Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 20 September 2017

Dalil Wajib Membasuh Wajah Dalam Wudhu



7. Membasuh Wajah

Ini merupakan fardhu wudhu yang kedua setelah niat. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:

“Maka basuhlah mukamu.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)

Wajah yang wajib dibasuh adalah sesuatu yang melandai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga bagian bawah dagu (secara vertikal), dan sesuatu yang ada di antara dua telinga (secara horizontal), yang nampak dan tidak tersembunyi dari pandangan mata.
Definisi ini mengeliminasi kulit yang tertutupi bulu jenggot dan kumis yang tebal, juga mengeliminasi bagian dalam mulut dan hidung, tanpa melihat lagi apakah orang tersebut ashla', aqra’ ataukah afra’.
Ashla’ artinya orang yang bagian depan kepalanya berambut jarang (botak), aqra’ adalah orang yang rontok rambutnya karena penyakit, dan afra’, adalah orang yang bulu rambutnya tumbuh lebat hingga ke dahinya. Semuanya harus membasuh wajah seperti orang-orang pada umumnya.
Orang ashla' dan aqra’ membasuh mulai dari tempat tumbuh rambut kepala yang ada sebelum mengalami kerontokan atau penjarangan, sedangkan orang afra’ harus membasuh rambut yang tumbuh di dahinya. Ini dilihat dari sisi wajib dan sahnya basuhan, walaupun disunahkan membasuh bulu rambut yang melewati dahi menurut dilalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tadi, di dalamnya disebutkan:

“Pada Hari Kiamat kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka siapakah di antara kalian yang bisa, maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya itu.” (HR. Muslim)

Telah diketahui bahwa al-ghurrah itu adalah rambut kepala yang berdekatan dengan dahi, dan memanjangkan ghurrah dalam wudhu itu adalah dengan membasuh mulai bagian depan kepala atau sesuatu yang melewati (melebihi) wajah sebagai tambahan atas bagian yang wajib dibasuh. Sehingga membasuh sesuatu yang lebih dari bagian atas wajah menjadi penambah pajangnya ghurrah.
Ini termasuk sesuatu yang dituntut oleh Rasulullah Saw.: “maka hendaklah dia memperpanjang ghurrah-nya.” Karena tuntutan tersebut ditujukan pada anggota wudhu yang tidak fardhu, maka ini menunjukkan bahwa tambahan basuhan dan memperpanjang ghurrah itu sunah saja hukumnya.

Menyeka dua sudut mata merupakan bagian dari sunah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah ketika dia menceritakan cara wudhu Rasulullah Saw., di mana dalam hadits tersebut diceritakan:

“Dan beliau Saw. suka mengusap dua sudut matanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan hadits ini dan tidak menyatakan adanya kelemahan atau cacat apapun. At-Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam al-Mu'jam al-Kabir, dan al-Haitsami menyatakan: sanadnya hasan.

Al-Ma’qani (bentuk tatsniyah dari mu'qu al-aini) adalah tempat mengalirnya air mata, baik bagian depan ataupun bagian belakang. Ini dinyatakan oleh penyusun kitab al-Qamus, dan bentuk pluralnya adalah aamaaq.
Al-Azhari berkata: Para ahli bahasa bersepakat bahwa al-mu'qu ataupun al-ma’qu adalah ujung mata yang bersambung dengan hidung.
Seorang Muslim disunahkan untuk membersihkan ujung matanya ketika berwudhu.

Tidak diwajibkan bahkan tidak disunahkan mengusap atau membasuh kedua telinga berbarengan dengan membasuh wajah. Ini berbeda dengan orang yang mewajibkan atau mensunahkannya, di mana argumentasi mereka adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Ali ra. berkata:

“Wahai Ibnu Abbas, maukah engkau jika aku tunjukkan cara berwudhu Rasulullah Saw.? Aku berkata: Ya, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Dia berkata: Dia pun meletakkan wadah berisi air untuknya, lalu Ali membasuh kedua tangannya, kemudian berkumur-kumur, menghirup air dengan hidung, mengeluarkannya kembali, lalu menciduk air dengan dua tangannya kemudian dia membasuh wajahnya, dia memasukkan dua jempolnya ke bagian depan dua telinganya. Dia berkata: Kemudian Ali kembali melakukan seperti itu tiga kali, dia menciduk air dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke atas ubun-ubunnya, lalu dia membiarkan air tersebut mengalir ke atas wajahnya, kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku tiga kali, lalu tangan kirinya seperti itu. Kemudian dia mengusap kepalanya dan bagian belakang dua telinganya, lalu dia menciduk air dengan dua telapak tangannya, mengucurkannya ke atas dua kakinya yang bersandal, kemudian dia membalikkan sandalnya itu. Lalu dia membasuh dua kakinya seperti itu. Dia berkata: Aku bertanya: Di dalam sandal? Dia berkata: Ya, di dalam sandal. Aku bertanya: Di dalam dua sandal? Dia berkata: Ya, di dalam dua sandal. Aku bertanya: Di dalam dua sandal? Dia berkata: Ya, di dalam dua sandal.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud meriwayatkan hadits yang pengertiannya senada. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits serupa secara lebih ringkas.

Hadits ini dikomentari oleh al-Mundziri: hadits ini diperselisihkan. Tirmidzi berkata: Aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail, yakni al-Bukhari, tentang hadits ini, dia mendhaifkannya dan berkata: Aku tidak tahu apa ini. Dengan demikian hadits ini dhaif, tidak layak untuk digunakan sebagai hujjah.
Kemudian matan hadits ini pun menyalahi matan hadits-hadits shahih, di mana hadits ini menyebutkan bahwa Ali membasuh wajahnya tiga kali, kemudian ada tambahan di mana Ali menciduk air dengan tangan kanannya lalu mengucurkannya ke atas rambut yang ada di dahinya dan membiarkannya mengalir melalui wajahnya -dan ini merupakan basuhan yang keempat-, sehingga ini jelas menyalahi isi hadits-hadits shahih yang tidak menyebutkan adanya tambahan seperti itu setelah basuhan yang ketiga, juga menyalahi hadits yang diriwayatkan Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata:

“Seorang Arab dusun datang kepada Nabi Saw., bertanya kepada beliau tentang cara berwudhu. Lalu Nabi Saw. memperlihatkan cara berwudhu tiga kali-tiga kali, kemudian beliau Saw. bersabda: “Beginilah cara berwudhu, sehingga barangsiapa yang menambahinya maka dia telah berbuat buruk, melewati batas dan dzalim.” (HR. an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini pula, beliau dan Ibnu Hajar menshahihkannya.

Apa yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas tentang mengusap sandal, ini merupakan sesuatu yang ganjil. Ibnu Hajar berkata: “Hadits yang menceritakan mengusap sandal itu syadz (ganjil), karena riwayat seperti itu berasal dari jalur Hisyam bin Saad, dan hadits yang diriwayatkan dari jalur Hisyam bin Saad secara menyendiri itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Abu Dawud tidak meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Hisyam bin Saad ini, tetapi beliau meriwayatkannya dari jalur Muhammad bin Ishaq secara mu'an'an (berbunyi: “dari Fulan, dari Fulan”), dan hadits yang diriwayatkan darinya secara mu'an'an (dari seseorang, dari seseorang) itu dikritik dengan tajam.”
Dengan demikian hadits di atas tidak layak dijadikan sebagai hujjah sama sekali. Karena itu pendapat membasuh kedua telinga bersama wajah itu tidak benar adanya.

Disunahkan mengusap atau membasuh kedua telinga -bagian luar maupun dalamnya- satu kali setelah mengusap kepala satu kali, bukan bersama dengan membasuh wajah.

Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwasanya dia melihat Rasulullah Saw. berwudhu, lalu dia menuturkan haditsnya semuanya tiga kali-tiga kali, dan beliau mengusap kepalanya dan dua telinganya satu kali.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Al-Hasan bin al-Qaththan berkata: hadits ini bisa shahih dan bisa pula hasan statusnya.

Dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, disebutkan:

“Pada Hari Kiamat kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka siapakah di antara kalian yang bisa, maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya itu.” (HR. Muslim)

Tinggallah kini persoalan janggut dan hukumnya dalam wudhu. Janggut itu ada yang tebal menutupi kulit, ada pula yang tipis sehingga menampakkan kulit, ada yang panjang melewati dagu, ada pula yang pendek yang tetap berada dalam batasan wajah. Untuk beberapa kondisi ini terdapat beberapa hukum berikut:

1. Jika janggut itu tebal sampai menutupi kulit, maka janggut tersebut harus dibasuh dan kulit yang ada dibaliknya tidak perlu dibasuh, karena bulu jenggot yang tebal bisa menggantikan bagian wajah yang tertutup olehnya. Jadi, bagian tersebut dihukumi telah dibasuhi dengan dibasuhnya janggut. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dalam hadits yang ditakhrij oleh Bukhari -hadits tersebut telah kami sebutkan dalam bahasan berkumur-kumur- di dalamnya disebutkan:

“Lalu dia kembali mengambil air satu cidukan tangan dan menjadikannya seperti ini -dia menuangkan pada tangannya yang lain- lalu dengan kedua tangannya ia membasuh wajahnya.”

Dilalah hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. [yang memiliki janggut tebal seperti dituturkan al-Qadhi lyadh: Hal ini diceritakan dalam hadits-hadits sejumlah sahabat dengan sanad yang shahih. Hadits Jabir bin Samurrah yang menceritakan ciri fisik Rasulullah Saw.:

“Beliau Saw. orang yang bulu janggutnya banyak (tebal).” (HR. Muslim)

Dan hadits Ali ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. itu tidak tinggi dan tidak pendek, rambut dan janggutnya lebat.” (HR. Ahmad)

Dan banyak lagi hadits lainnya]

(Dilalah hadits ini menunjukkan bahwa) Rasulullah Saw. membasuh wajahnya dan kemudian janggutnya yang lebat tebal itu dengan satu cidukan saja, yang menyebabkan kita sulit membayangkan dengan satu cidukan air itu beliau Saw. bisa meratakan air membasuh wajah, bagian luar janggutnya dan dalam janggutnya (kulit yang ada dibalik janggutnya), sehingga tentunya satu cidukan itu hanya bisa membasuh wajah dan bagian luar janggut saja.
Di antara fuqaha yang berpendapat seperti itu adalah Abu Hanifah, Malik, as-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’iy, at-Tsauri dan al-Laits.
Sedangkan fuqaha yang berpendapat berbeda dengan mereka adalah Atha, Said bin Jubair, Abu Tsaur, Ishaq dan ahlud dzahir (penganut Madzhab Dzahiriyah). Hujjah mereka adalah perintah menyela-nyela janggut yang ada dalam beberapa hadits, misalnya: dari Utsman ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. suka menyelaanyela janggutnya.” (HR. at-Tirmidzi)

Dia berkata: hadits ini hasan shahih. Hadits ini juga dihasankan oleh Bukhari.

Contoh lainnya:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. ketika berwudhu, beliau Saw. mengambil segenggam air, lalu dimasukkan ke bagian bawah rahangnya, kemudian beliau Saw. menyela-nyela janggutnya, seraya bersabda: “Seperti inilah aku diperintah oleh Tuhanku azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud)

Menurut mereka kedua hadits ini menunjukkan wajibnya menyela-nyela janggut. Sayangnya pendapat ini tidak benar. Hal ini karena ketika Allah Swt. memerintahkan beberapa perkara fardhu wudhu, Dia Swt. tidak memerintahkan menyela-nyela janggut.
Selain itu, hadits-hadits yang menceritakan wudhu Rasulullah Saw. pun tidak menyebutkannya. Seandainya menyela-nyela janggut itu wajib hukumnya, niscaya akan banyak disebutkan di sana sini. Paling-paling dua hadits ini menunjukkan anjuran menyela-nyela janggut saja.

As-Syaukani berkata: “Sejujurnya, hadits-hadits menyela-nyela janggut -jika diasumsikan bisa diterima sebagai hujjah dan layak digunakan sebagai dalil- tidak menunjukkan wajibnya perkara tersebut, karena hadits-hadits tersebut menuturkan af'al (perbuatan Rasulullah saw). Dan ucapan Rasulullah Saw. yang disebutkan pada sebagian riwayat “seperti inilah aku diperintahkan Tuhanku” itu tidak menunjukkan menyela-nyela janggut itu diwajibkan kepada umat, karena perkara tersebut nampak jelas menjadi kekhususan beliau Saw. Inilah jalan keluar perselisihan yang populer di dalam ushul. Apakah sesuatu yang nampak sebagai kekhususan beliau Saw. berlaku umum untuk umat ini ataukah tidak? Padahal kefardhuan itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan sesuatu (dilalah) yang meyakinkan. Memfardhukan sesuatu yang tidak difardhukan Allah Swt. tidak ragu lagi sama dengan menetapkan ketidakfardhuan atas sesuatu yang difardhukan-Nya. Keduanya termasuk kebohongan kepada Allah Swt. dengan menyatakan sesuatu yang tidak dinyatakan-Nya. Tidak ragu lagi satu cidukan itu tidak cukup bagi orang yang berjenggot tebal untuk membasuh wajah sekaligus menyela-nyela janggutnya, dan hal seperti itu dipertahankan sebagaimana dinyatakan oleh sebagian mereka dengan penuh emosi dan tidak masuk akal. Betul, kehati-hatian dan berpegang pada sesuatu yang lebih tsiqah itu harus diutamakan, tetapi seharusnya tanpa disertai sikap lancang dengan mewajibkannya.”

Perhatikanlah ungkapan as-Syaukani: “Kefardhuan itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan.” Sesuatu yang meyakinkan tersebut maksudnya bukanlah sumbernya, melainkan dilalahnya, artinya dilalah nashnya harus meyakinkan.
Di antara mereka yang diriwayatkan tidak menyela-nyela janggut adalah Ibrahim an-Nakha’iy, al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin al-Hanafiyah, Abul Aliyah, as-Sya’biy, al-Qasim dan Ibnu Abi Laila.
Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas, Ali, Said bin Jubair, Abu Qulabah, ad-Dhahhak, dan Ibnu Sirin suka menyela-nyela janggut itu harus dipahami sebagai melakukan perkara sunah. Dan perkara ini populer bagi mereka dan orang-orang semisal mereka, terlebih lagi ketika perbuatan mereka itu tidak bisa menjadi dalil.

2. Jika tipis janggutnya, di mana kulit di balik janggut itu masih tampak, maka dalam kondisi seperti ini janggut dan kulit yang di balik janggut tersebut mesti dibasuh, karena janggut seperti itu tidak menggantikan posisi kulit ketika bertatap muka.

3. Ketika janggutnya panjang melebihi dagu, maka yang wajib dibasuh itu adalah bagian yang bersejajaran dengan wajah saja, sehingga bagian yang melebihi dan melampaui wajah tidak wajib dibasuh. Inilah pendapat Abu Hanifah, as-Syafi’i dan Ahmad, dan inilah pendapat yang shahih.
Sebab, bulu janggut yang melebihi atau melampaui wajah itu sudah berada di luar wajah. Ketika janggut itu dibasuh karena menggantikan bagian wajah yang tertutupi olehnya, dan ketika janggut yang melampaui wajah itu tidak menutupi bagian manapun dari wajah, maka membasuh bagian janggut yang melebihi wajah itu tidak wajib dan tidak diperintahkan, karena di dalam nash-nash tidak disebutkan membasuh janggut itu sendiri.

4. Tidak ada perbedaan pendapat terkait kewajiban membasuh janggut ketika janggut itu tipis dan tidak melampaui wajah.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam