Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 09 Oktober 2017

Menyentuh Perempuan Tidak Batal Wudhu



Masalah (Perkara) Kelima:

Menyentuh Perempuan Tidak Membatalkan Wudhu

Para imam dan fuqaha berbeda pendapat tentang menyentuh perempuan: apakah membatalkan wudhu atau tidak. Mereka terbagi menjadi beberapa pendapat:
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, az-Zuhri, Rabi’ah dan as-Syafi’i berpendapat, menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Kaab, al-Hasan, Mujahid, Qatadah, Said bin Jubair, as-Sya’biy, Atha, Thawus, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat, menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata: kecuali jika dua alat kelamin bersentuhan, lalu dzakarnya bangun, walaupun tidak sampai mengeluarkan madzi.
Malik, Ahmad, dan Ishaq bin Rahuwaih berpendapat bahwa menyentuh perempuan dengan syahwat itu membatalkan wudhu.
Agar nampak jelas sudut pandang kebenaran dalam persoalan ini, dan kita mendapatkan pendapat yang tepat, maka kita harus mencermati semua dalil-dalilnya:

1. Firman Allah Swt.:

“Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)

Ini adalah qira'ah Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ashim dan Ibnu Amir, dan dibaca au lamastum () ini merupakan qira'ah Hamzah dan al-Kisa’iy.

2. Dari Muadz bin Jabal ra., dia berkata:

“Seorang laki-laki menemui Rasulullah Saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki menemui seorang perempuan yang tidak diketahuinya. Tidaklah lelaki itu melakukan sesuatu dengan isterinya kecuali dilakukannya juga dengan perempuan tersebut selain menyetubuhinya? Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (TQS. Hud: 114). Dia berkata: Maka Nabi Saw. berkata padanya: “Berwudhulah kemudian shalatlah.” Muadz berkata: Lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ketentuan ini khusus untuknya ataukah berlaku umum untuk kaum mukmin. Beliau Saw. berkata: “Berlaku umum untuk seluruh kaum mukmin.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Hadits ini mengandung tambahan yang dhaif.

3. Dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. mencium sebagian isterinya, kemudian beliau Saw. berangkat untuk shalat dan tidak berwudhu. Urwah berkata: Aku berkata kepada Aisyah: Siapa lagi yang dicium itu jika bukan engkau. Dia berkata: Maka Aisyah tertawa.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)

4. Dari Aisyah ra.:

“Ketika Rasulullah Saw. sedang shalat, aku tidur melintang di hadapannya seperti melintangnya mayat, hingga ketika beliau Saw. hendak berwitir, beliau Saw. menyentuh aku dengan kakinya.” (HR. an-Nasai dan Ahmad)

5. Dari Aisyah, dia berkata:

“Pada suatu malam aku tidak menemukan Rasulullah Saw. dari tempat tidurnya, lalu aku mencarinya, tanganku menyentuh telapak kakinya, saat itu beliau Saw. sedang di tempat shalat, kedua telapak kakinya tegak. Beliau Saw. berdoa: “Ya Allah, aku berlindung pada keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan kemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, tak terhitung kulantunkan pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

6. Dari Aisyah, dia berkata:

“Aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dari satu bejana, tangan kami bergantian (menciduk air) ke dalam bejana untuk mandi junub. (HR. Muslim dan Bukhari)

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Aku pernah mandi bersama Nabi Saw. dari satu bejana, kami meletakkan tangan kami bersama-sama.”

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Dari satu wadah, kami menciduk air dari bejana itu bersama-sama.”

An-Nasai meriwayatkan hadits yang sama dengan lafadz:

“Aisyah berkata: Sungguh aku telah berebutan dengan Rasulullah menciduk air dari bejana. Aku dan beliau Saw. mandi dari bejana tersebut.”

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dari satu bejana, tangan kami saling bergantian (menciduk air di dalamnya) dan saling bersentuhan.”

7. Dari Ummu Salamah ra.:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. seringkali menciumnya, padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian beliau Saw. tidak berbuka dan tidak memperbarui wudhunya.” (HR. Ibnu Jarir, dia menshahihkannya)

8. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Saw., kedua kakiku berada di arah kiblat beliau Saw. Ketika bersujud, beliau Saw. merabaku lalu memegang kedua kakiku, ketika berdiri beliau Saw. melepaskannya. Aisyah berkata: Rumah-rumah saat itu tidak memiliki lampu penerang.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Hadits yang kedua adalah hadits munqathi', karena Abdurrahman bin Abi Laila tidak mendengar hadits dari Muadz. Tirmidzi berkata: Sanad hadits ini tidak muttashil (bersambung). Abdurrahman bin Abi Laila tidak mendengar hadits dari Muadz bin Jabal. Karena itu, hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits dhaif yang tidak layak digunakan sebagai hujjah. Hadits yang saya maksud adalah hadits yang di dalamnya terdapat tambahan perintah untuk berwudhu dan shalat.

Hadits yang ketiga didhaifkan oleh segolongan orang dan dishahihkan oleh golongan yang lain. Pendapat yang benar adalah, hadits ini didhaifkan oleh mereka, ketika mereka menganggap Urwah yang ada dalam sanad hadits ini adalah Urwah al-Muzanniy, nama tersebut ditemukan dalam Sunan Abu Dawud. Al-Muzanniy ini adalah seorang yang majhul (tidak dikenal), tetapi Ahmad, Ibnu Majah dan ad-Daruquthni dengan jelas menyatakan bahwa Urwah dalam sanad hadits ini adalah Urwah bin Zubair. Karena itu, alasan mereka mendhaifkan hadits ini tidak bisa diterima. Ada juga di antara mereka yang mendhaifkan hadits ini dengan alasan Habib itu tidak meriwayatkan hadits dari Urwah, alasan ini jelas tidak bisa diterima, karena Abu Dawud telah menyebutkan satu hadits shahih yang diriwayatkan Habib dari Urwah. Dengan demikian, alasan mendhaifkan hadits ini tidak benar dan tidak bisa diterima, sehingga hadits ini bisa diterima dan bisa digunakan sebagai dalil.

Hadits yang keempat dikomentari Ibnu Hajar: sanadnya shahih.

Hadits yang kelima adalah hadits shahih.
Tiga hadits yang terakhir juga merupakan hadits shahih.

Dengan demikian, yang tidak boleh digunakan sebagai hujjah hanya hadits yang kedua saja, sedangkan hadits yang lainnya boleh digunakan.

Kita mulai dengan nash yang pertama, karena ini menjadi pangkalnya. Firman Allah Swt.:

“Atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air.” (TQS. An-Nisa [4]: 43, dan al-Maidah [5]: 6)

Ayat dari surat an-Nisa ini lengkapnya berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (TQS. an-Nisa [4]: 43)

Sedangkan ayat surat al-Maidah lengkapnya berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Ayat dari surat an-Nisa ini merupakan seruan kepada orang-orang yang beriman untuk tidak mendekati tempat shalat, yakni masjid, dalam keadaan mabuk, dan mereka tidak boleh mendekati tempat shalat ketika mereka junub, kecuali kalau sekedar berlalu (lewat) saja, hingga mereka mandi junub. Inilah pengertian bagian awal ayat.
Sedangkan bagian kedua ayat ini, hendak menjelaskan hukum tayamum kepada kaum Muslim ketika tidak ada air. Bagian kedua ayat tersebut menyebutkan beberapa kondisi yang menuntut seorang Muslim untuk bertayamum ketika tidak ada air.

Frase laamastum tidak cocok ditafsirkan kecuali dengan jima (bersetubuh). Di antara mereka yang berpendapat senada dengan penafsiran ini adalah Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Kaab, Abdullah bin Abbas; mereka adalah para sahabat yang paling piawai menafsirkan al-Qur’an.
Terdapat beberapa nama lain yang menafsirkan seperti itu, di antaranya Abu Hanifah, Mujahid, Thawus, al-Hasan, Said bin Jubair, as-Sya’biy, Qatadah, at-Thabari dan as-Syaukani; mereka adalah para ahli tafsir yang terkenal dari kalangan salaf dan khalaf, juga termasuk fuqaha yang populer.
Penafsiran seperti di atas selain merupakan tafsir yuristik (at-tafsir al-fiqhiy) juga merupakan penafsiran yang dikandung oleh bahasa.
Penafsiran seperti ini disebutkan dalam sejumlah ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah Swt.:

“Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya (mencampurinya).” (TQS. al-Ahzab [33]: 49)

Yakni menyetubuhinya (tujami’uuhunna).

Dan firman Allah Swt.:

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka.” (TQS. al-Baqarah [2]: 237)

Yakni menyetubuhinya (tujami’uuhunna).

Dan firman Allah Swt.:

“Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” (TQS. Ali Imran [3]: 47, Maryam [19]: 20)

Senada dengan itu adalah firman Allah Swt.:

“Maka sekarang campurilah mereka.” (TQS. al-Baqarah [2]: 187)

Yakni setubuhilah mereka (jami'uuhunna).

Juga disebutkan dalam hadits tentang wanita yang berzina:

“Dia tidak menolak tangan yang menyentuhnya.”

Sebagai kiasan persetubuhan.

Ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah telah menyebut kata al-lamsa, al-massa dan al-mubasyarah dengan arti bersetubuh (al-jima'). Pemahaman ini bersesuaian dengan sisi bahasa, syara', dan hukum fiqihnya. Dua ayat al-Qur' an tersebut (yakni an-Nisa: 43 dan al-Maidah: 6) datang dengan dua jenis qira'ah: laamastum dan lamastum.
Muhammad bin Zaid membedakan pengertian di antara keduanya. Dia berkata: laamastum menurut bahasa memiliki arti qabbaltum (kalian mencium) atau padanannya, karena kedua belah pihak sama-sama aktif melakukan. Selanjutnya dia menambahkan: sedangkan lamastum memiliki arti ghasyiitum (kalian menutupi) dan masastum (kalian menyentuh) dan dalam lafadz ini perempuan tidak aktif melakukan. Jadi, dari sisi bahasa, dua ayat ini mengandung dua pengertian.

Ketika dari sisi bahasa kata al-lamsu itu mengandung pengertian bersetubuh (al-jima') dan menyentuh dengan tangan (al-massu bil yad), maka qarinah-lah yang menentukan makna manakah yang dimaksud oleh kata tersebut. Konteks ayat dari sudut pandang fiqih itulah yang menjadi qarinah bahwa makna yang dimaksud lafadz laamastum adalah al-jima' (bersetubuh). Arti inilah yang memuaskan.
Sedangkan penafsiran kata laamastum dengan menyentuh saja (al-massu bil yad), itu hanyalah penafsiran dari sisi bahasa saja dengan tanpa melihat qarinah dan tanpa pengkajian yang cermat terhadap korelasi dua ayat di atas.
Kami sepakat bahwa al-lamsu itu dari sisi bahasa mengandung arti al-massu bil yad (menyentuh dengan tangan) yang tidak perlu argumentasi lagi, tetapi yang mereka –yang mengartikan bukan jima’ dalam ayat itu- harus lakukan justru menyampaikan atau menjelaskan satu atau beberapa qarinah, sehingga dengannya bisa dipastikan yang dimaksudkan ayat tersebut adalah menyentuh dengan tangan, bukan arti yang lain. Karena mereka tidak mampu menghadirkan qarinah itu, maka arti kata laamastum yang dimaksud ayat tersebut adalah al-jima' (bersetubuh).
Tetapi agar tidak terburu-buru menutup pintu diskusi dan perdebatan, kita akan menelaah beberapa hadits yang bisa menjelaskan dan menafsirkan frase laamastum yang disebutkan dalam ayat tersebut, sehingga kemudian layak digunakan sebagai qarinah yang bisa menunjukkan makna dimaksud.

Mereka berargumentasi dengan hadits yang kedua bahwa al-lamsu itu membatalkan wudhu. Mereka mengatakan bahwa lelaki dalam hadits tersebut telah menyentuh wanita, dan dia hampir menyetubuhinya, tetapi belum sempat dilakukan, maka Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk berwudhu. Hadits ini menurut mereka menjadi dalil bahwa al-lamsu (menyentuh dengan tangan) itu membatalkan wudhu. Untuk membantah pernyataan tersebut kami katakan bahwa hadits ini munqathi dan dhaif, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah dan dalil.
Dasar kisah ini terdapat dalam as-Shahihain (dua kitab hadits shahih), di sana tidak diriwayatkan Rasulullah Saw. memerintahkan lelaki tersebut untuk berwudhu, bahkan untuk shalat sekalipun.
Dengan demikian peristiwanya satu, diriwayatkan dalam kitab-kitab Shahih tanpa perintah berwudhu, tetapi diriwayatkan dalam hadits dhaif dengan tambahan perintah berwudhu, sehingga hadits-hadits shahih itulah yang harus dipegang dan hadits dhaif harus ditinggalkan. Karena itu, hadits ini tidak bisa membantu hujjah mereka.

Mereka berargumentasi juga dengan ucapan Umar bin Khattab ra.: “Sesungguhnya mencium itu dipandang sebagai menyentuh, maka berwudhulah karenanya,” dan karena Ibnu Umar berpendapat bahwa mencium itu dipandang sebagai menyentuh, sehingga dia memerintahkan seseorang yang melakukannya untuk berwudhu. Ibnu Mas’ud berkata: “mencium itu termasuk menyentuh, jika dilakukan mesti berwudhu.” Ketiga atsar ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi.

Maka kami katakan: bahwa ketiga atsar ini merupakan ucapan sahabat, dan ucapan sahabat itu bukan dalil. Fakta ucapan sahabat itu adalah pemahaman dan ijtihad dari mereka, yang tidak wajib kita patuhi, terlebih lagi ketika kita mengetahui bahwa sejumlah sahabat dan tabf’in melontarkan pernyataan yang berbeda, termasuk turjumanul Qur’an dan habru hadzihi al-ummati (tinta ilmu umat ini), yakni Ibnu Abbas ra. Dari Said bin Jubair, dia berkata:

“Kami mendiskusikan kata al-lamsu, sejumlah orang dari kalangan mawali berkata: Al-Lamsu itu bukan jima (bersetubuh). Sedangkan sejumlah orang dari Arab mengatakan: Al-Lamsu itu adalah jima (bersetubuh). Lalu aku ceritakan hal itu kepada Ibnu Abbas, maka dia balik bertanya: Engkau sependapat dengan siapa di antara mereka? Aku menjawab: Dengan kaum mawali. Ibnu Abbas berkata: Pendapat kaum mawali kalah, sesungguhnya al-lamsu dan al-mubasyarah itu artinya adalah jima (bersetubuh), tetapi Allah Swt. menyebutkan sesuatu sesuai yang dikehendaki-Nya.” (HR. al-Baihaqi)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq dengan lafadz:

“Kaum mawali keliru, dan kaum Arab yang benar, artinya adalah jima’ (bersetubuh), tetapi Allah Swt. memelihara diri dan menyebutkan sesuatu (sesuai kehendak-Nya).”

Riwayat ini setara dengan beberapa atsar ucapan sahabat di atas.

Semua itu merupakan pemahaman dan ijtihad, bukan dalil dan nash yang layak untuk menjelaskan dan menjadi qarinah atas frase laamastum tersebut. Dalil-dalil yang layak hanyalah al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah Saw.

Kita telah mengkaji beberapa ayat yang menggunakan kata tersebut.

Sekarang kita mencermati beberapa hadits Nabi Saw.
Hadits ketiga menyebutkan:

“Rasulullah Saw. mencium sebagian isterinya, kemudian beliau Saw. berangkat untuk shalat dan tidak berwudhu.”

Hadits yang keempat menyebutkan:

“Hingga ketika beliau Saw. hendak berwitir, beliau Saw. menyentuh aku dengan kakinya.”

Hadits yang kelima menyebutkan:

“Tanganku menyentuh telapak kakinya. Saat itu beliau Saw. sedang berada di tempat shalat, kedua telapak kakinya ditegakkan.”

Hadits keenam menyebutkan:

“Dari satu bejana. Tangan kami bergantian (menciduk air) ke dalam bejana untuk mandi junub”

“Dari satu bejana. Kami meletakkan tangan kami bersama-sama.”

“Dari satu wadah. Kami menciduk air dari bejana itu bersama-sama.”

An-Nasai meriwayatkan hadits yang sama dengan lafadz:

“Berebutan dengan Rasulullah menciduk air dari bejana.”

“Dari satu bejana. Tangan kami saling bergantian (menciduk air di dalamnya) dan saling bersentuhan.”

Hadits ketujuh menyebutkan:

“(Rasulullah Saw.) sering menciuminya, padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian beliau Saw. tidak berbuka dan tidak memperbarui wudhunya.”

Hadits kedelapan menyebutkan:

“Ketika bersujud, beliau Saw. merabaku lalu memegang kedua kakiku, ketika berdiri beliau Saw. melepaskannya.”

Dalam hadits kempat disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menyentuh Aisyah dengan kakinya, padahal beliau Saw. sedang shalat.
Dalam hadits kedelapan disebutkan bahwa beliau Saw. memegangnya, padahal beliau Saw. sedang shalat. Artinya, dua hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. menyentuh Aisyah padahal beliau Saw. sedang shalat, dan beliau Saw. tidak menghentikan shalatnya.
Dalam hadits kelima disebutkan bahwa Aisyah menyentuh Rasulullah Saw. dengan tangannya ketika beliau Saw. sedang shalat, dan beliau Saw. tidak menghentikan shalatnya.
Dalam hadits ketiga dan ketujuh disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mencium isterinya dan beliau Saw. tidak berwudhu. Artinya, mencium itu tidak membatalkan wudhunya.
Dalam hadits keenam ada dilalah bahwa beliau menyentuh isterinya, dan sebaliknya, mereka saling bersentuhan dan wudhu keduanya tidak batal.
Hadits ini perlu dipaparkan dan dijelaskan aspek dilalahnya karena agak samar, maka saya katakan:

Seandainya menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu, tentu keduanya tidak akan membiarkan tangan-tangan mereka berdua menciduk air bersamaan selama mandi hingga satu sama lain saling bersentuhan yang bisa membatalkan bersucinya, sehingga keduanya selesai mandi [janabah] dalam keadaan tidak suci hadats. Dan telah diketahui bahwasanya Rasulullah Saw. tidak berwudhu lagi setelah mandi. Telah diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. tidak berwudhu setelah mandi junub.” (HR. Ibnu Majah, an-Nasai dan al-Baihaqi)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: hadits ini hasan shahih. Al-Hakim meriwayatkan hadits ini dan berkata: hadits ini shahih.

Rasulullah Saw. memberikan petunjuk pada umatnya bahwa mandi itu cukup untuk shalat, dan wudhu sudah termasuk ke dalamnya, sehingga ketika beliau Saw. mandi bersama isterinya dari satu bejana, lalu tangan keduanya terulur dan saling mendahului menciduk air dari bejana serta saling bersentuhan di dalamnya, kemudian beliau Saw. tidak berwudhu dan juga tidak memerintahkan isterinya untuk berwudhu, maka ini menjadi dalil dan hujjah bahwa persentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu, karena beliau Saw. tidak boleh mendiamkan sesuatu yang perlu penjelasan.

Hadits ini menjadi dalil bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Ini merupakan perbuatan Rasulullah Saw. dan isteri beliau Saw. Diamnya Rasulullah Saw. atas hal itu merupakan iqrar (pengakuan) atas hal itu. Ketika hadits yang ketiga -yang notabene merupakan perbuatan Rasulullah Saw.-, hadits keempat merupakan perbuatan beliau Saw., hadits ketujuh merupakan perbuatan beliau Saw., dan hadits kedelapan merupakan perbuatan beliau Saw.; semua ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah Saw. sering menyentuh isterinya dan tidak berwudhu lagi, yakni empat hadits ini menetapkan bahwa Rasulullah Saw. menyentuh wanita dan tidak berwudhu lagi.
Semua ini menjadi dalil yang jelas nan tegas bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Fakta Rasulullah Saw. menyentuh wanita dan tidak batal wudhunya itu terbukti dengan empat hadits shahih yang layak dijadikan sebagai hujjah ini. Inilah jenis pembuktian yang paling kuat.

Di sisi lain, justru tidak ada satu hadits pun yang berasal dari perbuatan Rasulullah Saw., atau bahkan dari perbuatan seorang sahabat di hadapan Rasulullah Saw., bahwa dia menyentuh wanita lalu berwudhu. Yakni seorang sahabat menyentuh wanita lalu dia berwudhu dengan adanya pengakuan Rasulullah Saw. Ini menjadi qarinah yang layak untuk menentukan maksud frase laamastum dari dua ayat tersebut adalah bersetubuh (al-jima'), atau katakanlah menafikan batalnya wudhu hanya karena menyentuh dengan berbagai padanannya, seperti mencium, menyentuh dengan tangan, menggeser dengan kaki.

Bisa jadi ada yang mengatakan bahwa dua ayat ini menetapkan bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu, sedangkan hadits-hadits yang notabene merupakan perbuatan Rasulullah Saw. menunjukkan bahwa menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu, sehingga hadits-hadits tersebut dipahami sebagai kekhususan bagi Rasulullah saw. Untuk membantah pernyataan seperti ini kami katakan: kita tidak bisa menerima pernyataan seperti ini, karena kami tidak menerima jika dikatakan ayat ini menetapkan batalnya wudhu yang disebabkan menyentuh wanita, bahkan dengan mudah kita katakan bahwa dua ayat ini bersifat muhtamal (mengandung dua kemungkinan pengertian), sehingga dengan adanya ihtimal maka gugurlah istidlal, sehingga lebih tepat bila di atas dua makna ini tidak dibangun pengertian apapun dan hadits-hadits ini dibawa pada dilalah muhtamalah. Ucapan seperti ini tidak pantas dilontarkan. Sebab, seandainya benar bahwa dua ayat ini tidak mengandung pengertian selain batalnya wudhu ketika menyentuh wanita, dan perbuatan-perbuatan Rasulullah Saw. menunjukkan tidak batalnya wudhu ketika menyentuh wanita, maka perbuatan atau beberapa perbuatan Rasulullah Saw. sah-sah saja bila dipahami sebagai kekhususan Rasulullah Saw. Sementara dalam persoalan yang sedang kita bahas, tidak bisa dipahami seperti itu.

Kedua, sesungguhnya hadits-hadits tersebut menafsirkan al-Qur’an dan tidak akan kontradiktif dengannya. Ketika mudah dipahami bahwa dua ayat ini mengandung dua makna, maka hadits-hadits ini -baik berupa perbuatan ataupun ucapan Rasulullah Saw.- layak untuk menafsirkan dua ayat tersebut dan menentukan arti mana yang dimaksud dari dua kemungkinan makna tersebut.
Di sini, perbuatan-perbuatan Rasulullah Saw. layak untuk menjelaskan makna dua ayat tersebut, dan membatasi makna yang dimaksud dari kedua makna tersebut. Pernyataan seperti ini lebih tepat daripada pernyataan adanya ta'arudl (kontradiksi) di antara al-Qur’an dan hadits, yang akibatnya terpaksa harus dikatakan bahwa itu merupakan perbuatan yang khusus bagi Rasulullah Saw. Hal ini karena pernyataan sebagai kekhususan Rasulullah Saw. biasanya tidak diambil kecuali jika benar-benar ada kontradiksi dan tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menghimpun dan mengkompromikannya. Dalam persoalan ini, justru besar kemungkinan untuk menghimpun dan mengkompromikan keduanya.

Ketiga, sesungguhnya hadits-hadits tersebut tidak hanya terbatas pada perbuatan Rasulullah Saw., melainkan menyebutkan perbuatan sahabat yang lain, lalu ada pengakuan atau persetujuan dari Rasulullah Saw. atas perbuatan tersebut. Hadits-hadits ini menjelaskan bahwa isteri-isteri beliau Saw. seringkali menyentuh Rasulullah Saw., baik dengan mencium ataupun dengan yang lainnya, tetapi beliau Saw. tidak menjelaskan kepada isterinya itu bahwa wudhu mereka telah batal, padahal ada alasan bahwa perkara tersebut harus dijelaskan seandainya benar menyentuh itu membatalkan wudhu mereka. Ini juga menjadi qarinah kebenaran pendapat yang kami pegang ini.

Keempat, kami memiliki satu nash yang memberi pengertian bahwa isteri-isteri Nabi Saw. memahami bahwa ciuman Rasulullah Saw. kepada mereka tanpa membatalkan wudhu beliau Saw. itu bukan termasuk kekhususan beliau Saw., melainkan berlaku untuk seluruh kaum Muslim. Ad-Daruquthni meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang dijayyidkan oleh al-Hafidz Abadi dari Aisyah:

“Aisyah mendengar ucapan Ibnu Umar: Mencium itu mengharuskan untuk berwudhu. Maka Aisyah berkata: Rasulullah Saw. seringkali mencium (isterinya) padahal beliau Saw. sedang berpuasa, kemudian beliau Saw. tidak berwudhu lagi.”

Bahkan ad-Daruquthni telah meriwayatkan dari Aisyah dalil yang lebih tegas dan lebih pasti untuk menjadi hujjah. Dia meriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang diakui, seperti sanad yang dijayyidkan oleh al-Hafidz Abadi:

“Bahwasanya Nabi Saw. bersabda: “Dalam mencium itu tidak ada keharusan untuk berwudhu.”

Ibnu Jarir at-Thabari menyatakan dalam tafsirnya: “Pendapat yang paling tepat dalam persoalan tersebut adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa maksud firman Allah Swt. au laamastumun nisaa itu adalah jima (bersetubuh), bukan pengertian yang lainnya, karena keshahihan kabar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. mencium sebagian isterinya, kemudian beliau Saw. shalat tanpa berwudhu lagi.”
Ibnu Jarir menyampaikan beberapa hadits, dari Aisyah ada dua hadits, dari Zainab as-Sahmiyyah satu hadits, dari Ummu Salamah ada satu hadits, yakni yang disebutkan pada poin ketujuh di atas.
Setelah itu, Ibnu Jarir berkata: “Karena itu, dalam hadits shahih terkait perkara yang kami sebutkan tadi terdapat dilalah yang jelas, bahwa al-lamsu pada persoalan ini adalah sentuhan persetubuhan (lamsul jima’), bukan sentuhan yang lain.”

Berdasarkan ini semua, menyentuh wanita, baik pada tangan, mulut dan kaki atau bagian tubuh yang lainnya (selain kemaluan), tidak membatalkan wudhu. Yang membatalkan wudhu itu adalah berjima.
Dengan pendapat dan kesimpulan seperti ini, kita telah mengamalkan dua ayat dan seluruh hadits shahih dan hadits yang layak untuk dijadikan sebagai dalil, baik yang berasal dari perbuatan atau dari ucapan Rasulullah Saw., atau dari perbuatan sahabat dengan pengakuan dan diamnya Rasulullah Saw.

Kami telah menetapkan bahwa pendapat menyentuh wanita membatalkan wudhu sebagai pendapat yang keliru, maka ini sekaligus menjelaskan kekeliruan pendapat sentuhan yang disertai syahwat yang membatalkan wudhu. Karena ciuman -yang biasanya disertai dengan syahwat- tidak membatalkan wudhu. Ciuman itu merupakan tingkatan tertinggi dari sentuhan yang disertai syahwat, karena sentuhan yang disertai syahwat itu tidak ragu lagi adalah sesuatu yang tidak membatalkan wudhu.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam