan bercelak dalam kondisi apapun, di antaranya dalam kondisi berpuasa. Mengenai pendapat mereka bahwa bercelak itu, jika sampai di kerongkongan, akan membatalkan seseorang yang berpuasa, maka saya tidak menemukan sesuatu untuk membantahnya selain karena memang pendapat tersebut tidak perlu dipedulikan.

Bercelak dalam keadaan berpuasa itu boleh, baik bercelaknya dengan batu bahan celak (al-itsmid), dengan benda-benda padat yang lain, atau benda-benda cair modern, baik yang dibuat untuk digunakan pada mata dengan cara menggosoknya, atau dibuat pada mata dengan menggunakan pensil modern. Semua itu boleh, dan tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Pernyataan yang saya katakan terkait celak, juga akan saya katakan terkait obat tetes mata. Tidak ada dalil syara'-nya bahwa tetes mata itu membatalkan seseorang yang berpuasa, bahkan dalil yang ada justeru membolehkannya, karena realitanya sama dengan air ketika mandi dan berwudhu. Air atau obat yang masuk ke mata tidak membatalkan seseorang yang berpuasa sama sekali. Pernyataan yang dilontarkan sebagian ahli fikih bahwa obat tetes mata itu sampai ke kerongkongan adalah pernyataan gegabah yang tidak perlu diperhatikan dan tidak layak dipertimbangkan. Serupa dengan obat tetes mata adalah obat tetes telinga, ini pun tidak membatalkan, karena realitanya sama dengan realita air yang masuk ke dalam telinga ketika mandi ataupun berwudhu, tidak membatalkannya sama sekali.

Untuk obat tetes hidung, maka dilihat dulu. Jika sampai ke kerongkongan, lalu diminum oleh orang yang berpuasa maka puasanya batal. Hidung itu berbeda dengan mata dan telinga, karena hidung itu tembus sampai ke mulut sebagaimana telah diketahui.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam