Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 06 Agustus 2017

Dalil Shalat Malam Qiyamul Lail Tahajud



F. Qiyamu Lail

Disebut juga dengan shalatul lail atau shalat tahajud. Allah Swt. berfirman:

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).” (TQS. al-Muzammil [73]: 1-2)

“Dan pada sebahagian malam hari, bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (TQS. al-Isra [17]: 79)

Dalam pembahasan “witir” sebelumnya, telah kami sebutkan satu hadits Ibnu Umar ra.:

“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang shalat malam, maka beliau berkata: ”Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat...” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Kami tidak merasa perlu menetapkan istilah tahajud untuk shalat malam ini, walaupun dilakukan setelah tidur -sebagaimana hal ini menjadi pandangan sejumlah ahli fikih-, di mana mereka berargumen bahwa tahajud dan al-hujud itu menurut bahasa adalah an-naum (tidur). Orang disebut hajada yahjudu jika dia naama (tidur), karena itu mereka berkata: tahajud itu tidak dilakukan kecuali setelah tidur di malam hari. Dan jika shalat setelah isya sebelum dia tidur, maka shalatnya itu tidak dinamakan shalat tahajud. Memang benar, kami tidak perlu melakukan pembatasan seperti ini, pertama, karena hukum tahajud adalah hukum shalat malam itu sendiri, tanpa ada perbedaan di antara keduanya, dan kedua, kata hajada yahjudu sebagaimana berarti naama yanaamu (tidur) juga berarti sahira yas-haru (tidak tidur), sehingga termasuk kata yang memiliki pengertian saling bertentangan. Dengan demikian, menetapkan istilah tahajud untuk shalat ini sebelum tidur, sah-sah saja, sama seperti sahnya menetapkan istilah tahajud ini untuk shalat setelah tidur.

Keutamaan qiyamul lail sangat besar sekali, tidak bisa dilebihi kecuali oleh keutamaan shalat-shalat fardhu saja. Karenanya, qiyamul lail merupakan shalat tathawwu’ yang paling utama, bahkan melebihi shalat sunat rawatib. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa syahrullah, yakni bulan Muharam. Dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Tirmidzi)

Dalam satu riwayat dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. ditanya:

“Shalat apa yang paling utama setelah shalat fardhu?” Beliau berkata: “Shalat di sepertiga akhir malam.” Lalu ditanyakan: “Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau Saw. menjawab: “Puasa pada bulan Allah (syahrullah), yang kalian sebut sebagai bulan Muharram.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasai)

Ada beberapa nash yang menganjurkan kepada kita untuk melakukan qiyamul lail. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Allah Swt. merahmati seorang laki-laki yang bangun malam hari lalu dia shalat dan membangunkan istrinya sehingga istrinya pun ikut shalat. Jika tidak mau maka dia memercikkan air ke wajah istrinya itu. Dan Allah Swt. merahmati seorang istri yang bangun di waktu malam, lalu dia shalat dan membangunkan suaminya, kemudian dia pun shalat. Jika tidak mau, maka dia memercikkan air ke wajah suaminya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

Dari Abu Said ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tiga perkara yang membuat Allah tertawa melihat kalian: (yaitu) seorang laki-laki jika bangun malam dia shalat, satu kaum jika berbaris (tiada lain) untuk shalat, dan satu kaum jika berbaris (tiada lain) untuk berperang.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. ia berkata: Rasulullah Saw. berkata kepadaku:

“Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, sering bangun di waktu malam tetapi meninggalkan shalat malam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Umamah al-Bahili ra. meriwayatkan dari Rasulullah Saw., beliau bersabda:

“Kalian harus menjaga shalat malam, karena ia merupakan jalan orang-orang shalih sebelum kalian, cara yang kalian miliki untuk mendekati Tuhan kalian, penebus kesalahan-kesalahan, dan pencegah dari dosa-dosa.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, at-Thabrani dan al-Hakim)

Qiyamullail sebelumnya pernah diwajibkan dan difardhukan selama satu tahun penuh sejak turunnya firman Allah Swt.:

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).” (TQS. al-Muzammil [73]: 1-2)

Kemudian, hukum wajib ini dinasakh, sehingga qiyamullail hukumnya menjadi sunat yang sangat dianjurkan, dengan adanya firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu, dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (TQS. al-Muzammil [73]: 20)

Kata 'alima an lan tuhshuuhu, artinya Allah Swt. mengetahui bahwa kalian tidak akan dapat atau tidak akan mampu melakukannya. Dari Saad bin Hisyam bin ‘Amir: bahwa dia bertanya kepada Aisyah ra.:

”...Beritahu aku tentang shalat malamnya Rasulullah Saw.?” Aisyah bertanya: “Apakah engkau pernah membaca Yaa ayyuhal muzammil?” Aku berkata: “Ya.” Dia berkata: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkan qiyamullail dengan ayat di awal surat ini. Lalu Nabi Saw. dan para sahabatnya melakukan qiyamullail selama satu tahun, dan Allah Swt. menahan penutup surat ini selama dua belas bulan di langit, hingga Allah Swt. memberikan keringanan yang tercantum pada akhir surat ini, sehingga qiyamullail menjadi shalat tathawwu' setelah sebelumnya sebagai shalat fardhu...”

Dari sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasai, dari Ibnu Abbas ra., ia berkata mengomentari surat al-Muzammil: “Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya) (TQS. al-Muzammil: 2) telah dinasakh dengan ayat berikutnya yakni: “Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an…” ( TQS. al-Muzammil: 20)” (HR. Abu Dawud)

Waktu qiyamullail itu sangat luas sekali, seperti waktu shalat witir dan seperti waktu shalat tarawih, berlangsung dari setelah shalat isya hingga adzan fajar, yakni terbitnya fajar. Dan waktu yang paling utama adalah di akhir malam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Amr bin ‘Abasah berkata:

“Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bagian malam yang manakah yang paling didengar?” Beliau Saw. berkata: “Sepertiga malam terakhir, maka shalatlah sekehendakmu.” (HR. Abu Dawud, al-Hakim dan Tirmidzi)

Oleh karena itu, siapa yang ingin memperoleh keutamaan yang sempurna dari qiyamullail maka hendaknya dia melaksanakan shalat tersebut dia akhir malam, sehingga setiap kali dia bertaqarrub kepada Allah dengan shalat di akhir malam niscaya dia akan memperoleh keutamaan yang sempurna. Dari Masruq ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang amal yang dilakukan Rasulullah Saw. Ia berkata: Beliau suka sesuatu yang terus-menerus dilakukan, Ia berkata: aku bertanya: Saat kapankah dia shalat? Aisyah berkata: Jika beliau mendengar kokok ayam jantan maka beliau bangun kemudian shalat.” (HR. Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, Bukhari dan Ahmad)

As-Sharih artinya: ayam jantan yang berkokok di akhir malam, beberapa saat sebelum terbit fajar. Inilah keterangan yang bisa digunakan jika seseorang ingin melakukan beberapa rakaat dari qiyamullail.

Namun, jika dia ingin melakukan shalat sebanyak sepertiga malam, maka hendaknya dia menjadikan shalatnya di sepertiga malam terakhir. Dan jika dia ingin shalat sebanyak setengah malam, maka hendaknya dia mulai shalat pada pertengahan malam dan berakhir di penghujung malam. Dan jika dia ingin lebih banyak dari itu, maka hendaknya dia mulai setelah sepertiga malam awal, dan tidak disarankan untuk menambah lebih dari itu, karena seseorang harus menjadikan satu bagian malam untuk tidur dan tidak boleh digunakan untuk shalat seluruhnya. Untuk setiap hal, terkait ketentuan waktu di atas, saya sebutkan beberapa hadits berikut. Dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang takut tidak bangun pada akhir malam maka hendaklah dia berwitir di awal malam. Dan barangsiapa yang berkeinginan besar untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena shalat akhir malam itu disaksikan, dan itu lebih utama.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dan hadits Muslim yang lain dari jalur Jabir:

“Siapa saja dari kalian yang takut tidak bangun di akhir malam maka hendaklah dia witir kemudian dia tidur. Dan barangsiapa yang percaya bisa bangun malam maka berwitirlah di akhirnya, karena bacaan akhir malam itu dihadiri, dan itu lebih utama.”

Kedua hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan tentang “witir.” Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

“Tuhan kita yang Mahasuci dan Mahaluhur turun ke langit dunia setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir. Dia Swt. berkata: “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya, dan barangsiapa yang meminta ampunan niscaya Aku mengampuninya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud)

Dalam riwayat Muslim dari jalur Abu Hurairah disebutkan dengan redaksi:

“Jika telah berlalu setengah malam atau sepertiga malam maka turunlah Allah yang Mahasuci lagi Mahaluhur ke langit dunia...”

Di dalam redaksi ini ada kebimbangan antara setengah malam dan sepertiga malam terakhir. Yang serupa dengan ini adalah hadits Muslim yang ketiga dari jalur Abu Hurairah, di dalamnya disebutkan:

“Allah turun ke langit dunia pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir”

Tiga riwayat ini menyebutkan dengan jelas sepertiga malam terakhir, dan dua riwayat di antaranya ragu-ragu menyebutkan antara pertengahan malam dan sepertiga malam terakhir. Dalam hadits keempat yang juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:

“Allah turun ke langit dunia pada setiap malam ketika telah berlalu sepertiga malam pertama.”

Ada beberapa hadits serupa yang diriwayatkan oleh Ahmad, abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari jalur Abu Hurairah dan Abu Said ra. Semua hadits ini menyebutkan (setelah berlalu) sepertiga malam pertama, bukan yang terakhir. Dan tentu ini bertentangan dengan riwayat-riwayat yang pertama yang lebih shahih dan lebih kuat yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Abu Dawud.
Jumhur ulama memandang bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud ini lebih rajih dibandingkan dengan riwayat Muslim yang keempat, sehingga mengamalkan hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Abu Dawud lebih utama. Yang memperkuat riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat ini adalah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud as., dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud as., di mana dia tidur setengah malam dan bangun sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya, dan beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Seandainya kita berasumsi bahwa malam di sini adalah dua belas jam menurut perhitungan waktu modern, maka sepertiga malam terakhir adalah empat jam terakhir dari satu malam, dan setengahnya adalah enam jam.
Ketika Dawud as. tidur setengah malam dan melaksanakan shalat selama sepertiganya, maka dia telah melaksanakan shalat selama dua jam dari jam-jam pertama sepertiga malam terakhir, dan kemudian tidur dua jam darinya -yakni tidur seperenam malam-, artinya, dia shalat di sepertiga malam terakhir, sehingga dia beroleh keutamaan yang sempurna.
Hadits ini juga menguatkan dua riwayat lainnya yang bimbang menyebutkan antara setengah malam dan sepertiga malam terakhir, sehingga keutamaan yang sempurna kemungkinan besar bisa diraih dengan memulai shalat di pertengahan malam, sehingga Dawud as. tidur setengah malam, yakni tidur enam jam pertama dari malam, dan bangun ketika pertengahan malam, lalu dia shalat sepertiga malam yang dimulai pada pertengahan malam, sehingga dia shalat dua jam sebelum sepertiga malam terakhir, kemudian shalat dua jam lainnya dari sepertiga malam terakhir. Dengan demikian, Dawud as. telah melaksanakan shalat selama empat jam, dan ini sebanding dengan sepertiga malam sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits: “dia bangun sepertiganya”, di mana sepertiga ini menghimpun antara dua jam sebelum sepertiga malam terakhir dan dua jam dari sepertiga malam terakhir, sehingga hal ini bisa mengkompromikan antara yang mengamalkan setengah malam dan yang mengamalkan sepertiga malam.

Selain itu, saya ingin mengulang dan mengingatkan bahwa waktu shalat malam itu begitu lapang, yang dimulai setelah shalat isya. Saya semata-mata ingin menekankan waktu keutamaan yang sempurna saja, dan waktu tersebut sedikit diragukan antara pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir.

Mengenai firman Allah Swt. dalam surat al-Muzammil:

“Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (TQS. al-Muzammil [73]: 2-4)

Dan firman Allah Swt. dalam surat yang sama:

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu…” (TQS. al-Muzammil [73]: 20)

Firman Allah Swt. ini tidak dalam pembahasan waktu keutamaan yang sempurna, semata-mata terkait dengan ukuran qiyamullail, sehingga ayat ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits Nabi yang menentukan waktu keutamaan yang sempurna pada pertengahan malam kedua, dan sepertiga malam terakhir.
Sehingga makna sesungguhnya dari ayat al-Qur'an ini adalah: bahwa qiyamullail bagi orang yang ingin melaksanakannya dengan lama adalah dengan ukuran setengah malam. Ini dimulai ketika pertengahan malam, dan tentu mencakup sepertiga malam terakhir. Shalat ini bisa juga dilaksanakan dengan ukuran sepertiga malam, dan ini lebih jelas lagi. Bisa juga dilaksanakan dalam dua pertiga malam, di mana shalatnya dimulai setelah berlalunya sepertiga malam pertama, dan berlangsung terus hingga akhir malam, dan akhirnya waktu inipun mencakup sepertiga malam terakhir.
Dan ungkapan: “atau lebih dari seperdua itu ” maka hal ini juga dimulai ketika pertengahan malam dan berlangsung terus hingga akhir malam, sehingga sepertiga malam terakhir masuk ke dalamnya.
Begitulah, sepertiga malam terakhir masuk dalam seluruh kondisi yang diceritakan oleh Nabi Saw., termasuk dalam (waktu) shalat yang disebutkan dalam surat al-Muzammil dalam dua tempat di antaranya.

Semua ini sebenarnya berkaitan dengan orang yang melakukan qiyamullail sendirian di rumah.
Apabila qiyamullail dilaksanakan secara berjamaah di masjid, atau berupa shalat tarawih, maka ini dilaksanakan di awal malam setelah shalat isya, karena seperti inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw. Dalam pembahasan tentang “shalat tarawih” telah kami sebutkan satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Malik:

“Maka Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini, dan orang-orang yang tidur darinya itu lebih baik daripada orang-orang yang melaksanakannya, yakni di akhir malam, dan orang-orang yang melaksanakannya di awal malam.”

Lalu, berapa rakaat qiyamullail dilaksanakan? Saya ingin mengulang lagi apa yang pernah disinggung dalam topik shalat tarawih: bahwa syariat tidak menentukan jumlah tertentu yang harus ditetapi dalam qiyamullail, tetapi yang lebih utama sebaiknya dilaksanakan sebanyak delapan rakaat, kemudian diikuti dengan tiga rakaat shalat witir. Jumlah inilah yang diriwayatkan berasal dari perbuatan Rasulullah Saw.
Selain itu, shalat tarawih adalah qiyamullail, di mana istilah tarawih adalah qiyamullail selama bulan Ramadhan saja, tidak di bulan-bulan yang lain.
Sebelumnya, dalam pembahasan “shalat tarawih” telah kami sebutkan hadits Abu Salamah bin Abdirrahman, bahwa dia bertanya kepada Aisyah:

“Bagaimana shalat Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan? Maka Aisyah berkata: Rasulullah Saw. tidak menambah dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan engkau jangan menanyakan bagaimana bagus dan panjangnya shalat tersebut. Kemudian beliau Saw. shalat empat rakaat dan jangan engkau tanyakan bagaimana bagus dan panjangnya shalat tersebut, kemudian beliau Saw. shalat tiga rakaat...” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat malam tiga belas rakaat, beliau Saw. berwitir darinya lima rakaat, dan beliau tidak duduk sekalipun pada witir tersebut kecuali di rakaat terakhirnya.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. shalat malam tiga belas rakaat, di antaranya adalah witir dan dua rakaat fajar.” (HR. Bukhari)

Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Adalah shalat Nabi Saw. tiga belas rakaat, yakni pada malam hari.” (HR. Bukhari dan Ibnu Hibban)

Dari Aisyah Ummul Mukminin ra., di mana Abu Salamah telah bertanya kepadanya tentang shalat Rasulullah Saw., maka ia berkata:

“Beliau shalat tiga belas rakaat: shalat delapan rakaat kemudian berwitir, lalu shalat dua rakaat dan beliau dalam keadaan duduk. Jika beliau ingin ruku' maka beliau berdiri lalu ruku'. Setelah itu shalat dua rakaat di antara adzan dan iqamat dari shalat subuh.” (HR. Muslim)

Dari Amir bin as-Sya’biy ia berkata:

“Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar tentang shalat Rasulullah Saw. pada waktu malam, maka keduanya berkata: Tiga belas rakaat, di antaranya delapan rakaat, dan berwitir tiga rakaat, dan dua rakaat setelah fajar.” (HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian, maka Rasulullah Saw. biasanya shalat malam sebanyak delapan rakaat, kemudian shalat witir. Kadang-kadang beliau Saw. shalat witir sebanyak tiga rakaat, dan jumlah witir inilah yang paling populer dan paling banyak beliau lakukan. Tetapi terkadang lima rakaat, serta kadangkala juga lebih banyak dari itu atau lebih sedikit.
Yang menjadi perhatian kita di sini adalah shalat malamnya, di mana dalam hadits yang pertama, di sana disebutkan bahwa beliau Saw. shalat malam empat rakaat empat rakaat, yakni shalat sebanyak delapan rakaat dengan sisa tiga rakaat shalat witir, dan dalam hadits kedua disebutkan bahwa beliau Saw. shalat tiga belas rakaat dan berwitir lima rakaat darinya, yakni beliau Saw. shalat malam di sini sebanyak delapan rakaat juga.
Dan dalam hadits yang ketiga disebutkan bahwa beliau Saw. shalat malam tiga belas rakaat, di antaranya adalah witir dan dua rakaat fajar, yakni beliau Saw. shalat malam delapan rakaat, kemudian tiga rakaat witir dan dua rakaat fajar.
Dan dalam hadits yang keempat disebutkan bahwa beliau Saw. shalat tiga belas rakaat, jumlah ini disebutkan secara global tanpa rincian, dan ini adalah riwayat dari Ibnu Abbas.
Dan dalam hadits yang keenam yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar terdapat rincian terhadap bentuk global sebelumnya: “tiga belas rakaat, di antaranya delapan rakaat, dan berwitir tiga rakaat, dan dua rakaat setelah fajar”, dan ini juga menunjukkan bahwa beliau Saw. shalat delapan rakaat.
Dan dalam hadits yang kelima disebutkan bahwa beliau Saw. shalat delapan rakaat kemudian berwitir. Jadi, seluruh hadits-hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat malam itu delapan rakaat.

Meskipun demikian, ada juga hadits-hadits lain yang jumlahnya lebih sedikit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. kadangkala shalat dengan rakaat lebih banyak dari itu, atau kadangkala lebih sedikit dari itu. Contohnya hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Qais bin Makhramah, dari Zaid bin Khalid al-Juhani ra. ia berkata:

“Aku akan menceritakan sepintas tentang shalat Rasulullah Saw. di waktu malam. Beliau shalat dua rakaat dengan ringan, kemudian shalat dua rakaat yang panjang, yang panjang, yang panjang, kemudian beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya, kemudian beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya, lalu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya. Setelah itu berwitir, dan itulah ketiga belas rakaat.” (HR. Muslim, Malik dan Ibnu Majah)

Hadits ini menyebutkan sepuluh rakaat shalat Rasulullah Saw. selain witir, dan dua rakaat yang ringan di awal shalatnya. Bukhari meriwayatkan hadits serupa dari Ibnu Abbas. Di sisi lain, Masruq meriwayatkan:

“Bahwa dia mengunjungi Aisyah dan bertanya kepadanya tentang shalat Rasulullah Saw. pada waktu malam? Maka Aisyah berkata: Beliau shalat tiga belas rakaat di waktu malam, kemudian jika dia shalat sebelas rakaat maka beliau meninggalkan dua rakaat. Setelah itu beliau Saw. diwafatkan, ketika diwafatkan itu beliau Saw. shalat malam sembilan rakaat, akhir shalatnya di waktu malam dan shalat witir, lalu beliau mendatangi tempat tidurku ini. Tak lama kemudian datanglah Bilal dan dia mengundangkan adzan.” (HR. Ibnu Hibban)

Di sini Aisyah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. meninggalkan dua rakaat, yakni beliau mengurangi jumlah rakaat shalat malam dua rakaat. Ketika diketahui bahwa Aisyah ra. banyak menukil rakaat shalat malam berjumlah delapan rakaat -dibandingkan dengan ketika menyebutkan shalat beliau tiga belas rakaat secara global-, maka diketahui bahwa maksud Aisyah dengan ucapannya: “bahwa beliau Saw. shalat sebelas rakaat, meninggalkan dua rakaat”, ini maksudnya adalah bahwa beliau Saw. shalat di akhir masanya sebanyak enam rakaat shalat malam selain tiga rakaat shalat witir. Sehingga seluruhnya berjumlah sembilan rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini.

Adapun ucapan Aisyah bahwa beliau Saw. shalat sebelas rakaat maka ini bisa dipahami bahwa Aisyah menambahkannya dengan dua rakaat fajar, atau dua rakaat yang ringan, dan dia tidak memasukkannya sebagai shalat malam, sehingga bilangan rakaat ini seluruhnya sebelas rakaat.
Mungkin sekali tambahan rakaat shalat malam yang beliau Saw. lakukan di satu kali, atau pengurangan di kali yang lain, untuk menjelaskan bolehnya dan tidak wajibnya membatasi shalat malam pada delapan rakaat.
Jadi, shalat malam itu seperti shalat tarawih yang berjumlah delapan rakaat, dengan tetap ada kebolehan untuk menambah atau mengurangi jumlah rakaatnya. Termasuk sunah dalam qiyamullail adalah hendaknya shalat malam tersebut diawali dengan dua rakaat yang ringan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sebelumnya telah saya sebutkan, yakni hadits Zaid bin Khalid al-Juhani:

“Beliau shalat dua rakaat dengan ringan”

Abu Hurairah juga telah meriwayatkan dari Nabi Saw., ia berkata:

“Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat malam, maka hendaklah shalatnya itu diawali dengan dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dan dari Aisyah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika beliau shalat malam, maka beliau awali shalatnya itu dengan dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud)

Dan termasuk sunah juga bahwa hendaknya seseorang membersihkan giginya dengan siwak atau dengan menyikat gigi sebelum masuk ke dalam shalatnya. Hudzaifah ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa Nabi Saw. jika berdiri untuk tajahud di waktu malam, maka beliau membersihkan mulutnya dengan siwak.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Termasuk bagian sunah juga bahwa seorang Muslim hendaknya berdoa dengan doa-doa ma’tsur yang mudah baginya sebelum melakukan shalat malam. Saya telah memilihkan untuk Anda sekalian doa dan dzikir berikut ini, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., ia berkata:


“Adalah Nabi Saw. jika berdiri di waktu malam untuk bertahajud maka beliau Saw. mengucapkan: “Ya Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau penegak langit dan bumi dan segala isinya, dan bagi-Mu segala puji, bagi-Mu kerajaan langit dan bumi dan segala isinya, bagi-Mu segala puji, Engkaulah cahaya langit dan bumi dan segala isinya, bagi-Mu segala puji, Engkaulah yang merajai langit dan bumi, dan bagi-Mu segala puji Engkau adalah haq, janji-Mu adalah haq, pertemuan dengan-Mu adalah haq dan firman-Mu adalah haq, dan Surga itu adalah haq, dan neraka itu adalah haq, dan para Nabi itu adalah haq, dan Muhammad Saw. itu adalah haq, dan Hari Kiamat itu adalah haq. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, dan kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal dan kepada-Mu aku kembali. Dengan-Mu aku berhujjah dan kepada-Mu aku berhukum, maka ampunilah aku atas dosa yang telah dan belum aku lakukan, dosa yang aku sembunyikan dan aku nyatakan. Engkaulah yang mengawalkan dan mengakhirkan. Tidak ada tuhan selain Engkau, atau tidak ada tuhan selain-Mu.” (HR. Bukhari)

Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan Tirmidzi meriwayatkan hadits ini juga dengan sedikit perbedaan redaksi.

Bagi yang menginginkan doa yang lebih pendek dan lebih mudah dihafal, maka ucapkanlah doa yang diriwayatkan Ubadah bin Shamit ra. dari Nabi Saw., ia berkata:


“Barangsiapa yang bangun di waktu malam maka hendaklah dia mengucapkan: “Tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah, tidak ada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Kemudian ucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku.” Atau dia berdoa, maka doanya akan diijabah, dan jika dia berwudhu maka shalatnya akan diterima.” (HR. Bukhari dan Ibnu Hibban)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dengan tambahan: “Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Agung” sehingga kalimatnya menjadi:


“Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Agung.”

Boleh juga dalam shalat malam menjaharkan bacaan, sama seperti kebolehan mensirrkannya. Boleh mengeraskan suara sebagaimana boleh merendahkannya, ini jika seorang Muslim melaksanakan shalat malamnya secara sendirian tanpa ada orang lain yang sedang shalat di sampingnya. Jika dia shalat di masjid atau di suatu tempat yang juga ada orang lain yang sedang shalat, maka hendaknya dia merendahkan suaranya agar tidak mengganggu orang yang shalat yang ada di sampingnya. Dari Abdullah bin Abi Qais ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah: bagaimanakah bacaan Rasulullah Saw. di waktu shalat malam, apakah dijahrkan ataukah disirrkan? Ia berkata: semua itu pernah beliau Saw. lakukan, kadang-kadang beliau menjaharkan dan kadangkala pula beliau mensirrkan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Adalah bacaan Nabi Saw. di waktu malam, sekali-kali beliau mengeraskannya, sekali-kali beliau Saw. merendahkannya.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang serupa dari itu.

Dari Abu Said ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. beri'tikaf di masjid, lalu dia mendengar mereka mengeraskan bacaannya. Beliau menyingkap tirai dan berkata: ”Ketahuilah bahwa setiap dari kalian itu sedang bermunajat dengan Tuhannya, maka janganlah kalian saling mengganggu satu sama lain, dan janganlah saling mengeraskan bacaan satu sama lain.” Atau beliau berkata: dalam shalat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Seperti halnya shalat sunat rawatib yang bisa diqadha, maka orang yang terbiasa melaksanakan qiyamullail lalu luput karena tertidur, atau sakit di waktu malamnya, atau tersibukkan oleh sesuatu, maka dia boleh mengqadhanya di siang harinya. Itu dilakukan antara shalat fajar dan shalat dhuhur. Sa’ad bin Hisyam telah meriwayatkan dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. jika luput shalat malam karena sakit atau selainnya, maka beliau shalat di siang hari dua belas rakaat.” (HR. Muslim dan an-Nasai)

Dalam riwayat Muslim yang lain dari jalur Saad bin Hisyam dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika melakukan satu amalan maka beliau Saw. menetapinya, dan jika beliau tertidur dari shalat malam atau terkena sakit maka beliau Saw. shalat di siang hari sebanyak dua belas rakaat...”

Dari Umar bin Khaththab ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang tertidur dan luput darinya satu bagian dari al-Qur’an atau selainnya, maka hendaklah dia membacanya di antara shalat fajar dan shalat dhuhur, sehingga akan dituliskan untuknya seolah-olah dia membacanya di waktu malam.” (HR. Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Seperti halnya setiap ibadah yang lain, seorang Muslim hendaknya melakukan itu sesuai dengan kemampuannya, tidak perlu membebani dengan sesuatu yang bisa menyusahkan dirinya. Karena Allah Swt. tidak akan jemu hingga hamba-Nya merasa jemu, begitu pula dengan shalat malam. Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. telah mengunjungiku sedangkan di sampingku ada seorang perempuan, beliau bertanya: ”Siapakah ini?” Aku menjawab: “Seorang perempuan yang tidak tidur untuk melaksanakan shalat.” Beliau berkata: “Kalian harus melakukan suatu amalan yang kalian mampu, maka demi Allah, Allah tidak akan jemu hingga kalian merasa jemu...” (HR. Muslim)

Ahmad dan Ibnu Hibban meriwayatkan dengan redaksi:

“Sesungguhnya al-Haula binti Tuwait lewat di depan Aisyah, dan di sampingnya ada Rasululllah Saw. Ia berkata: maka aku berkata: Wahai Rasulullah, inilah al-Haula, di mana orang-orang menyangka bahwa dia tidak tidur di waktu malam. Maka Rasulullah Saw. berseru: “Tidak tidur malam?! Lakukanlah amalan yang kalian mampu, maka demi Allah, Allah tidak akan jemu hingga kalian merasa jemu.”

Dengan demikian, hendaknya seorang Muslim berusaha melakukan shalat dengan lama tetapi sesuai dengan kemampuannya, hingga jika dia ada kesusahan yang teramat sangat, lalu dia merasa tidak mampu melanjutkan shalat maka hendaklah dia menghentikan shalatnya dan kemudian tidur. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bangun malam, lalu dia merasa kelu membaca al-Qur’an (karena beratnya rasa kantuk) sehingga dia tidak tahu apa yang diucapkannya, maka hendaklah dia berbaring tidur.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam