Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 01 Agustus 2017

Dalil Jika Imam Shalat Duduk Maka Makmum Duduk



Imam Melaksanakan Shalat Dalam Keadaan Duduk

Jika imam sedang sakit, boleh baginya shalat mengimami orang-orang dalam keadaan duduk. Dalam kondisi ini, maka para makmum harus berposisi duduk pula mengikuti keadaan imam mereka. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya. Jika dia bertakbir maka kalian bertakbirlah, dan jika dia ruku' maka ruku'lah, dan jika dia mengucapkan: sami'allahu liman hamidah (semoga Allah mendengar (pujian) orang yang memuji-Nya) maka katakanlah: rabbana lakal hamdu (ya Allah Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala puji), dan jika dia bersujud maka kalian bersujudlah, dan jika shalat dengan duduk maka sholatlah kalian semua dengan duduk pula.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Topik ini telah dibahas dalam “makmum harus mengikuti imam” pada bab “shalat berjamaah.” Dan dari Aisyah Ummul Mukminin ra., bahwa ia berkata:

“Rasulullah Saw. shalat di rumahnya, padahal beliau dalam keadaan sakit, sehingga beliau Saw. shalat dalam keadaan duduk, sedangkan orang-orang melakukan shalat di belakangnya secara berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk. Usai dari shalatnya, beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika dia ruku' maka ruku'lah, dan jika dia bangkit (dari ruku') maka bangkitlah, dan jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dari Jabir ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. menderita sakit, kami shalat di belakangnya sedangkan beliau Saw. (shalat) dengan duduk. Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau Saw. kepada orang-orang, lalu beliau Saw. menoleh kepada kami dan melihat kami dalam posisi berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada kami, dan kami pun kemudian shalat dengan duduk. Usai bersalam, beliau Saw. berkata: “Hampir saja kalian melakukan satu hal serupa dengan yang dilakukan oleh orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk, maka janganlah kalian melakukan hal itu. Ikutilah imam-imam kalian, jika dia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Dari Abdullah bin Umar ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. berada bersama beberapa orang sahabatnya, lalu beliau Saw. bertanya: (Tidakkah kalian tahu bahwa aku adalah utusan Allah yang diutus kepada kalian semua?” Mereka menjawab: “Ya, kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.” Beliau bertanya: “Tidakkah kalian tahu bahwa barangsiapa yang mentaatiku maka sungguh dia telah mentaati Allah, dan ketaatan kepadaku menjadi bagian dari ketaatan kepada Allah?” Mereka menjawab: “Ya, kami bersaksi bahwa siapa saja yang taat kepadamu maka sungguh dia telah taat kepada Allah, dan ketaatan kepadamu menjadi bagian dari ketaatan kepada Allah.” Beliau Saw. berkata: “Maka termasuk taat kepada Allah jika kalian taat kepadaku, dan adalah termasuk taat kepadaku jika kalian taat kepada para pemimpin kalian. Dan jika mereka shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk.” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani, Ahmad, dan at-Thahawi)

Nash hadits ini memiliki dilalah yang paling jelas, yaitu wajib bagi para makmum untuk shalat dengan duduk jika imam mereka shalat dengan duduk.

Mengenai riwayat bahwa Abu Hanifah dan para sahabatnya, Syafi'i dan para sahabatnya, Malik dan para sahabatnya, yang berpendapat bahwa para makmum harus shalat dengan berdiri di belakang imam yang shalat dengan duduk, maka ini merupakan pendapat yang kurang kuat dan lemah.

Abu Hanifah dan Malik, mereka berdua telah berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni, Baihaqi, Abdur Razaq, dari jalur Jabir al-Ju'fiy dari as-Sya’bi, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah seseorang setelahku mengimami (shalat) dengan duduk.”

Maka perlu kami nyatakan bahwa hadits ini telah dikomentari oleh Daruquthni setelah dia meriwayatkannya: “tidak diriwayatkan oleh seorangpun selain Jabir al-Ju'fiy dari as-Sya'bi, dan dia seorang perawi yang dituduh berdusta (matruk), karenanya hadits ini mursal yang tidak layak dijadikan sebagai hujjah.”

Baihaqi telah menukil pernyataan ini dalam kitabnya, ketika meriwayatkan hadits yang sama.
Dan Syafi'i telah berkata tentang Jabir: “sesungguhnya dia seorang yang sangat dha'if.”
Abu Hanifah telah berkata tentang Jabir: “sesungguhnya dia seorang pendusta.”
Ibnu Hibban telah menyebutkan dari Abu Yahya al-Hamani, ia berkata: “aku mendengar Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat orang yang paling utama yang kutemui melebihi Atha, dan aku tidak pernah bertemu orang yang paling pendusta melebihi Jabir al-Ju’fiy…”
Oleh karena itu, hadits ini gugur dan tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah, sehingga saya merasa sangat heran terhadap para pengikut madzhab Hanafi, bagaimana mungkin mereka berpegang pada hadits ini sedangkan pada saat yang sama, imam mereka sendiri (Abu Hanifah) telah mendustakan perawinya, yakni Jabir al-Ju’fiy.

Mengenai imam Syafi'i dan para sahabatnya, mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang memerintahkan shalat dengan duduk di belakang imam yang duduk itu dinasakh oleh hadits berikut: dari Aisyah ra. ia berkata:

“Ketika Rasulullah Saw. semakin berat sakitnya, datang Bilal mempersilakan beliau untuk mengimami shalat. Beliau Saw. berkata: “Perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami orang-orang.” Maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar itu seorang lelaki yang sangat lembut hatinya, dan dia ketika mengganti posisimu (sebagai imam) maka dia tidak akan dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang. (Lebih baik) engkau menyuruh Umar.” Beliau Saw. bersabda: “Perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami orang-orang.” Aku berkata kepada Hafshah: Katakanlah kepada beliau: sesungguhnya Abu Bakar seorang lelaki yang sangat lembut hatinya, dan dia ketika menempati posisimu (sebagai imam shalat) maka dia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang. (Lebih baik) engkau menyuruh Umar. Maka beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudara Yusuf. Perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami orang-orang.” Tatkala Abu Bakar sudah memulai shalat, Rasulullah Saw. merasa dirinya sedikit ringan sehingga beliau Saw. berdiri dipapah oleh dua orang. Dua kakinya melangkah di tanah hingga masuk ke dalam masjid. Ketika Abu Bakar mendengar kehadiran beliau Saw., Abu Bakar hendak mundur ke belakang, tetapi Rasulullah Saw. memberi isyarat kepadanya. Lalu Rasulullah Saw. maju hingga duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Abu Bakar melaksanakan shalat dalam keadaan berdiri, dan Rasulullah Saw. shalat dalam keadaan duduk. Abu Bakar mengikuti shalat Rasulullah Saw., dan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar ra.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:

“Keduanya kemudian mendudukkan Nabi Saw. di sisi Abu Bakar. Abu Bakar lalu shalat dalam keadaan berdiri mengikuti shalat Rasulullah Saw., dan orang-orang bershalat mengikuti shalat Abu Bakar, sementara Nabi Saw. shalat dalam keadaan duduk.”

Bantahan atas pendapat mereka ini adalah:

a. Peristiwa shalatnya Rasulullah Saw. yang dilakukannya dengan duduk, dan shalat Abu Bakar mengikuti beliau, padahal dia (Abu Bakar) dalam keadaan berdiri, dan orang-orang shalat secara berdiri mengikuti shalat Abu Bakar, maka peristiwa ini disebutkan dalam beberapa hadits shahih.
Tetapi harus diperhatikan pula bahwa ada beberapa hadits shahih lain yang menceritakan peristiwa yang sama dengan bentuk yang berlainan, di mana disebutkan bahwa para makmum telah shalat secara duduk di belakang imam mereka. Artinya, Rasulullah Saw. berposisi duduk. Kiranya cukup hadits Jabir yang sebelumnya telah disebutkan, yang di dalamnya diceritakan :

“Rasulullah Saw. menderita sakit, lalu kami shalat di belakangnya sedangkan beliau Saw. dengan duduk. Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau Saw. kepada orang-orang, lalu beliau Saw. menoleh kepada kami dan melihat kami dalam posisi berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada kami, dan kami pun kemudian shalat mengikuti shalatnya (beliau Saw.) dengan duduk.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

((Hadits ini jelas menunjukkan bahwa pada awalnya makmum memang shalat dengan berdiri, kemudian diperintah untuk duduk mengikuti imam, yaitu Nabi Saw.))

b. Hadits ini telah diriwayatkan dari Aisyah ra. Ada juga hadits lain yang diriwayatkan dari Aisyah dengan redaksi begini: dari Aisyah ra.:

“Bahwa Abu Bakar shalat mengimami orang-orang, dan Rasulullah Saw. berada di satu shaf di belakangnya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan at-Thahawi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi

“Rasulullah Saw. melaksanakan shalat secara duduk dalam (keadaan) sakit yang membawa pada ajalnya di belakang Abu Bakar.”

Jadi, dari Aisyah ra. telah diriwayatkan dua ungkapan yang bertolak belakang: pertama menyatakan bahwa imamnya adalah Rasulullah Saw., dan kedua menyatakan bahwa imamnya adalah Abu Bakar ra., sehingga masalah ini bersifat muhtamil. Dan dengan adanya ihtimal (probabilitas) pada topik ini maka gugurlah istidlal.

c. Hadits Aisyah yang kedua diperkuat oleh hadits berikut: dari Anas bin Malik, ia berkata:

“Shalat terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. bersama kaumnya (adalah) dengan memakai satu pakaian yang diselendangkannya di pundaknya, di mana beliau berkeinginan duduk di belakang Abu Bakar.” (HR. Ibnu Hibban)

Ahmad meriwayatkan juga hadits serupa dengan redaksi:

“Shalat terakhir yang dilaksanakan Rasulullah Saw. bersama kaumnya (adalah) beliau Saw. shalat dengan memakai satu kain yang diselendangkan di atas pundaknya, dan beliau berada di belakang Abu Bakar dalam keadaan duduk.”

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Rasulullah Saw. shalat dalam sakitnya di belakang Abu Bakar dalam keadaan duduk dengan memakai satu kain yang diselendangkan di atas pundaknya.”

Ia berkata: “ini adalah hadits hasan shahih.”

Hadits yang berasal dari Anas, dan hadits sebelumnya yang berasal dari Aisyah, keduanya merupakan hadits shahih yang tidak ada cacat pada salah satu dari keduanya. Apakah setelah dua hadits ini dan setelah hadits Jabir masih tersisa pendapat yang dipegang yang menasakh hadits-hadits shahih yang banyak, yang menyatakan duduknya shalat makmum di belakang shalat imam yang duduk? Apakah boleh menasakh hadits-hadits shahih yang banyak dengan satu hadits yang mengandung ihtimal?

d. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari beberapa jalur, di mana masing-masing berasal dari Jabir bin Abdillah, Usaid bin Hudhair dan Qais bin Qahd, bahwa mereka telah shalat sebagai imam dan dengan (posisi) duduk, dan para makmum yang ada di belakangnya telah shalat dalam keadaan duduk pula.
Ibnu Hibban berkata: “sesungguhnya di antara para sahabat Rasulullah Saw., ada empat (orang) yang memfatwakan hal itu: Jabir bin Abdullah, Abu Hurairah, Usaid bin Hudhair dan Qais bin Qahd, dan ijma tersebut menurut kami adalah ijma para sahabat ...dan tidak ada riwayat dari salah seorang sahabat pun yang menyalahi keempat orang tersebut, tidak dengan sanad yang muttashil dan tidak juga dengan sanad yang munqathi, sehingga para sahabat bersepakat bahwa imam itu -jika shalat dengan cara duduk- maka para makmum harus shalat dengan duduk pula.”
Abdur Razaq berkata: “aku tidak melihat orang-orang kecuali jika seorang imam shalat dengan cara duduk, maka orang yang ada di belakangnya harus shalat dengan duduk pula, dan ini merupakan sunnah yang bukan berasal dari satu orang.”
Ketika telah jelas bahwa para sahabat telah berijma atau hampir berijma, dan telah jelas pula bahwa ini merupakan bagian dari sunnah, maka apakah dikatakan sah pernyataan adanya nasakh, dan apakah ada seseorang yang lebih mengetahui tentang nasakh dibandingkan dengan para sahabat?

e. Rasulullah Saw. telah memerintahkan orang-orang yang shalat untuk mengikuti imam, baik dalam berdirinya ataupun duduknya. Dan ketika beliau Saw. melihat mereka menyalahi imam mereka dengan shalat di belakang beliau Saw. secara berdiri padahal beliau Saw. (shalat) secara duduk, maka beliau Saw. berkata:

“Tadi itu hampir saja kalian melakukan sesuatu yang serupa dengan yang dilakukan oleh orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk.”

Saya telah membaca sedikit kritik dan komentar yang ditulis Ahmad Muhammad Syakir atas masalah ini dan sengaja saya kutip di sini: “dan dugaan adanya nasakh telah dibantah oleh persesuaian hadits-hadits yang memerintahkan untuk duduk dan lafadz-lafadznya, karena penegasan perintah untuk duduk dengan lafadz taukid yang paling tinggi disertai pengingkaran atas mereka -bahwa mereka hampir melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang Romawi dan Persia- menempatkan peluang adanya nasakh jauh dari keduanya, kecuali jika ada nash yang jelas dan tegas menunjukkan bahwa mereka membebaskan perkara tadi itu, dan bahwa ‘illat penyerupaan (tasyabbuh) dengan perbuatan bangsa ‘ajam tersebut telah hilang, jauh sekali adanya nash ini. Bahkan semua (hadits) yang mereka duga (sebagai argumen) untuk nasakh merupakan hadits Aisyah -yakni tentang shalat Nabi Saw. dalam (keadaan) sakit yang membawa pada ajalnya bersama Abu Bakar-, padahal hadits ini tidak menunjukkan sesuatupun dari yang mereka inginkan...”

Sesungguhnya poin-poin ini, secara menyeluruh ataupun terpisah telah menggugurkan dugaan adanya nasakh, dan hukumnya tetap bersifat umum dan jelas (muhkam) bahwa para makmum harus shalat secara duduk di belakang imam yang duduk.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam