Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 25 September 2017

Membasuh Dua Kaki Hingga Dua Mata Kaki Dalam Wudhu: Wajib



11. Membasuh Dua Kaki Hingga Dua Mata Kaki

Ini merupakan fardhu wudhu yang kelima. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:

“(Basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Selain itu juga ada Ijma Sahabat dan hadits-hadits shahih yang jumlahnya sangat banyak yang telah kami sebutkan. Sejenak kita dalami ayat al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Firman Allah Swt.: idzaa qumtum, maksudnya adalah jika kalian hendak mendirikan shalat. Ini persis dengan firman Allah Swt.:

“Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (TQS. an-Nahl [16]: 98)

Kata idzaa qara’ta, artinya jika kalian hendak membaca al-Qur’an.

Dari ayat al-Maidah di atas, sebagian ahli tafsir memahami kewajiban berniat wudhu. Mereka mengatakan: idzaa qumtum itu pengertiannya adalah idzaa nawaitum al-qiyam (jika kalian berniat melaksanakan). Tetapi pemahaman ini lemah, di mana masalah niat sudah cukup disandarkan pada hadits Umar: innamal a'malu bin niyat (sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niat).
Ayat ini menyebutkan wa aidiyakum ilal maraafiqi (dan tanganmu sampai dengan siku) dalam bentuk jamak untuk kata al-mirfaq, dan ayat tersebut menyebutkan wa arjulakum ilal ka’bain (basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki) dalam bentuk tatsniyah (dua) untuk kata al-ka'b.
Menurut saya, sebabnya yang paling tepat adalah yang dinyatakan oleh Ibnu Athiyyah, penyusun kitab tafsir al-Muharrar al-Wajiz, saat menafsirkan ayat tersebut: “Hal ini nampak jelas dari firman Allah Swt. dalam ayat al-Maidah ketika menyebutkan kata al-aidi (tangan-tangan) “ilal mararafiqi” (hingga sampai ke siku), artinya setiap tangan memiliki satu siku. Seandainya patokan yang sama digunakan untuk kaki, niscaya akan dikatakan “ilal ku'uub” (hingga mata kaki-mata kaki). Hal ini tiada lain karena satu kaki memiliki dua mata kaki, yang secara khusus sengaja disebutkan.”
Nafi, al-Hasan al-Bashri dan al-A’masy membaca arjulakum dengan nashab, sedangkan Hamzah, Ibnu Katsir dan Abu Amr membaca arjulikum dengan jarr. Membaca kata tersebut secara nashab itu sama dengan meng'athaf-kan kata arjulakum ke kata aidiikum, ketika al-aidi diperintahkan untuk dibasuh maka begitupula dengan kaki, artinya harus dibasuh.
Penafsiran bahwa kaki itu harus dibasuh dipegang oleh mayoritas kaum Muslim, baik dahulu ataupun sekarang, juga dipegang oleh empat imam.
An-Nawawi berkata: “Pendapat orang-orang terbagi menjadi beberapa kelompok: seluruh fuqaha dari kalangan ahli fatwa yang ada di desa dan kota berpendapat wajibnya membasuh dua kaki hingga bersama dengan dua mata kaki, tidak cukup dengan usapan, basuhan tersebut juga tidak wajib disertai dengan usapan. Pendapat yang menyelesihi pendapat pertama ini tidak ada yang bisa dibuktikan validitasnya, sehingga pendapat pertama tersebut hampir dikategorikan sebagai kesepakatan (ijma).”
Ibnu Hajar berkata: “Pendapat yang menyalahi pendapat “membasuh kaki” tidak terbukti berasal dari seorang sahabatpun, kecuali konon berasal dari Ali, Ibnu Abbas dan Anas. Itupun kemudian terdengar kabar bahwa mereka meninggalkan pendapatnya.”
At-Thabari berbeda pendapatnya dalam persoalan itu. Dia menyatakan bahwa kaki itu bisa dibasuh karena berpegang pada qira’ah yang membacanya secara nashab (arjulakum), bisa juga diusap karena berpegang pada qira’ah yang membacanya secaranya jarr (arjulikum), dibaca jarr karena diathaf-kan pada kata ru'uusikum yang diperintahkan untuk diusap. Pendapat at-Thabari ini dipandang netral, tetapi kemudian diriwayatkan pendapat berbeda dari Ikrimah, as-Sya’biy, dan Qatadah.
Dari Ikrimah diriwayatkan bahwasanya dia berkata: Kaki itu tidak dibasuh, ayat al-Qur'an yang turun itu memerintahkan keduanya untuk diusap. Dari as-Sya’biy diriwayatkan bahwasanya dia berkata: Jibril menurunkan wahyu yang memerintahkan keduanya untuk diusap. Qatadah berkata: Allah Swt. mewajibkan dua usapan dan dua basuhan.
Mereka bertiga tidak berpegang pada qira'ah yang benar yang membaca arjulakum dengan nashab, mereka malah berpegang pada qira’ah shahihah lainnya yang membaca arjulikum dengan jarr, dan mereka bertiga keliru dalam persoalan ini.

Orang yang terpengaruh oleh pendapat mereka bertiga adalah Ibnu Hazm dan at-Thahawi. Keduanya berkata bahwa pada masa awal Islam, kaki itu diwajibkan untuk diusap, kemudian perintah tersebut dinasakh. Ini merupakan klaim yang tidak memiliki argumentasi.
Telah diriwayatkan bahwa Ali, Anas dan Ibnu Abbas berpendapat “harus diusap”, kemudian terbukti bahwa mereka meninggalkan pendapatnya dan beralih pada pendapat yang menyatakan “harus dibasuh,” karena itu, tidak ada seorang sahabat pun yang berpendapat harus diusap.
Untuk membantah pernyataan at-Thabari, Qatadah, Ikrimah dan as-Sya’biy, saya katakan bahwa semua hadits menunjukkan harus membasuh kaki. Tidak ada satupun hadits shahih yang dilalahnya jelas, yang menunjukkan bahwa kaum Muslim mengusap kaki-kaki mereka ketika berwudhu. Telah diketahui bahwa as-Sunnah itu menjelaskan al-Qur’an: merinci keglobalannya, membatasi kemutlakannya, mentakhsis keumumannya, dan tidak akan ada kontradiksi dengannya. Semua hadits menyebutkan membasuh kaki, sehingga harus dikatakan bahwa ayat ini juga mewajibkan membasuh kaki, karena tidak akan ada kesulitan memadukan al-Qur’an dengan as-Sunnah ketika lafadz arjulakum dibaca secara nashab, dan ini merupakan qira'ah yang shahih dan qath'i. Qira’ah dan hadits-hadits ini menunjukkan membasuh kaki, sehingga tidak ada kontradiksi di antara keduanya.

Qira’ah yang menjarr-kan (arjulikum) inilah yang membingungkan sejumlah fuqaha, sehingga qira’ah tersebut harus dipegang dengan kaidah yang sudah ditetapkan, bahwa as-Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an, karena tidak mungkin Rasulullah Saw. memberikan sebuah perintah yang berasal dari pendapatnya sendiri. Dan selama terbukti bahwa beliau Saw. memerintahkan membasuh, maka ini menjadi bukti paling kuat bahwa al-Qur'an itu memerintahkan membasuh juga, sehingga ayat al-Maidah tersebut harus ditafsirkan berdasarkan hal itu, dan qira’ah yang menjarr-kan (arjulikum) juga tidak keluar dari pemahaman ini.
Hal ini karena menjarr-kan lafadz arjulikum tidak berarti mengathaf-kannya pada kata ru’uusikum, sehingga tidak berarti harus diusap seperti kepala, jarr tersebut hanya menunjukkan mujawarah (kedekatan posisi) saja, tidak lebih dari itu, sehingga tetap diathaf-kan pada wajah dan dua tangan yang diperintahkan untuk dibasuh. Dengan demikian, ayat yang dibaca dengan dua qira’ah ini tetap menunjukkan keharusan membasuh persis dengan apa yang ditunjukkan oleh hadits-hadits, dan berdasarkan hal itu pula kontradiksi bisa dihilangkan dan syubhat bisa dinegasikan.

Adapun ketika sebagian mereka berpegang pada qira’ah yang menjarr-kan saja, seraya meninggalkan qira'ah yang menashab-kan dengan anggapan keduanya bertentangan, maka jelas sikap seperti ini tidak dibolehkan. Karena dua qira’ah ini sama-sama shahih. Masing-masing qira’ah ini merupakan al-Qur’an yang tidak boleh dibiarkan dan ditinggalkan. Selain itu, mereka juga tidak boleh beranggapan adanya kontradiksi antara al-Qur’an dengan as-Sunnah, selama as-Sunnah menyebutkan membasuh, maka semestinya mereka tidak menyatakan al-Qur’an menyalahi atau berbeda dengan Sunnah dan memerintahkan mengusap.
Bahkan ayat yang menjarr-kan itu wajib dipegang, seraya dibawa pengertiannya pada lil mujawarah (untuk kedekatan posisi) saja, sehingga tetap diathaf-kan pada anggota wudhu yang dibasuh, bukan anggota wudhu yang diusap.
Kekeliruan juga menimpa mereka yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan membasuh dan mengusap harus dilakukan bersama-sama, karena berpegang pada dhahir dua qira'ah. Kekeliruan mereka muncul karena mereka memandang satu ayat yang memerintahkan dua perkara berbeda dalam satu persoalan, seolah-olah mereka beranggapan bahwa dua qira’ah ayat ini saling bertentangan. Seandainya mereka menerapkan kaidah bahwa as-Sunnah dan al-Qur'an itu tidak saling bertentangan, dan dalam al-Qur’an itu sendiri tidak akan ada saling pertentangan, niscaya mereka akan bisa memahami dua qira’ah ayat ini dengan satu pemahaman, yakni semua itu menunjukkan kewajiban membasuh kaki, bukan mengusapnya.

Bisa jadi dikatakan bahwa mujawarah (kedekatan posisi) itu alasan yang lemah ketika di sana ada pemisah sebagaimana yang ada dalam ayat ini dengan adanya huruf wawu athaf, dan mujawarah yang umum berlaku itu adalah tanpa pemisah. Pernyataan seperti ini kami bantah bahwa al-Qur’an sungguh telah menggunakan mujawarah seperti ini sehingga harus diterima, karena kita tidak mungkin bisa mengkompromikan dua qira’ah ini, dan juga tidak mungkin bisa mengkompromikan antara keduanya dengan hadits-hadits yang ada kecuali dengan alasan mujawarah, sebagai bentuk keimanan kita bahwa al-Qur’an tidak akan saling bertentangan dan tidak akan bertentangan dengan as-Sunnah.

Ibnu Hisyam dalam kitabnya Syudzurud Dzahab berpendapat bahwa mujawarah yang disertai dengan pemisah itu merupakan sesuatu yang ganjil bagi orang Arab, karena mujawarah itu muncul tanpa pemisah. Tetapi Ibnu Hisyam tidak memastikan kaidah seperti ini keliru (mujawarah dengan disertai pemisah-pen.). Kemudian dia berkata, sesungguhnya mujawarah itu terjadi dengan adanya pemisah yang dibuang (mahdzuf) dan sekedar diasumsikan (muqaddar) adanya. Maka kami katakan bahwa ayat al-Qur’an ini menggunakan mujawarah yang disertai dengan adanya pemisah yang tidak dibuang. Sering disebutkan melalui lisan pujangga:

()

Maka kata qadiir ini seharusnya dinashab-kan, karena dia di-athaf-kan oleh huruf au (atau) pada kata shafif yang dinashabkan sebagai hal (adverb), sehingga kalimat tersebut seharusnya dibaca shafiifa syuwaa'in au qadiiran mu’ajjalan. Tetapi lafadz qadiiran tersebut dijarrkan (menjadi qadiirin-pen.) karena mujawarah (berdekatan) dengan lafadz syuwaa’in yang dijarkan.
Ini merupakan contoh bolehnya mujawarah dengan adanya pemisah yang tidak dibuang, yang dalam contoh ini adalah huruf athaf. Kami merasa cukup dengan pernyataan Sibawaih, yang notabene seorang pakar i’rab, dan begitu pula al-Ahfasy, keduanya menetapkan bolehnya mujawarah walaupun ada athaf. Dengan berpatokan pada kaidah mujawarah ini maka kita bisa mengamalkan seluruh dalil, sekaligus bisa menghilangkan syubhat yang melingkupi mereka, yang menyatakan adanya kontradiksi di antara dua qira’ah.

Perihal hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan harus mengusap, ketahuilah, bahwa hadits-hadits tersebut tidak akan sanggup bertahan ketika didiskusikan. Kesimpulan mereka yang menjadi syubhat itu didasarkan pada dalil-dalil berikut:

1. Dari Abdullah bin Amr, dia berkata:

“Nabi Saw. pernah tertinggal dari kami dalam suatu perjalanan yang kami lakukan, lalu beliau Saw. dapat menyusul kami. Sungguh kami hampir kehabisan waktu shalat ashar, sehingga kami berwudhu dan mengusap kaki kami. Maka Nabi Saw. berseru dua atau tiga kali dengan keras: “Lembah Wail Neraka diperuntukkan bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dari Abdullah bin Amr, dia berkata:

“Kami pulang bersama Rasulullah Saw. dari Makkah menuju Madinah. Ketika kami tiba di sumber air di perjalanan, orang-orang tergesa-gesa hendak shalat ashar, maka mereka berwudhu dengan tergesa-gesa. Ketika kami menghampiri mereka, ternyata tumit-tumit mereka masih kering tidak terbasuh air. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Lembah Wail Neraka diperuntukkan bagi tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu), maka sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim)

3. Dari Aus bin Abi Aus at-Tsaqafi:

“Aku melihat Rasulullah Saw. mendatangi telaga (tempat berwudhu) suatu kaum, kemudian beliau Saw. berwudhu dan mengusap dua sandal dan kedua kaki beliau Saw.” (HR. Abu Dawud)
Ini hadits dhaif.

4. Dari Abbad bin Tamim dari ayahnya, dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu, beliau mengusap kedua kakinya.” (HR. at-Thabrani)
Ini hadits dhaif.

5. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. berwudhu, lalu beliau Saw. memasukkan tangannya ke dalam wadah. Beliau Saw. beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dan berkumur-kumur sebanyak satu kali, kemudian beliau Saw. memasukkan kembali tangannya lalu membasuh wajahnya sekali, membasuh dua tangannya dua kali dan mengusap kepalanya satu kali, kemudian beliau Saw. mengambil air segenggam tangan penuh, lalu mengucurkannya ke atas dua kakinya. Beliau Saw. saat itu memakai sandal.” (HR. al-Baihaqi)

6. Selain adanya bacaan ayat wudhu yang menjarkan kata arjulikum karena diathafkan pada kata ru'uusikum.

Dengan hadits pertama, mereka mengambil kesimpulan mengusap kaki berdasarkan kalimat:

“Sehingga kami berwudhu dengan hanya mengusap kaki kami.”

Ini merupakan pengambilan kesimpulan yang rusak, karena mereka memutus ungkapan kalimat ini dari kalimat sebelumnya dan sesudahnya. Mereka membatasi perhatian hanya pada kalimat ini saja. Padahal seharusnya mereka mengkaji kalimat ini setelah menempatkannya dalam konteks yang meliputinya agar bisa dipahami dengan mudah, dan darinya didapatkan kesimpulan yang benar.
Ibnu Baththal berkata: Sepertinya para sahabat mengakhirkan shalat dari awal waktunya karena berharap Nabi Saw. bisa menyusul mereka dan shalat mengimami mereka. Ketika waktu shalat sudah sempit, mereka terburu-buru berwudhu, sehingga karena disebabkan ketergesaan saja mereka tidak menyempurnakan basuhan wudhunya. Lalu Nabi Saw. berhasil menyusul mereka dalam kondisi seperti itu, lalu mengingkari perbuatan mereka tadi.”

Inilah konteks yang melingkupi ungkapan hadits tersebut, sehingga dengan konteks seperti ini maka ungkapan hadits tadi mudah untuk dipahami. Pemahaman yang dihasilkan ternyata tidak menguntungkan mereka, dan justru bertentangan dengan pernyataan mereka. Ucapan dalam hadits tersebut:

“Lalu beliau Saw. dapat menyusul kami. Sungguh kami hampir kehabisan waktu shalat ashar.”

jelas menggambarkan bahwa mereka sangat tergesa-gesa, di mana seseorang yang tergesa-gesa itu tidak akan berwudhu dengan baik.
Ibnu Umar menggambarkan kondisi ketergesaan yang begitu jelas dalam tindakan mereka, sehingga mereka hanya mengusap kaki dan tidak membasuhnya. Dalam kondisi seperti ini tibalah Nabi Saw., lalu beliau melihat mereka seolah sedang mengusap dan beliau melihat beberapa bagian dari kaki mereka tidak terkena air. Maka Nabi Saw. berteriak marah dengan suara sangat keras dua sampai tiga kali:

“Lembah Wail Neraka diperuntukkan bagi untuk tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) maka sempurnakanlah wudhu.”

Dengan meneliti hadits ini kita bisa memahami bahwa mereka itu membasuh kaki, bukan mengusap, tetapi karena tergesa-gesa dalam membasuh, maka nampak beberapa bagian kaki tidak terbasuh air. Lalu Rasulullah Saw. mengingkari hal itu dilakukan mereka, seandainya mereka biasa mengusap dan seandainya mengusap itu boleh, tentunya Ibnu Amr tidak akan menonjolkan mengusap kaki sebagai tanda ketergesa-gesaan mereka tanpa menyebutkan perbuatan wudhu yang lain. Ucapan:

“Sehingga kami berwudhu dan mengusap kaki kami.”

(ucapan tersebut) jelas difokuskan pada mengusap kaki saja, dan mengusap itu menjadi tanda yang menunjukkan ketergesaan. Persoalan ini sangat pelik sehingga membutuhkan perenungan dan pemikiran yang dalam. Ini pertama.

Kedua, hasil usapan biasanya tidak akan menyerap pada sesuatu yang diusapnya. Dan sesuatu yang diperintahkan untuk diusap itu diberi keringanan dari sisi kesempurnaan dan keterserapan airnya, sehingga ketika diinginkan airnya merata terserap maka diperintahkan untuk dibasuh. Ini sangat jelas sekali. Seandainya yang diperintahkan itu adalah mengusap dua kaki, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan memungkiri mereka yang membiarkan air tidak merata menyerap di kaki. Ketika beliau Saw. mengingkari mereka membiarkan satu bagian dari kaki tidak terbasuh air, padahal beliau Saw. melihat mereka begitu tergesa-gesa, maka ini menunjukkan kewajiban terserapnya air, sehingga serta-merta mengandung arti kewajiban membasuhnya, bukan mengusapnya.

Ketiga, proses mengusap itu dilakukan oleh sahabat, terjadi ketika Rasulullah Saw. tidak ada bersama mereka. Saat beliau Saw. datang maka beliau Saw. mengingkari mereka dan tidak menyetujui tindakan mereka. Beliau Saw. menggunakan kalimat pengingkaran yang sangat tajam, di mana berkali-kali mengancam mereka dengan Neraka Wail, sehingga bagaimana mereka (yang berpendapat kaki itu diusap bukan dibasuh) sampai bisa mengambil kesimpulan dengan hadits ini untuk membolehkan mengusap?

Keempat, Ibnu Amr sendiri sendiri -yang meriwayatkan hadits ini- tidak berpendapat mengusap kaki, melainkan berpendapat membasuh kaki. Tidak mungkin beliau berpendapat membasuh kaki lalu meriwayatkan hadits ini dengan maksud mengusap seperti itu, melainkan maksud beliau dengan kata “mengusap” tersebut adalah basuhan ringan akibat ketergesaan, lalu beliau menggunakan kata “mengusap” ini sebagai penggantinya.
Berikut ini bantahan yang harus disampaikan terkait hadits riwayat Muslim:

“Maka mereka berwudhu dengan tergesa-gesa. Ketika kami menghampiri mereka ternyata tumit-tumit mereka masih kering tidak tersentuh air.”

Kalimat ini tidak menunjukkan mengusap, melainkan menunjukkan membasuh yang dilakukan dengan cepat dan tidak sempurna. Bukti yang memperjelas dan memperkuat kesimpulan ini adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam kitab Shahih Muslim:

“Bahwasanya Nabi Saw. melihat seorang laki-laki tidak membasuh dua tumitnya, maka beliau Saw. bersabda: “Lembah Neraka Wail diperuntukkan bagi tumit (yang tidak terbasuh air).”

Hadits ini jelas menyebutkan “membasuh.”

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Jarir bin Hazim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik:

“Seorang laki-laki datang menemui Nabi Saw. dalam keadaan sudah berwudhu, tetapi dia membiarkan satu bagian sebesar kuku (tidak terbasuh) pada kakinya. Maka Rasulullah Saw. berkata padanya: “Kembalilah dan baguskanlah wudhumu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)

Ahmad dan Muslim meriwayatkan hadits serupa dari jalur Umar bin Khaththab ra.

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bujair bin Saad, dari Khalida, dari sebagian sahabat Nabi Saw.:

“Bahwasanya Nabi Saw. melihat seorang laki-laki sedang shalat, sedangkan di punggung kakinya ada bagian sebesar dirham yang tidak terkena air. Maka Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad meriwayatkan hadits ini tanpa kata was-shalat (dan shalat).
Hadits ini telah kami sebutkan sebelumnya.

Semua hadits ini memberi pengertian bahwa air tersebut wajib terserap, dan terserap seperti itu tidak akan terjadi kecuali jika dibasuh. Sebab, mengusap itu faktanya akan melewatkan satu bagian dari yang diusap. Ketika Rasulullah Saw. dengan keras memperingatkan tindakan membiarkan satu bagian sebesar kuku atau sebesar dirham, atau membiarkan tumit tidak terbasuh, maka peringatan keras ini menunjukkan bahwa yang diperintahkannya itu adalah membasuhnya, bukan mengusapnya.

Kadangkala ada di antara mereka yang mengatakan: mengapa kita tidak mengatakan mengusap yang bisa menjadikan air itu terserap? Maka kami menjawabnya bahwa mengusap itu biasanya tidak akan menjadikan air terserap. Ketika kita ingin agar air terserap, maka yang harus kita lakukan adalah membasuh, bukan mengusap.
Mengusap yang bisa menjadikan air terserap itu pada intinya sama dengan membasuh. Ketika ada tuntutan agar airnya terserap, maka ini menunjukkan bahwa maksudnya adalah membasuh, bukan mengusap. Karena jika mengusap seperti itu diperintahkan, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan memperingatkan orang yang membiarkan satu bagian sebesar dirham atau sebesar kuku tidak terbasuh.

Adapun hadits Aus -nomor tiga- adalah hadits dhaif. Ibnu al-Qaththan menetapkan sebab kedhaifannya adalah sosok Atha yang tidak dikenal (majhul).
Di dalam sanadnya juga ada nama Husyaim dari Ya’la. Ahmad berkata: Husyaim itu tidak mendengar hadits ini dari Ya’la, terlebih lagi Husyaim itu tidak jujur alias suka menyembunyikan kecacatan. Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnu Abdil Barr.

Sedangkan hadits Abbad yang diriwayatkan ad-Daruquthni telah didhaifkan oleh Ibnu Abdil Barr. Selain itu perawi hadits ini diragukan statusnya apakah sebagai sahabat Rasulullah Saw. atau bukan.

Adapun hadits Ibnu Abbas pada poin lima:

“Kemudian beliau Saw. mengambil air segenggam penuh, lalu mengucurkannya ke atas dua kakinya. Beliau Saw. saat itu memakai sandal.”

Ini bukan dalil mengusap, justru menunjukkan basuhan walaupun ringan, karena mengusap itu bukan dengan kucuran air, melainkan dengan basah yang melekat di tangan. Mengucurkan air itu menunjukkan basuhan, bukan usapan.

Ketika terbayang di benak kita bahwa wudhu itu cukup dengan satu mud air -ukuran minimal air yang dihabiskan seorang Muslim dalam wudhunya- maka semakin memahamkan kita bahwa arti mengambil air segenggam penuh itu untuk membasuh satu atau dua kaki, bukan mengusapnya.
Selain itu, ada hadits yang jelas menyebutkan bahwa kucuran tersebut dilakukan dalam basuhan, yakni hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. tentang sifat wudhu Rasulullah saw. Di dalamnya disebutkan:

“Lalu mengambil air satu cidukan dan mengucurkannya ke atas kaki kanannya hingga membasuhnya. Kemudian mengambil air satu cidukan lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu dia berkata: Seperti inilah aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. Bukhari)

Ketika kita mengetahui bahwa hadits-hadits membasuh kaki sedemikian banyak dengan derajat paling shahih, lalu kita hadapkan dengan hadits-hadits bercacat dan dhaif ini, maka kita bisa memahami betapa lemahnya pendapat orang yang menyatakan mengusap kaki.
Ketika kita tambahkan Ijma Sahabat sebagai dalil yang mewajibkan membasuh kaki, bukan mengusap kaki, maka kita semakin yakin akan kebenaran pendapat yang kita pegang.

Dengan demikian, hadits-hadits ini tidak membantu sama sekali mereka yang mengatakan mengusap kaki. Karena itu kami melihat segelintir dari mereka menggunakan ayat al-Qur’an yang dinashabkan untuk menopang pengakuannya. Mereka mengatakan bahwa qira'ah arjulakum (yang dinashabkan) itu tiada lain karena diathafkan ke posisi bi ru'uusikum, yakni ayat ini menyebutkan wamsahuu bi ru'uusikum, kata kerja imsahuu itu membutuhkan maf’ul (obyek), maf’ulnya adalah bi ru’uusikum yang terdiri dari jar majrur. Frase yang terdiri dari jar majrur ini berada di posisi nashab (fi mahalli nashbin) karena menjadi maf’ul bih (obyek) untuk kata kerja imsahuu. Dan lafadz arjulakum diathafkan pada posisi jar majrur (mahall jar majrur) sehingga lafadz tersebut harus dinashabkan. Beberapa orang dari mereka mengatakan bahwa huruf ba dalam lafadz bi ru'uusikum itu sebagai huruf tambahan, karena asalnya adalah imsahuu ru'uusakum, lalu datanglah lafadz arjulakum yang dinashabkan sebagai athaf pada lafadz ru’uusakum.
Tidak samar lagi, mereka telah menempuh jalan yang sulit. Di dalam penjelasan bentuk-bentuk i'rab seperti ini terlalu jauh bila dibandingkan dengan i'rab mujawarah (kedekatan posisi kata). Seandainya kita ingin berada di tengah-tengah, maka kita katakan bahwa ayat ini muhtamal (mengandung beberapa kemungkinan), sehingga tidak cukup digunakan sebagai dalil untuk menetapkan salah satu dari dua pendapat ini, hingga kita harus merujuk pada hadits-hadits yang ada. Dan ternyata hadits-hadits shahih dan juga Ijma Sahabat telah menetapkan kekeliruan pendapat mereka.

Basuhan kaki itu harus dilakukan dengan sempurna. Kesempurnaan basuhan kaki tidak akan terlaksana kecuali dengan membasuh tumit, atau satu bagian dari tumit, yang persis dengan membasuh dua siku atau satu bagian dari dua siku saat membasuh dua tangan, dengan alasan kaidah:

“Perkara yang hanya dengannya suatu kewajiban bisa terlaksana, maka perkara tersebut menjadi wajib hukumnya.”

Kurang dari itu akan menyebabkan kesempurnaan basuhan tidak terlaksana. Dua tumit itu adalah tulang yang menonjol di bagian samping kaki. Berbeda dengan pendapat Muhammad bin al-Hasan yang menyatakan bahwa tumit itu berada pada kura-kura kaki (instep) ketika mengikatkan tali sepatu di kaki. Pernyataan ini keliru dan bisa menyebabkan banyak bagian dari kaki yang tidak terbasuh. Telah diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir bahwasanya dia berkata:

“Maka aku melihat seorang laki-laki menempelkan tumitnya dengan tumit temannya, kemudian lututnya dengan lutut temannya, dan juga pundaknya dengan pundak temannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Bukhari menyebutkan hadits ini secara mu'allaq, yakni tanpa sanad.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat yang kami pegang dan kekeliruan pendapat yang dilontarkan Muhammad bin al-Hasan. Hal ini karena menempelkan tumit tidak bisa dilakukan kecuali jika tumit merupakan tulang menonjol di samping kaki, bukan yang berada di telapak kaki.

Disunahkan untuk menyempurnakan basuhan kaki dan melewati dua mata kaki hingga bagian bawah betis, dengan bersandarkan hadits menyempurnakan basuhan, yang di dalamnya disebutkan:

“Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga sampai betis, lalu mencuci kaki kirinya hingga sampai betis... Rasulullah Saw. bersabda: “Pada Hari Kiamat kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka siapakah di antara kalian yang bisa maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini secara lengkap telah kami sebutkan dalam pembahasan keutamaan wudhu.

Begitu pula disunahkan untuk menyela-nyela jari, lebih utama lagi ketika dilakukan dengan kelingking tangan kiri. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika engkau berwudhu, maka sela-selalah jari-jemari kedua tanganmu dan kedua kakimu.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Bukhari menghasankan hadits ini.

Juga berdasarkan hadits al-Mustaurid bin Syaddad, dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. ketika berwudhu. Beliau Saw. menggosok jari-jemari kedua kakinya dengan jari kelingkingnya.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)

Hadits ini dihasankan oleh Ibnu al-Qaththan.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam