Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 12 Oktober 2017

Pengertian Tayamum Menurut Bahasa Dan Istilah



BAB TIGA BELAS

TAYAMUM

Definisi dan Legalitas Tayamum

Definisi Tayamum

Tayammum menurut bahasa adalah al-qashdu (bermaksud) dan at-tawajjuhu (menuju). Dikatakan tayammamtu fulaanan, ai qashadtuhu wa tawajjahtu ilaihi (aku bermaksud ke si fulan dan menuju si fulan). Allah Swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (TQS. al-Baqarah [2]: 267)

Yakni: janganlah kamu bermaksud.

Umru’ul Qais berkata:

Aku menujunya dari Adzru'ah (suatu tempat di Syam),
Sedangkan keluarganya di Yatsrib,
Rumahnya yang paling rendah sekalipun
memiliki kedudukan yang tinggi.

Dalam istilah syara, tayamum adalah bersuci menggunakan sesuatu yang halus/lembut dari permukaan bumi, dengan cara tertentu karena tidak ada air atau disebabkan oleh udzur yang menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan air.
Definisi ini bersifat jami' (komprehensif), mani’, (protektif), dan ringkas. Ini merupakan definisi yang paling tepat di antara beberapa definisi yang disampaikan oleh para fuqaha, misalnya: bersuci dengan at-turab (tanah) sebagai pengganti bersuci dengan air karena tidak bisa menggunakan air; baik karena tidak ada air atau karena sakit; atau misalnya: menghendaki at-turab (tanah) untuk diusapkan ke wajah dan dua tangan dengan niat untuk mengabsahkan shalat dan sebagainya; atau misalnya: menyampaikan tanah yang suci-mensucikan ke wajah dan dua tangan dengan syarat-syarat tertentu. Semua definisi ini tidak detil dan rancu.
Definisi yang pertama tidak menghimpun sebab dan udzur yang membolehkan tayamum.
Definisi kedua tidak menyinggung berbagai sebab dan udzur tersebut.
Definisi ketiga menggunakan lafadz syarat-syarat, dan ini jelas rancu karena definisi seperti itu mengkategorikan tata cara dan udzur sebagai syarat-syarat, padahal keduanya merupakan dua perkara yang berbeda.
Selain itu kata at-turab (tanah) yang digunakan dalam definisi yang pertama dan kedua masih perlu penjelasan.
Begitu pula kata dua tangan yang disebutkan dalam definisi kedua dan ketiga, lebih tepat menggunakan kata al-kaffain (dua telapak tangan) sebagai pengganti kata al-yadain (dua tangan).

Legalitas Tayamum

Dasarnya adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Tayamum itu merupakan perkara agama yang pasti diketahui (ma'lum min ad-diin bi ad-dharurah), dalam arti, orang yang mengingkarinya dipandang sebagai orang kafir. Nash-nash syara yang menunjukkan pensyariatan tayamum sangat banyak. Kami cukup menyebutkannya beberapa saja:

1) Dari Aisyah ra.:

“Bahwasanya dia meminjam kalung dari Asma, lalu kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah Saw. mengutus sejumlah sahabat untuk mencarinya, hingga tiba waktu shalat. Kemudian mereka shalat tanpa berwudhu. Ketika mereka datang kepada Nabi Saw., mereka mengadukan hal itu pada beliau Saw., lalu turunlah ayat tayamum.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

2) Ayat Tayamum itu adalah firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

3) Firman Allah Swt.:

“Kemudian kamu tidak mendapat air; maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)

4) Dari Abu Umamah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Dan bumi seluruhnya telah dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan. Di manapun waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat untuk bersujud dan sesuatu untuk bersuci.” (HR. Ahmad dengan rangkaian perawi yang tsiqah, kecuali Sayyar al-Umawi, dia seorang yang jujur).

Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi.

5) Dari Jabir bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan pada seorang Nabi pun sebelumku: aku diberi kemenangan dengan rasa takut (yang mendatangi musuh) sepanjang satu bulan perjalanan, dan bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan, siapapun di antara umatku yang didatangi waktu shalat maka hendaklah dia shalat, dan telah dihalalkan untukku ghanimah (harta rampasan perang) padahal tidak dihalalkan untuk seorang Nabi pun sebelum aku, aku diberi syafa’at, dan seorang Nabi diutus khusus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Muslim dan anNasai)

6) Dari Imran bin Hushain, dia berkata:

“Kami berada dalam suatu perjalanan bersama Nabi Saw. ...kemudian beliau Saw. singgah, lalu meminta air wudhu, dan beliau Saw. pun berwudhu. Lalu dikumandangkanlah adzan untuk menyeru shalat. Beliau Saw. pun kemudian shalat mengimami orang-orang. Ketika beliau Saw. selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang lelaki yang memisahkan diri dan tidak shalat bersama orang-orang. Beliau Saw. bertanya: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat bersama orang-orang?” Dia berkata: Aku junub, padahal tidak ada air. Beliau Saw. berkata: “Engkau bisa menggunakan tanah, tanah itu cukup bagimu.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

An-Nasai dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini lebih ringkas.

Arah istidlal dari nash-nash ini sangat jelas.
Bila kita perhatikan hadits yang pertama menjelaskan bahwa Allah Swt. menurunkan ayat tayamum. Saya memastikan bahwa yang dimaksud dengan ayat tayamum tersebut adalah ayat dari surat al-Maidah, bukan surat an-Nisa.

Di antara para ahli tafsir dan ahli fiqih terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan ini. Sebagian mereka berkata bahwa ayat surat an-Nisa itulah ayat tayamum, sedangkan yang lain berkata bahwa ayat surat al-Maidah itulah ayat tayamum, sedangkan yang lain lagi mengalami kebingungan menetapkan manakah ayat tayamum di antara dua ayat ini, sehingga mereka tidak bisa memastikannya.
Pendapat yang benar telah dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa ayat tayamum itu adalah ayat surat al-Maidah, di mana setelah menyampaikan hadits Aisyah tentang tayamum dalam kitab al-Bukhari tersebut, Ibnu Hajar berkata: “Ibnul Arabi berkata, ini merupakan persoalan yang belum aku temukan jawabannya, karena kami belum mengetahui di antara dua ayat ini ayat mana yang dimaksud oleh Aisyah. Ibnu Bathal berkata ayat tayamum tersebut adalah ayat surat an-Nisa atau ayat surat al-Maidah. Al-Qurthubi berkata ayat tayamum tersebut adalah ayat surat an-Nisa, begitu pula al-Wahidi berkata ayat tayamum tersebut adalah ayat surat an-Nisa. Bagi sebagian besar mereka, perkara ini masih samar, tetapi bagi Bukhari justru nampak jelas bahwa yang dimaksud ayat tayamum -tanpa ragu lagi- adalah ayat surat al-Maidah, berdasarkan riwayat Amr bin al-Harits, di mana hal itu dijelaskannya dengan ucapan: Lalu turunlah ayat “Hai orang orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat...” (TQS. Al-Maidah: 6), hadits ini ditakhrij oleh Bukhari dalam kitab at-Tafsir.”

Saya tambahkan pernyataan Ibnu Hajar ini dengan hadits yang diriwayatkan Bukhari dari jalur Syaqiq, dia berkata:

“Aku duduk bersama Abdullah dan Abu Musa al-Asy'ariy, lalu Abu Musa berkata padanya: Seandainya salah seorang lelaki terkena junub lalu dia tidak menemukan air selama satu bulan, bukankah dia boleh bertayamum dan shalat? Bagaimana engkau menyikapi ayat dalam surat al-Maidah ini: Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), (Riwayat Bukhari dalam bab tayamum yang diberi judul “tayammum itu satu tepukan”)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa ketika sahabat menyebutkan tayamum, mereka akan menyebutkan surat al-Maidah, di mana hal ini menunjukkan bahwa ayat dari surat al-Maidah itulah, bukan surat an-Nisa, ayat tayamum, walaupun kedua nash tersebut memiliki kemiripan.

Para sahabat berijma atas pensyariatan tayamum, begitupula para ulama setelah mereka berijma, sehingga tidak ada seorangpun ulama -baik dari kalangan khalaf ataupun salaf- yang berbeda pendapat terkait hal itu.
Perbedaan pendapat terjadi dalam hal: apakah tayamum itu disyariatkan untuk menghilangkan hadats besar ataukah hadats kecil? Apakah hanya untuk menghilangkan hadats kecil saja? Mayoritas sahabat dan kaum Muslim lainnya berpendapat bahwa tayamum disyariatkan untuk shalat, tanpa perbedaan antara junub dengan selainnya, tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dan Abdullah bin Mas'ud yang tidak membolehkan tayamum bagi orang junub. Hadits ini diriwayatkan dari keduanya oleh Ibnu Abi Syaibah. Walaupun begitu, Ibnu Abi Syaibah ternyata meriwayatkan hadits dari ad-Dhahak bahwasanya dia berkata: “Abdullah menarik kembali pendapatnya tentang tayamum.” Konon dikatakan pula bahwa Umar bin Khaththab telah menarik ucapannya juga.

Bagaimanapun juga, sejumlah hadits shahih telah membolehkan tayamum bagi orang junub. Pernyataan yang membolehkannya begitu jelas, sehingga menjauhkan pengertian selainnya. Dalam hadits keenam yang shahih di atas nampak memberi pengertian tayamum untuk orang junub. Begitu pula Ammar bin Yasir telah meriwayatkan:

“Rasulullah Saw. mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku terkena junub, padahal aku tidak menemukan air. Aku kemudian berguling-guling di tanah seperti berguling-gulingnya binatang ternak. Setelah itu aku menemui Nabi Saw. dan menceritakan hal itu padanya. Beliau Saw. bersabda: “Engkau cukup meletakkan tanganmu seperti ini.” Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, lalu mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan, punggung telapak tangannya dan wajahnya.” (HR. Muslim)

Bukhari pun meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang hampir sama.

Mengenai legalitas tayamum untuk menghilangkan hadats kecil maka hal ini tidak diperselisihkan oleh seorangpun. Di sini cukup kiranya saya tunjukkan hadits pertama yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., yang menunjukkannya (menunjukkan legalitas tayamum untuk menghilangkan hadats kecil-pen.) selain ayat tayamum itu sendiri.

Tayamum itu dikhususkan hanya untuk umat ini, tidak disyariatkan untuk umat-umat sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh hadits kelima yang diriwayatkan Jabir. Pernyataan Rasulullah Saw. di bagian awal hadits:

“Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan pada seorang Nabi pun sebelumku.”

Kemudian ucapan beliau Saw.:

“Dan bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan.”

Semua ini memiliki dilalah yang jelas menunjukkan kekhususan tersebut.

Mengenai sebab turunnya ayat tayamum, yakni ayat keenam dari surat al-Maidah, adalah kisah yang dituturkan oleh Aisyah ra., dia berkata:

“Kami keluar bersama Rasulullah Saw. dalam sebagian perjalanannya, hingga ketika kami tiba di al-Baida atau di Dzatul Jaisy, terputuslah kalung milikku, lalu Rasulullah Saw. singgah bermalam untuk mencari kalung itu, dan orang-orang pun singgah bermalam bersama beliau, padahal mereka jauh dari sumber air. Setelah itu orang-orang datang menemui Abu Bakar as-Shidiq seraya berkata: Tahukah engkau, apa yang telah dilakukan Aisyah? Dia telah menyebabkan Rasulullah Saw. dan orang-orang bermalam, padahal mereka jauh dari sumber air dan tidak memiliki air. Lalu datang Abu Bakar, sementara itu Rasulullah Saw. sedang meletakkan kepalanya di atas pahaku dalam keadaan sudah tidur. Abu Bakar berkata: Engkau telah menahan Rasulullah Saw. dan orang-orang, padahal mereka jauh dari sumber air dan tidak memiliki air. Aisyah berkata: Lalu Abu Bakar mencelaku dan mengatakan sesuatu yang hendak dikatakannya. Dia memaki dan menunjuk-nunjukkan tangannya ke arahku. Tidak ada yang menghalangiku bergerak pergi kecuali tidurnya Rasulullah Saw. di atas pahaku. Rasulullah Saw. bangun ketika pagi dengan tidak memiliki air. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat tayamum, dan mereka pun bertayamum. Usaid bin Hudhair berkata: Ini tidak lain merupakan awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar. Aisyah berkata: Lalu kami mengikuti unta yang aku tunggangi sebelumnya, dan kami pun menemukan kalung itu berada di bawahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam