Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 25 September 2017

Minimal Satu Kali Membasuh Dalam Wudhu



12. Membasuh Anggota Wudhu -Selain Kepala Dan Dua Telinga- Sebanyak Tiga Kali

(kepala dan dua telinga diusap, bukan dibasuh)

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Saw., bahwasanya beliau Saw. suatu saat melakukan basuhan dalam wudhu sekali-sekali. Dalam kesempatan lain dua kali-dua kali, ada yang tiga kali-tiga kali, dan bahkan dalam kesempatan lain lagi beliau membedakan jumlah basuhan di antara anggota wudhu. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:

“Nabi Saw. berwudhu satu kali-satu kali.” (HR Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan at-Tirmidzi)

Dan dari Abdullah bin Zaid:

“Bahwasanya Nabi Saw. berwudhu dua kali-dua kali.” (HR, Bukhari dan Ahmad)

Dan dari Utsman ra., dia berkata:

“Maukah kalian aku tunjukkan cara berwudhu Rasulullah Saw.? Kemudian Utsman berwudhu tiga kali-tiga kali.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sebelumnya telah kami cantumkan hadits yang diriwayatkan Muslim dan Bukhari dari Abdullah bin Zaid, di dalamnya disebutkan:

“Abdullah lalu meminta satu wadah berisi air. Dia lalu menuangkan air ke atas kedua tapak tangan dan membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan ke dalam wadah untuk menciduk air (dengan tangannya) dan berkumur-kumur serta memasukkan air ke dalam hidung dengan air yang sama dari satu telapak tangan. Kemudian dia menciduk air sekali lagi, lalu membasuh muka sebanyak tiga kali. Selepas itu, dia menciduk lagi dengan tangannya, lalu membasuh tangan hingga ke siku dua kali-dua kali. Kemudian dia menciduk lagi, lalu mengusap kepala dengan cara menyapukan tangannya dari arah depan kepala ke arah belakang, kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. Selepas itu dia berkata: Beginilah cara Rasulullah Saw. berwudhu.”

Hadits yang pertama menjadi dalil basuhan satu kali-satu kali, hadits yang kedua dua kali-dua kali, dan hadits yang ketiga tiga kali-tiga kali, sedangkan hadits keempat berbeda jumlah basuhan di antara anggota-anggota wudhu, di mana membasuh dua telapak tangan, berkumur-kumur, beristinsyaq dan membasuh wajah itu tiga kali-tiga kali, membasuh dua tangan hingga siku dua kali-dua kali, dan membasuh dua kaki tanpa menyebutkan bilangan basuhan. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa semua bilangan basuhan ini hukumnya boleh, semua ini sesuai dengan sunah.

Tetapi bilangan basuhan yang wajib itu satu kali, dan maksimal bilangan basuhan yang sunah itu tiga kali. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Amr bin Syulaib dari ayahnya dari kakeknya:

“Salah seorang Arab Badwi datang menemui Nabi Saw. untuk bertanya kepada beliau Saw. tentang wudhu, maka Nabi Saw. memperlihatkannya tiga kali-tiga kali. Beliau Saw. bersabda: “Inilah wudhu, barangsiapa yang menambahinya lebih dari ini maka dia telah berbuat buruk, melewati batas dan dzalim.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dan menshahihkannya.

Ibnu Hajar berkata: hadits ini diriwayatkan dari jalur yang shahih.

Bilangan lebih dari tiga basuhan merupakan keburukan, tindakan melewati batas dan dzalim. Gabungan tiga lafadz ini memberi pengertian keharaman karena melewati batas itu haram, kedzaliman itu haram, dan berbuat buruk itu sama saja. Barangsiapa yang berwudhu empat kali atau lebih, maka dia berdosa, melewati batas, dzalim dan dipandang berbuat buruk.
An-Nawawi berkata: Kaum Muslim bersepakat bahwa bilangan yang wajib dalam membasuh anggota wudhu itu hanya satu kali, dan basuhan tiga kali itu sunah.
Abdullah bin al-Mubarak berkata: Tidak aman dari dosa jika menambah jumlah basuhan dalam wudhu lebih dari tiga kali.
Ahmad dan Ishaq berkata: Tidak akan membasuh lebih dari tiga kecuali orang “sakit.”
Tetapi Abu Dawud meriwayatkan hadits terakhir dengan lafadz:

“Maka barangsiapa yang melebihinya atau menguranginya, maka dia telah berbuat buruk dan dzalim.”
Hadits ini menyalahi hadits-hadits shahih.

Kalimat seperti ini telah membingungkan para ulama, karena tidak ada seorangpun dari mereka yang menentang bahwa basuhan satu kali-satu kali, basuhan dua kali-dua kali. Itu boleh dan cukup. Tetapi ketika hadits ini menyebutkan: atau mengurangi, yakni kurang dari tiga, maka dia telah berbuat buruk dan dzalim, maka kalimat seperti ini tidak dikatakan oleh ahli fiqih seorangpun. Karena itu, mereka berpegang pada dan berlebih-lebihan di dalamnya. Disebutkan dalam kitab Nail al-Authar: “Tambahan lafadz “atau kurang” yang ada dalam riwayat Abu Dawud cukup membingungkan sejumlah fuqaha. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab at-Talkhish [perhatian] keburukan dan kedzaliman yang disebutkan itu diperuntukkan semuanya bagi orang yang mengurangi atau menambahi, dan boleh juga dibagi-bagi, yakni keburukan itu untuk orang yang mengurangi, sedangkan kedzaliman itu untuk orang yang menambahi, dan ini paling mirip dengan kaidah yang digunakan. Yang pertama serupa dengan dzahir konteksnya, wallahu a'lam, dan bisa juga mengarahkan kedzaliman untuk tindakan mengurangi karena dia mendzalimi dirinya ketika melepaskan pahala yang bisa diperoleh dengan cara melakukan tiga kali basuhan. Begitu pula dengan berbuat keburukan, karena orang yang meninggalkan sunah itu dipandang melakukan keburukan. Sedangkan tindakan melewati batas dalam mengurangi jumlah basuhan itu agak sulit dipahami. Tindakan melewati batas ini harus diarahkan pada tambahan jumlah basuhan (lebih dari tiga). Berdasarkan hal ini maka tindakan melewati batas (al-i'tida) tidak disebutkan bersamaan dengan mengurangi (an-nuqshan) dalam satu riwayat hadits pun.”

Sebenarnya, penakwilan yang terlalu jauh seperti ini tidak perlu. Seharusnya kita menolak tambahan ganjil yang ada dalam hadits Abu Dawud ini, karena menyalahi hadits-hadits shahih yang membolehkan bilangan basuhan satu kali dan dua kali. Hadits Abu Dawud ini harus ditolak karena menyalahi hadits-hadits shahih.
Selain itu, hadits Abu Dawud ini tidak termasuk hadits shahih, bahkan tidak termasuk hadits hasan. Hadits ini merupakan salah satu hadits yang didiamkan oleh Abu Dawud, di mana dia tidak menshahihkan dan menghasankannya.
Hadits yang didiamkan seperti ini bisa saja digunakan sebagai hujjah, kecuali jika bertentangan dengan hadits shahih atau hadits hasan maka harus ditolak. Sikap inilah yang kami ambil terhadap hadits Abu Dawud.
Saya telah membaca satu pendapat yang dinisbatkan pada Abu Bakar bin al-Arabiy yang berbeda dengan yang biasa dipegang oleh mayoritas fuqaha. Oleh karena itu akan saya nukil dan saya diskusikan berikut ini: “Abu Bakar bin al-Arabiy berkata: Sebagian orang menyangka, bahkan bisa jadi seluruhnya, bahwa basuhan yang pertama itu fardhu, yang kedua adalah keutamaan, ketiga keutamaan, sedangkan keempat sama dengan tindakan melewati batas. Padahal tidak seperti yang mereka sangkakan, walaupun mereka jumlahnya banyak. Sebenarnya sang perawi melihat Nabi Saw. menciduk satu kali untuk setiap anggota wudhu, maka si perawi berkata bahwa beliau Saw. berwudhu satu kali, ini adalah benar secara tersurat atau tersirat. Kita pasti mengetahui bahwa seandainya satu anggota wudhu belum basah benar oleh satu kali basuhan, niscaya beliau Saw. akan mengulangi basuhan. Adapun tambahan basuhan lebih dari satu atau dua kali basuhan untuk satu anggota wudhu, maka kita tidak bisa memastikan bahwa beliau Saw. memiliki pemahaman bahwa yang fardhu itu ada dalam cidukan pertama. Lalu beliau Saw. melakukan cidukan berikutnya sebagai keutamaan, atau bahkan beliau Saw. tidak memiliki pemahaman bahwa yang fardhu itu ada pada basuhan yang basuhan pertama dan basuhan kedua, hingga bisa jadi beliau Saw. menambah basuhan lebih dari itu, tergantung pada air dan kondisi bersih tidaknya anggota wudhu. Dan muncullah kelonggaran dalam menggunakan air yang sedikit, dan banyak dalam melakukan basuhan. Nampaknya Nabi Saw. ingin memberikan kelonggaran kepada umatnya dalam mengulang basuhan, karena sebagian besar mereka tidak bisa membasahi anggota tubuhnya secara merata dengan satu kali basuhan. Berdasarkan hal inilah Malik tidak menentukan jumlah basuhan dalam wudhu itu satu kali, dua kali, atau tiga kali, melainkan sesempurna mungkin.” Semoga Allah Swt. mengampuninya.

Dengan penakwilan yang sangat jauh seperti ini dia ingin memenangkan madzhab yang diikutinya, yakni Maliki. Perubahan bilangan basuhan dalam wudhu menjadi beberapa kali cidukan sesuai dengan kondisi air dan anggota yang dibasuh merupakan perubahan yang tidak benar. Hal ini karena basuhan yang pertama, jika tidak cukup membasuh anggota wudhu seluruhnya, tidak bisa dikatakan bahwa dia telah berwudhu satu kali atau membasuh satu kali, karena dalam kondisi kurangnya air untuk membasuh anggota wudhu seluruhnya itu tidak bisa dikatakan sebagai wudhu atau basuhan, sehingga tidak bisa dikatakan satu kali wudhu atau satu kali basuhan.
Ketika hadits-hadits itu menyebutkan wudhu satu kali, dua kali dan tiga kali, maka darinya dipahami bahwa wudhu itu sempurna dilaksanakan satu kali, dua kali dan tiga kali. Seandainya kita berasumsi bahwa beliau Saw. menciduk air untuk wajahnya satu kali lalu tidak cukup, kemudian beliau Saw. berusaha membasahinya lagi lebih merata dengan cidukan kedua, maka tidak bisa dikatakan bahwa beliau berwudhu dua kali, melainkan hanya dikatakan berwudhu satu kali dengan dua kali cidukan. Perbedaannya sangat jelas.
Hadits-hadits ini tidak menyebutkan cidukan, kemudian mengkaitkannya dengan bilangan basuhan. Hadits-hadits tersebut menyebutkan bilangan basuhan, kemudian mengkaitkannya dengan basuhan wudhu. Perbedaannya sangat jelas.
Ketika hadits tersebut menyebutkan beliau Saw. berwudhu dua kali, maka maksudnya adalah membasuh wajahnya dua kali misalnya, bukan membasuh wajahnya satu kali dengan dua kali cidukan. Ini saja sudah cukup untuk menggugurkan pendapat Abu Bakar bin al-Arabiy ini. Kita tidak perlu bantahan lebih dari itu, karena persoalannya sangat terang dan jelas.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam