Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 21 September 2017

Dalil Wajib Membasuh Dua Tangan Hingga Dua Siku Dalam Wudhu



8. Membasuh Dua Tangan Hingga Dua Siku

Inilah fardhu wudhu yang ketiga. Dalilnya sangat banyak, sebanyak hadits-hadits yang menceritakan sifat wudhu. Sejumlah hadits telah kami sebutkan. Selain itu ada ayat wudhu yang juga menyebutkannya:

“Dan (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Al-Mirfaq (siku) itu bisa dibaca dengan dua cara: bisa dengan mengkasrahkan mim-nya dan memfathahkan huruf fa-nya (al-mirfaq); bisa juga dengan memfathahkan mim-nya dan mengkasrahkan fa-nya (al-marfiq).
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membasuh dua siku. Zufar, Ibnu Jarir at-Thabari dan Dawud berpendapat membasuh dua siku itu tidak wajib ketika kita membasuh dua tangan.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat membasuh dua siku itu wajib hukumnya. Zufar berkata: Yang diwajibkan Allah Swt. dengan firman-Nya:

“Dan (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Adalah membasuh dua tangan sampai dua siku. Dua siku itu menjadi ghayah (batas maksimal) dari bagian akhir tangan yang wajib dibasuh. Ghayah itu tidak termasuk ke dalam batasan, sebagaimana malam tidak termasuk ke dalam puasa yang diwajibkan Allah Swt. kepada hamba-Nya:

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 187)

Karena malam itu menjadi ghayah (batas maksimal) puasa seseorang yang berpuasa, sehingga ketika dia sampai pada waktu malam maka dia telah menunaikan kewajibannya. Maka begitu pula dengan dua siku yang ada dalam firman-Nya:

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)

Siku itu menjadi ghayah dari tangan yang wajib dibasuh.

At-Thabari menyatakan: Membasuh dua siku dan sesuatu yang ada di baliknya itu dihukumi sebagai sunah, yang dianjurkan Nabi Saw. kepada umatnya dengan ucapannya:

“Umatku akan bercahaya disebabkan bekas wudhunya, maka siapakah di antara kalian yang bisa memperpanjang ghurrahnya (cahayanya) maka lakukanlah.”

Sehingga shalat orang yang tidak membasuh dua sikunya itu tidak dipandang rusak berdasarkan penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya, bahwa setiap ghayah (tujuan) yang dibatasi dengan lafadz “ilaa” itu menurut ungkapan bahasa arab mengandung kemungkinan memasukkan ghayah ke dalam batasan, juga kemungkinan mengeluarkannya dari batasan.
Ketika suatu ungkapan atau kalimat bersifat muhtamal, maka siapapun tidak boleh menetapkan ghayah tersebut masuk ke dalamnya (siku itu masuk dalam tangan yang wajib dibasuh-pen.) kecuali as-Syari’ (Allah Swt.) sebagai pihak yang tidak boleh ditentang penjelasan dan penetapannya.
Menurut kami, ketetapan dua siku itu termasuk pada perkara yang wajib dibasuh adalah bukan berasal dari pihak yang wajib diterima ketetapan hukumnya (bukan berasal dari as-Syari’).
Dengan demikian, Zufar dan at-Thabari menyatakan tidak wajibnya membasuh dua siku, dan Dawud sependapat dengan keduanya.
Alasan yang dilontarkan Zufar berbeda dengan yang dilontarkan at-Thabari.
Zufar menetapkan bahwa sesuatu yang ada setelah huruf ilaa itu tidak masuk ke dalam sesuatu yang ada sebelumnya, dalam arti, ghayah tidak termasuk perkara yang dituntut. Artinya, ayat al-Qur'an yang menyebutkan:

“Dan (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Telah mengeluarkan (mengeliminasi) dua siku dari tuntutan, karena dua siku itu ghayah yang berada di luar tuntutan. Jadi, pengertian ayat ini menurut Zutar adalah basuhlah tangan kalian hingga sampai bagian awal siku, di mana dia menyerupakan hal itu dengan ayat:

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 187)

Di mana al-lail (malam) menjadi ghayah, sehingga berada di luar tuntutan puasa.

At-Thabari telah menjadikan huruf ilaa memiliki dua makna, pertama berarti ma'a (bersama dengan), seperti ayat:

“Dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.” (TQS. An-Nisa [4]: 2)

Yakni ma'a amwaalikum (bersama hartamu), dan seperti ayat:

“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku bersama Allah?” (TQS. as-Shaff [61]: 14)

Yakni ma'a Allah (bersama Allah); dan kedua, huruf ilaa itu mengeluarkan sesuatu yang ada setelahnya (setelah ilaa) dari sesuatu yang ada sebelumnya. Makna kedua inilah yang menjadi pendapat Zufar di atas. Setelah at-Thabari menyebutkan bahwa huruf ilaa itu secara bahasa menunjukkan dua makna, dia berkata kalimat tersebut menjadi muhtamal (memiliki beberapa kemungkinan). Ketika suatu lafadz bersifat muhtamal, maka tidak ada seorangpun yang berhak menetapkan salah satu maknanya kecuali syara’ itu sendiri, padahal tidak ada nash syara yang menentukannya, sehingga menurutnya, gugurlah pendapat yang mewajibkan membasuh dua siku. Jadi, hukumnya tetap sunah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits al-ghurr al-muhajjalun di atas.

Sedangkan ashhabur ra'yi yang lain mengambil kesimpulan wajibnya membasuh dua siku berdasarkan hadits Nuaim bin Abdillah yang telah kami sebutkan. Di dalam hadits tersebut disebutkan:

“Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga mengenai lengan bagian atas, kemudian tangan kirinya hingga mengenai lengan bagian atas.”

Al-Isyra' (basuhan sampai) dua lengan itu tentu mengandung pengertian dibasuhnya dua siku. Bagi mereka, hadits ini merupakan penjelasan dari Rasulullah Saw. untuk menentukan salah satu pengertian bahasa dari huruf ilaa (sampai), yakni ilaa itu berarti ma’a (beserta). Mereka berargumentasi juga dengan hadits Utsman ra.:

“Kemarilah kalian, aku akan tunjukkan kepada kalian cara wudhu Rasulullah Saw. kemudian dia membasuh wajahnya dan dua tangannya sampai kedua sikunya, hingga dia menyentuh pangkal lengan atasnya, lalu dia mengusap kepalanya, mengusapkan dua tangannya pada dua telinga dan jenggotnya, kemudian dia membasuh dua kakinya.” (HR. ad-Daruquthni) (Ini hadits dhaif)

Mereka juga berargumentasi dengan hadtis Jabir ra., dia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. ketika berwudhu, beliau Saw. mengguyurkan air pada dua sikunya.” (HR. ad-Daruquthuni) (Ini hadits dhaif)

Ishaq bin Rahuwaih berkata: huruf ilaa dalam ayat tersebut bisa berarti ghayah (sampai), bisa juga mengandung arti ma’a (bersama dengan), dan Sunnah sudah menjelaskan bahwa arti ilaa dalam ayat tersebut adalah ma’a (bersama dengan).

Untuk membantah mereka yang melontarkan dua pendapat ini, saya katakan sebagai berikut: huruf ilaa bisa berarti intihaul ghayah (batas maksimal yang dituju), bisa pula berarti ma’a (bersama dengan). Tindakan Zufar menentukan salah satu dari dua makna tersebut dengan argumentasi ayat puasa tadi, itu bisa dibantah dengan ayat:

“Dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.” (TQS. An-Nisa [4]: 2)

Dan dengan ayat:

“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” (TQS. as-Shaff [61]: 14)

At-Thabari telah membantah tindakan Zufar menentukan salah satu makna dengan cara seperti itu, walaupun at-Thabari sendiri akhirnya memiliki kesimpulan yang sama dengan pendapat Zufar. Dia menjelaskan bahwa huruf ilaa dalam ayat:

“Dan (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Itu mengandung dua makna. Dengan demikian gugurlah istidlal yang dilakukan oleh Zufar.

Istidlal at-Thabari tidak ragu lagi merupakan istidlal (pengambilan kesimpulan) yang lebih netral dan lebih fair dibandingkan dengan istidlal pendahulunya. Istidlal at-Thabari tersebut dibantah dengan cara membuktikan bahwa huruf ilaa dalam ayat tersebut mengandung salah satu dari dua makna, jika tidak, maka istidlal at-Thabari bisa dipandang benar. Saya menetapkan untuk menangguhkan bantahan terhadap istidlal at-Thabari ini, karena terlebih dahulu saya akan membantah mereka yang melontarkan pendapat berbeda.

Perihal pernyataan yang dilontarkan as-Syafi’i bahwa dia tidak mengetahui ada perbedaan, maka saya sudah menyebutkan tiga nama imam besar yang berbeda pendapatnya dengan pendapat ini. Mengenai pernyataan Ishaq bin Rahuwaih bahwa Sunnah sudah menjelaskan bahwa ilaa itu artinya adalah ma'a (bersama dengan), maka pengakuan tersebut membutuhkan dalil yang membuktikannya. Pengakuan tersebut dilontarkan dengan argumentasi hadits Nuaim bin Abdillah yang ditakhrij oleh Muslim:

“Hingga mengenai lengan bagian atas.”

Sebenarnya hadits ini tidak bisa dijadikan sandaran oleh mereka untuk membuktikan kebenaran pengakuannya tersebut. Karena ghayah yang disebutkan dalam hadits tersebut hukumnya sunah bukan wajib, hadits tersebut menyatakan:

“Dan dia membaguskan wudhunya, kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga mengenai lengan bagian atas, lalu tangan kirinya hingga mengenai lengan bagian atas, kemudian dia mengusap kepalanya, membasuh kaki kanannya hingga mengenai betis, lalu mencuci kaki kirinya hingga mengenai betis, ...dan dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Pada Hari Kiamat kelak kalian akan bercahaya disebabkan wudhu kalian yang sempurna, maka siapakah di antara kalian yang bisa maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya itu.” (HR. Muslim)

Hadits ini telah diawali dengan kalimat:

“Maka dia membaguskan wudhunya.”

Lalu setelah itu hadits tersebut mulai menyebutkan tata cara membaguskan wudhu, sehingga menyebutkan: hingga mengenai lengan atas ketika membasuh dua tangan, dan hingga mengenai betis ketika membasuh dua kaki, sebagai indikasi bahwa basuhan yang mengenai lengan dan betis tersebut merupakan bentuk atau cara membaguskan wudhu. Setelah itu Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa perbuatan membaguskan dan menyempurnakan wudhu seperti ini akan menambah terangnya cahaya mereka. Kemudian beliau Saw. menggabungkan hal itu dengan sabdanya:

“Maka siapakah di antara kalian yang bisa maka hendaklah dia memperpanjang cahaya dan sinarnya itu.”

Ucapan Rasulullah Saw. ini menunjukkan memperpanjang cahaya dan sinar (yang disebabkan oleh basuhan) itu hukumnya dianjurkan (sunah), karena beliau Saw. tidak memerintahkannya secara tegas.
Dengan demikian, basuhan yang sampai mengenai lengan atas dan betis itu dihukumi sunah saja, bukan wajib. Ketika hadits tersebut berbicara tentang menyempurnakan basuhan dalam perkara sunah, maka perbuatan yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika membasuh lengan dan siku itu semata-mata karena berpegang pada hukum sunah saja. Dengan demikian, hadits ini tidak layak dijadikan sebagai dalil dan sandaran yang menopang pendapat mereka yang mewajibkan membasuh dua siku.

Hadits Utsman ra. yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni tidak layak digunakan sebagai hujjah, karena perawinya adalah Muhammad bin Ishaq, dan dia meriwayatkan hadits tersebut secara 'an'anah (berbunyi: dari si fulan, dari si fulan/ dari seseorang, dari seseorang). Ketika Ibnu Ishaq meriwayatkan hadits secara 'an'anah maka haditsnya itu didhaifkan, sehingga sanad hadits ini dhaif statusnya.
Selain itu, matan hadits ini dipandang ganjil dan berbeda dengan hadits-hadits shahih. Hadits ini menyebutkan membasuh janggut setelah mengusap kepala dan mengusap dua telinga, padahal hadits-hadits shahih menyebutkan membasuh janggut itu setelah membasuh wajah. Jadi, hadits ini dhaif dari sisi sanad, dan syadz (ganjil) dari sisi matannya, sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Hadits Jabir yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni juga dipandang sebagai hadits dhaif, karena bertumpu pada al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah. Abu Hatim berkata: Dia seorang perawi yang dituduh berdusta. Abu Zur’ah berkata: Hadits-haditsnya dikategorikan munkar. Ahmad berkata: Tidak berarti sama sekali. Al-Qasim ini didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, al-Mundziri, Ibnu al-Jauzi, Ibnu as-Shalah dan an-Nawawi. Tidak ada seorangpun yang menganggapnya tsiqah, kecuali Ibnu Hibban. Keputusan Ibnu Hibban mentsiqahkannya tidak banyak berarti ketika para imam mendhaifkannya dengan predikat sangat dhaif, di mana mereka menyebutnya sebagai perawi yang dituduh berdusta dan seorang perawi hadits munkar.
Dengan demikian gugurlah pernyataan Ishaq bin Rahuwaih: as-sunah telah menjelaskan bahwa ilaa tersebut bermakna ma'a (beserta dengan).
Az-Zamakhsari berkata dengan tepat: “Huruf ilaa itu secara mutlak mengandung arti al-ghaayah (sesuatu yang dituju). Adapun masuk atau tidaknya ghayah (perkara yang dituju) tersebut ke dalam hukum, maka harus disandarkan pada dalil…” hingga ia menyatakan: “dan firman Allah Swt. “ilal marafiqi” itu tidak ada dalil yang menentukan masuk atau tidaknya perkara tersebut. Para ulama berpegang pada kehati-hatian, sedangkan Zufar berpegang pada dilalah yang meyakinkan.”
Ringkasnya adalah, pendapat jumhur yang menyatakan bahwa membasuh siku seluruhnya itu wajib sebenarnya disandarkan pada hadits-hadits yang tidak shahih.

Mengenai pernyataan yang dilontarkan at-Thabari bahwa membasuh dua siku itu tidak wajib hukumnya, merupakan pernyataan yang tidak cermat. Inilah penjelasannya: pendapat yang benar dan paling tepat menurut saya adalah bahwa membasuh satu bagian dari siku itu wajib untuk mengamalkan kaidah syara:

“Perkara yang hanya dengannya suatu kewajiban bisa terlaksana, maka perkara tersebut menjadi wajib hukumnya.”

Alasan untuk menolak klaim at-Thabari itu adalah bahwasanya tangan itu bersambung sepenuhnya dengan siku, dan bisa dilihat oleh pandangan mata tidak adanya batas pemisah apapun di antara keduanya. Dan ketika diwajibkan membasuh seluruh tangan tanpa satu bagian pun yang dikecualikan, maka membasuh seluruh tangan itu tidak mungkin terlaksana tanpa membasuh satu bagian dari siku, di mana dengan membasuh satu bagian dari siku bisa diyakinkan terlaksananya kewajiban tersebut.
Sehingga membasuh satu bagian dari siku itu wajib hukumnya, sedangkan membasuh selebihnya dipandang sebagai sunah seperti perbuatan lainnya yang ditambahkan pada wudhu yang cukup (mujzi) sebagaimana telah kami sebutkan berkali-kali.
Pendapat dan kaidah ini adalah dua hal yang saya tangguhkan penyebutannya ketika mendiskusikan istidlal (pengambilan kesimpulan) yang dilakukan at-Thabari.
Dengan demikian, membasuh satu bagian dari siku mengandung arti memastikan membasuh seluruh tangan yang hukumnya wajib dalam wudhu. Dan membasuh seluruh tangan itu tidak akan terlaksana sama sekali kecuali dengan membasuh satu bagian dari siku, sehingga membasuh bagian tersebut menjadi wajib karenanya.

Taqiyudin an-Nabhani rahimahullah menyatakan sebagai berikut dalam kitab ushul-nya: [Firman Allah Swt.:

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

Dan firman Allah Swt.:

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 187)

Huruf ilaa dalam kalimat ilal maraafiqi dan dalam kalimat ilal lail, ini mengandung pengertian ketika satu bagian dari siku tidak dibasuh maka membasuh dua tangan hingga siku itu tidak terlaksana, sehingga yang diharuskan itu adalah terealisirnya ghayah, bukan memasukkan ghayah ke dalam tuntutan. Ketika satu bagian dari malam itu belum dimasuki -walau hanya sedetik- maka puasa tersebut dipandang tidak terlaksana, sehingga membasuh satu bagian dari siku -walaupun sedikit- dan berpuasa pada satu bagian dari malam -walaupun sedetik- menjadi wajib hukumnya. Berdasarkan dilalah dua ayat tadi, karena perkara yang diwajibkan -yakni membasuh dua tangan dan berpuasa siang hari- itu tidak akan terlaksana, kecuali dengannya].

Pemaparan seperti itu saya lakukan semata-mata diselaraskan dengan kajian yuristik (al-bahts al-fiqhiy) saja. Jika tidak, maka seorang Muslim itu pada prinsipnya harus membasuh setiap siku dan satu bagian dari lengan atas dalam rangka memanjangkan cahayanya kelak pada Hari Kiamat. Perkara tersebut dipandang sunah dan termasuk tindakan menyempurnakan wudhu. Aspek praktisnya adalah seorang Muslim membasuh dua siku, baik dia mengatakan wajib atau sunah, atau apa saja istilahnya menurut Anda.

Disunahkan pula untuk menyela-nyela jari-jemari tangan untuk lebih memungkinkan sampainya air kepadanya, dan lebih baik lagi ketika jari-jemari itu disela-sela menggunakan jari kelingking tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika engkau berwudhu, maka hendaknya engkau menyela-nyela jari-jemari kedua tanganmu dan kedua kakimu.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Hadits ini dihasankan oleh Bukhari.

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan al-Mustawrid bin Syaddad, dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. ketika berwudhu, beliau menggosok (menyela-nyela) jari-jemari kedua kakinya dengan kelingking tangannya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu al-Qaththan.

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Laqith bin Shabrah, dia berkata:

“Maka aku berkata: Wahai Rasulullah, beritahuIah aku cara berwudhu. Rasulullah menjawab: “Sempurnakanlah wudhu, hendaknya engkau menyela-nyela jari-jemari, dan sempurnakanlah istinsyaq (hiruplah air sedalam mungkin) kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi, juga dishahihkan oleh al-Baghawi dan Ibnu al-Qaththan.

Ketika seorang lelaki atau wanita memakai cincin, maka dia harus menggeserkan cincin tersebut, agar air bisa membasahi kulit yang ada di bawahnya. Benda yang serupa dengan cincin adalah gelang yang dipakai di pergelangan tangan dan kaki. Kecuali jika air bisa membasahinya tanpa perlu menggeserkan benda-benda tersebut, maka saat itu menjadi tidak wajib. Yang menjadi ‘illatnya adalah sampainya air ke seluruh bagian anggota wudhu, sehingga sesuatu yang bisa merealisasikan hal itu (sampainya air ke seluruh bagian anggota wudhu-pen.) wajib hukumnya, sedangkan yang menghalanginya menjadi dosa, dan wudhunya dipandang tidak jadi.
Mengenai perbuatan yang populer dilakukan kaum wanita zaman sekarang, yakni memakai cat pewarna ke atas kuku jari-jemari tangan dan kaki, maka hal itu sama saja dengan mencegah sampainya air ke kuku, baik ketika berwudhu ataupun ketika mandi, dan ini jelas tidak boleh. Wudhu seorang wanita yang memakai cat kuku seperti ini adalah tidak sah, dan wudhu wanita yang memakai cat kuku tersebut batil, sehingga shalatnya pun menjadi batil. Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Khalid bin Ma’dan, dari sebagian sahabat Nabi Saw.:

“Bahwasanya Nabi Saw. melihat seorang lakielaki sedang shalat, sedangkan di punggung kakinya ada satu bagian sebesar dirham yang tidak terkena air, maka Nabi Saw. memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad meriwayatkan hadits ini tanpa lafadz: “dan shalatnya.”

Al-Atsram berkata: Aku bertanya kepada Ahmad: Apakah sanad hadits ini bagus? Ahmad berkata: Bagus.

Membiarkan satu bagian sebesar dirham pada kaki tidak tersentuh air, itu telah membatalkan wudhu, maka apatah lagi jika lebih dari itu, yakni membiarkan sepuluh kuku atau dua puluh kuku tidak tersentuh air, tidak ragu lagi batallah wudhunya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam