Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 19 September 2017

Dalil Sunah Berkumur-Kumur Dalam Wudhu



4. Berkumur-kumur

Al-Madhmadhah (berkumur-kumur) menurut bahasa adalah menggerak-gerakkan air di dalam mulut. Pengertian ini dikatakan oleh penyusun kitab al-Qamus. Ini pula yang menjadi pengertian syar’inya. Menggerakkan yang disebutkan dalam pengertian bahasa itu menjadi syarat berkumur-kumur, karena itu jelaslah kekeliruan pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan menggerakkan air di dalam mulut. Dalil berkumur-kumur dalam wudhu itu adalah hadits Humran:

“Kemudian berkumur-kumur”

Dan hadits Abdullah bin Zaid al-Anshari:

“Lalu dia berkumur-kumur”

Kedua hadits ini secara lengkap sudah kami sebutkan di atas.

[Humran pelayan Utsman mengabarkan:

“Bahwasanya Utsman bin Affan ra. meminta air wudhu, lalu dia berwudhu. Beliau membasuh dua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristintsar (memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkannya kembali), kemudian membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali, kemudian membasuh tangan kirinya seperti itu pula, kemudian menyapu kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali, kemudian membasuh kaki kirinya seperti itu. Setelah itu beliau berkata: Aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu yang aku lakukan ini, kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia berdiri dan shalat dua rakaat, di mana dia tidak berbicara dalam melakukan keduanya, niscaya dosa yang telah dilakukannya diampuni.” Ibnu Syihab berkata: Ulama kami menyatakan wudhu seperti ini adalah wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat. (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Anshari (seorang sahabat), dia berkata:

“Dia pernah ditanya: Tunjukkan kepada kami cara Rasulullah Saw. berwudhu. Abdullah lalu meminta satu wadah berisi air. Dia lalu menuangkan air ke atas kedua tapak tangan dan membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan ke dalam wadah untuk menciduk air (dengan tangannya) dan berkumur-kumur serta memasukkan air ke dalam hidung dengan air yang sama dari satu telapak tangan. Kemudian dia menciduk air sekali lagi, lalu membasuh muka sebanyak tiga kali. Selepas itu, dia menciduk lagi dengan tangannya dan membasuh tangan hingga ke siku dua kali-dua kali. Kemudian dia menciduk lagi lalu mengusap kepala dengan cara menyapukan tangannya dari arah depan kepala ke arah belakang, kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. Selepas itu dia berkata: Beginilah cara Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. Muslim, Bukhari, Malik dan Ahmad)]

Para imam dan fuqaha berbeda pendapat tentang hukum berkumur-kumur dalam wudhu. Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, Mujahir, Abu Tsur, Ibnul Mundzir, dan as-Syaukani berpendapat bahwa berkumur-kumur itu wajib hukumnya. Mereka mengatakan bahwa berkumur-kumur itu termasuk kesempurnaan membasuh wajah. Perintah membasuh wajah berarti perintah untuk berkumur-kumur. Mereka menyatakan bahwa dalam hadits Laqith bin Shabarah yang diriwayatkan Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan sanad yang dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan an-Nawawi disebutkan kalimat:

“Jika engkau berwudhu maka berkumurlah.”

Kalimat seperti ini merupakan perintah untuk berkumur, dan perintah itu (menurut mereka) memberi pengertian wajib.
Malik, as-Syafi’i, al-Auza’iy, al-Laits, al-Hasan, az-Zuhri, dan Atha berpendapat bahwa berkumur dalam wudhu itu sunah. Mereka mengambil kesimpulan seperti itu dilandaskan pada dalil-dalil berikut:

1. Hadits sepuluh perkara yang termasuk fitrah, di dalamnya disebutkan:

“Mungkin (yang terakhir itu) adalah berkumur-kumur.”

Hadits ini secara lengkap telah kami sebutkan dalam pasal Sunanul Fithrah.

2. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) itu adalah sunah.” (HR. ad-Daruquthni)
Hadits ini dhaif.

3. Berkumur-kumur itu tidak disebutkan dalam ayat al-Qur’an, seandainya hukumnya wajib niscaya disebutkan di sana.

Pendapat yang paling tepat menurut saya adalah berkumur-kumur itu sunah hukumnya, bukan wajib. Hadits yang digunakan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan berkumur itu diarahkan pada pengertian sunah, karena hal itu menjadi perintah bukan dalam perkara wudhu yang cukup (mujzi). Dan kami juga tidak sependapat bila dikatakan bahwa perintah itu memberi pengertian wajib. Sebenarnya perintah itu hanya memberi pengertian tuntutan (thalab), dan qarinah-lah yang menentukan maksud dari tuntutan tersebut. Dalam persoalan ini qarinah yang ada mengarahkan tuntutan tersebut pada pengertian sunah.

Mengenai pernyataan yang mereka lontarkan: Berkumur-kumur itu termasuk keutuhan membasuh wajah, sehingga perintah untuk membasuh wajah sama dengan perintah untuk berkumur-kumur. Kami tidak sependapat dengan pernyataan ini, karena istilah wajah itu digunakan untuk menyebut sesuatu yang tampak, bukan untuk sesuatu yang tidak tampak. Wajah sesuatu itu adalah bagian yang tampak dari depan, sehingga dari kata itu lahirlah istilah muwajahah (saling bertatap muka) dan wajihah (bagian depan). Dengan demikian, bagian dalam mulut tidak bisa dikatakan sebagai wajah.
Tahukah Anda, seandainya muncul luka di bagian dalam mulut, apakah dibenarkan secara bahasa untuk dikatakan bahwa ini adalah luka di wajah? Benarkah menurut bahasa untuk dikatakan bahwa gigi itu tumbuh di wajah? Sesungguhnya perintah untuk membasuh wajah dipahami sebagai perintah untuk membasuh dua pipi, dua bibir, dua alis mata, dahi, dagu, bagian luar hidung, dan sesuatu yang nampak saja, tidak ditarik sebagai perintah untuk membasuh gigi, lidah dan bagian dalam hidung.
Seandainya berkumur-kumur itu menjadi bagian dari membasuh wajah, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan memerintahkan berkumur beberapa kali dalam hadits-haditsnya, niscaya beliau Saw. cukup memerintahkan membasuh wajah saja.
Misalnya, tidak diriwayatkan beliau Saw. memerintahkan membasuh dua bibir atau membasuh dua alis, sehingga semua ini menunjukkan bahwa bagian dalam mulut itu memiliki hukum tersendiri, dan ini merupakan persoalan yang berbeda.

Selain itu, hadits yang ada menunjukkan bahwa bagian dalam mulut dan bagian dalam hidung itu bukan bagian dari wajah. Dari Amr bin ‘Abasah, dia berkata:

“Wahai Nabiyullah, terangkanlah perkara wudhu kepadaku. Beliau Saw. bersabda: “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, lalu ia berkumur-kumur, beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) lalu beristintsar (mengeluarkannya kembali) melainkan dosa-dosa dari wajahnya, bibirnya dan hidungnya akan berguguran, kemudian tidaklah dia membasuh wajahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah melainkan dosa-dosa dari wajahnya akan berguguran bersama air yang menetes dari ujung-ujung jenggotnya.” (HR. Ahmad)

Hadits ini membedakan antara berkumur-kumur dan beristinsyaq dengan membasuh wajah. Dilalah hadits ini sangat jelas. Begitu pula hadits Abdullah as-Shunabihiy yang ditakhrij oleh an-Nasai, Ahmad, Malik dan Ibnu Majah, di mana hadits ini telah kami sebutkan selengkapnya dalam pembahasan keutamaan wudhu. Di dalam hadits tersebut dituturkan:

“Ketika seorang hamba yang beriman berwudhu, lalu dia berkumur-kumur, maka keluarlah (gugurlah) dosa-dosa dari mulutnya, ketika dia beristintsar (menghirup air dengan hidung dan mengeluarkannya) maka keluarlah dosa-dosa dari hidungnya, ketika dia membasuh wajahnya maka keluarlah dosa-dosa dari wajahnya.”

Dilalah hadits ini pun sangat jelas. Dengan demikian, nyatalah kini kekeliruan pendapat bahwa perintah membasuh wajah itu sama dengan perintah untuk berkumur-kumur.
Selain itu dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang menyatakan berkumur-kumur itu sunah juga tidak tepat, walaupun pendapat mereka benar adanya. Hadits sepuluh perkara yang termasuk fithrah yang di dalamnya menyebut berkumur-kumur, adalah hadits yang tidak layak digunakan sebagai dalil dalam persoalan ini. Karena hadits tersebut tidak sedang membahas persoalan wudhu, sehingga segala sesuatu yang disebutkan di dalam hadits tersebut harus dipisahkan dari pembahasan wudhu.
Berkumur-kumur yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah bagian dari fithrah, yang sama dengan mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan. Berkumur- kumur dalam hadits tersebut hanyalah salah satu cara membersihkan diri. Berkumur itu menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh para Rasul dan orang-orang di masa dahulu dan sekarang, karena memang termasuk tabiat manusia (jibillat al-basyar). Berkumur-kumur yang disinggung hadits tersebut bukanlah berkumur-kumur dalam wudhu dan bukan pula berkumur-kumur yang dirangkai dalam suatu ibadah.
Adapun hadits Ibnu Abbas: “berkumur-kumur dan beristinsyaq itu sunah,” maka di dalamnya ada nama Ismail bin Muslim yang dikatakan oleh ad-Daruquthni sebagai perawi yang dhaif. Ibnu Hajar pun mendhaifkannya.
Karena itu, mereka tidak memiliki dalil lagi selain ayat al-Qur’an yang layak digunakan sebagai hujjah. Dilalahnya jelas, bahwa berkumur-kumur itu sunah, dan wudhu yang dilakukan tanpa berkumur-kumur dipandang sebagai wudhu yang cukup (mujzi), sehingga orang yang tidak berkumur-kumur tidak harus mengulang wudhunya.

At-Thabari menyatakan: “Wajah yang diperintahkan Allah Swt. untuk dibasuh oleh orang yang hendak mendirikan shalat adalah sesuatu yang melandai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga ujung dagu (secara vertikal), dan bagian yang ada di antara dua telinga (secara horizontal), yang nampak pada pandangan orang yang melihatnya selain bagian yang tersembunyi dari mulut, hidung dan mata, dan selain yang tertutupi bulu jenggot, bulu yang tumbuh di pelipis, dan kumis sehingga tersembunyi dari pandangan orang yang melihatnya dan juga selain dua telinga.”
Menurut kami, pengertian inilah yang paling tepat, walaupun kulit yang ada di balik jenggot dan kumis itu tetap sebagai wajah yang tetap harus dibasuh sebelum tumbuhnya bulu yang bisa menutupi pandangan mereka yang melihat orang yang hendak melakukan shalat tersebut.

Mengenai masalah mengambil air untuk berkumur-kumur, maka seorang Muslim berhak memilih apakah berkumur tiga kali yang berasal dari satu cidukan, atau berkumur tiga kali yang berasal dari tiga kali cidukan. Abdullah bin Zaid menyebutkan bahwa Nabi Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq dari satu telapak tangan, beliau Saw. melakukannya tiga kali. Dalam lafadz hadits yang ditakhrij oleh Bukhari Muslim disebutkan:

“Kemudian dia memasukkan tangannya dalam bejana kecil, lalu dia berkumur-kumur, beristinsyaq, beristintsar, dengan tiga kali cidukan.”

Dan disunahkan terlebih dahulu berkumur-kumur, baru kemudian beristinsyaq sebelum membasuh wajah. Karena seluruh hadits shahih menuturkan hal seperti itu.
Adapun hadits-hadits yang menyalahinya seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata:

“Rasulullah Saw. disodori air wudhu, lalu beliau Saw. berwudhu. Beliau Saw. membasuh dua telapak tangannya tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh dua lengannya tiga kali, kemudian beliau Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq tiga kali, dan beliau Saw. mengusap kepalanya dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, dan beliau Saw. membasuh dua kakinya tiga kali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Thahawi)

Dan hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari ar-Rubayyi' binti Mu’awwidz bin Afra, dia berkata:

“Aku mendatangi wanita itu, kemudian dia mengeluarkan wadah berisi air seraya berkata: Dalam wadah inilah aku menyodorkan air wudhu untuk Rasulullah Saw. Beliau Saw. memulai dengan membasuh dua telapak tangannya tiga kali sebelum dimasukkan (ke dalam wadah), kemudian beliau Saw. berwudhu dan membasuh wajahnya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristinsyaq tiga kali, kemudian beliau Saw. membasuh dua tangannya, kemudian mengusap kepalanya dari depan dan dari belakang, kemudian beliau Saw. membasuh dua kakinya.” (HR. ad-Daruquthni)

Dua hadits ini menyalahi seluruh hadits shahih yang menceritakan wudhu Rasulullah Saw., karena itu, dua hadits ini ditinggalkan dan hadits-hadits shahihlah yang diamalkan. Terlebih lagi ketika hadits ad-Daruquthni yang juga diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan seluruh jalur periwayatannya bertumpu pada Abdullah bin Muhammad bin Aqil, seorang perawi yang didhaifkan, sehingga hadits ini tidak layak digunakan sebagai dalil. Hadits-hadits yang shahih telah menyebutkan:

1. Dari Utsman bin Affan ra.:

“Bahwasanya dia meminta air wudhu, lalu dia berwudhu dan membasuh dua telapak tangannya tiga kali, kemudian dia berkumur-kumur dan beristintsar, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian dia membasuh tangan kanannya… kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhuku ini.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

2. Dari Abdullah al-Anshari, dia berkata:

“Dia pernah ditanya: Tunjukkan kepada kami cara Rasulullah Saw. berwudhu. Abdullah lalu meminta satu wadah berisi air. Dia lalu menuangkan air ke atas kedua tapak tangan dan membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan ke dalam wadah untuk menciduk air (dengan tangannya) dan berkumur-kumur serta memasukkan air ke dalam hidung dengan air yang sama dari satu telapak tangan. Kemudian dia menciduk air sekali lagi, lalu membasuh muka sebanyak tiga kali... Selepas itu dia berkata: Beginilah cara Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. Muslim)

Hadits ini telah kami sebutkan sebelumnya.

3. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwasanya dia berwudhu, dia mencuci wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan tangan dan menggunakannya untuk berkumur dan beristinsyaq. Lalu dia kembali mengambil air satu cidukan tangan dan menjadikannya seperti ini -dia menuangkan pada tangannya yang lain- lalu dengan kedua tangannya dia membasuh wajahnya, kemudian mengambil air satu cidukan dan membasuh tangan kanannya, lalu kembali mengambil air satu cidukan dan membasuh tangannya yang sebelah kiri, lalu dia mengusap kepala, kemudian mengambil air satu cidukan dan mengucurkannya ke atas kaki kanannya hingga membasuhnya, lalu mengambil air satu cidukan lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu ia berkata: Seperti inilah aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu. (HR. Bukhari)

Di dalam hadits ini ada paradoks, karena hadits ini dua kali menyebutkan membasuh wajah. Seandainya dia tidak mengulang wajah untuk kedua kali dengan cidukan air yang terpisah, niscaya akan dikatakan bahwa berkumur-kumur dan beristinsyaq itu termasuk bagian dari membasuh wajah, dan mungkin akan menjadi penyokong pendapat yang menyatakan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq. Tetapi ketika membasuh wajah ini disebutkan kembali maka kemungkinan tersebut terbantahkan. Bagaimanapun juga, besar kemungkinan jika dalam meriwayatkan hadits tersebut lafadz wajahnya diganti dengan lafadz kedua telapak tangannya dalam basuhan yang pertama, niscaya ambiguitas hadits tersebut bisa dihilangkan, dan hadits ini kemudian akan selaras dengan hadits-hadits lainnya. Di dalam hadits ini disebutkan bahwa Ibnu Abbas ra. melihat Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu yang dilakukannya.

4. Dari Abu Hayyah, dia berkata:

“Aku melihat Ali berwudhu, dia membasuh kedua telapak tangannya hingga bersih, lalu berkumur-kumur tiga kali dan beristinsyaq (membersihkan hidung), membasuh wajah tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga kali, mengusap kepalanya satu kali, kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. Setelah itu dia berdiri seraya mengambil sisa air wudhu tersebut dan meminumnya, sedangkan dia masih dalam keadaan berdiri. Kemudian dia berkata: Aku senang bisa memperlihatkan kepada kalian bagaimana cara Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. at-Tirmidzi)

Dia berkata: hadits ini hasan shahih.

Di dalam hadits yang pertama ada kesaksian Utsman, di dalam hadits kedua ada kesaksian Abdullah al-Anshari, di dalam hadits ketiga ada kesaksian Ibnu Abbas, di dalam hadits keempat mengandung kesaksian Ali. Mereka itu adalah para sahabat senior, mereka melihat dan menyaksikan bahwa dalam wudhu di mana Rasulullah Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq itu dilakukan sebelum membasuh wajah, maka mengapa kita membiarkan hadits-hadits yang demikian shahih dan mengandung kesaksian empat sahabat senior hanya demi hadits Ahmad di atas dan hadits ad-Daruquthni yang dhaif?

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam