Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 07 Agustus 2017

Dalil Shalat Gerhana Shalat Kusuf



H. Shalat Kusuf

Shalat ini merupakan salah satu shalat sunat yang disyariatkan ketika terjadi gerhana matahari atau bulan. Istilah kusuf ditetapkan untuk suatu keadaan hilangnya cahaya dan berganti menjadi hitam gelap. Selain istilah kusuf ini ditetapkan untuk keadaan matahari menjadi gelap, maka istilah ini juga ditetapkan untuk keadaan bulan menjadi gelap. Dan jika kita ingin membedakan keduanya maka kita katakan kusuf untuk matahari, dan khusuf untuk bulan, dan keduanya boleh digunakan secara bahasa maupun secara syara’.

Waktu shalat kusuf dimulai ketika mulai gelapnya matahari, dan terus berlangsung sampai matahari mulai tampak dan kusufnya hilang, dan matahari kembali bersinar secara sempurna. Begitu juga dengan gerhana bulan, waktu (shalat)nya dimulai ketika bulan mulai gelap, dan terus berlangsung hingga bulan mulai tampak dan khusufnya hilang dan bulan kembali bercahaya sepenuhnya. Shalat kusuf itu persis sama seperti shalat khusuf, dilaksanakan ketika cahaya matahari atau cahaya bulan hilang, baik seluruhnya atau sebagian, tanpa memperhatikan lagi waktu-waktu terlarang dari shalat. Seandainya kusuf matahari terjadi setelah shalat ashar maka shalat kusuf ini dilaksanakan ketika itu juga tanpa dimakruhkan lagi -ini menurut pendapat yang shahih-, karena waktu tersebut adalah waktunya.

Hukum asal shalat kusuf adalah bahwa seluruh waktunya bisa digunakan. Seorang Muslim memulainya dengan shalat, berbarengan dengan dimulainya kusuf, dan selesai dari shalat, bersamaan dengan selesainya kusuf. Dari al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana (kusuf) di zaman Rasulullah Saw. pada hari meninggalnya Ibrahim. Orang-orang berkata: “Matahari mengalami gerhana karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya matahari dan bulan itu tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang, jika kalian melihat gerhana maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah.” (HR. Bukhari, Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan al-Bazzar)

Muslim meriwayatkan hadits ini, dan di dalamnya disebutkan:

“...Jika kalian melihat dua gerhana tersebut, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah, hingga gerhana itu hilang dari kalian.”

Dari Abu Bakrah ra. ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana di masa Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. keluar sambil menarik kainnya hingga berhenti di masjid, sementara orang-orang berkumpul di sekitarnya. Kemudian beliau shalat dua rakaat mengimami mereka, lalu matahari itu terang kembali. Maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah Swt., dan keduanya itu tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang. Jika terjadi (peristiwa) seperti itu maka shalatlah kalian dan berdoalah, hingga apa yang ada pada kalian ditampakkan kembali.” Hal ini terjadi bertepatan dengan meninggalnya salah seorang putera beliau Saw., namanya Ibrahim, dan orang-orang memperbincangkan hal tersebut.” (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, Ahmad dan an-Nasai)

Ungkapan dalam hadits pertama: jika kalian melihat keduanya maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga gerhana itu hilang dari kalian, dan ungkapan dalam hadits kedua: sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah Swt., dan sesungguhnya keduanya itu tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan jika terjadi seperti itu maka shalatlah kalian dan berdoalah hingga gerhana itu hilang dari kalian, kedua ungkapan ini menunjukkan sejumlah hukum sebagai berikut:

a. Sesungguhnya shalat kusuf itu adalah shalat khusuf itu sendiri.

b. Sesungguhnya dimulainya shalat adalah ketika dimulainya kusuf atau khusuf tersebut.

c. Sesungguhnya shalat tersebut menghabiskan waktu kusuf/khusuf itu sepenuhnya. Dengan kata lain, bahwa shalat dimulai ketika kusuf atau khusuf itu mulai terjadi, dan shalat terus berlangsung hingga selesainya gerhana, selama apapun waktunya, baik terjadi dalam satu jam, lebih, ataupun kurang.

Perlu diperhatikan di sini bahwa shalat kusuf jangan sampai menyibukkan kita dari shalat fardhu, sehingga cara teknisnya bisa dengan melaksanakan terlebih dahulu shalat yang wajib -hal ini dilakukan ketika waktu shalat wajib tersebut telah sempit- kemudian baru kita laksanakan shalat kusuf. Bisa juga dengan melaksanakan terlebih dahulu shalat kusuf, kemudian shalat tersebut diselesaikan sebelum berakhirnya waktu shalat wajib, agar shalat wajib memiliki waktu yang cukup untuk ditunaikan.

Shalat kusuf disunahkan pelaksanaannya secara berjamaah di masjid, tidak ada adzan dan iqamat di dalamnya, sehingga cukup dengan menyeru orang-orang yang shalat dengan ucapan “as-shalatu jaami’ah.” Dari Abu Bakrah ia berkata:

“Kami berada di samping Rasulullah Saw., lalu matahari mengalami gerhana. Rasulullah Saw. berdiri, kemudian berjalan sambil menyeret kainnya hingga masuk ke dalam masjid. Lalu beliau Saw. shalat mengimami kami sebanyak dua rakaat, hingga matahari tampak terang kembali. Setelah itu Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu tidak mengalami gerhana karena matinya seseorang, dan jika kalian melihatnya maka shalatlah dan berdoalah, hingga gerhana itu hilang dari kalian.” (HR. Bukhari dan selainnya)

Ini menjadi dalil disyariatkannya shalat kusuf secara berjamaah di masjid.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. ia berkata:

“Ketika matahari mengalami gerhana di masa Rasulullah Saw., diserukan: “Sesungguhnya shalat akan dilaksanakan secara berjamaah” (innas shalata jaami’ah). Lalu Nabi ruku' dengan dua ruku’ dalam satu rakaat, setelah itu berdiri, lalu ruku' lagi dengan dua ruku' dalam satu rakaat, baru kemudian beliau Saw. duduk. Tidak lama kemudian matahari terang kembali. Dia (perawi) berkata: Aisyah ra. berkata: aku tidak pernah melakukan sujud yang lebih lama dari itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai)

Dari Aisyah ra.:

“Bahwa matahari telah mengalami gerhana pada masa Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. mengutus penyeru: as-shalatu jaami’ah. Orang-orang pun berkumpul. Nabi maju dan bertakbir, beliau shalat dengan empat ruku' dalam dua rakaat dan empat sujud.” (HR. Muslim)

Kedua hadits ini menjadi dalil bahwa seruan untuk shalat kusuf itu hanyalah ucapan “as-shalatu jaami'ah.

Ketika terjadi gerhana matahari atau bulan, selain melakukan shalat juga disunahkan memperbanyak doa dan sedekah, khususnya ketika orang-orang yang shalat selesai melaksanakan shalatnya, sedangkan waktu gerhana matahari atau bulan masih tersisa, sehingga ada peluang mengisi sisa waktu tersebut dengan berdzikir dan berdoa kepada Allah Swt. Dengan kata lain, saya nyatakan: jika terjadi gerhana, dan kaum Muslim melaksanakan shalat dengan lama, maka berusahalah untuk mengisi seluruh waktu gerhana dengan shalat. Tetapi jika mereka selesai shalatnya sebelum selesainya waktu gerhana, maka mereka bisa mengisi sisa waktu gerhana tersebut dengan berdoa dan berdzikir. Apabila waktu kusuf sudah selesai, sedangkan mereka masih melaksanakan shalat, maka mereka tinggal menyelesaikan shalatnya dengan ringan. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits al-Mughirah bin Syu’bah yang diriwayatkan oleh Bukhari maupun yang lainnya, di dalamnya disebutkan:

“Jika kalian melihat gerhana maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah.”

Yang serupa dengan hadits itu adalah hadits Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya, di mana disebutkan:

“Dan jika terjadi seperti itu maka shalatlah kalian dan berdoalah, hingga apa yang ada pada kalian ditampakkan kembali.”

Dari Abu Musa ra. ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Saw. berdiri dalam keadaan terkejut dan takut akan terjadinya Hari Kiamat. Beliau Saw. mendatangi masjid dan melaksanakan shalat dengan berdiri, ruku' dan sujud, yang lebih lama, yang belum pernah sama sekali aku melihat beliau Saw. melakukannya sebelumnya. Setelah itu beliau bersabda: ”Ini merupakan tanda-tanda yang diutus Allah Swt., bukan karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi dengannya Allah Swt. menanamkan rasa takut ke dalam benak para hamba-Nya. Jika kalian melihat gerhana seperti itu maka segeralah berdzikir, berdoa dan memohon ampunan pada Allah Swt.” (HR. Bukhari dan Ibnu Hibban)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Saw. -dia menyebutkan hadits hingga sampai pada ucapan- lalu beliau Saw. berkhutbah kepada orang-orang. Beliau Saw. memuji Allah dan melantunkan sanjungan untuk-Nya, kemudian berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, di mana keduanya tidak mengalami gerhana karena hidup atau matinya seseorang, sehingga jika kalian melihat hal itu maka berdoalah kepada Allah dan bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah...” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan an-Nasai)

Dari Asma binti Abu Bakar ra. ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Saw… kemudian beliau naik ke atas mimbar seraya berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dia tidak mengalami gerhana karena hidup atau matinya seseorang. Jika kalian melihat hal itu maka segeralah melakukan shalat, bersedekah dan berdzikir kepada Allah...” (HR. Ahmad)

Adapun sifat shalat kusuf, dilaksanakan sebanyak dua rakaat. Setiap rakaatnya dilakukan dengan dua ruku'. Selain (sifat shalat seperti) itu maka dianggap sebagai pendapat yang tidak rajah.
Shalat kusuf dilaksanakan sebagai berikut: imam bertakbiratul ihram, kemudian membaca surat al-fatihah secara jahar dan satu surat yang panjang. Setelah itu ruku’ dengan ruku’ yang panjang -hampir sama dengan berdiri (ketika membaca al-Qur’an sebelumnya)-, kemudian bangkit dan mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, rabbanaa wa lakal hamdu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu). Lalu dia kembali membaca al-fatihah dan satu surat yang panjang, tetapi dengan surat sedikit lebih pendek dari yang pertama. Setelah itu dia ruku' dengan ruku' yang panjang tetapi lebih pendek dari ruku' pertama. Kemudian dia bangkit dan mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, rabbanaa wa lakal hamdu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu), lalu dia bersujud dengan sujud yang panjang. Setelah itu duduk dengan duduk yang panjang, lalu bersujud lagi dengan sujud yang panjang tetapi lebih pendek dari yang pertama.
Kemudian berdiri, dan melakukan rakaat kedua serupa dengan rakaat pertama, tetapi dengan lama waktu yang lebih pendek dari rakaat pertama, dan menyelesaikan shalatnya dengan salam. Ini dilakukan dengan berusaha agar tidak menyelesaikan shalat hingga waktu kusuf berakhir. Inilah tata cara yang benar yang diambil dari hadits-hadits yang shahih.

Kami memiliki argumentasi atas semua rincian tersebut dengan dalil-dalil sebagai berikut:

a. Dari Aisyah ra. istri Nabi Saw.:

“Bahwa seorang wanita Yahudi datang dan berkata kepadanya: “Semoga Allah melindungimu dari adzab kubur.” Lalu Aisyah bertanya kepada Rasulullah: “Apakah manusia disiksa dalam kubur-kubur mereka?” Rasulullah Saw. berkata meminta perlindungan Allah dari hal itu. Di suatu pagi Rasulullah Saw. naik hewan tunggangannya, lalu matahari mengalami gerhana sehingga beliau pulang di waktu dhuha. Rasulullah Saw. lewat di antara kamar-kamar, lalu beliau Saw. berdiri shalat, dan orang-orang ikut berdiri di belakangnya. Beliau berdiri kemudian ruku’ dengan ruku’ yang lama, lalu bangkit dan berdiri dengan lama yang kurang sedikit dari berdiri yang pertama. Setelah itu ruku' dengan ruku, yang lama tetapi kurang sedikit dari ruku’ yang pertama. Kemudian beliau bangkit lalu bersujud. Setelah itu beliau berdiri, dan berdiri dengan waktu yang lama tetapi kurang sedikit dari berdiri yang pertama. Kemudian ruku’ dengan lama yang kurang sedikit dari ruku' yang pertama, lalu berdiri lagi dengan lama yang kurang sedikit dari berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku' dengan lama yang kurang sedikit dari ruku, yang pertama, setelah itu beliau bangkit, diikuti sujud. Usai (shalat) beliau berkata dan atas kehendak-Nya dia berkata-kata. Lalu memerintahkan mereka untuk berlindung dari siksa kubur.” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, an-Nasai dan Ahmad)

b. Dari Aisyah ra. istri Nabi Saw.:

“Bahwa Rasulullah Saw. shalat pada hari matahari mengalami gerhana. Beliau berdiri dan bertakbir, lalu membaca dengan bacaan yang panjang, kemudian ruku' dengan ruku' yang panjang. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya seraya berkata: sami'allahu li man hamidahu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), dan kemudian beliau berdiri lagi sebagaimana biasa, lalu beliau membaca dengan bacaan yang panjang tetapi dengan bacaan yang lebih pendek dibandingkan dengan bacaan yang pertama. Kemudian ruku' dengan ruku' yang panjang tetapi agak lebih pendek dari ruku' yang pertama, lalu beliau bersujud dengan sujud yang panjang. Setelah itu beliau melakukan rakaat yang terakhir seperti itu juga, kemudian bersalam, sementara matahari telah terang kembali. Lalu beliau berkhutbah kepada orang-orang, seraya berkata tentang gerhana matahari dan bulan: “Sesungguhnya keduanya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah, di mana keduanya tidak mengalami gerhana karena hidup atau matinya seseorang. Dan jika kalian melihat dua gerhana tersebut maka segeralah melakukan shalat.” (HR. Bukhari)

c. Dari Abdullah bin Amr ra. ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana pada zaman Rasulullah Saw., lalu beliau berdiri (shalat) dan kami pun berdiri bersamanya. Beliau Saw. memanjangkan berdirinya hingga kami menyangka bahwa beliau tidak akan ruku', lalu beliau ruku' dan hampir seperti tidak akan mengangkat kepalanya, kemudian beliau bangkit dan hampir seperti tidak akan sujud. Setelah itu beliau sujud dan hampir seperti tidak akan mengangkat kepalanya, kemudian beliau duduk dan hampir seperti tidak akan sujud, lalu beliau sujud dan hampir seperti tidak akan mengangkat kepalanya. Setelah itu beliau melakukan pada rakaat yang kedua (seperti) apa yang beliau lakukan pada rakaat pertama, sampai-sampai beliau meniup di tanah dan menangis, sedang beliau dalam keadaan bersujud dalam rakaat pertama. Sampai beliau mengatakan: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menyiksa mereka sedangkan aku ada bersama mereka. Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menyiksa kami sedangkan kami masih memohon ampunan kepada-Mu?” Lalu beliau mengangkat kepalanya, dan matahari telah terang. Beliau Saw. menyelesaikan shalatnya, kemudian memuji Allah Swt. dan menyanjung-Nya, lalu berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda kekuasaan Allah Swt., jika salah satunya mengalami gerhana maka segeralah kalian pergi ke masjid...” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

d. Dari Aisyah ra. bahwa dia berkata:

“Matahari mengalami gerhana pada masa Nabi Saw., lalu Nabi Saw. mendatangi mushalla. Beliau bertakbir dan orang-orang pun bertakbir, kemudian membaca dan mengeraskan bacaan Qur'annya dan memanjangkan waktu berdiri. Lalu beliau ruku' dan memanjangkan ruku'nya. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), kemudian beliau berdiri dan membaca seraya memanjangkan bacaannya. Lalu beliau ruku' dan memanjangkan ruku'nya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan diikuti dengan bersujud. Setelah itu beliau berdiri dan melakukan dalam rakaat yang kedua seperti (pada rakat pertama) itu, kemudian berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah azza wa jalla, di mana keduanya tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat seperti itu maka segeralah kalian melaksanakan shalat.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)

e. Dari Jabir, ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Saw. di hari meninggalnya Ibrahim bin Rasulullah Saw. …lalu beliau Saw. bertakbir, membaca dan memanjangkan bacaan, lalu beliau ruku’ (dengan lama) kira-kira seperti beliau berdiri. Setelah itu mengangkat kepalanya dari ruku', dan membaca bacaan yang lebih pendek dari bacaan pertama, kemudian beliau ruku’ (dengan lama) kira-kira seperti beliau berdiri…” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

f. Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Nabi Saw. mengeraskan bacaan pada shalat khusuf. Ketika selesai dari bacaannya beliau Saw. bertakbir kemudian ruku'. Dan jika bangkit dari ruku'nya beliau mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, rabbanaa wa lakal hamdu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji). Setelah itu beliau kembali membaca dalam shalat kusuf tersebut dan melakukan shalat itu dengan empat ruku’ dalam dua rakaat, dan empat sujud.” (HR. Bukhari, Ibnu Hibban dan Muslim)

Usai shalat, imam dianjurkan untuk berkhutbah kepada jamaah shalat yang topik pembahasannya sesuai dengan peristiwa tersebut. Dalil bahwa dalam shalat kusuf itu ada khutbah adalah hadits (b) dari Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari, dan di dalamnya disebutkan:

“Lalu beliau berkhutbah kepada orang-orang, seraya berkata...”

Dan hadits (c) dari Abdullah bin Amr ra. yang diriwayatkan Ahmad dan selainnya, di dalamnya disebutkan:

“Dan beliau Saw. menyelesaikan shalatnya, kemudian memuji Allah Swt. dan menyanjungnya lalu berkata:...”

Begitu pula hadits dari Aisyah ra. di mana ia berkata:

“Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw. shalat mengimami orang-orang. Beliau berdiri dan melamakan waktu berdirinya. Setelah itu beliau ruku' dan memanjangkan ruku’nya, lalu beliau berdiri dan memanjangkan waktu berdiri yang lebih pendek dari berdiri yang pertama. Kemudian beliau ruku' dan memanjangkan ruku'nya dengan lebih pendek dari ruku, yang pertama. Baru beliau sujud dan memanjangkan sujudnya. Setelah itu dalam rakaat yang kedua beliau melakukan seperti apa yang dilakukannya dalam rakaat pertama. Beliau selesai dari shalat dan matahari telah terang kembali. Kemudian beliau Saw. berkhutbah kepada orang-orang, memuji Allah dan menyanjung-Nya, seraya berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, di mana keduanya tidak mengalami gerhana karena hidup atau matinya seseorang, sehingga jika kalian melihat hal itu maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah.” Kemudian beliau berkata: “Wahai umat Muhammad, adakah seseorang yang lebih pencemburu dari Allah (melebihi cemburunya seseorang yang tahu) sahaya laki-lakinya berzina atau sahaya perempuannya berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan an-Nasai)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Asma ra., ia berkata:

“Tatkala Rasulullah Saw. selesai dari shalatnya dan matahari telah terang kembali, lalu beliau Saw. berkhutbah. Beliau memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian berkata: amma ba’du” (HR. Bukhari)

Selain hadits-hadits ini masih banyak lagi yang lain, kesemuanya menyebutkan bahwa beliau Saw. setelah menyelesaikan shalatnya, lalu beliau berdiri dan berkhutbah kepada orang-orang.

Perlu diketahui juga bahwa para ahli fikih dan para imam telah berbeda pendapat dalam sifat shalat kusuf ini dengan perbedaan yang sangat besar. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat biasa seperti dua rakaat fajar, di mana mereka berdalil dengan hadits yang berriwayat.
Di antara mereka ada yang berkata bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaatnya ada dua ruku’, dan inilah pendapat yang kami ambil dan kami tetapkan keabsahannya berdasarkan hadits-hadits shahih yang banyak kami sebutkan sebelumnya.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaat ada tiga ruku’, dan mereka berargumentasi dengan hadits yang berriwayat.
Ada juga yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaatnya ada empat ruku’, dan mereka berargumentasi dengan hadits yang berriwayat.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaatnya ada lima ruku', dan mereka berargumentasi dengan hadits yang berriwayat.
Ada pula yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, dan semuanya dilaksanakan sebagaimana biasa seperti shalat fajar hingga selesainya gerhana, mereka berargumentasi juga dengan hadits-hadits yang berriwayat. Saya tidak perlu menyebutkan semua hadits-hadits ini.

Saya cukup memberi pernyataan sebagai berikut: memang benar, bahwa dari Jabir bin Abdullah telah diriwayatkan hadits tentang tiga ruku', yang ditakhrij oleh Ahmad dan Muslim. Begitu pula diriwayatkan dari Aisyah ra. yang ditakhrij oleh Ahmad dan Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia telah melaksanakan shalat kusuf dengan empat ruku' dalam satu rakaat yang ditakhrij oleh Ahmad dan al-Baihaqi. Ibnu Abbas ra. juga telah meriwayatkan hadits tentang empat ruku’ dalam satu rakaat yang ditakhrij oleh Ahmad dan Muslim. Ubay bin Kaab ra. telah meriwayatkan hadits tentang lima ruku’ dalam satu rakaat yang ditakhrij oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim. Mahmud bin Labid dan Nu’man bin Basyir serta Abdullah bin Amr ra. telah meriwayatkan hadits-hadits bahwa shalat kusuf itu dua rakaat biasa. Nu'man bin Basyir ra. telah meriwayatkan satu hadits tentang shalat kusuf dua rakaat-dua rakaat yang ditakhrij oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Hakim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sejumlah hadits-hadits ini memiliki sanad yang shahih yang layak untuk dijadikan sebagai hujjah. Kita bisa memiliki peluang untuk mengambil seluruh hadits-hadits ini dan memegang pendapat tentang bolehnya shalat kusuf dengan beberapa sifat dan berbagai tatacaranya -seandainya telah diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau melakukan hal itu dalam beberapa waktu yang berbeda dan beberapa kali gerhana-.
Tetapi harus diketahui bahwa Rasulullah Saw. hanya melakukan satu kali shalat kusuf, yang beliau Saw. lakukan pada tahun sepuluh hijriyah. Beliau melakukan itu bertepatan dengan hari wafatnya Ibrahim, putra beliau Saw., dan beliau Saw. sendiri meninggal sekitar empat setengah bulan setelah meninggalnya Ibrahim putranya itu, sehingga tidak ada kemungkinan terjadinya dua gerhana dalam rentang waktu yang pendek ini.
Juga telah diriwayatkan bahwa para sahabat Rasulullah Saw. tidak mengetahui tata cara shalat kusuf ini sebelumnya. Mereka tidak mengetahui tata caranya sebelum beliau Saw. melaksanakan shalat kusuf saat itu, hal ini menunjukkan bahwa beliau Saw. belum pernah melakukan shalat kusuf bersama mereka sebelumnya. Abu Syuraih al-Khuza’iy berkata:

“Matahari mengalami gerhana di masa Utsman bin Affan ra. dan di Madinah ada Abdullah bin Mas'ud ra. Ia berkata: Lalu Utsman keluar dan melaksanakan shalat gerhana mengimami manusia dengan dua rakaat (dua rukuk) dan dua sujud pada setiap rakaatnya. Dia berkata: kemudian setelah selesai Utsman pergi dan memasuki rumahnya...” (Riwayat Ahmad, al-Baihaqi, at-Thabrani dan al-Bazzar)

Al-Haitsami berkata: “para perawi hadits ini adalah orang-orang tsiqah.” Hadits ini memiliki dilalah yang jelas bahwa shalat kusuf itu dilaksanakan dengan dua ruku’, dan dua sujud pada setiap rakaat dari dua rakaat shalat tersebut. Hal ini menjadi suatu kesepakatan di antara sahabat Rasulullah Saw., jika tidak, mana mungkin Utsman mengimami mereka melaksanakan shalat kusuf seperti ini tanpa pengingkaran dari mereka.
Dengan demikian maka kita tahu bahwa kisah gerhana di zaman Rasulullah Saw. ini cuma terjadi satu kali, dan tidak mungkin ada beberapa shalat kusuf dari Rasulullah Saw. Yang beliau lakukan hanya satu kali shalat kusuf pada hari meninggalnya Ibrahim, sebelum wafatnya beliau Saw. sekitar lima bulan kemudian.
Jadi, tidak ada kemungkinan adanya beberapa tata cara shalat kusuf, sehingga tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain melakukan tarjih di antara beberapa riwayat yang bertentangan ini.

Ketika dilakukan tarjih, maka riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa shalat kusuf itu terdiri dari dua ruku' dalam setiap rakaatnya, itulah yang dianggap lebih rajih, karena riwayatnya lebih banyak dibandingkan yang lain dan lebih kuat, dilihat dari sisi sanadnya. Bukhari dan Muslim, keduanya adalah imam hadits telah menyepakatinya. Hadits yang disepakati oleh dua imam hadits ini dipandang sebagai hadits yang paling kuat dan paling shahih, sehingga kami nyatakan bahwa seluruh tata cara selain tata cara dua ruku’ dalam setiap rakaat adalah tata cara yang tidak rajih.

Perlu saya tambahkan bahwa tidak ada satu riwayatpun dari beliau Saw., dengan derajat shahih atau hasan, yang menyatakan bahwa beliau Saw. melakukan shalat gerhana bulan pada suatu malam. Disyariatkannya shalat kusuf ketika terjadi gerhana bulan tidak berasal dari perbuatan beliau Saw. Apa yang kami katakan sebelumnya berasal dari ucapan beliau Saw. yang telah dinukil dari berbagai jalur, yakni hendaknya shalat kusuf dilaksanakan jika terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Hal itu dipaparkan oleh hadits-hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan ini juga yang semakin memperkuat pernyataan kami bahwa kisah gerhana pada masa Rasulullah Saw. cuma terjadi satu kali dan tidak berbilang.
Kesimpulan kami tentang keharusan mentarjih di antara beberapa riwayat yang saling bertentangan tadi semakin kuat, karena tidak mungkin dilakukan kompromi di antara riwayat-riwayat tersebut. Sebab, seluruhnya menyebutkan tentang satu peristiwa yang sama, sehingga mencegah diterimanya seluruh riwayat ini kecuali satu riwayat saja, yakni riwayat yang mencantumkan dua ruku' dalam setiap rakaat -sebagaimana yang telah kami tunjukkan di atas.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam