HAL-HAL
YANG TIDAK MEMBATALKAN PUASA
Mencium Dan Mubasyarah
Yang kami maksud
dengan mubasyarah adalah menyentuh dan
mencumbu isteri tanpa melakukan persetubuhan. Tirmidzi berkata: “Para ahli ilmu
dari kalangan sahabat Nabi Saw. dan selainnya berbeda pendapat terkait hukum
mencium bagi seseorang yang sedang berpuasa. Sebagian sahabat Nabi Saw. memberi
keringanan (rukhshah) dalam masalah
mencium ini bagi seseorang yang sudah tua, tetapi mereka tidak memberi rukhshah bagi seseorang yang masih muda,
karena dikhawatirkan puasanya tidak selamat. Mubasyarah
-menurut mereka- lebih dilarang lagi. Sebagian ahli ilmu berkata: mencium itu
mengurangi pahala tetapi tidak membatalkan puasa. Mereka berpandangan bahwa
seseorang yang sedang berpuasa, seandainya bisa mengendalikan dirinya, maka dia
boleh mencium, dan jika dia tidak mampu menahan dirinya, maka sebaiknya dia
tidak mencium agar puasanya terjaga. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri dan
as-Syafi'i.”
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa mencium dan mubasyarah
itu dimakruhkan bagi orang yang sedang berpuasa. Malik berkata: barangsiapa
yang mencumbu atau mencium, lalu dzakarnya bergerak bangun, walaupun tidak
mengeluarkan madzi dan tidak keluar mani, maka puasanya tetap batal dan harus
mengqadha. Abdullah bin Syubrumah,
seorang ahli fikih di kota Kufah berpendapat bahwa mencium itu membatalkan
puasa. Berbeda dengan Ibnu Hazm dan kaum Zhahiriyah yang malah menganjurkan
berciuman bagi seseorang yang berpuasa.
Yang membolehkan
mencium dan mubasyarah (bercumbu:
bersenang-senang) secara mutlak adalah Abu Hurairah, Said, dan Saad bin Abi
Waqash ra. Sedangkan Ibnu Abbas ra. membedakan antara seseorang yang masih muda
dengan seseorang yang sudah tua, di mana beliau memakruhkan mencium bagi
seseorang yang masih muda dan membolehkannya bagi seseorang yang sudah tua.
Ibnu Hajar berkata: barangsiapa yang ciumannya itu menggerakkan syahwatnya maka
hal itu haram menurut pendapat yang paling shahih.
Agar kita bisa
mendapatkan hukum yang benar, dengan izin Allah, maka kita harus meneliti
nash-nash berikut ini:
1. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. biasa menciumku padahal beliau Saw. dalam keadaan berpuasa dan akupun
sedang berpuasa.” (HR. Abu Dawud [2384], Ahmad, al-Baihaqi dan at-Thahawi)
An-Nasai [3038]
meriwayatkan hadits ini dalam kitab as-Sunan
al-Kubra dengan lafadz:
“Nabi Saw.
berkeinginan menciumku, maka aku berkata: Aku sedang berpuasa. Beliau Saw.
berkata: “Akupun berpuasa.” Lalu beliau Saw. pun menciumku.”
Sanad hadits ini
berstatus jayyid.
2. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Sungguh Rasulullah
Saw. mencium sebagian isteri-isterinya padahal beliau Saw. dalam keadaan
berpuasa, kemudian dia (Aisyah) tertawa.” (HR. Bukhari [1928], Muslim,
an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Ahmad meriwayatkan
hadits serupa dari jalur Hafshah dan Ummu Habibah, keduanya adalah isteri Nabi
Saw.
3. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. biasa mencium, padahal beliau Saw. dalam keadaan berpuasa, dan biasa
bercumbu padahal beliau Saw. sedang berpuasa, tetapi beliau Saw. adalah orang
yang paling mampu menahan anggota tubuhnya.” (HR. Muslim [2576], Bukhari, Abu
Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Li irbihi artinya: (menahan) anggota tubuhnya,
dan kalau dibaca li arabihi artinya:
(menahan) kebutuhannya.
4. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Nabi Saw. biasa
mencium pada bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa.” (HR. Muslim [2584] dan
Ahmad)
5. Dari Abu Salamah, dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Rasulullah Saw. biasa
mencium sebagian isteri-isterinya padahal beliau Saw. sedang berpuasa. Aku
bertanya kepada Aisyah: Dalam puasa wajib ataukah sunat? Aisyah berkata: Dalam
keduanya, yakni dalam puasa wajib dan sunat.” (HR. Ibnu Hibban [3545], an-Nasai
dalam as-Sunan al-Kubra, Ahmad,
Abdurrazaq dan at-Thahawi)
Status sanadnya shahih.
6. Dari Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
biasa bercumbu (bersenang-senang) padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian
beliau meletakkan sehelai kain sebagai penghalang antara dirinya dengannya,
yakni kemaluannya.” (HR. Ahmad [24818] dengan sanad jayyid)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah.
7. Dari Masruq:
“Aku bertanya kepada
Aisyah: Apa yang dibolehkan bagi seorang laki-laki dari isterinya ketika ia
sedang berpuasa? Aisyah berkata: Segala sesuatu kecuali bersetubuh.” (HR.
Abdurrazaq [7439] dengan sanad shahih)
At-Thahawi [2/95]
meriwayatkan dari jalur Hakim bin 'Aqal bahwa dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah ra.: Apa yang haram bagiku dari isteriku ketika aku berpuasa? Aisyah
berkata: Kemaluannya.”
8. Dari Abu Said ra., ia berkata:
“Nabi Saw. memberikan rukhshah mencium bagi seseorang yang sedang
berpuasa, dan memberikan rukhshah
berbekam bagi seseorang yang berpuasa.” (HR. an-Nasai [3224] dalam kitab as-Sunan al-Kubra)
Ad-Daruquthni
meriwayatkan hadits ini dan berkata: para perawinya adalah orang-orang tsiqah. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini
secara mauquf dan juga secara marfu', dan menshahihkan
kemauqufannya.
9. Dari Umar bin Abu Salamah ra.:
“Bahwa dia bertanya
kepada Rasulullah Saw., apakah seseorang yang berpuasa boleh mencium? Maka
Rasulullah Saw. berkata kepadanya: Tanyalah wanita ini, yakni kepada Ummu
Salamah. Maka Ummu Salamah memberitahunya bahwa Rasulullah Saw. biasa melakukan
hal itu. Dia berkata: Wahai Rasulullah, Allah Swt. mengampuni dosamu yang telah
lalu dan yang akan datang. Maka Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dan paling
takut kepada-Nya di antara kalian.” (HR. Muslim [2588], Ibnu Hibban dan
al-Baihaqi)
Maka saya katakan
sebagai berikut:
Sesungguhnya satu
hadits saja dari sepuluh hadits di atas, jika kita menganggap terdapat dua
hadits dalam poin tujuh, telah cukup menjelaskan bolehnya mencium bagi
seseorang yang sedang berpuasa, maka bagaimana bisa berlaku seperti itu? Tidak
ragu lagi, dan kita tidak boleh berpendapat dengan sesuatu yang menyelisihinya,
bahwa laki-laki dan
perempuan yang sedang berpuasa boleh mencium dan dicium, baik dalam puasa
fardhu ataupun sunat, sebagaimana seseorang yang berpuasa boleh bercumbu
bersenang-senang bersama isterinya, di mana cumbuan tersebut tidak sampai pada
kategori memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam farji perempuan. Inilah
hukum yang benar, yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut.
Ketika Ummu Salamah
memberitahu Umar bin Abu Salamah bahwa Rasulullah Saw. biasa mencium, padahal
beliau Saw. dalam keadaan berpuasa, Umar merasa takut tindakan mencium ini
sebagai satu keharaman, sementara Rasulullah Saw. melakukannya karena beliau
Saw. sudah diampuni. Maka dia bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal
tersebut, lalu beliau Saw. menjawab mengingkari pemahaman Umar bin Abu Salamah
tersebut, dan bahwasanya beliau Saw. adalah orang yang paling bertakwa dan
paling takut kepada Allah
sehingga tidak akan melakukan keharaman. Hal ini bisa dipahami dari bunyi
hadits yang kesembilan, dan ini dalil yang bisa ditambahkan pada dalil-dalil
yang menjelaskan kebolehan mencium.
Walaupun hukum perkara
ini telah jelas dan istdilalnya begitu
kuat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa mencium itu diharamkan, dan mencium
itu bisa membatalkan puasa. Ada pula orang yang mengatakan bahwa mencium dan
bercumbu itu dimakruhkan bagi seseorang yang berpuasa. Mereka yang melontarkan
pendapat seperti itu mengetahui nash-nash ini, dan mereka mendapati nash ketiga
sebagai pernyataan Aisyah: “tetapi beliau Saw. adalah orang yang paling bisa
mengendalikan anggota tubuhnya di antara kalian.” Mereka berpendapat begitu
kemungkinan karena salah satu dari dua hal berikut: Pertama: keringanan untuk
mencium itu semata-mata sebagai kekhususan bagi Rasulullah Saw. saja. Kedua:
bahwa selain Rasulullah Saw. tidak ada yang bisa mengendalikan anggota
tubuhnya, yakni tidak bisa mengendalikan syahwatnya, sehingga mencium dan
bercumbu itu sebenarnya dimakruhkan. Mereka menambahkan bahwa mencium bagi
seseorang yang berpuasa itu dimakruhkan jika dia masih muda, dan dibolehkan
jika dia sudah tua. Mereka beralasan bahwa seseorang yang masih muda itu akan
mudah terpicu syahwatnya ketika mencium, sehingga akhirnya mereka menetapkan
keharaman karena terpicunya syahwat -sebagaimana dikatakan oleh Malik dan Ibnu
Hajar-. Mereka kemudian menyodorkan sejumlah nash yang menopang pendapatnya, di
antaranya:
1. Dari Umar bin Khattab ra., ia berkata:
“Aku bergairah (kepada
isteriku) lalu aku mencium, padahal aku sedang berpuasa. Lalu aku mendatangi
Rasulullah Saw. dan bertanya: Sungguh aku telah melakukan satu perkara besar
pada hari ini. Beliau Saw. bertanya: “Perkara apakah itu?” Aku berkata: Aku telah
mencium, padahal aku sedang berpuasa. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Tahukah
engkau bagaimana seandainya engkau berkumur dengan air?” Aku berkata: Jadi,
tidak apa-apa? Beliau Saw. berkata: “Ya.” (HR. Ibnu Hibban [3544], Abu Dawud,
Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi, al-Hakim, at-Thahawi dan Ibnu Khuzaimah)
At-Thahawi, Ibnu
Khuzaimah, dan Ibnu Hibban menshahihkan
hadits ini, tetapi an-Nasai mengingkarinya, sedangkan Ahmad serta Ibnu Hazm mendhaifkannya.
2. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra., ia
berkata:
“Kami berada di sisi
Rasulullah Saw., lalu datang seseorang yang masih muda, dia bertanya: Wahai
Rasulullah, bolehkah aku mencium ketika aku sedang berpuasa? Beliau Saw.
menjawab: “Tidak.” Kemudian datang seseorang yang sudah tua seraya bertanya:
Bolehkah aku mencium padahal aku sedang berpuasa? Beliau Saw. menjawab: “Ya.”
Dia berkata: kami pun saling berpandangan. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Aku
mengetahui mengapa kalian saling berpandangan satu sama lain, sesungguhnya
seorang tua itu bisa mengendalikan dirinya.” (HR. Ahmad [6739] dan at-Thabrani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)
Di dalamnya ada
Abdullah bin Lahilah yang statusnya diperbincangkan.
3. Dari Abu Hurairah
ra.:
“Bahwa seorang
laki-laki telah bertanya kepada Nabi Saw. tentang bercumbu bagi orang yang
sedang berpuasa. Lalu beliau Saw. memberikan rukhshah
kepadanya. Kemudian datang seorang yang lain, bertanya kepadanya (tentang hal
yang sama) dan beliau Saw. melarangnya. Orang yang diberi rukhshah oleh beliau Saw. adalah seseorang
yang sudah tua, dan yang dilarangnya adalah seseorang yang masih muda.” (HR.
Abu Dawud [2387] dan al-Baihaqi)
Hadits ini dhaif.
4. Dari Maimunah binti
Saad pelayan Nabi Saw., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang seorang laki-laki yang mencium isterinya padahal dia sedang
berpuasa. Beliau Saw. berkata: “Telah batal (puasanya).” (HR. Ahmad [28177],
Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)
Hadits ini sangat dhaif.
5. Dari Umar ra., ia
berkata:
“Aku bermimpi melihat
Nabi Saw. dalam tidur, lalu aku melihat beliau Saw. tidak mau menoleh kepadaku,
kemudian aku berkata: Wahai Rasulullah, ada apa gerangan dengan engkau? Beliau
Saw. menjawab: “Bukankah engkau telah mencium padahal engkau sedang berpuasa?”
Maka aku berkata: Demi Zat yang menggenggam jiwa Umar, aku tidak akan mencium
ketika sedang berpuasa selamanya.” (HR. al-Bazzar [1018] dan al-Baihaqi)
Hadits ini tertolak.
6. Dari Said bin
al-Musayyab
“Bahwa Umar melarang
mencium bagi seseorang yang sedang berpuasa.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah
[2/476]) At-Thabrani meriwayatkan hadits ini juga dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath dengan redaksi hadits yang
sedikit berbeda.
Atsar ini terputus sanadnya.
7. Dari Abdullah bin
Tsa'labah bin Shu'air al-’Udzri -dan Rasulullah Saw. pernah mengusap wajahnya,
dan dia bertemu dengan sejumlah sahabat Rasulullah Saw.- dia berkata:
“Mereka melarangku
dari mencium karena takut aku akan mendekati sesuatu lebih dari itu. Kemudian
kaum Muslim pada hari ini mencegah dari perbuatan tersebut. Seseorang dari
mereka berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. adalah orang yang memiliki
perlindungan dari Allah, yang tidak dimiliki siapapun.” (HR. Ahmad [24069], dan
para perawinya adalah para perawi yang shahih)
Maka saya katakan
kepada mereka dan selain mereka, berikut ini:
Hadits yang pertama
itu diperselisihkan. Di antara ahli hadits ada yang menshahihkannya, ada juga yang mendhaifkannya
bahkan mengingkarinya, sehingga boleh diambil dan diamalkan.
Sedangkan hadits
kedua, di dalamnya ada Abdullah bin Lahi'ah, kebanyakan ahli hadits berpendapat
bahwa riwayatnya dipandang dhaif, tetapi
ada juga yang menghasankannya. Karena
itu kita terima hadits ini dengan catatan ada kelemahan di dalamnya.
Sedangkan hadits
ketiga, di dalamnya ada Israil, yang didhaifkan
oleh Ibnu Hazm, Yahya al-Qathan, Ali bin al-Madini, Abdurrahman bin Mahdi. Di
dalamnya juga ada nama Abu al-'Anbas yang tidak diketahui jati dirinya. Hal ini
dikatakan oleh Ibnu Hazm. Ad-Dzahabi berkata sesungguhnya dia seorang majhul
alias tidak dikenal, sehingga hadits ini harus ditinggalkan.
Sedangkan hadits
keempat, maka hadits ini telah dikomentari oleh ad-Daruquthni: perawinya
seseorang yang tidak dikenal sehingga tidak kuat untuk dijadikan hujjah.
Al-Bushiri berkata dalam kitab Zawa’id Ibnu
Majah: isnad hadits ini dhaif,
karena para ahli bersepakat akan kedhaifan
Zaid bin Jubair, dan kedhaifan gurunya
yakni Abu Yazid ad-Dlanni. Az-Zubairi berkata: hadits ini adalah hadits munkar,
dan Abu Yazid itu seseorang yang tidak dikenal (al-majhul).
Di dalam hadits ini
pun ada nama Israil yang didhaifkan oleh
Ibnu Hazm, al-Qatthan, dan Ali bin al-Madini. Sehingga hadits ini sangat dhaif dan harus ditinggalkan.
Sedangkan hadits
kelima telah dikomentari oleh al-Bazzar: kami tidak mengetahuinya berasal dari
Umar kecuali dari jalur ini saja dengan redaksi kalimat seperti ini, bahkan
dari Umar dari Nabi Saw. telah diriwayatkan sesuatu yang menyalahi hadits ini.
Al-Baihaqi berkata: Umar bin Hamzah telah menyendiri dalam meriwayatkan hadits
ini. Umar bin Hamzah didhaifkan oleh
Yahya bin Ma'in, ar-Razi, dan selainnya. Terlebih lagi bahwa hadits ini
menyalahi ucapan Nabi Saw. kepada Umar bin Khattab yang membolehkan mencium.
Dengan demikian maka hadits ini pun tertolak.
Hadits keenam, sanadnya terputus antara Said bin al-Musayyab
dengan Umar bin Khattab. Selain dari itu, ini hanyalah sebuah atsar, bukan
sebuah hadits marfu', sehingga tidak layak dijadikan hujjah. Jadi, hadits ini
pun mesti ditinggalkan.
Kini yang tersisa
hanyalah hadits yang pertama dan kedua saja, dengan catatan ada kelemahan pada
keduanya.
Mengenai hadits yang
pertama, hadits ini justeru lebih cenderung membolehkan perbuatan mencium
daripada memakruhkannya. Hal ini karena penyerupaan mencium dengan berkumur
menjadi dalil kebolehannya, karena telah tetap kebolehan berkumur ketika sedang
berpuasa. Seharusnya mereka bisa memahami dilalah
yang jelas ini, tetapi mereka bisa jadi berkata: karena dalam berkumur itu ada
kemungkinan air menyerap ke dalam kerongkongan, begitu pula dengan mencium ada
kemungkinan mengakibatkan terpicunya syahwat. Takwil seperti ini sayangnya
adalah takwil yang lemah, karena itu tidak perlu mengerahkan upaya terlalu
besar untuk menolaknya.
Adapun hadits kedua,
sesungguhnya perkataan Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya
seseorang yang sudah tua itu bisa mengendalikan dirinya.”
Ini adalah serupa
dengan perkataan Aisyah:
“Beliau Saw. adalah
orang yang paling bisa mengendalikan anggota tubuhnya.”
Maksud dari dua
ungkapan ini adalah kekhawatiran dari jima’,
bukan kekhawatiran dari terpicunya syahwat, sehingga barangsiapa yang khawatir ciuman yang dilakukannya
itu akan membawanya pada jima' (persetubuhan) maka ciuman itu terlarang
darinya, dan barangsiapa yang tidak khawatir maka berciuman itu tidak jadi
masalah baginya, alias dibolehkan.
Tentang terpicunya
syahwat, pada umumnya ciuman itu bisa membangkitkan syahwat. Seandainya
terpicunya syahwat itu menjadi ‘illat
larangan ini, niscaya ciuman itu diharamkan bagi semua orang. Dan ini tentu
saja bertentangan dengan banyak hadits yang membolehkan ciuman.
Dengan demikian, pada
ketujuh hadits ini, tidak ada satupun yang menopang klaim mereka tentang
dimakruhkannya atau diharamkannya ciuman, dan tidak ada indikasi apapun dalam
hadits-hadits tersebut yang menunjukkan bahwa terpicunya syahwat itu
diharamkan. Sekarang kita kembali pada dua poin yang disebutkan sebelumnya.
Kami katakan sebagai berikut:
Klaim bahwa berciuman
itu termasuk kekhususan bagi Rasulullah Saw., maka ini tertolak, baik secara
global ataupun secara terperinci, karena berciuman itu adalah perbuatan yang
dilakukan bersama oleh dua orang. Maka pernyataan yang mengatakan bahwa berciuman
itu dikhususkan untuk Rasulullah Saw., kekhususan tersebut harus pula
disertakan pada isteri-isterinya, sehingga kita katakan bahwa mencium dalam
berpuasa itu termasuk kekhususan bagi Rasulullah Saw. dan isteri-isterinya. Dan
pendapat seperti ini tertolak sama sekali, dan tidak ada satu orangpun yang
mengatakannya. Untuk membantah klaim kekhususan ini, cukuplah kami ulang hadits
yang pertama yang menyatakan:
“(Beliau Saw.)
menciumku padahal beliau Saw. sedang berpuasa, dan aku pun sedang berpuasa.”
Dan ucapan:
“Maka aku berkata:
Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Beliau Saw. berkata: Aku pun sedang berpuasa.
Kemudian beliau Saw. menciumku.”
Dan ucapan Aisyah yang
jelas dalam poin tujuh:
“Apa yang dihalalkan
bagi seorang laki-laki dari isterinya ketika dia sedang berpuasa? Aisyah
berkata: Segala sesuatu kecuali jima'.”
Dengan demikian, klaim
berciuman itu sebagai kekhususan bagi Rasulullah Saw. adalah klaim yang batil.
Mengenai poin kedua
yang mengatakan bahwa selain Rasulullah Saw. tidak ada yang bisa mengendalikan
anggota tubuhnya (dirinya), maka sebagai jawabannya adalah seluruh
hadits-hadits yang menyatakan kebolehan mencium. Sebab, jika selain Rasulullah
Saw. tidak ada yang bisa mengendalikan dirinya, niscaya ada pengharaman mencium
atas mereka.
Dengan demikian kami
katakan, mencium itu halal dan dibolehkan bagi seseorang yang sedang berpuasa,
dan mencium itu tidak membatalkan puasa walaupun sampai memicu dan
membangkitkan syahwat. Bercumbu
itu pun halal bagi orang yang sedang berpuasa, dan tidak membatalkan puasa
walaupun sampai memicu syahwat.
Sekarang, yang tersisa
tinggal masalah onani atau upaya mengeluarkan mani: apakah hal itu membatalkan
seseorang yang sedang berpuasa? Jumhur ulama berpendapat bahwa onani dan
mengeluarkan mani dengan sengaja, itu membatalkan puasa. Tetapi keluarnya mani dengan
perbuatan yang tidak disengaja, seperti seorang laki-laki yang melihat tubuh
isterinya, lalu keluar mani, atau memikirkan (perkara erotis) kemudian keluar
mani, maka hal itu tidak membatalkan puasa. Perkara yang tidak membatalkan
puasa -menurut mereka- di antaranya adalah bermimpi, walaupun sampai keluar
mani. An-Nawawi berkata: barangsiapa yang mencium lalu keluar mani, maka
puasanya batal. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: jika mencium lalu keluar mani, maka puasanya batal
tanpa ada perselisihan lagi. Sebelumnya telah kami sebutkan pendapat Malik:
barangsiapa yang bercumbu atau mencium lalu bangkit syahwatnya (tegak alat
vitalnya) walaupun tidak sampai mengeluarkan madzi dan tidak pula keluar mani,
maka puasanya batal dan dia diharuskan mengqadhanya.
Pemahaman yang bisa diambil dari pendapat Malik ini adalah puasanya batal
karena mengeluarkan mani itu lebih diharamkan lagi. Sejumlah ahli fikih
mengatakan bahwa seorang laki-laki, jika mengeluarkan madzi atau mengeluarkan
mani, maka puasanya batal. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Qudamah dan Ishaq.
Di sisi lain Ibnu Hazm
berpendapat bahwa onani dan mengeluarkan mani dengan perbuatan yang disengaja
ataupun tidak, adalah tidak membatalkan puasa.
Yang benar adalah
bahwa masalah ini tidak disebutkan oleh nash-nash, baik dari al-Qur’an ataupun
Sunnah Rasulullah Saw., bahkan pendapat para sahabat sekalipun. Perkara ini
hanya cabang dari para ahli fikih dan ulama, kecuali yang diriwayatkan
Abdurrazaq dari Hudzaifah ra.:
“Bahwa orang yang
memperhatikan bentuk tubuh seorang isteri padahal dia sedang berpuasa maka
puasanya batal.” Sanad atsar ini telah didhaifkan
oleh Ibnu Hajar, selain seluruh hadits-hadits yang ada justru telah membantah
ucapan ini.
Mereka yang menyatakan
batalnya puasa karena mengeluarkan mani, semata-mata hanya mengqiyaskan keluarnya mani dengan jima’
(bersetubuh) lalu mereka menetapkan hukumnya. Syamsuddin bin Qudamah telah
menyatakan dalam kitab as-Syarh al-Kabir:
“mengeluarkan mani itu membatalkan puasa tanpa perselisihan lagi, kami
mengetahui apa yang kami sebutkan itu berdasarkan isyarat dua hadits, karena
keluar mani dengan sebab bercumbu serupa dengan keluar mani dengan sebab jima’
tanpa vagina…”
Kami telah katakan
berkali-kali bahwa ibadah itu tidak memiliki ‘illat
dan tidak bisa dicari-cari 'illatnya,
kecuali ‘illat yang disebutkan dalam
nash-nash saja. Dalam ibadah itu -pada umumnya- tidak ada qiyas atau analogi.
Mengqiyaskan keluar mani dengan sebab
bercumbu, dengan keluar mani dengan sebab bersetubuh, itu sangat keliru.
Karena tidak ada ‘illat di sini yang layak digunakan untuk
penganalogian (al-qiyas), di samping bahwa hal itu sebagai analogis sesuatu
yang berbeda. Yang serupa dengan keluar mani karena bercumbu adalah keluar mani
karena onani, sehingga tidak boleh kita menganalogikan onani ini dengan jima'.
Onani tidak bisa dihukumi dengan hukum jima’. Dengan demikian, jelas bahwa
onani dan hukum onani dalam puasa tidak disebutkan dalam nash syara.
Puasa itu adalah
ibadah yang dituturkan dalam nash-nash. Perkara yang membatalkan puasa ini pun
adalah bagian darinya, sehingga harus disebutkan pula dalam nash-nash tersebut.
Dan kita tidak mendapati penyebutan keluar mani dalam perkara yang membatalkan
puasa, sehingga kita tidak boleh memasukkannya ke dalam masalah tersebut hanya
berlandaskan pada akal saja atau qiyas yang batil. Syariat
yang lurus tidak memasukkan masalah keluar mani sebagai perkara yang
membatalkan puasa. Yang harus kita lakukan adalah mendiamkannya, tidak
memasukkannya dalam perkara yang membatalkan puasa.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar