F. Qiyamu Lail
Disebut juga dengan shalatul lail atau shalat tahajud. Allah Swt.
berfirman:
“Hai orang yang
berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya).” (TQS. al-Muzammil [73]: 1-2)
“Dan pada sebahagian
malam hari, bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.
Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (TQS. al-Isra
[17]: 79)
Dalam pembahasan “witir”
sebelumnya, telah kami sebutkan satu hadits Ibnu Umar ra.:
“Bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang shalat malam, maka beliau
berkata: ”Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat...” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kami tidak merasa
perlu menetapkan istilah tahajud untuk shalat malam ini, walaupun dilakukan
setelah tidur -sebagaimana hal ini menjadi pandangan sejumlah ahli fikih-, di
mana mereka berargumen bahwa tahajud dan al-hujud
itu menurut bahasa adalah an-naum
(tidur). Orang disebut hajada yahjudu
jika dia naama (tidur), karena itu
mereka berkata: tahajud itu tidak dilakukan kecuali setelah tidur di malam
hari. Dan jika shalat setelah isya sebelum dia tidur, maka shalatnya itu tidak
dinamakan shalat tahajud. Memang benar, kami tidak perlu melakukan pembatasan seperti
ini, pertama, karena hukum tahajud adalah hukum shalat malam itu sendiri, tanpa
ada perbedaan di antara keduanya, dan kedua, kata hajada
yahjudu sebagaimana berarti naama
yanaamu (tidur) juga berarti sahira
yas-haru (tidak tidur), sehingga termasuk kata yang memiliki pengertian
saling bertentangan. Dengan demikian, menetapkan istilah tahajud untuk shalat
ini sebelum tidur, sah-sah saja, sama seperti sahnya menetapkan istilah tahajud
ini untuk shalat setelah tidur.
Keutamaan qiyamul lail
sangat besar sekali, tidak bisa dilebihi kecuali oleh keutamaan shalat-shalat
fardhu saja. Karenanya, qiyamul
lail merupakan shalat tathawwu’ yang paling utama, bahkan melebihi shalat sunat rawatib. Dari Abu Hurairah ra. ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Puasa yang paling
utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa syahrullah,
yakni bulan Muharam. Dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah
shalat malam.” (HR. Tirmidzi)
Dalam satu riwayat
dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. ditanya:
“Shalat apa yang
paling utama setelah shalat fardhu?” Beliau berkata: “Shalat di sepertiga akhir
malam.” Lalu ditanyakan: “Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau
Saw. menjawab: “Puasa pada bulan Allah (syahrullah),
yang kalian sebut sebagai bulan Muharram.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasai)
Ada beberapa nash yang
menganjurkan kepada kita untuk melakukan qiyamul lail. Di antaranya adalah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Allah Swt. merahmati
seorang laki-laki yang bangun malam hari lalu dia shalat dan membangunkan
istrinya sehingga istrinya pun ikut shalat. Jika tidak mau maka dia memercikkan
air ke wajah istrinya itu. Dan Allah Swt. merahmati seorang istri yang bangun di
waktu malam, lalu dia shalat dan membangunkan suaminya, kemudian dia pun
shalat. Jika tidak mau, maka dia memercikkan air ke wajah suaminya.” (HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)
Dari Abu Said ra. ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga perkara yang
membuat Allah tertawa melihat kalian: (yaitu) seorang laki-laki jika bangun
malam dia shalat, satu kaum jika berbaris (tiada lain) untuk shalat, dan satu
kaum jika berbaris (tiada lain) untuk berperang.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)
Dari Abdullah bin Amr
bin Ash ra. ia berkata: Rasulullah Saw. berkata kepadaku:
“Wahai Abdullah,
janganlah engkau seperti si fulan, sering bangun di waktu malam tetapi
meninggalkan shalat malam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Umamah al-Bahili
ra. meriwayatkan dari Rasulullah Saw., beliau bersabda:
“Kalian harus menjaga
shalat malam, karena ia merupakan jalan orang-orang shalih sebelum kalian, cara
yang kalian miliki untuk mendekati Tuhan kalian, penebus kesalahan-kesalahan,
dan pencegah dari dosa-dosa.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, at-Thabrani dan
al-Hakim)
Qiyamullail sebelumnya
pernah diwajibkan dan difardhukan selama satu tahun penuh sejak turunnya firman
Allah Swt.:
“Hai orang yang
berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya).” (TQS. al-Muzammil [73]: 1-2)
Kemudian, hukum wajib
ini dinasakh, sehingga qiyamullail hukumnya menjadi
sunat yang sangat dianjurkan, dengan adanya firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Tuhanmu
mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya, dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu, dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu, bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (TQS. al-Muzammil [73]: 20)
Kata 'alima an lan tuhshuuhu, artinya Allah Swt.
mengetahui bahwa kalian tidak akan dapat atau tidak akan mampu melakukannya.
Dari Saad bin Hisyam bin ‘Amir: bahwa dia bertanya kepada Aisyah ra.:
”...Beritahu aku
tentang shalat malamnya Rasulullah Saw.?” Aisyah bertanya: “Apakah engkau
pernah membaca Yaa ayyuhal muzammil?”
Aku berkata: “Ya.” Dia berkata: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkan qiyamullail dengan ayat di awal surat
ini. Lalu Nabi Saw. dan para sahabatnya melakukan qiyamullail selama satu
tahun, dan Allah Swt. menahan penutup surat ini selama dua belas bulan di
langit, hingga Allah Swt. memberikan keringanan yang tercantum pada akhir surat
ini, sehingga qiyamullail menjadi shalat tathawwu'
setelah sebelumnya sebagai shalat fardhu...”
Dari sebuah hadits
panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasai, dari Ibnu Abbas ra., ia
berkata mengomentari surat al-Muzammil: “Bangunlah (untuk shalat) di malam
hari, kecuali sedikit (daripadanya) (TQS. al-Muzammil: 2) telah dinasakh dengan ayat berikutnya yakni: “Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an…” ( TQS. al-Muzammil: 20)” (HR. Abu Dawud)
Waktu qiyamullail itu
sangat luas sekali, seperti waktu shalat witir dan seperti waktu shalat
tarawih, berlangsung dari
setelah shalat isya hingga adzan fajar, yakni terbitnya fajar. Dan waktu
yang paling utama adalah di akhir malam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
bahwa Amr bin ‘Abasah berkata:
“Aku bertanya: “Wahai
Rasulullah, bagian malam yang manakah yang paling didengar?” Beliau Saw.
berkata: “Sepertiga malam terakhir, maka shalatlah sekehendakmu.” (HR. Abu
Dawud, al-Hakim dan Tirmidzi)
Oleh karena itu, siapa
yang ingin memperoleh keutamaan yang sempurna dari qiyamullail maka hendaknya
dia melaksanakan shalat tersebut dia akhir malam, sehingga setiap kali dia
bertaqarrub kepada Allah dengan shalat di akhir malam niscaya dia akan memperoleh
keutamaan yang sempurna. Dari Masruq ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah tentang amal yang dilakukan Rasulullah Saw. Ia berkata: Beliau suka
sesuatu yang terus-menerus dilakukan, Ia berkata: aku bertanya: Saat kapankah
dia shalat? Aisyah berkata: Jika beliau mendengar kokok ayam jantan maka beliau
bangun kemudian shalat.” (HR. Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, Bukhari dan Ahmad)
As-Sharih artinya: ayam jantan yang berkokok
di akhir malam, beberapa saat sebelum terbit fajar. Inilah keterangan yang bisa
digunakan jika seseorang ingin melakukan beberapa rakaat dari qiyamullail.
Namun, jika dia ingin
melakukan shalat sebanyak sepertiga malam, maka hendaknya dia menjadikan
shalatnya di sepertiga malam terakhir. Dan jika dia ingin shalat sebanyak
setengah malam, maka hendaknya dia mulai shalat pada pertengahan malam dan
berakhir di penghujung malam. Dan jika dia ingin lebih banyak dari itu, maka
hendaknya dia mulai setelah sepertiga malam awal, dan tidak disarankan untuk
menambah lebih dari itu, karena seseorang harus menjadikan satu bagian malam
untuk tidur dan tidak boleh digunakan untuk shalat seluruhnya. Untuk setiap
hal, terkait ketentuan waktu di atas, saya sebutkan beberapa hadits berikut.
Dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
takut tidak bangun pada akhir malam maka hendaklah dia berwitir di awal malam.
Dan barangsiapa yang berkeinginan besar untuk bangun di akhir malam, maka
witirlah di akhir malam, karena shalat akhir malam itu disaksikan, dan itu
lebih utama.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dan hadits Muslim yang
lain dari jalur Jabir:
“Siapa saja dari
kalian yang takut tidak bangun di akhir malam maka hendaklah dia witir kemudian
dia tidur. Dan barangsiapa yang percaya bisa bangun malam maka berwitirlah di
akhirnya, karena bacaan akhir malam itu dihadiri, dan itu lebih utama.”
Kedua hadits ini telah
kami sebutkan dalam pembahasan tentang “witir.” Abu Hurairah ra. telah
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Tuhan kita yang
Mahasuci dan Mahaluhur turun ke langit dunia setiap malam ketika tinggal
sepertiga malam terakhir. Dia Swt. berkata: “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku
niscaya Aku mengabulkannya, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku
memberinya, dan barangsiapa yang meminta ampunan niscaya Aku mengampuninya.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Dalam riwayat Muslim
dari jalur Abu Hurairah disebutkan dengan redaksi:
“Jika telah berlalu
setengah malam atau sepertiga malam maka turunlah Allah yang Mahasuci lagi
Mahaluhur ke langit dunia...”
Di dalam redaksi ini
ada kebimbangan antara setengah malam dan sepertiga malam terakhir. Yang serupa
dengan ini adalah hadits Muslim yang ketiga dari jalur Abu Hurairah, di
dalamnya disebutkan:
“Allah turun ke langit
dunia pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir”
Tiga riwayat ini
menyebutkan dengan jelas sepertiga malam terakhir, dan dua riwayat di antaranya
ragu-ragu menyebutkan antara pertengahan malam dan sepertiga malam terakhir.
Dalam hadits keempat yang juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama
disebutkan dengan redaksi:
“Allah turun ke langit
dunia pada setiap malam ketika telah berlalu sepertiga malam pertama.”
Ada beberapa hadits
serupa yang diriwayatkan oleh Ahmad, abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah dari jalur Abu Hurairah dan Abu Said ra. Semua hadits ini menyebutkan
(setelah berlalu) sepertiga malam pertama, bukan yang terakhir. Dan tentu ini
bertentangan dengan riwayat-riwayat yang pertama yang lebih shahih dan lebih
kuat yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Abu Dawud.
Jumhur ulama memandang
bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud
ini lebih rajih dibandingkan dengan riwayat Muslim yang keempat, sehingga
mengamalkan hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Abu Dawud lebih utama.
Yang memperkuat riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat ini adalah hadits yang
diriwayatkan Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berkata kepadanya: “Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud as.,
dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud as., di mana dia tidur
setengah malam dan bangun sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya, dan beliau
berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu
Majah dan Ahmad)
Seandainya kita
berasumsi bahwa malam di sini adalah dua belas jam menurut perhitungan waktu
modern, maka sepertiga malam terakhir adalah empat jam terakhir dari satu
malam, dan setengahnya adalah enam jam.
Ketika Dawud as. tidur
setengah malam dan melaksanakan shalat selama sepertiganya, maka dia telah
melaksanakan shalat selama dua jam dari jam-jam pertama sepertiga malam
terakhir, dan kemudian tidur dua jam darinya -yakni tidur seperenam malam-,
artinya, dia shalat di sepertiga malam terakhir, sehingga dia beroleh keutamaan
yang sempurna.
Hadits ini juga
menguatkan dua riwayat lainnya yang bimbang menyebutkan antara setengah malam
dan sepertiga malam terakhir, sehingga keutamaan yang sempurna kemungkinan
besar bisa diraih dengan memulai shalat di pertengahan malam, sehingga Dawud
as. tidur setengah malam, yakni tidur enam jam pertama dari malam, dan bangun
ketika pertengahan malam, lalu dia shalat sepertiga malam yang dimulai pada
pertengahan malam, sehingga dia shalat dua jam sebelum sepertiga malam
terakhir, kemudian shalat dua jam lainnya dari sepertiga malam terakhir. Dengan
demikian, Dawud as. telah melaksanakan shalat selama empat jam, dan ini
sebanding dengan sepertiga malam sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits: “dia
bangun sepertiganya”, di mana sepertiga ini menghimpun antara dua jam sebelum
sepertiga malam terakhir dan dua jam dari sepertiga malam terakhir, sehingga
hal ini bisa mengkompromikan antara yang mengamalkan setengah malam dan yang
mengamalkan sepertiga malam.
Selain itu, saya ingin
mengulang dan mengingatkan bahwa waktu shalat malam itu begitu lapang, yang
dimulai setelah shalat isya. Saya semata-mata ingin menekankan waktu keutamaan
yang sempurna saja, dan waktu tersebut sedikit diragukan antara pertengahan malam
atau sepertiga malam terakhir.
Mengenai firman Allah
Swt. dalam surat al-Muzammil:
“Bangunlah (untuk
shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau
kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah
al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (TQS. al-Muzammil [73]: 2-4)
Dan firman Allah Swt.
dalam surat yang sama:
“Sesungguhnya Tuhanmu
mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya, dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu…” (TQS. al-Muzammil [73]: 20)
Firman Allah Swt. ini
tidak dalam pembahasan waktu keutamaan yang sempurna, semata-mata terkait
dengan ukuran qiyamullail, sehingga ayat ini tidak bertentangan dengan
hadits-hadits Nabi yang menentukan waktu keutamaan yang sempurna pada
pertengahan malam kedua, dan sepertiga malam terakhir.
Sehingga makna
sesungguhnya dari ayat al-Qur'an ini adalah: bahwa qiyamullail bagi orang yang
ingin melaksanakannya dengan lama adalah dengan ukuran setengah malam. Ini
dimulai ketika pertengahan malam, dan tentu mencakup sepertiga malam terakhir.
Shalat ini bisa juga dilaksanakan dengan ukuran sepertiga malam, dan ini lebih
jelas lagi. Bisa juga dilaksanakan dalam dua pertiga malam, di mana shalatnya
dimulai setelah berlalunya sepertiga malam pertama, dan berlangsung terus
hingga akhir malam, dan akhirnya waktu inipun mencakup sepertiga malam
terakhir.
Dan ungkapan: “atau
lebih dari seperdua itu ” maka hal ini juga dimulai ketika pertengahan malam
dan berlangsung terus hingga akhir malam, sehingga sepertiga malam terakhir
masuk ke dalamnya.
Begitulah, sepertiga
malam terakhir masuk dalam seluruh kondisi yang diceritakan oleh Nabi Saw.,
termasuk dalam (waktu) shalat yang disebutkan dalam surat al-Muzammil dalam dua
tempat di antaranya.
Semua ini sebenarnya
berkaitan dengan orang yang melakukan qiyamullail sendirian di rumah.
Apabila qiyamullail
dilaksanakan secara berjamaah di masjid, atau berupa shalat tarawih, maka ini
dilaksanakan di awal malam setelah shalat isya, karena seperti inilah yang
telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw. Dalam pembahasan tentang
“shalat tarawih”
telah kami sebutkan satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Malik:
“Maka Umar berkata:
“Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini, dan orang-orang yang tidur darinya itu lebih
baik daripada orang-orang yang melaksanakannya, yakni di akhir malam, dan
orang-orang yang melaksanakannya di awal malam.”
Lalu, berapa rakaat
qiyamullail dilaksanakan? Saya ingin mengulang lagi apa yang pernah disinggung
dalam topik shalat tarawih: bahwa syariat tidak menentukan jumlah tertentu yang
harus ditetapi dalam qiyamullail, tetapi yang lebih utama sebaiknya dilaksanakan sebanyak delapan
rakaat, kemudian diikuti dengan tiga rakaat shalat witir. Jumlah inilah
yang diriwayatkan berasal dari perbuatan Rasulullah Saw.
Selain itu, shalat
tarawih adalah qiyamullail, di mana istilah tarawih adalah qiyamullail selama
bulan Ramadhan saja, tidak di bulan-bulan yang lain.
Sebelumnya, dalam
pembahasan “shalat tarawih” telah kami sebutkan hadits Abu Salamah bin
Abdirrahman, bahwa dia bertanya kepada Aisyah:
“Bagaimana shalat
Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan? Maka Aisyah berkata: Rasulullah Saw. tidak
menambah dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih dari
sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan engkau jangan menanyakan
bagaimana bagus dan panjangnya shalat tersebut. Kemudian beliau Saw. shalat
empat rakaat dan jangan engkau tanyakan bagaimana bagus dan panjangnya shalat
tersebut, kemudian beliau Saw. shalat tiga rakaat...” (HR. Bukhari, Muslim,
Malik, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. shalat malam tiga belas rakaat, beliau Saw. berwitir darinya lima rakaat,
dan beliau tidak duduk sekalipun pada witir tersebut kecuali di rakaat
terakhirnya.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Adalah Nabi Saw.
shalat malam tiga belas rakaat, di antaranya adalah witir dan dua rakaat
fajar.” (HR. Bukhari)
Dari Ibnu Abbas ra. ia
berkata:
“Adalah shalat Nabi
Saw. tiga belas rakaat, yakni pada malam hari.” (HR. Bukhari dan Ibnu Hibban)
Dari Aisyah Ummul
Mukminin ra., di mana Abu Salamah telah bertanya kepadanya tentang shalat
Rasulullah Saw., maka ia berkata:
“Beliau shalat tiga
belas rakaat: shalat delapan rakaat kemudian berwitir, lalu shalat dua rakaat
dan beliau dalam keadaan duduk. Jika beliau ingin ruku' maka beliau berdiri
lalu ruku'. Setelah itu shalat dua rakaat di antara adzan dan iqamat dari
shalat subuh.” (HR. Muslim)
Dari Amir bin
as-Sya’biy ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar tentang shalat Rasulullah Saw. pada
waktu malam, maka keduanya berkata: Tiga belas rakaat, di antaranya delapan
rakaat, dan berwitir tiga rakaat, dan dua rakaat setelah fajar.” (HR. Ibnu
Majah)
Dengan demikian, maka
Rasulullah Saw. biasanya shalat malam sebanyak delapan rakaat, kemudian shalat
witir. Kadang-kadang beliau Saw. shalat witir sebanyak tiga rakaat, dan jumlah
witir inilah yang paling populer dan paling banyak beliau lakukan. Tetapi terkadang
lima rakaat, serta kadangkala juga lebih banyak dari itu atau lebih sedikit.
Yang menjadi perhatian
kita di sini adalah shalat malamnya, di mana dalam hadits yang pertama, di sana
disebutkan bahwa beliau Saw. shalat malam empat rakaat empat rakaat, yakni
shalat sebanyak delapan rakaat dengan sisa tiga rakaat shalat witir, dan dalam
hadits kedua disebutkan bahwa beliau Saw. shalat tiga belas rakaat dan berwitir
lima rakaat darinya, yakni beliau Saw. shalat malam di sini sebanyak delapan
rakaat juga.
Dan dalam hadits yang
ketiga disebutkan bahwa beliau Saw. shalat malam tiga belas rakaat, di
antaranya adalah witir dan dua rakaat fajar, yakni beliau Saw. shalat malam
delapan rakaat, kemudian tiga rakaat witir dan dua rakaat fajar.
Dan dalam hadits yang
keempat disebutkan bahwa beliau Saw. shalat tiga belas rakaat, jumlah ini
disebutkan secara global tanpa rincian, dan ini adalah riwayat dari Ibnu Abbas.
Dan dalam hadits yang
keenam yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar terdapat rincian
terhadap bentuk global sebelumnya: “tiga belas rakaat, di antaranya delapan
rakaat, dan berwitir tiga rakaat, dan dua rakaat setelah fajar”, dan ini juga
menunjukkan bahwa beliau Saw. shalat delapan rakaat.
Dan dalam hadits yang
kelima disebutkan bahwa beliau Saw. shalat delapan rakaat kemudian berwitir.
Jadi, seluruh hadits-hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat malam itu
delapan rakaat.
Meskipun demikian, ada
juga hadits-hadits lain yang jumlahnya lebih sedikit yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. kadangkala shalat dengan rakaat lebih banyak dari itu, atau
kadangkala lebih sedikit dari itu. Contohnya hadits yang diriwayatkan Abdullah
bin Qais bin Makhramah, dari Zaid bin Khalid al-Juhani ra. ia berkata:
“Aku akan menceritakan
sepintas tentang shalat Rasulullah Saw. di waktu malam. Beliau shalat dua
rakaat dengan ringan, kemudian shalat dua rakaat yang panjang, yang panjang,
yang panjang, kemudian beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari
sebelumnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari
sebelumnya, kemudian beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari
sebelumnya, lalu beliau shalat dua rakaat yang lebih pendek dari sebelumnya.
Setelah itu berwitir, dan itulah ketiga belas rakaat.” (HR. Muslim, Malik dan
Ibnu Majah)
Hadits ini menyebutkan
sepuluh rakaat shalat Rasulullah Saw. selain witir, dan dua rakaat yang ringan
di awal shalatnya. Bukhari meriwayatkan hadits serupa dari Ibnu Abbas. Di sisi
lain, Masruq meriwayatkan:
“Bahwa dia mengunjungi
Aisyah dan bertanya kepadanya tentang shalat Rasulullah Saw. pada waktu malam?
Maka Aisyah berkata: Beliau shalat tiga belas rakaat di waktu malam, kemudian
jika dia shalat sebelas rakaat maka beliau meninggalkan dua rakaat. Setelah itu
beliau Saw. diwafatkan, ketika diwafatkan itu beliau Saw. shalat malam sembilan
rakaat, akhir shalatnya di waktu malam dan shalat witir, lalu beliau mendatangi
tempat tidurku ini. Tak lama kemudian datanglah Bilal dan dia mengundangkan
adzan.” (HR. Ibnu Hibban)
Di sini Aisyah
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. meninggalkan dua rakaat, yakni beliau
mengurangi jumlah rakaat shalat malam dua rakaat. Ketika diketahui bahwa Aisyah
ra. banyak menukil rakaat shalat malam berjumlah delapan rakaat -dibandingkan
dengan ketika menyebutkan shalat beliau tiga belas rakaat secara global-, maka
diketahui bahwa maksud Aisyah dengan ucapannya: “bahwa beliau Saw. shalat
sebelas rakaat, meninggalkan dua rakaat”, ini maksudnya adalah bahwa beliau
Saw. shalat di akhir masanya sebanyak enam rakaat shalat malam selain tiga
rakaat shalat witir. Sehingga seluruhnya berjumlah sembilan rakaat, sebagaimana
disebutkan dalam hadits ini.
Adapun ucapan Aisyah
bahwa beliau Saw. shalat sebelas rakaat maka ini bisa dipahami bahwa Aisyah
menambahkannya dengan dua rakaat fajar, atau dua rakaat yang ringan, dan dia
tidak memasukkannya sebagai shalat malam, sehingga bilangan rakaat ini
seluruhnya sebelas rakaat.
Mungkin sekali
tambahan rakaat shalat malam yang beliau Saw. lakukan di satu kali, atau
pengurangan di kali yang lain, untuk menjelaskan bolehnya dan tidak wajibnya
membatasi shalat malam pada delapan rakaat.
Jadi, shalat malam itu
seperti shalat tarawih yang berjumlah delapan rakaat, dengan tetap ada
kebolehan untuk menambah atau mengurangi jumlah rakaatnya. Termasuk sunah dalam
qiyamullail adalah hendaknya shalat malam tersebut diawali dengan dua rakaat
yang ringan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sebelumnya telah saya
sebutkan, yakni hadits Zaid bin Khalid al-Juhani:
“Beliau shalat dua
rakaat dengan ringan”
Abu Hurairah juga
telah meriwayatkan dari Nabi Saw., ia berkata:
“Jika salah seorang
dari kalian melakukan shalat malam, maka hendaklah shalatnya itu diawali dengan
dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dan dari Aisyah ra.,
ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika beliau shalat malam, maka beliau awali shalatnya itu dengan dua
rakaat yang ringan.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud)
Dan termasuk sunah
juga bahwa hendaknya
seseorang membersihkan giginya dengan siwak atau dengan menyikat gigi
sebelum masuk ke dalam shalatnya. Hudzaifah ra. telah meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw. jika
berdiri untuk tajahud di waktu malam, maka beliau membersihkan mulutnya dengan
siwak.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Termasuk bagian sunah
juga bahwa seorang Muslim hendaknya berdoa dengan doa-doa ma’tsur yang mudah baginya sebelum melakukan
shalat malam. Saya telah memilihkan untuk Anda sekalian doa dan dzikir berikut
ini, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. jika
berdiri di waktu malam untuk bertahajud maka beliau Saw. mengucapkan: “Ya
Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau penegak langit dan bumi dan segala isinya,
dan bagi-Mu segala puji, bagi-Mu kerajaan langit dan bumi dan segala isinya, bagi-Mu
segala puji, Engkaulah cahaya langit dan bumi dan segala isinya, bagi-Mu segala
puji, Engkaulah yang merajai langit dan bumi, dan bagi-Mu segala puji Engkau
adalah haq, janji-Mu adalah haq, pertemuan dengan-Mu adalah haq dan firman-Mu
adalah haq, dan Surga itu adalah haq, dan neraka itu adalah haq, dan para Nabi
itu adalah haq, dan Muhammad Saw. itu adalah haq, dan Hari Kiamat itu adalah
haq. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, dan kepada-Mu aku beriman,
kepada-Mu aku bertawakal dan kepada-Mu aku kembali. Dengan-Mu aku berhujjah dan kepada-Mu aku berhukum, maka
ampunilah aku atas dosa yang telah dan belum aku lakukan, dosa yang aku
sembunyikan dan aku nyatakan. Engkaulah yang mengawalkan dan mengakhirkan.
Tidak ada tuhan selain Engkau, atau tidak ada tuhan selain-Mu.” (HR. Bukhari)
Ahmad, Abu Dawud,
al-Baihaqi dan Tirmidzi meriwayatkan hadits ini juga dengan sedikit perbedaan
redaksi.
Bagi yang menginginkan
doa yang lebih pendek dan lebih mudah dihafal, maka ucapkanlah doa yang
diriwayatkan Ubadah bin Shamit ra. dari Nabi Saw., ia berkata:
“Barangsiapa yang
bangun di waktu malam maka hendaklah dia mengucapkan: “Tidak ada tuhan selain
Allah, satu-satunya Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan
bagi-Nya segala pujian, dan Dia Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, segala
puji bagi Allah, Maha Suci Allah, tidak ada tuhan selain Allah, Allah Maha
Besar, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Kemudian
ucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku.” Atau dia berdoa, maka doanya akan diijabah, dan jika dia berwudhu maka shalatnya
akan diterima.” (HR. Bukhari dan Ibnu Hibban)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits ini dengan tambahan: “Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Agung”
sehingga kalimatnya menjadi:
“Tidak ada daya dan
kekuatan selain dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Agung.”
Boleh juga dalam
shalat malam menjaharkan bacaan, sama
seperti kebolehan mensirrkannya. Boleh
mengeraskan suara sebagaimana boleh merendahkannya, ini jika seorang Muslim
melaksanakan shalat malamnya secara sendirian tanpa ada orang lain yang sedang
shalat di sampingnya. Jika dia shalat di masjid atau di suatu tempat yang juga
ada orang lain yang sedang shalat, maka hendaknya dia merendahkan suaranya agar
tidak mengganggu orang yang shalat yang ada di sampingnya. Dari Abdullah bin
Abi Qais ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah: bagaimanakah bacaan Rasulullah Saw. di waktu shalat malam, apakah dijahrkan ataukah disirrkan? Ia berkata: semua itu pernah beliau Saw. lakukan,
kadang-kadang beliau menjaharkan dan
kadangkala pula beliau mensirrkan.” (HR.
Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairah ra.
ia berkata:
“Adalah bacaan Nabi
Saw. di waktu malam, sekali-kali beliau mengeraskannya, sekali-kali beliau Saw.
merendahkannya.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits yang serupa dari itu.
Dari Abu Said ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
beri'tikaf di masjid, lalu dia mendengar mereka mengeraskan bacaannya. Beliau
menyingkap tirai dan berkata: ”Ketahuilah bahwa setiap dari kalian itu sedang
bermunajat dengan Tuhannya, maka janganlah kalian saling mengganggu satu sama
lain, dan janganlah saling mengeraskan bacaan satu sama lain.” Atau beliau
berkata: dalam shalat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Seperti halnya shalat sunat rawatib yang bisa diqadha, maka orang yang terbiasa melaksanakan
qiyamullail lalu luput karena tertidur, atau sakit di waktu malamnya, atau
tersibukkan oleh sesuatu, maka dia boleh mengqadhanya
di siang harinya. Itu dilakukan antara shalat fajar dan shalat dhuhur. Sa’ad
bin Hisyam telah meriwayatkan dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
jika luput shalat malam karena sakit atau selainnya, maka beliau shalat di
siang hari dua belas rakaat.” (HR. Muslim dan an-Nasai)
Dalam riwayat Muslim
yang lain dari jalur Saad bin Hisyam dari Aisyah ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika melakukan satu amalan maka beliau Saw. menetapinya, dan jika beliau
tertidur dari shalat malam atau terkena sakit maka beliau Saw. shalat di siang
hari sebanyak dua belas rakaat...”
Dari Umar bin
Khaththab ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
tertidur dan luput darinya satu bagian dari al-Qur’an atau selainnya, maka
hendaklah dia membacanya di antara shalat fajar dan shalat dhuhur, sehingga
akan dituliskan untuknya seolah-olah dia membacanya di waktu malam.” (HR.
Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Seperti halnya setiap
ibadah yang lain, seorang Muslim hendaknya melakukan itu sesuai dengan
kemampuannya, tidak perlu membebani dengan sesuatu yang bisa menyusahkan
dirinya. Karena Allah Swt. tidak akan jemu hingga hamba-Nya merasa jemu, begitu
pula dengan shalat malam. Dari Aisyah ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw. telah
mengunjungiku sedangkan di sampingku ada seorang perempuan, beliau bertanya:
”Siapakah ini?” Aku menjawab: “Seorang perempuan yang tidak tidur untuk
melaksanakan shalat.” Beliau berkata: “Kalian harus melakukan suatu amalan yang
kalian mampu, maka demi Allah, Allah tidak akan jemu hingga kalian merasa
jemu...” (HR. Muslim)
Ahmad dan Ibnu Hibban
meriwayatkan dengan redaksi:
“Sesungguhnya al-Haula
binti Tuwait lewat di depan Aisyah, dan di sampingnya ada Rasululllah Saw. Ia
berkata: maka aku berkata: Wahai Rasulullah, inilah al-Haula, di mana
orang-orang menyangka bahwa dia tidak tidur di waktu malam. Maka Rasulullah
Saw. berseru: “Tidak tidur malam?! Lakukanlah amalan yang kalian mampu, maka
demi Allah, Allah tidak akan jemu hingga kalian merasa jemu.”
Dengan demikian,
hendaknya seorang Muslim berusaha melakukan shalat dengan lama tetapi sesuai
dengan kemampuannya, hingga jika dia ada kesusahan yang teramat sangat, lalu
dia merasa tidak mampu melanjutkan shalat maka hendaklah dia menghentikan
shalatnya dan kemudian tidur. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bangun malam, lalu dia merasa kelu membaca al-Qur’an (karena
beratnya rasa kantuk) sehingga dia tidak tahu apa yang diucapkannya, maka
hendaklah dia berbaring tidur.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar