BAB
TIGA BELAS
TAYAMUM
Definisi dan Legalitas Tayamum
Definisi Tayamum
Tayammum menurut bahasa adalah al-qashdu (bermaksud) dan at-tawajjuhu (menuju). Dikatakan tayammamtu fulaanan, ai qashadtuhu wa tawajjahtu ilaihi (aku bermaksud ke si fulan
dan menuju si fulan). Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk, lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (TQS. al-Baqarah
[2]: 267)
Yakni: janganlah kamu
bermaksud.
Umru’ul Qais berkata:
Aku menujunya dari
Adzru'ah (suatu tempat di Syam),
Sedangkan keluarganya
di Yatsrib,
Rumahnya yang paling
rendah sekalipun
memiliki kedudukan
yang tinggi.
Dalam istilah syara, tayamum adalah bersuci menggunakan
sesuatu yang halus/lembut dari permukaan bumi, dengan cara tertentu karena
tidak ada air atau disebabkan oleh udzur yang menyebabkan seseorang tidak bisa
menggunakan air.
Definisi ini bersifat
jami' (komprehensif), mani’,
(protektif), dan ringkas. Ini merupakan definisi yang paling tepat di antara
beberapa definisi yang disampaikan oleh para fuqaha, misalnya: bersuci dengan at-turab (tanah) sebagai pengganti bersuci
dengan air karena tidak bisa menggunakan air; baik karena tidak ada air atau
karena sakit; atau misalnya: menghendaki at-turab
(tanah) untuk diusapkan ke wajah dan dua tangan dengan niat untuk mengabsahkan
shalat dan sebagainya; atau misalnya: menyampaikan tanah yang suci-mensucikan
ke wajah dan dua tangan dengan syarat-syarat tertentu. Semua definisi ini tidak
detil dan rancu.
Definisi yang pertama
tidak menghimpun sebab dan udzur yang membolehkan tayamum.
Definisi kedua tidak
menyinggung berbagai sebab dan udzur tersebut.
Definisi ketiga
menggunakan lafadz syarat-syarat, dan ini jelas rancu karena definisi seperti
itu mengkategorikan tata cara dan udzur sebagai syarat-syarat, padahal keduanya
merupakan dua perkara yang berbeda.
Selain itu kata at-turab (tanah) yang digunakan dalam definisi
yang pertama dan kedua masih perlu penjelasan.
Begitu pula kata dua
tangan yang disebutkan dalam definisi kedua dan ketiga, lebih tepat menggunakan
kata al-kaffain (dua telapak tangan)
sebagai pengganti kata al-yadain (dua
tangan).
Legalitas Tayamum
Dasarnya adalah
al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Tayamum itu merupakan perkara agama yang
pasti diketahui (ma'lum min ad-diin bi
ad-dharurah), dalam arti, orang yang mengingkarinya dipandang sebagai
orang kafir. Nash-nash syara yang
menunjukkan pensyariatan tayamum sangat banyak. Kami cukup menyebutkannya
beberapa saja:
1) Dari Aisyah ra.:
“Bahwasanya dia
meminjam kalung dari Asma, lalu kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah
Saw. mengutus sejumlah sahabat untuk mencarinya, hingga tiba waktu shalat.
Kemudian mereka shalat tanpa berwudhu. Ketika mereka datang kepada Nabi Saw.,
mereka mengadukan hal itu pada beliau Saw., lalu turunlah ayat tayamum.” (HR.
Muslim, Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
2) Ayat Tayamum itu adalah firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
3) Firman Allah Swt.:
“Kemudian kamu tidak
mendapat air; maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.”
(TQS. an-Nisa [4]: 43)
4) Dari Abu Umamah bahwasanya Rasulullah Saw.
bersabda:
“Dan bumi seluruhnya
telah dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan. Di
manapun waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki
tempat untuk bersujud dan sesuatu untuk bersuci.” (HR. Ahmad dengan rangkaian perawi
yang tsiqah, kecuali Sayyar al-Umawi,
dia seorang yang jujur).
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi.
5) Dari Jabir bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Aku diberi lima
perkara yang tidak diberikan pada seorang Nabi pun sebelumku: aku diberi
kemenangan dengan rasa takut (yang mendatangi musuh) sepanjang satu bulan
perjalanan, dan bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan
suci-mensucikan, siapapun di antara umatku yang didatangi waktu shalat maka
hendaklah dia shalat, dan telah dihalalkan untukku ghanimah (harta rampasan perang) padahal tidak dihalalkan untuk
seorang Nabi pun sebelum aku, aku diberi syafa’at, dan seorang Nabi diutus
khusus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk manusia seluruhnya.” (HR.
Bukhari, Ahmad, Muslim dan anNasai)
6) Dari Imran bin Hushain, dia berkata:
“Kami berada dalam
suatu perjalanan bersama Nabi Saw. ...kemudian beliau Saw. singgah, lalu
meminta air wudhu, dan beliau Saw. pun berwudhu. Lalu dikumandangkanlah adzan
untuk menyeru shalat. Beliau Saw. pun kemudian shalat mengimami orang-orang.
Ketika beliau Saw. selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang lelaki yang
memisahkan diri dan tidak shalat bersama orang-orang. Beliau Saw. bertanya:
“Wahai fulan, apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat bersama
orang-orang?” Dia berkata: Aku junub, padahal tidak ada air. Beliau Saw.
berkata: “Engkau bisa menggunakan tanah, tanah itu cukup bagimu.” (HR. Bukhari
dan Ahmad)
An-Nasai dan Ibnu Abi
Syaibah meriwayatkan hadits ini lebih ringkas.
Arah istidlal dari
nash-nash ini sangat jelas.
Bila kita perhatikan
hadits yang pertama menjelaskan bahwa Allah Swt. menurunkan ayat tayamum. Saya
memastikan bahwa yang dimaksud dengan ayat tayamum tersebut adalah ayat dari
surat al-Maidah, bukan surat an-Nisa.
Di antara para ahli
tafsir dan ahli fiqih terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan ini. Sebagian
mereka berkata bahwa ayat surat an-Nisa itulah ayat tayamum, sedangkan yang
lain berkata bahwa ayat surat al-Maidah itulah ayat tayamum, sedangkan yang lain
lagi mengalami kebingungan menetapkan manakah ayat tayamum di antara dua ayat
ini, sehingga mereka tidak bisa memastikannya.
Pendapat yang benar
telah dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa ayat tayamum itu adalah ayat surat
al-Maidah, di mana setelah menyampaikan hadits Aisyah tentang tayamum dalam
kitab al-Bukhari tersebut, Ibnu Hajar berkata: “Ibnul Arabi berkata, ini
merupakan persoalan yang belum aku temukan jawabannya, karena kami belum
mengetahui di antara dua ayat ini ayat mana yang dimaksud oleh Aisyah. Ibnu
Bathal berkata ayat tayamum tersebut adalah ayat surat an-Nisa atau ayat surat
al-Maidah. Al-Qurthubi berkata ayat tayamum tersebut adalah ayat surat an-Nisa,
begitu pula al-Wahidi berkata ayat tayamum tersebut adalah ayat surat an-Nisa.
Bagi sebagian besar mereka, perkara ini masih samar, tetapi bagi Bukhari justru
nampak jelas bahwa yang dimaksud ayat tayamum -tanpa ragu lagi- adalah ayat
surat al-Maidah, berdasarkan riwayat Amr bin al-Harits, di mana hal itu
dijelaskannya dengan ucapan: Lalu turunlah ayat “Hai orang orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat...” (TQS. Al-Maidah: 6), hadits ini ditakhrij oleh Bukhari dalam kitab at-Tafsir.”
Saya tambahkan
pernyataan Ibnu Hajar ini dengan hadits yang diriwayatkan Bukhari dari jalur
Syaqiq, dia berkata:
“Aku duduk bersama
Abdullah dan Abu Musa al-Asy'ariy, lalu Abu Musa berkata padanya: Seandainya
salah seorang lelaki terkena junub lalu dia tidak menemukan air selama satu
bulan, bukankah dia boleh bertayamum dan shalat? Bagaimana engkau menyikapi
ayat dalam surat al-Maidah ini: Lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), (Riwayat Bukhari dalam bab
tayamum yang diberi judul “tayammum itu satu tepukan”)
Dalam hadits ini
disebutkan bahwa ketika sahabat menyebutkan tayamum, mereka akan menyebutkan
surat al-Maidah, di mana hal ini menunjukkan bahwa ayat dari surat al-Maidah
itulah, bukan surat an-Nisa, ayat tayamum, walaupun kedua nash tersebut
memiliki kemiripan.
Para sahabat berijma atas pensyariatan tayamum, begitupula
para ulama setelah mereka berijma,
sehingga tidak ada seorangpun ulama -baik dari kalangan khalaf ataupun salaf- yang berbeda pendapat terkait hal itu.
Perbedaan pendapat
terjadi dalam hal: apakah tayamum itu disyariatkan untuk menghilangkan hadats
besar ataukah hadats kecil? Apakah hanya untuk menghilangkan hadats kecil saja?
Mayoritas sahabat dan kaum Muslim lainnya berpendapat bahwa tayamum disyariatkan
untuk shalat, tanpa perbedaan antara junub dengan selainnya, tidak ada yang
menyelisihi pendapat ini kecuali hadits yang diriwayatkan dari Umar bin
Khaththab dan Abdullah bin Mas'ud yang tidak membolehkan tayamum bagi orang
junub. Hadits ini diriwayatkan dari keduanya oleh Ibnu Abi Syaibah. Walaupun
begitu, Ibnu Abi Syaibah ternyata meriwayatkan hadits dari ad-Dhahak bahwasanya
dia berkata: “Abdullah menarik kembali pendapatnya tentang tayamum.” Konon
dikatakan pula bahwa Umar bin Khaththab telah menarik ucapannya juga.
Bagaimanapun juga,
sejumlah hadits shahih telah membolehkan
tayamum bagi orang junub. Pernyataan yang membolehkannya begitu jelas, sehingga
menjauhkan pengertian selainnya. Dalam hadits keenam yang shahih di atas nampak memberi pengertian
tayamum untuk orang junub. Begitu pula Ammar bin Yasir telah meriwayatkan:
“Rasulullah Saw.
mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku terkena junub, padahal aku tidak
menemukan air. Aku kemudian berguling-guling di tanah seperti
berguling-gulingnya binatang ternak. Setelah itu aku menemui Nabi Saw. dan
menceritakan hal itu padanya. Beliau Saw. bersabda: “Engkau cukup meletakkan
tanganmu seperti ini.” Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke tanah
dengan sekali tepukan, lalu mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan,
punggung telapak tangannya dan wajahnya.” (HR. Muslim)
Bukhari pun
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang hampir sama.
Mengenai legalitas
tayamum untuk menghilangkan hadats kecil maka hal ini tidak diperselisihkan
oleh seorangpun. Di sini cukup kiranya saya tunjukkan hadits pertama yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra., yang menunjukkannya (menunjukkan legalitas
tayamum untuk menghilangkan hadats kecil-pen.)
selain ayat tayamum itu sendiri.
Tayamum itu
dikhususkan hanya untuk umat
ini, tidak disyariatkan untuk umat-umat sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh
hadits kelima yang diriwayatkan Jabir. Pernyataan Rasulullah Saw. di bagian
awal hadits:
“Aku diberi lima
perkara yang tidak diberikan pada seorang Nabi pun sebelumku.”
Kemudian ucapan beliau
Saw.:
“Dan bumi dijadikan
untukku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan.”
Semua ini memiliki
dilalah yang jelas menunjukkan kekhususan tersebut.
Mengenai sebab
turunnya ayat tayamum, yakni ayat keenam dari surat al-Maidah, adalah kisah
yang dituturkan oleh Aisyah ra., dia berkata:
“Kami keluar bersama
Rasulullah Saw. dalam sebagian perjalanannya, hingga ketika kami tiba di
al-Baida atau di Dzatul Jaisy, terputuslah kalung milikku, lalu Rasulullah Saw.
singgah bermalam untuk mencari kalung itu, dan orang-orang pun singgah bermalam
bersama beliau, padahal mereka jauh dari sumber air. Setelah itu orang-orang
datang menemui Abu Bakar as-Shidiq seraya berkata: Tahukah engkau, apa yang
telah dilakukan Aisyah? Dia telah menyebabkan Rasulullah Saw. dan orang-orang
bermalam, padahal mereka jauh dari sumber air dan tidak memiliki air. Lalu
datang Abu Bakar, sementara itu Rasulullah Saw. sedang meletakkan kepalanya di
atas pahaku dalam keadaan sudah tidur. Abu Bakar berkata: Engkau telah menahan
Rasulullah Saw. dan orang-orang, padahal mereka jauh dari sumber air dan tidak
memiliki air. Aisyah berkata: Lalu Abu Bakar mencelaku dan mengatakan sesuatu
yang hendak dikatakannya. Dia memaki dan menunjuk-nunjukkan tangannya ke
arahku. Tidak ada yang menghalangiku bergerak pergi kecuali tidurnya Rasulullah
Saw. di atas pahaku. Rasulullah Saw. bangun ketika pagi dengan tidak memiliki
air. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat tayamum, dan mereka pun bertayamum.
Usaid bin Hudhair berkata: Ini tidak lain merupakan awal keberkahan kalian
wahai keluarga Abu Bakar. Aisyah berkata: Lalu kami mengikuti unta yang aku
tunggangi sebelumnya, dan kami pun menemukan kalung itu berada di bawahnya.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar