1. Ketika hendak memasuki kakus, seorang Muslim
disunahkan untuk mendahulukan kaki kirinya dan mengakhirkan kaki kanannya,
sebagai penghormatan untuknya, dan mengucapkan:
“Dengan menyebut nama
Allah, ya Allah aku berlindung kepadamu dari jin laki-laki dan jin perempuan.”
Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
“Adalah Nabi Saw.
ketika memasuki tempat buang hajat, beliau Saw. berkata: “Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari jin laki-laki dan jin perempuan.”
(HR. Bukhari, Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan an-Nasai)
Dalam satu riwayat
al-Baihaqi disebutkan dengan lafadz:
“Ketika akan masuk.”
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Adalah (Nabi Saw.)
ketika memasuki kakus beliau berkata: “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari jin laki-laki dan jin perempuan.”
Yakni ada tambahan
“dengan menyebut nama Allah.” Tambahan ini dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan dari Ali ra., bahwasanya dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Penutup antara jin
dengan aurat anak Adam ketika memasuki kakus adalah ucapan: “Dengan menyebut
nama Allah.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih).
Al-Khubuts artinya jin laki-laki, al-khaba'its artinya jin perempuan.
Ketika seseorang akan
keluar dari kakus hendaknya dia mendahulukan kaki kanannya dan mengakhirkan
kaki kirinya, dan mengucapkan:
“Aku memohon
ampunan-Mu.”
Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Yusuf bin Abu Burdah, dia berkata: Aku mendengar
ayahku berkata:
“Aku mengunjungi
Aisyah, lalu aku mendengarnya berkata: Rasulullah Saw. ketika keluar dari
tempat buang hajat, beliau Saw. berkata: “Aku memohon ampunan-Mu.” (HR. Ibnu
Majah, Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
2. Biasanya di kakus dan kamar mandi itu ada
air, atau dekat dengan air. Adalah dianjurkan untuk beristinja menggunakan air, karena lebih efektif untuk
membersihkan. Tetapi jika bersuci menggunakan batu di rumah pun sebenarnya
boleh-boleh saja. Jika bersuci menggunakan air dan batu sekaligus, itu juga
hukumnya boleh, karena hadits-hadits tentang bersuci menceritakan keduanya.
3. Dimakruhkan buang air kecil di ruangan yang
biasa digunakan untuk mandi, karena air kencing bisa jadi masih tersisa di
lantai kamar mandi, sehingga ketika mandi di sana dia akan terkena cipratan air
seni yang menjadikannya ternajisi. Rasulullah Saw. telah melarangnya. Dari
Abdullah bin Mughaffal, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah salah
seorang dari kalian buang air kecil di tempat mandinya, karena sebagian besar
rasa was-was itu disebabkan olehnya.” (HR. Ibnu Majah, an-Nasai, Abu Dawud,
Ahmad dan Tirmidzi)
Ini berlaku jika di
kamar mandi itu tidak ada saluran pembuangan atau tanahnya padat tidak menyerap
air seni. Jika ada saluran pembuangan atau tanahnya bisa menyerap air seni,
maka tidak makruh hukumnya.
4. Buang air kecil boleh dilakukan menggunakan
wadah karena hajat tertentu, khususnya untuk orang yang sakit. Ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Umaimah binti Ruqaiqah, dia berkata:
“Nabi Saw. memiliki
wadah dari aidan (kayu kurma) yang
ditempatkan di bawah tempat tidurnya, yang digunakannya untuk buang air kecil
di waktu malam. (HR. Baihaqi, Abu Dawud dan an-Nasai)
Al-Aidan artinya kayu kurma.
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata:
“Mereka berkata,
sesungguhnya Nabi Saw. berwasiat kepada Ali. Beliau Saw. meminta wadah (at-thastu) untuk buang air kecil, lalu
merebahkan dirinya, dan aku tidak merasa/sadar (beliau Saw. meninggal), maka
kepada siapakah beliau Saw. berwasiat.” (HR. an-Nasai dan al-Baihaqi)
Muslim dan Bukhari
telah meriwayatkan hadits ini dari jalur alAswad bin Yazid, dia berkata:
“Orang-orang
menceritakan kepada Aisyah bahwa Ali telah diberi wasiat. Maka Aisyah bertanya:
Kapan Nabi Saw. memberi wasiat kepadanya? Sungguh aku telah menyandarkan beliau
ke dadaku. Atau aisyah berkata: Ke pangkuanku. Lalu beliau Saw. meminta wadah.
Sungguh beliau Saw. rebahan di pangkuanku, dan aku tidak sadar beliau Saw.
ternyata telah meninggal. Maka kapan beliau Saw. memberi wasiat kepada Ali?”
5. Seorang Muslim boleh buang air kecil dalam
keadaan duduk atau berdiri, salah satunya boleh dilakukan. Tetapi jika tanah
tempat dia buang air kecil itu padat, lalu khawatir terkena cipratan air seni
karenanya, maka dia mesti buang air kecil sambil duduk. Terdapat hadits bahwa
beliau Saw. buang air kecil sambil berdiri di tempat pembuangan sampah. Dari
Abu Wail, dia berkata:
“Sesungguhnya Abu Musa
sangat ketat dalam persoalan air kencing. Dia suka kencing di dalam botol, lalu
dia berkata: Sesungguhnya Bani Israil ketika kulit salah seorang dari mereka
terkena air kencing maka mereka memotongnya dengan gunting. Maka Hudzaifah
berkata: Sungguh aku ingin agar sahabat kalian ini tidak terlalu keras dalam
masalah ini, sungguh aku telah melihat Rasulullah Saw. berjalan bersama-sama,
lalu beliau Saw. mendatangi tempat pembuangan hajat di belakang sebuah kebun,
kemudian berdiri sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri, dan beliau Saw.
kencing. Saat aku mencoba menjauh dari beliau Saw., maka beliau Saw. memberikan
isyarat kepadaku untuk mendekat, maka aku mendekat, lalu berdiri di samping
tumit beliau Saw., hingga beliau Saw. menyelesaikan kencingnya. (HR. Muslim,
Bukhari dan Ahmad)
Telah diriwayatkan
pula bahwa beliau Saw. buang air kecil (kencing) dalam keadaan duduk. Dari
Abdurrahman bin Hasanah, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
pernah menemui kami, dan di tangan beliau Saw. ada sesuatu yang mirip perisai
dari kulit. Beliau Saw. lalu meletakkannya dan duduk di belakangnya, kemudian
buang air kecil ke arah perisai tersebut. Maka sebagian orang berkata: Lihat,
beliau Saw. buang air kecil seperti perempuan.” (HR. an-Nasai dan al-Baihaqi)
Adapun hadits Jabir
bin Abdillah, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang seorang lelaki kencing dalam keadaan berdiri.” (HR. al-Baihaqi dan
Ibnu Majah)
Hadits ini sangat dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat Adi
bin al-Fadhl, dia perawi yang dituduh suka berdusta, yang disepakati kedhaifannya.
Adapun hadits yang
diriwayatkan bahwa Aisyah ra. berkata:
“Barangsiapa yang
bercerita kepada kalian bahwa Rasululllah Saw. kencing dalam keadaan berdiri
maka janganlah kalian membenarkannya. Rasulullah Saw. tidak suka kencing
melainkan dalam keadaan duduk.” (HR. an-Nasai, Ahmad, Ibnu Majah dan
at-Tirmidzi)
Hadits ini tidak kuat
kalau dihadapkan dengan hadits Hudzaifah, tiada lain karena hadits Hudzaifah
lebih shahih dari hadits Aisyah yang di
dalam sanadnya terdapat perawi bernama
Syarik. Syarik seorang yang jujur, tetapi suka keliru, selain bahwa hadits
Aisyah ini menunjukkan batas pengetahuan Aisyah saja, di mana beliau berbicara
tentang kencing Rasulullah Saw. dalam keadaan duduk, dan tidak pernah melihat
beliau Saw. kencing dalam keadaan berdiri. Bisa dipahami bahwa seseorang akan
kencing dalam keadaan duduk ketika dia berada di kakus (WC). Sangat tidak
mungkin beliau Saw. kencing sambil berdiri di dalamnya, karena biasanya
tanahnya keras/padat, karena itu Rasulullah Saw. tidak kencing di dalam kakus
(WC) melainkan dalam keadaan duduk. Inilah yang diketahui, dilihat dan
dibicarakan oleh Aisyah, sehingga tidak bisa menafikan adanya fakta bahwa Rasulullah
Saw. kencing di tempat terbuka sambil berdiri karena lembeknya tanah di sana.
Dengan demikian di antara kedua hadits ini tidak terdapat kontradiksi.
Ibnu Hajar berkata:
Tidak bisa dibuktikan satu riwayat pun dari Nabi Saw. yang melarang kencing
dalam keadaan berdiri.
Singkat kata, kencing
sambil berdiri itu boleh, sebagaimana halnya kencing sambil duduk. Dalam dua
kondisi ini hendaknya dijaga agar tidak terkena percikan air kencing.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar