Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 06 Agustus 2017

Dalil Shalat Dhuha Shalat al-Awwabin



G. Shalat Dhuha

Shalat dhuha dinamai pula dengan shalat al-awwabin. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada yang memelihara shalat dhuha kecuali al-awwab. Dia berkata: dan inilah shalat al-awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)

Al-Awwab artinya orang yang sangat suka kembali kepada Allah Swt. dengan bertaubat kepada-Nya.

Shalat dhuha memiliki keutamaan yang agung dan pahala yang besar. Salah satu keutamaannya adalah barangsiapa yang melakukan dua belas rakaat shalat dhuha maka Allah akan membangun untuknya satu istana di Surga. Keutamaan seperti ini sebanding dengan melaksanakan dua belas rakaat shalat rawatib dalam satu hari, dan sebelumnya telah kami paparkan dalam topik “shalat sunat mulhaqah (yang disertakan) pada shalat sunat rawatib muakkad”. Sehingga satu rakaat shalat dhuha sebanding dengan satu rakaat shalat rawatib. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang shalat dhuha dua belas rakaat maka Allah Swt. membangun untuknya satu istana di Surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Termasuk keutamaan shalat ini adalah bahwa dua rakaat dari shalat dhuha dipandang cukup dan sebanding dengan pahala tiga ratus enam puluh shadaqah. Jadi, betapa mulianya shalat dhuha ini dengan berlimpahnya keutamaan. Dari Buraidah ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Di dalam diri manusia ada tiga ratus enam puluh sendi, dan dia harus bersedekah atas setiap sendi dengan satu sedekah. Ia berkata: “Siapa yang mampu melakukan hal itu wahai Rasululah?” Beliau berkata: “(Jika) ada dahak di masjid lalu engkau menguburnya, atau duri yang engkau singkirkan dari jalanan, dan jika engkau tidak mampu maka dua rakaat shalat dhuha telah cukup bagimu.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Dari Abu Dzar ra. dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. bersabda:

“Setiap pagi, atas seluruh sendi setiap orang dari kalian dikenai kewajiban sedekah, maka setiap tasbih itu menjadi sedekah, setiap tahmid itu menjadi sedekah, setiap tahlil itu menjadi sedekah, setiap takbir itu menjadi sedekah, amar ma'ruf itu menjadi sedekah, melarang dari mungkar itu menjadi sedekah, dan yang bisa mencukupi semua itu adalah dua rakaat dhuha yang dilakukannya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

Termasuk keutamaan shalat ini adalah bahwa Allah Swt. menjamin orang yang melakukannya di mana Dia Swt. akan mencukupi dirinya dalam hari yang ia shalat dhuha di dalamnya, dan jaminan ini mencakup penjagaan dari setan, pemenuhan rizki yang halal, penolakan dari keburukan dan sesuatu yang tidak disukai, dan sebagainya. Nu’aim bin Hammar al-Ghatfani telah meriwayatkan dari Rasulullah Saw., dari Tuhannya tabaraka wa ta'ala, Dia berfirman:

“ Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal hari, niscaya Aku akan mencukupimu hingga penghujung hari.” (HR. Ibnu Hibban, an-Nasai, Abu Dawud dan Ahmad)

Dan bagi orang yang banyak kesalahannya, dan begitu besar dosanya, lalu dia hendak bertaubat dan menginginkan ampunan atas dosa-dosanya itu -bagaimanapun besarnya-, maka dengarlah hadits ini dan amalkanlah apa yang dituntutnya: dari Muadz bin Anas al-Juhani ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang duduk di tempat shalatnya ketika selesai dari shalat subuh hingga dia melaksanakan shalat nafilah dua rakaat dhuha dan dia tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang baik, niscaya diampuni segala kesalahannya walaupun lebih banyak dari buih lautan.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Jika kita mengetahui bahwa shalat subuh itu dilakukan sebelum matahari terbit sekitar satu jam atau satu setengah jam, dan bahwa shalat dhuha itu dilakukan ketika ketinggian matahari dari arah Timur sebanding dengan ketinggian matahari di sebelah Barat ketika shalat ashar, dan waktunya bisa diperkirakan sekitar dua jam setengah hingga tiga jam, sehingga kita bisa mengetahui bahwa waktu yang dibutuhkan oleh seorang yang ingin bertaubat dan mengharap ampunan Allah Swt. dari segala dosanya ini diperkirakan sekitar empat jam yang harus dilewatkannya di mushalla tempat dia shalat subuh, dia berdzikir dan berdoa kepada Allah Swt., membaca al-Qur'an, dan kemudian berdiri di akhirnya melaksanakan dua rakaat dhuha, maka betapa lebar pintu terbuka bagi mereka yang ingin bertaubat.

Waktu shalat dhuha dimulai ketika matahari sudah tinggi dan berwarna putih. Lebih rincinya lagi kami jelaskan sebagai berikut. Waktu shalat dhuha itu dimulai ketika ketinggian matahari di sebelah Timur sebanding dengan ketinggiannya di sebelah Barat ketika shalat ashar, sehingga shalat dhuha berbanding dengan shalat ashar, di mana shalat ashar dilakukan di ujung hari sedangkan shalat dhuha di awal hari, dan waktunya terus berlangsung hingga pertengahan hari. Dari Zaid bin Arqam ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar menemui penduduk Quba dan mereka sedang melaksanakan shalat dhuha, maka beliau berkata: “Shalat al-awwabin itu dilaksanakan ketika unta yang belum disapih merasa kepanasan karena sinar matahari yang sudah sepenggalan naik.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abi Syaibah dan at-Thabrani)

Zaid bin Arqam ra. melihat orang-orang sedang melaksanakan shalat di waktu matahari mulai naik, maka ia berkata:

“Apakah mereka tidak tahu bahwa shalat di selain waktu ini adalah lebih utama, sesungguhnya Rasululah Saw. bersabda: ”Shalat al-awwabin itu ketika unta yang belum dipisah merasa panas.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Ucapan: idza ramadhatil fishal dalam hadits pertama, dan hiina tarmadhul fishal pada hadits kedua, artinya ketika unta yang paling kecil merasa kepanasan, yakni saat hari semakin tinggi dan pasir sudah panas sehingga unta yang kecil (belum disapih) tidak dapat berjalan di atasnya.

Rasulullah Saw. telah mengatakan hal itu kepada penduduk Quba ketika beliau Saw. melihat mereka melaksanakan shalat dhuha di awal hari, maka beliau menjelaskan kepada mereka bahwa waktu shalat dhuha itu dimulai ketika matahari meninggi dan pasir sudah panas, bukan di awal hari. Makna ini telah diriwayatkan pula dari Ali ra., di mana Abu Ramalah telah meriwayatkan dari Ali ra.:

“Bahwa dia melihat mereka melaksanakan shalat dhuha ketika matahari terbit, maka Ali berkata: Mengapa kalian tidak membiarkannya hingga matahari naik sekitar satu atau dua tombak, lalu kalian melakukan shalat tersebut, dan itulah shalat al-awwabin.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)

Dari Ali ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. shalat dhuha ketika matahari di sebelah Timur berbanding dengan matahari di sebelah Barat di waktu shalat ashar.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Adapun jumlah rakaat dhuha, maka paling sedikit dilaksanakan sebanyak dua rakaat, dan tidak ada batasan maksimal jumlah rakaatnya, tetapi sebagian besar Rasulullah Saw. melakukannya antara empat hingga delapan rakaat, dan dilaksanakan dua rakaat-dua rakaat. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Kekasihku berwasiat kepadaku dengan tiga perkara yang tidak boleh aku tinggalkan hingga aku mati: (yaitu) puasa tiga hari di setiap bulannya, shalat dhuha, dan tidur dalam keadaan sudah berwitir.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz “dan shalat dhuha dua rakaat.” Lafadz dalam riwayat al-Baihaqi dan Muslim, “dan dua rakaat shalat dhuha.” Sedangkan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz: ”...dan aku tidak boleh meninggalkan dua rakaat dhuha, karena shalat ini adalah shalat al-awwabin.” Abu Hurairah ra. menyatakan dengan redaksi: “kekasihku berwasiat kepadaku (untuk menetapi) dua rakaat dhuha”, dan sebelumnya ada hadits dari Muadz bin Anas al-Juhani dengan redaksi: “dia melaksanakan shalat nafilah dua rakaat dhuha.” Sedangkan hadits Abu Dzar disebutkan di dalamnya: “dua rakaat dhuha yang dilakukannya”, dan hadits Buraidah menyebutkan: “maka dua rakaat shalat dhuha telah cukup bagimu.” Semua ini menunjukkan bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak dua rakaat.

Dari Muadzah, bahwa dia bertanya kepada Aisyah:

“Berapa rakaatkah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat dhuha? Aisyah berkata: empat rakaat, dan bisa menambahnya sesuai kehendak Allah.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai dan Tirmidzi)

Sebelumnya juga telah kami sebutkan hadits Nu’aim bin Hammar, di dalamnya disebutkan:

“Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di awal hari…”

Maka dua nash ini menunjukkan bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak empat rakaat.

Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata:

“Aku mendatangi Nabi Saw. untuk memberikan seekor unta milikku kepadanya, lalu aku melihatnya sedang shalat dhuha enam rakaat.” (HR. at-Thabrani)

Maka nash ini menunjukkan bahwa shalat dhuha itu bisa enam rakaat. Dan dari Hudzaifah ra. ia berkata:

“Aku keluar bersama Rasulullah Saw. ke benteng Bani Muawiyah, lalu beliau shalat dhuha delapan rakaat dan memanjangkan setiap rakaatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. memasuki kamarku, lalu beliau shalat dhuha delapan rakaat.” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Ummu Hani ra. ia berkata:

“Sesungguhnya Nabi Saw. memasuki kamarku pada hari penaklukan Makkah, lalu beliau Saw. mandi dan shalat delapan rakaat, dan aku belum pernah melihat beliau shalat yang lebih ringan dari itu sama sekali, walaupun begitu beliau menyempurnakan ruku, dan sujudnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan ad-Darimi)

Ibnu Hibban dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Lalu beliau Saw. shalat dhuha delapan rakaat.”

Dalam riwayat Muslim dan Malik disebutkan dengan lafadz:

“Ummu Hani berkata: dan itulah shalat dhuha.”

Semua nash ini menunjukkan bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak delapan rakaat.

Dan sebelumnya telah kami sebutkan pula hadits Anas bin Malik, di dalamnya terdapat kalimat:

“Barangsiapa yang shalat dhuha dua belas rakaat, maka Allah Swt. membangun untuknya satu istana di Surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Nash ini menunjukkan bahwa shalat dhuha itu dilaksanakan sebanyak dua belas rakaat.

Dengan demikian, shalat dhuha itu paling sedikit dilaksanakan dua rakaat, dan tidak ada batasan untuk jumlah maksimal rakaatnya, sehingga seseorang bisa melaksanakannya sekehendaknya, dan petiklah pahala dan balasan yang disediakan Allah Swt. dalam shalat ini.

Shalat ini bisa dilaksanakan secara munfarid (sendirian) dan bisa pula secara berjamaah. ‘Itban bin Malik ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. melaksanakan shalat dhuha di rumahnya, lalu orang-orang berdiri di belakangnya dan mengikuti shalatnya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah)

Tetapi ada sejumlah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah melakukan shalat dhuha sama sekali, dan hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa beliau Saw. tidak pernah shalat dhuha kecuali jika beliau pulang dari suatu perjalanan. Saya sebutkan di antaranya:

1) Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan shalat sunat dhuha sama sekali...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Bukhari yang lain, bahwa Aisyah ra. berkata:

”...Dan Rasulullah Saw. tidak shalat sunat dhuha sekalipun, dan (jika ya) niscaya aku mengerjakannya secara dawam.”

2) Dari Muwarriq bahwa dia berkata:

“Aku berkata kepada Ibnu Umar ra.: Apakah engkau shalat dhuha? Ia berkata: Tidak. Aku bertanya: Kalau Umar? Dia berkata: Tidak. Aku bertanya: Kalau Abu Bakar? Ia berkata: Tidak. Aku bertanya: “Kalau Nabi Saw.?” Ia berkata: ”Tidak.” Aku tidak menyangkanya.” (HR. Bukhari)

3) Dari Abdullah bin Syaqiq bahwa dia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah: Apakah Rasululah Saw. melaksanakan shalat dhuha? Dia menjawab: Tidak, kecuali jika beliau Saw. pulang dari safarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka saya katakan:

a) Hadits Aisyah yang ketiga ini menyalahi haditsnya yang pertama, di mana hadits yang ketiga menetapkan shalat dhuha tetapi dibatasi dengan kepulangan beliau dari perjalanan, sedangkan hadits yang pertama menafikan sama sekali shalat ini dengan bentuk umum dan mutlak.

b) Sesungguhnya Aisyah yang meriwayatkan hadits yang pertama, juga telah meriwayatkan satu hadits lain yang bertentangan dengan hadits tersebut. Dari Yazid ar-Risyki:

“Telah bercerita kepadaku Mu’adzah bahwa dia bertanya kepada Aisyah: Berapa rakaatkah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat dhuha? Dia menjawab: Empat rakaat dan menambahnya sekehendaknya.” (HR. Muslim)

Muslim meriwayatkan hadits lain yang serupa tetapi dari jalur Abu Said, ia berkata:

“Telah berbicara kepada kami Qatadah bahwa Mu’adzah al-Adawiyah bercerita kepada mereka dari Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah Saw. shalat dhuha empat rakaat, dan menambahkannya menurut kehendak Allah.”

Dengan demikian riwayat yang dinukil dari Aisyah ini saling bertentangan satu sama lain.

c) Adapun hadits Ibnu Umar yang kedua, yang menjadi sumber munculnya pendapat bahwa Rasulullah Saw. tidak melakukan shalat dhuha, maka kalimat: “aku tidak menyangkanya” bisa dibantah dari beberapa aspek.

1. Sesungguhnya kalimat “aku tidak menyangkanya” dibangun di atas keraguan, dugaan dan ketidakpastian. Jadi, khabar ini adalah khabar muhtamal, sehingga dengan adanya ihtimal (probabilitas) maka gugurlah istidlal (penarikan kesimpulan).

2. Bukhari menyebutkan hadits ini di bawah judul “bab shalat dhuha di perjalanan”, ini berarti bahwa Bukhari telah memahami hadits ini, atau katakanlah telah mengetahui bahwa Ibnu Umar -ketika menafikan shalat dhuha- sesungguhnya dia menafikan shalat tersebut dalam kondisi safar (perjalanan) dan bukan dalam bentuk yang mutlak. Bukhari pasti memiliki sandaran dan argumentasi sehingga meletakkan hadits ini dalam bab safar, dan beliau telah diakui sebagai orang yang sangat teliti dalam periwayatan hadits-hadits.

3. Dari Ibnu Umar sendiri telah diriwayatkan hadits lain yang bertentangan dengan hadits ini, jika dia dipandang sebagai seorang yang menafikan kemutlakan shalat dhuha -baik dalam kondisi safar ataupun hadhar-. Dari Nafi:

“Bahwa Ibnu Umar ra. tidak shalat dhuha kecuali dalam dua hari, (yaitu) hari ketika dia tiba di Makkah karena dia tiba di sana pada waktu dhuha, …dan ketika dia mendatangi masjid Quba…” (Riwayat Bukhari)

Sehingga riwayat-riwayat yang dinukil dari Ibnu Umar juga saling bertentangan satu sama lain.

Dengan demikian, pendapat yang lebih rajih menurut kami adalah pendapat yang menyatakan disyariatkannya shalat dhuha berdasarkan berbagai riwayat yang shahih yang menetapkannya. Karena itu, adalah benar dan terbukti bahwa shalat dhuha itu disyariatkan dan disunatkan, tetapi shalat ini tidak termasuk shalat rawatib yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah Saw. Dari Abu Said al-Khudri ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat dhuha hingga kami mengatakan beliau tidak meninggalkannya, dan meninggalkannya hingga kami mengatakan beliau tidak pernah melakukannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam