Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 November 2017

Mencium Dan Bercumbu, Puasa Tidak Batal



HAL-HAL YANG TIDAK MEMBATALKAN PUASA

Mencium Dan Mubasyarah

Yang kami maksud dengan mubasyarah adalah menyentuh dan mencumbu isteri tanpa melakukan persetubuhan. Tirmidzi berkata: “Para ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw. dan selainnya berbeda pendapat terkait hukum mencium bagi seseorang yang sedang berpuasa. Sebagian sahabat Nabi Saw. memberi keringanan (rukhshah) dalam masalah mencium ini bagi seseorang yang sudah tua, tetapi mereka tidak memberi rukhshah bagi seseorang yang masih muda, karena dikhawatirkan puasanya tidak selamat. Mubasyarah -menurut mereka- lebih dilarang lagi. Sebagian ahli ilmu berkata: mencium itu mengurangi pahala tetapi tidak membatalkan puasa. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang sedang berpuasa, seandainya bisa mengendalikan dirinya, maka dia boleh mencium, dan jika dia tidak mampu menahan dirinya, maka sebaiknya dia tidak mencium agar puasanya terjaga. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri dan as-Syafi'i.”

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mencium dan mubasyarah itu dimakruhkan bagi orang yang sedang berpuasa. Malik berkata: barangsiapa yang mencumbu atau mencium, lalu dzakarnya bergerak bangun, walaupun tidak mengeluarkan madzi dan tidak keluar mani, maka puasanya tetap batal dan harus mengqadha. Abdullah bin Syubrumah, seorang ahli fikih di kota Kufah berpendapat bahwa mencium itu membatalkan puasa. Berbeda dengan Ibnu Hazm dan kaum Zhahiriyah yang malah menganjurkan berciuman bagi seseorang yang berpuasa.

Yang membolehkan mencium dan mubasyarah (bercumbu: bersenang-senang) secara mutlak adalah Abu Hurairah, Said, dan Saad bin Abi Waqash ra. Sedangkan Ibnu Abbas ra. membedakan antara seseorang yang masih muda dengan seseorang yang sudah tua, di mana beliau memakruhkan mencium bagi seseorang yang masih muda dan membolehkannya bagi seseorang yang sudah tua. Ibnu Hajar berkata: barangsiapa yang ciumannya itu menggerakkan syahwatnya maka hal itu haram menurut pendapat yang paling shahih.

Agar kita bisa mendapatkan hukum yang benar, dengan izin Allah, maka kita harus meneliti nash-nash berikut ini:

1. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. biasa menciumku padahal beliau Saw. dalam keadaan berpuasa dan akupun sedang berpuasa.” (HR. Abu Dawud [2384], Ahmad, al-Baihaqi dan at-Thahawi)

An-Nasai [3038] meriwayatkan hadits ini dalam kitab as-Sunan al-Kubra dengan lafadz:

“Nabi Saw. berkeinginan menciumku, maka aku berkata: Aku sedang berpuasa. Beliau Saw. berkata: “Akupun berpuasa.” Lalu beliau Saw. pun menciumku.”

Sanad hadits ini berstatus jayyid.

2. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Sungguh Rasulullah Saw. mencium sebagian isteri-isterinya padahal beliau Saw. dalam keadaan berpuasa, kemudian dia (Aisyah) tertawa.” (HR. Bukhari [1928], Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Ahmad meriwayatkan hadits serupa dari jalur Hafshah dan Ummu Habibah, keduanya adalah isteri Nabi Saw.

3. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. biasa mencium, padahal beliau Saw. dalam keadaan berpuasa, dan biasa bercumbu padahal beliau Saw. sedang berpuasa, tetapi beliau Saw. adalah orang yang paling mampu menahan anggota tubuhnya.” (HR. Muslim [2576], Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)

Li irbihi artinya: (menahan) anggota tubuhnya, dan kalau dibaca li arabihi artinya: (menahan) kebutuhannya.

4. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. biasa mencium pada bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa.” (HR. Muslim [2584] dan Ahmad)

5. Dari Abu Salamah, dari Aisyah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. biasa mencium sebagian isteri-isterinya padahal beliau Saw. sedang berpuasa. Aku bertanya kepada Aisyah: Dalam puasa wajib ataukah sunat? Aisyah berkata: Dalam keduanya, yakni dalam puasa wajib dan sunat.” (HR. Ibnu Hibban [3545], an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra, Ahmad, Abdurrazaq dan at-Thahawi)

Status sanadnya shahih.

6. Dari Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. biasa bercumbu (bersenang-senang) padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian beliau meletakkan sehelai kain sebagai penghalang antara dirinya dengannya, yakni kemaluannya.” (HR. Ahmad [24818] dengan sanad jayyid)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah.

7. Dari Masruq:

“Aku bertanya kepada Aisyah: Apa yang dibolehkan bagi seorang laki-laki dari isterinya ketika ia sedang berpuasa? Aisyah berkata: Segala sesuatu kecuali bersetubuh.” (HR. Abdurrazaq [7439] dengan sanad shahih)

At-Thahawi [2/95] meriwayatkan dari jalur Hakim bin 'Aqal bahwa dia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah ra.: Apa yang haram bagiku dari isteriku ketika aku berpuasa? Aisyah berkata: Kemaluannya.”

8. Dari Abu Said ra., ia berkata:

“Nabi Saw. memberikan rukhshah mencium bagi seseorang yang sedang berpuasa, dan memberikan rukhshah berbekam bagi seseorang yang berpuasa.” (HR. an-Nasai [3224] dalam kitab as-Sunan al-Kubra)

Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini dan berkata: para perawinya adalah orang-orang tsiqah. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini secara mauquf dan juga secara marfu', dan menshahihkan kemauqufannya.

9. Dari Umar bin Abu Salamah ra.:

“Bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Saw., apakah seseorang yang berpuasa boleh mencium? Maka Rasulullah Saw. berkata kepadanya: Tanyalah wanita ini, yakni kepada Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah memberitahunya bahwa Rasulullah Saw. biasa melakukan hal itu. Dia berkata: Wahai Rasulullah, Allah Swt. mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Maka Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dan paling takut kepada-Nya di antara kalian.” (HR. Muslim [2588], Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Maka saya katakan sebagai berikut:

Sesungguhnya satu hadits saja dari sepuluh hadits di atas, jika kita menganggap terdapat dua hadits dalam poin tujuh, telah cukup menjelaskan bolehnya mencium bagi seseorang yang sedang berpuasa, maka bagaimana bisa berlaku seperti itu? Tidak ragu lagi, dan kita tidak boleh berpendapat dengan sesuatu yang menyelisihinya, bahwa laki-laki dan perempuan yang sedang berpuasa boleh mencium dan dicium, baik dalam puasa fardhu ataupun sunat, sebagaimana seseorang yang berpuasa boleh bercumbu bersenang-senang bersama isterinya, di mana cumbuan tersebut tidak sampai pada kategori memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam farji perempuan. Inilah hukum yang benar, yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut.

Ketika Ummu Salamah memberitahu Umar bin Abu Salamah bahwa Rasulullah Saw. biasa mencium, padahal beliau Saw. dalam keadaan berpuasa, Umar merasa takut tindakan mencium ini sebagai satu keharaman, sementara Rasulullah Saw. melakukannya karena beliau Saw. sudah diampuni. Maka dia bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal tersebut, lalu beliau Saw. menjawab mengingkari pemahaman Umar bin Abu Salamah tersebut, dan bahwasanya beliau Saw. adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah sehingga tidak akan melakukan keharaman. Hal ini bisa dipahami dari bunyi hadits yang kesembilan, dan ini dalil yang bisa ditambahkan pada dalil-dalil yang menjelaskan kebolehan mencium.

Walaupun hukum perkara ini telah jelas dan istdilalnya begitu kuat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa mencium itu diharamkan, dan mencium itu bisa membatalkan puasa. Ada pula orang yang mengatakan bahwa mencium dan bercumbu itu dimakruhkan bagi seseorang yang berpuasa. Mereka yang melontarkan pendapat seperti itu mengetahui nash-nash ini, dan mereka mendapati nash ketiga sebagai pernyataan Aisyah: “tetapi beliau Saw. adalah orang yang paling bisa mengendalikan anggota tubuhnya di antara kalian.” Mereka berpendapat begitu kemungkinan karena salah satu dari dua hal berikut: Pertama: keringanan untuk mencium itu semata-mata sebagai kekhususan bagi Rasulullah Saw. saja. Kedua: bahwa selain Rasulullah Saw. tidak ada yang bisa mengendalikan anggota tubuhnya, yakni tidak bisa mengendalikan syahwatnya, sehingga mencium dan bercumbu itu sebenarnya dimakruhkan. Mereka menambahkan bahwa mencium bagi seseorang yang berpuasa itu dimakruhkan jika dia masih muda, dan dibolehkan jika dia sudah tua. Mereka beralasan bahwa seseorang yang masih muda itu akan mudah terpicu syahwatnya ketika mencium, sehingga akhirnya mereka menetapkan keharaman karena terpicunya syahwat -sebagaimana dikatakan oleh Malik dan Ibnu Hajar-. Mereka kemudian menyodorkan sejumlah nash yang menopang pendapatnya, di antaranya:

1. Dari Umar bin Khattab ra., ia berkata:

“Aku bergairah (kepada isteriku) lalu aku mencium, padahal aku sedang berpuasa. Lalu aku mendatangi Rasulullah Saw. dan bertanya: Sungguh aku telah melakukan satu perkara besar pada hari ini. Beliau Saw. bertanya: “Perkara apakah itu?” Aku berkata: Aku telah mencium, padahal aku sedang berpuasa. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Tahukah engkau bagaimana seandainya engkau berkumur dengan air?” Aku berkata: Jadi, tidak apa-apa? Beliau Saw. berkata: “Ya.” (HR. Ibnu Hibban [3544], Abu Dawud, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi, al-Hakim, at-Thahawi dan Ibnu Khuzaimah)
At-Thahawi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini, tetapi an-Nasai mengingkarinya, sedangkan Ahmad serta Ibnu Hazm mendhaifkannya.

2. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra., ia berkata:

“Kami berada di sisi Rasulullah Saw., lalu datang seseorang yang masih muda, dia bertanya: Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium ketika aku sedang berpuasa? Beliau Saw. menjawab: “Tidak.” Kemudian datang seseorang yang sudah tua seraya bertanya: Bolehkah aku mencium padahal aku sedang berpuasa? Beliau Saw. menjawab: “Ya.” Dia berkata: kami pun saling berpandangan. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Aku mengetahui mengapa kalian saling berpandangan satu sama lain, sesungguhnya seorang tua itu bisa mengendalikan dirinya.” (HR. Ahmad [6739] dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)
Di dalamnya ada Abdullah bin Lahilah yang statusnya diperbincangkan.

3. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Nabi Saw. tentang bercumbu bagi orang yang sedang berpuasa. Lalu beliau Saw. memberikan rukhshah kepadanya. Kemudian datang seorang yang lain, bertanya kepadanya (tentang hal yang sama) dan beliau Saw. melarangnya. Orang yang diberi rukhshah oleh beliau Saw. adalah seseorang yang sudah tua, dan yang dilarangnya adalah seseorang yang masih muda.” (HR. Abu Dawud [2387] dan al-Baihaqi)
Hadits ini dhaif.

4. Dari Maimunah binti Saad pelayan Nabi Saw., dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang seorang laki-laki yang mencium isterinya padahal dia sedang berpuasa. Beliau Saw. berkata: “Telah batal (puasanya).” (HR. Ahmad [28177], Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)
Hadits ini sangat dhaif.

5. Dari Umar ra., ia berkata:

“Aku bermimpi melihat Nabi Saw. dalam tidur, lalu aku melihat beliau Saw. tidak mau menoleh kepadaku, kemudian aku berkata: Wahai Rasulullah, ada apa gerangan dengan engkau? Beliau Saw. menjawab: “Bukankah engkau telah mencium padahal engkau sedang berpuasa?” Maka aku berkata: Demi Zat yang menggenggam jiwa Umar, aku tidak akan mencium ketika sedang berpuasa selamanya.” (HR. al-Bazzar [1018] dan al-Baihaqi)
Hadits ini tertolak.

6. Dari Said bin al-Musayyab

“Bahwa Umar melarang mencium bagi seseorang yang sedang berpuasa.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah [2/476]) At-Thabrani meriwayatkan hadits ini juga dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath dengan redaksi hadits yang sedikit berbeda.
Atsar ini terputus sanadnya.

7. Dari Abdullah bin Tsa'labah bin Shu'air al-’Udzri -dan Rasulullah Saw. pernah mengusap wajahnya, dan dia bertemu dengan sejumlah sahabat Rasulullah Saw.- dia berkata:

“Mereka melarangku dari mencium karena takut aku akan mendekati sesuatu lebih dari itu. Kemudian kaum Muslim pada hari ini mencegah dari perbuatan tersebut. Seseorang dari mereka berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. adalah orang yang memiliki perlindungan dari Allah, yang tidak dimiliki siapapun.” (HR. Ahmad [24069], dan para perawinya adalah para perawi yang shahih)

Maka saya katakan kepada mereka dan selain mereka, berikut ini:

Hadits yang pertama itu diperselisihkan. Di antara ahli hadits ada yang menshahihkannya, ada juga yang mendhaifkannya bahkan mengingkarinya, sehingga boleh diambil dan diamalkan.

Sedangkan hadits kedua, di dalamnya ada Abdullah bin Lahi'ah, kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa riwayatnya dipandang dhaif, tetapi ada juga yang menghasankannya. Karena itu kita terima hadits ini dengan catatan ada kelemahan di dalamnya.

Sedangkan hadits ketiga, di dalamnya ada Israil, yang didhaifkan oleh Ibnu Hazm, Yahya al-Qathan, Ali bin al-Madini, Abdurrahman bin Mahdi. Di dalamnya juga ada nama Abu al-'Anbas yang tidak diketahui jati dirinya. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Hazm. Ad-Dzahabi berkata sesungguhnya dia seorang majhul alias tidak dikenal, sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Sedangkan hadits keempat, maka hadits ini telah dikomentari oleh ad-Daruquthni: perawinya seseorang yang tidak dikenal sehingga tidak kuat untuk dijadikan hujjah. Al-Bushiri berkata dalam kitab Zawa’id Ibnu Majah: isnad hadits ini dhaif, karena para ahli bersepakat akan kedhaifan Zaid bin Jubair, dan kedhaifan gurunya yakni Abu Yazid ad-Dlanni. Az-Zubairi berkata: hadits ini adalah hadits munkar, dan Abu Yazid itu seseorang yang tidak dikenal (al-majhul).
Di dalam hadits ini pun ada nama Israil yang didhaifkan oleh Ibnu Hazm, al-Qatthan, dan Ali bin al-Madini. Sehingga hadits ini sangat dhaif dan harus ditinggalkan.

Sedangkan hadits kelima telah dikomentari oleh al-Bazzar: kami tidak mengetahuinya berasal dari Umar kecuali dari jalur ini saja dengan redaksi kalimat seperti ini, bahkan dari Umar dari Nabi Saw. telah diriwayatkan sesuatu yang menyalahi hadits ini. Al-Baihaqi berkata: Umar bin Hamzah telah menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Umar bin Hamzah didhaifkan oleh Yahya bin Ma'in, ar-Razi, dan selainnya. Terlebih lagi bahwa hadits ini menyalahi ucapan Nabi Saw. kepada Umar bin Khattab yang membolehkan mencium. Dengan demikian maka hadits ini pun tertolak.

Hadits keenam, sanadnya terputus antara Said bin al-Musayyab dengan Umar bin Khattab. Selain dari itu, ini hanyalah sebuah atsar, bukan sebuah hadits marfu', sehingga tidak layak dijadikan hujjah. Jadi, hadits ini pun mesti ditinggalkan.

Kini yang tersisa hanyalah hadits yang pertama dan kedua saja, dengan catatan ada kelemahan pada keduanya.

Mengenai hadits yang pertama, hadits ini justeru lebih cenderung membolehkan perbuatan mencium daripada memakruhkannya. Hal ini karena penyerupaan mencium dengan berkumur menjadi dalil kebolehannya, karena telah tetap kebolehan berkumur ketika sedang berpuasa. Seharusnya mereka bisa memahami dilalah yang jelas ini, tetapi mereka bisa jadi berkata: karena dalam berkumur itu ada kemungkinan air menyerap ke dalam kerongkongan, begitu pula dengan mencium ada kemungkinan mengakibatkan terpicunya syahwat. Takwil seperti ini sayangnya adalah takwil yang lemah, karena itu tidak perlu mengerahkan upaya terlalu besar untuk menolaknya.

Adapun hadits kedua, sesungguhnya perkataan Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya seseorang yang sudah tua itu bisa mengendalikan dirinya.”

Ini adalah serupa dengan perkataan Aisyah:

“Beliau Saw. adalah orang yang paling bisa mengendalikan anggota tubuhnya.”

Maksud dari dua ungkapan ini adalah kekhawatiran dari jima’, bukan kekhawatiran dari terpicunya syahwat, sehingga barangsiapa yang khawatir ciuman yang dilakukannya itu akan membawanya pada jima' (persetubuhan) maka ciuman itu terlarang darinya, dan barangsiapa yang tidak khawatir maka berciuman itu tidak jadi masalah baginya, alias dibolehkan.
Tentang terpicunya syahwat, pada umumnya ciuman itu bisa membangkitkan syahwat. Seandainya terpicunya syahwat itu menjadi ‘illat larangan ini, niscaya ciuman itu diharamkan bagi semua orang. Dan ini tentu saja bertentangan dengan banyak hadits yang membolehkan ciuman.

Dengan demikian, pada ketujuh hadits ini, tidak ada satupun yang menopang klaim mereka tentang dimakruhkannya atau diharamkannya ciuman, dan tidak ada indikasi apapun dalam hadits-hadits tersebut yang menunjukkan bahwa terpicunya syahwat itu diharamkan. Sekarang kita kembali pada dua poin yang disebutkan sebelumnya. Kami katakan sebagai berikut:

Klaim bahwa berciuman itu termasuk kekhususan bagi Rasulullah Saw., maka ini tertolak, baik secara global ataupun secara terperinci, karena berciuman itu adalah perbuatan yang dilakukan bersama oleh dua orang. Maka pernyataan yang mengatakan bahwa berciuman itu dikhususkan untuk Rasulullah Saw., kekhususan tersebut harus pula disertakan pada isteri-isterinya, sehingga kita katakan bahwa mencium dalam berpuasa itu termasuk kekhususan bagi Rasulullah Saw. dan isteri-isterinya. Dan pendapat seperti ini tertolak sama sekali, dan tidak ada satu orangpun yang mengatakannya. Untuk membantah klaim kekhususan ini, cukuplah kami ulang hadits yang pertama yang menyatakan:

“(Beliau Saw.) menciumku padahal beliau Saw. sedang berpuasa, dan aku pun sedang berpuasa.”

Dan ucapan:

“Maka aku berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Beliau Saw. berkata: Aku pun sedang berpuasa. Kemudian beliau Saw. menciumku.”

Dan ucapan Aisyah yang jelas dalam poin tujuh:

“Apa yang dihalalkan bagi seorang laki-laki dari isterinya ketika dia sedang berpuasa? Aisyah berkata: Segala sesuatu kecuali jima'.”

Dengan demikian, klaim berciuman itu sebagai kekhususan bagi Rasulullah Saw. adalah klaim yang batil.

Mengenai poin kedua yang mengatakan bahwa selain Rasulullah Saw. tidak ada yang bisa mengendalikan anggota tubuhnya (dirinya), maka sebagai jawabannya adalah seluruh hadits-hadits yang menyatakan kebolehan mencium. Sebab, jika selain Rasulullah Saw. tidak ada yang bisa mengendalikan dirinya, niscaya ada pengharaman mencium atas mereka.
Dengan demikian kami katakan, mencium itu halal dan dibolehkan bagi seseorang yang sedang berpuasa, dan mencium itu tidak membatalkan puasa walaupun sampai memicu dan membangkitkan syahwat. Bercumbu itu pun halal bagi orang yang sedang berpuasa, dan tidak membatalkan puasa walaupun sampai memicu syahwat.

Sekarang, yang tersisa tinggal masalah onani atau upaya mengeluarkan mani: apakah hal itu membatalkan seseorang yang sedang berpuasa? Jumhur ulama berpendapat bahwa onani dan mengeluarkan mani dengan sengaja, itu membatalkan puasa. Tetapi keluarnya mani dengan perbuatan yang tidak disengaja, seperti seorang laki-laki yang melihat tubuh isterinya, lalu keluar mani, atau memikirkan (perkara erotis) kemudian keluar mani, maka hal itu tidak membatalkan puasa. Perkara yang tidak membatalkan puasa -menurut mereka- di antaranya adalah bermimpi, walaupun sampai keluar mani. An-Nawawi berkata: barangsiapa yang mencium lalu keluar mani, maka puasanya batal. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: jika mencium lalu keluar mani, maka puasanya batal tanpa ada perselisihan lagi. Sebelumnya telah kami sebutkan pendapat Malik: barangsiapa yang bercumbu atau mencium lalu bangkit syahwatnya (tegak alat vitalnya) walaupun tidak sampai mengeluarkan madzi dan tidak pula keluar mani, maka puasanya batal dan dia diharuskan mengqadhanya. Pemahaman yang bisa diambil dari pendapat Malik ini adalah puasanya batal karena mengeluarkan mani itu lebih diharamkan lagi. Sejumlah ahli fikih mengatakan bahwa seorang laki-laki, jika mengeluarkan madzi atau mengeluarkan mani, maka puasanya batal. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Qudamah dan Ishaq.
Di sisi lain Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani dan mengeluarkan mani dengan perbuatan yang disengaja ataupun tidak, adalah tidak membatalkan puasa.

Yang benar adalah bahwa masalah ini tidak disebutkan oleh nash-nash, baik dari al-Qur’an ataupun Sunnah Rasulullah Saw., bahkan pendapat para sahabat sekalipun. Perkara ini hanya cabang dari para ahli fikih dan ulama, kecuali yang diriwayatkan Abdurrazaq dari Hudzaifah ra.:

“Bahwa orang yang memperhatikan bentuk tubuh seorang isteri padahal dia sedang berpuasa maka puasanya batal.” Sanad atsar ini telah didhaifkan oleh Ibnu Hajar, selain seluruh hadits-hadits yang ada justru telah membantah ucapan ini.
Mereka yang menyatakan batalnya puasa karena mengeluarkan mani, semata-mata hanya mengqiyaskan keluarnya mani dengan jima’ (bersetubuh) lalu mereka menetapkan hukumnya. Syamsuddin bin Qudamah telah menyatakan dalam kitab as-Syarh al-Kabir: “mengeluarkan mani itu membatalkan puasa tanpa perselisihan lagi, kami mengetahui apa yang kami sebutkan itu berdasarkan isyarat dua hadits, karena keluar mani dengan sebab bercumbu serupa dengan keluar mani dengan sebab jima’ tanpa vagina…”

Kami telah katakan berkali-kali bahwa ibadah itu tidak memiliki ‘illat dan tidak bisa dicari-cari 'illatnya, kecuali ‘illat yang disebutkan dalam nash-nash saja. Dalam ibadah itu -pada umumnya- tidak ada qiyas atau analogi. Mengqiyaskan keluar mani dengan sebab bercumbu, dengan keluar mani dengan sebab bersetubuh, itu sangat keliru.
Karena tidak ada ‘illat di sini yang layak digunakan untuk penganalogian (al-qiyas), di samping bahwa hal itu sebagai analogis sesuatu yang berbeda. Yang serupa dengan keluar mani karena bercumbu adalah keluar mani karena onani, sehingga tidak boleh kita menganalogikan onani ini dengan jima'. Onani tidak bisa dihukumi dengan hukum jima’. Dengan demikian, jelas bahwa onani dan hukum onani dalam puasa tidak disebutkan dalam nash syara.

Puasa itu adalah ibadah yang dituturkan dalam nash-nash. Perkara yang membatalkan puasa ini pun adalah bagian darinya, sehingga harus disebutkan pula dalam nash-nash tersebut. Dan kita tidak mendapati penyebutan keluar mani dalam perkara yang membatalkan puasa, sehingga kita tidak boleh memasukkannya ke dalam masalah tersebut hanya berlandaskan pada akal saja atau qiyas yang batil. Syariat yang lurus tidak memasukkan masalah keluar mani sebagai perkara yang membatalkan puasa. Yang harus kita lakukan adalah mendiamkannya, tidak memasukkannya dalam perkara yang membatalkan puasa.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam