H. Shalat Kusuf
Shalat ini merupakan
salah satu shalat sunat yang disyariatkan ketika terjadi gerhana matahari atau
bulan. Istilah kusuf ditetapkan untuk suatu keadaan hilangnya cahaya dan
berganti menjadi hitam gelap. Selain istilah kusuf ini ditetapkan untuk keadaan
matahari menjadi gelap, maka istilah ini juga ditetapkan untuk keadaan bulan
menjadi gelap. Dan jika kita ingin membedakan keduanya maka kita katakan kusuf
untuk matahari, dan khusuf untuk bulan, dan keduanya boleh digunakan secara
bahasa maupun secara syara’.
Waktu shalat kusuf dimulai
ketika mulai gelapnya matahari, dan terus berlangsung sampai matahari mulai
tampak dan kusufnya
hilang, dan matahari kembali bersinar secara sempurna. Begitu juga
dengan gerhana bulan, waktu (shalat)nya dimulai ketika bulan mulai gelap, dan terus berlangsung
hingga bulan mulai tampak dan khusufnya hilang dan bulan kembali bercahaya sepenuhnya.
Shalat kusuf itu persis sama seperti shalat khusuf, dilaksanakan ketika cahaya
matahari atau cahaya bulan hilang, baik seluruhnya atau sebagian, tanpa
memperhatikan lagi waktu-waktu terlarang dari shalat. Seandainya kusuf matahari
terjadi setelah shalat ashar maka shalat kusuf ini dilaksanakan ketika itu juga
tanpa dimakruhkan lagi -ini menurut pendapat yang shahih-, karena waktu
tersebut adalah waktunya.
Hukum asal shalat
kusuf adalah bahwa seluruh waktunya bisa digunakan. Seorang Muslim memulainya
dengan shalat, berbarengan dengan dimulainya kusuf, dan selesai dari shalat,
bersamaan dengan selesainya kusuf. Dari al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata:
“Matahari mengalami
gerhana (kusuf) di zaman Rasulullah Saw. pada hari meninggalnya Ibrahim.
Orang-orang berkata: “Matahari mengalami gerhana karena meninggalnya Ibrahim.”
Maka Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya matahari
dan bulan itu tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang, jika
kalian melihat gerhana maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah.” (HR.
Bukhari, Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan al-Bazzar)
Muslim meriwayatkan
hadits ini, dan di dalamnya disebutkan:
“...Jika kalian
melihat dua gerhana tersebut, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah, hingga
gerhana itu hilang dari kalian.”
Dari Abu Bakrah ra. ia
berkata:
“Matahari mengalami
gerhana di masa Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. keluar sambil menarik kainnya
hingga berhenti di masjid, sementara orang-orang berkumpul di sekitarnya.
Kemudian beliau shalat dua rakaat mengimami mereka, lalu matahari itu terang
kembali. Maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu
merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah Swt., dan keduanya itu
tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang. Jika terjadi (peristiwa)
seperti itu maka shalatlah kalian dan berdoalah, hingga apa yang ada pada
kalian ditampakkan kembali.” Hal ini terjadi bertepatan dengan meninggalnya
salah seorang putera beliau Saw., namanya Ibrahim, dan orang-orang
memperbincangkan hal tersebut.” (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, Ahmad dan an-Nasai)
Ungkapan dalam hadits
pertama: jika kalian melihat keduanya maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah
hingga gerhana itu hilang dari kalian, dan ungkapan dalam hadits kedua:
sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda
kekuasaan Allah Swt., dan sesungguhnya keduanya itu tidak mengalami gerhana
karena kematian seseorang, dan jika terjadi seperti itu maka shalatlah kalian
dan berdoalah hingga gerhana itu hilang dari kalian, kedua ungkapan ini
menunjukkan sejumlah hukum sebagai berikut:
a. Sesungguhnya shalat
kusuf itu adalah shalat khusuf itu sendiri.
b. Sesungguhnya
dimulainya shalat adalah ketika dimulainya kusuf atau khusuf tersebut.
c. Sesungguhnya shalat
tersebut menghabiskan waktu kusuf/khusuf itu sepenuhnya. Dengan kata lain,
bahwa shalat dimulai ketika kusuf atau khusuf itu mulai terjadi, dan shalat
terus berlangsung hingga selesainya gerhana, selama apapun waktunya, baik
terjadi dalam satu jam, lebih, ataupun kurang.
Perlu diperhatikan di
sini bahwa shalat kusuf jangan sampai menyibukkan kita dari shalat fardhu,
sehingga cara teknisnya bisa dengan melaksanakan terlebih dahulu shalat yang
wajib -hal ini dilakukan ketika waktu shalat wajib tersebut telah sempit-
kemudian baru kita laksanakan shalat kusuf. Bisa juga dengan melaksanakan
terlebih dahulu shalat kusuf, kemudian shalat tersebut diselesaikan sebelum
berakhirnya waktu shalat wajib, agar shalat wajib memiliki waktu yang cukup
untuk ditunaikan.
Shalat kusuf disunahkan
pelaksanaannya secara berjamaah di masjid, tidak ada adzan dan iqamat di
dalamnya, sehingga cukup dengan menyeru orang-orang yang shalat dengan
ucapan “as-shalatu jaami’ah.” Dari Abu
Bakrah ia berkata:
“Kami berada di
samping Rasulullah Saw., lalu matahari mengalami gerhana. Rasulullah Saw.
berdiri, kemudian berjalan sambil menyeret kainnya hingga masuk ke dalam
masjid. Lalu beliau Saw. shalat mengimami kami sebanyak dua rakaat, hingga
matahari tampak terang kembali. Setelah itu Rasulullah Saw. berkata:
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu tidak mengalami gerhana karena matinya
seseorang, dan jika kalian melihatnya maka shalatlah dan berdoalah, hingga
gerhana itu hilang dari kalian.” (HR. Bukhari dan selainnya)
Ini menjadi dalil
disyariatkannya shalat kusuf secara berjamaah di masjid.
Dari Abdullah bin Amr
bin Ash ra. ia berkata:
“Ketika matahari
mengalami gerhana di masa Rasulullah Saw., diserukan: “Sesungguhnya shalat akan
dilaksanakan secara berjamaah” (innas shalata
jaami’ah). Lalu Nabi ruku' dengan dua ruku’ dalam satu rakaat, setelah
itu berdiri, lalu ruku' lagi dengan dua ruku' dalam satu rakaat, baru kemudian
beliau Saw. duduk. Tidak lama kemudian matahari terang kembali. Dia (perawi)
berkata: Aisyah ra. berkata: aku tidak pernah melakukan sujud yang lebih lama
dari itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai)
Dari Aisyah ra.:
“Bahwa matahari telah
mengalami gerhana pada masa Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. mengutus penyeru:
as-shalatu jaami’ah. Orang-orang pun
berkumpul. Nabi maju dan bertakbir, beliau shalat dengan empat ruku' dalam dua
rakaat dan empat sujud.” (HR. Muslim)
Kedua hadits ini
menjadi dalil bahwa seruan untuk shalat kusuf itu hanyalah ucapan “as-shalatu jaami'ah.”
Ketika terjadi gerhana matahari
atau bulan, selain melakukan shalat juga disunahkan memperbanyak doa dan
sedekah, khususnya ketika orang-orang yang shalat selesai melaksanakan
shalatnya, sedangkan waktu gerhana matahari atau bulan masih tersisa, sehingga
ada peluang mengisi sisa waktu tersebut dengan berdzikir dan berdoa kepada
Allah Swt. Dengan kata lain, saya nyatakan: jika terjadi gerhana, dan kaum
Muslim melaksanakan shalat dengan lama, maka berusahalah untuk mengisi seluruh
waktu gerhana dengan shalat. Tetapi jika mereka selesai shalatnya sebelum
selesainya waktu gerhana, maka mereka bisa mengisi sisa waktu gerhana tersebut
dengan berdoa dan berdzikir. Apabila waktu kusuf sudah selesai, sedangkan
mereka masih melaksanakan shalat, maka mereka tinggal menyelesaikan shalatnya
dengan ringan. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits al-Mughirah bin Syu’bah
yang diriwayatkan oleh Bukhari maupun yang lainnya, di dalamnya disebutkan:
“Jika kalian melihat
gerhana maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah.”
Yang serupa dengan
hadits itu adalah hadits Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
selainnya, di mana disebutkan:
“Dan jika terjadi
seperti itu maka shalatlah kalian dan berdoalah, hingga apa yang ada pada
kalian ditampakkan kembali.”
Dari Abu Musa ra. ia
berkata:
“Matahari mengalami
gerhana, lalu Nabi Saw. berdiri dalam keadaan terkejut dan takut akan
terjadinya Hari Kiamat. Beliau Saw. mendatangi masjid dan melaksanakan shalat
dengan berdiri, ruku' dan sujud, yang lebih lama, yang belum pernah sama sekali
aku melihat beliau Saw. melakukannya sebelumnya. Setelah itu beliau bersabda:
”Ini merupakan tanda-tanda yang diutus Allah Swt., bukan karena mati atau
hidupnya seseorang, akan tetapi dengannya Allah Swt. menanamkan rasa takut ke
dalam benak para hamba-Nya. Jika kalian melihat gerhana seperti itu maka
segeralah berdzikir, berdoa dan memohon ampunan pada Allah Swt.” (HR. Bukhari
dan Ibnu Hibban)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Matahari mengalami
gerhana pada masa Rasulullah Saw. -dia menyebutkan hadits hingga sampai pada
ucapan- lalu beliau Saw. berkhutbah kepada orang-orang. Beliau Saw. memuji
Allah dan melantunkan sanjungan untuk-Nya, kemudian berkata: “Sesungguhnya
matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, di
mana keduanya tidak mengalami gerhana karena hidup atau matinya seseorang,
sehingga jika kalian melihat hal itu maka berdoalah kepada Allah dan
bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah...” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad,
Malik dan an-Nasai)
Dari Asma binti Abu
Bakar ra. ia berkata:
“Matahari mengalami
gerhana pada masa Rasulullah Saw… kemudian beliau naik ke atas mimbar seraya
berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dia tidak mengalami gerhana karena hidup atau
matinya seseorang. Jika kalian melihat hal itu maka segeralah melakukan shalat,
bersedekah dan berdzikir kepada Allah...” (HR. Ahmad)
Adapun sifat shalat kusuf,
dilaksanakan sebanyak dua rakaat. Setiap rakaatnya dilakukan dengan dua ruku'.
Selain (sifat shalat seperti) itu maka dianggap sebagai pendapat yang tidak rajah.
Shalat kusuf
dilaksanakan sebagai berikut: imam bertakbiratul
ihram, kemudian membaca surat al-fatihah
secara jahar dan satu surat yang
panjang. Setelah itu ruku’ dengan ruku’ yang panjang -hampir sama dengan
berdiri (ketika membaca al-Qur’an sebelumnya)-, kemudian bangkit dan
mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu,
rabbanaa wa lakal hamdu (Allah mendengar
orang yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu). Lalu dia
kembali membaca al-fatihah dan satu surat yang panjang, tetapi dengan surat
sedikit lebih pendek dari yang pertama. Setelah itu dia ruku' dengan ruku' yang
panjang tetapi lebih pendek dari ruku' pertama. Kemudian dia bangkit dan
mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu,
rabbanaa wa lakal hamdu (Allah mendengar
orang yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu), lalu dia
bersujud dengan sujud yang panjang. Setelah itu duduk dengan duduk yang
panjang, lalu bersujud lagi dengan sujud yang panjang tetapi lebih pendek dari
yang pertama.
Kemudian berdiri, dan
melakukan rakaat kedua serupa dengan rakaat pertama, tetapi dengan lama waktu
yang lebih pendek dari rakaat pertama, dan menyelesaikan shalatnya dengan
salam. Ini dilakukan dengan berusaha agar tidak menyelesaikan shalat hingga
waktu kusuf berakhir. Inilah tata cara yang benar yang diambil dari
hadits-hadits yang shahih.
Kami memiliki
argumentasi atas semua rincian tersebut dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Dari Aisyah ra. istri Nabi Saw.:
“Bahwa seorang wanita
Yahudi datang dan berkata kepadanya: “Semoga Allah melindungimu dari adzab
kubur.” Lalu Aisyah bertanya kepada Rasulullah: “Apakah manusia disiksa dalam
kubur-kubur mereka?” Rasulullah Saw. berkata meminta perlindungan Allah dari hal
itu. Di suatu pagi Rasulullah Saw. naik hewan tunggangannya, lalu matahari
mengalami gerhana sehingga beliau pulang di waktu dhuha. Rasulullah Saw. lewat
di antara kamar-kamar, lalu beliau Saw. berdiri shalat, dan orang-orang ikut
berdiri di belakangnya. Beliau berdiri kemudian ruku’ dengan ruku’ yang lama,
lalu bangkit dan berdiri dengan lama yang kurang sedikit dari berdiri yang
pertama. Setelah itu ruku' dengan ruku, yang lama tetapi kurang sedikit dari
ruku’ yang pertama. Kemudian beliau bangkit lalu bersujud. Setelah itu beliau
berdiri, dan berdiri dengan waktu yang lama tetapi kurang sedikit dari berdiri
yang pertama. Kemudian ruku’ dengan lama yang kurang sedikit dari ruku' yang
pertama, lalu berdiri lagi dengan lama yang kurang sedikit dari berdiri yang
pertama, kemudian beliau ruku' dengan lama yang kurang sedikit dari ruku, yang
pertama, setelah itu beliau bangkit, diikuti sujud. Usai (shalat) beliau
berkata dan atas kehendak-Nya dia berkata-kata. Lalu memerintahkan mereka untuk
berlindung dari siksa kubur.” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, an-Nasai dan Ahmad)
b. Dari Aisyah ra. istri Nabi Saw.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
shalat pada hari matahari mengalami gerhana. Beliau berdiri dan bertakbir, lalu
membaca dengan bacaan yang panjang, kemudian ruku' dengan ruku' yang panjang.
Setelah itu beliau mengangkat kepalanya seraya berkata: sami'allahu li man hamidahu (Allah mendengar orang yang
memuji-Nya), dan kemudian beliau berdiri lagi sebagaimana biasa, lalu beliau
membaca dengan bacaan yang panjang tetapi dengan bacaan yang lebih pendek
dibandingkan dengan bacaan yang pertama. Kemudian ruku' dengan ruku' yang panjang
tetapi agak lebih pendek dari ruku' yang pertama, lalu beliau bersujud dengan
sujud yang panjang. Setelah itu beliau melakukan rakaat yang terakhir seperti
itu juga, kemudian bersalam, sementara matahari telah terang kembali. Lalu
beliau berkhutbah kepada orang-orang, seraya berkata tentang gerhana matahari
dan bulan: “Sesungguhnya keduanya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah, di
mana keduanya tidak mengalami gerhana karena hidup atau matinya seseorang. Dan
jika kalian melihat dua gerhana tersebut maka segeralah melakukan shalat.” (HR.
Bukhari)
c. Dari Abdullah bin Amr ra. ia berkata:
“Matahari mengalami
gerhana pada zaman Rasulullah Saw., lalu beliau berdiri (shalat) dan kami pun
berdiri bersamanya. Beliau Saw. memanjangkan berdirinya hingga kami menyangka
bahwa beliau tidak akan ruku', lalu beliau ruku' dan hampir seperti tidak akan
mengangkat kepalanya, kemudian beliau bangkit dan hampir seperti tidak akan
sujud. Setelah itu beliau sujud dan hampir seperti tidak akan mengangkat
kepalanya, kemudian beliau duduk dan hampir seperti tidak akan sujud, lalu
beliau sujud dan hampir seperti tidak akan mengangkat kepalanya. Setelah itu
beliau melakukan pada rakaat yang kedua (seperti) apa yang beliau lakukan pada
rakaat pertama, sampai-sampai beliau meniup di tanah dan menangis, sedang
beliau dalam keadaan bersujud dalam rakaat pertama. Sampai beliau mengatakan:
“Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menyiksa mereka sedangkan aku ada bersama
mereka. Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menyiksa kami sedangkan kami masih
memohon ampunan kepada-Mu?” Lalu beliau mengangkat kepalanya, dan matahari
telah terang. Beliau Saw. menyelesaikan shalatnya, kemudian memuji Allah Swt.
dan menyanjung-Nya, lalu berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
matahari dan bulan itu adalah dua tanda kekuasaan Allah Swt., jika salah
satunya mengalami gerhana maka segeralah kalian pergi ke masjid...” (HR. Ahmad,
an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)
d. Dari Aisyah ra. bahwa dia berkata:
“Matahari mengalami
gerhana pada masa Nabi Saw., lalu Nabi Saw. mendatangi mushalla. Beliau bertakbir dan orang-orang pun bertakbir,
kemudian membaca dan mengeraskan bacaan Qur'annya dan memanjangkan waktu
berdiri. Lalu beliau ruku' dan memanjangkan ruku'nya. Setelah itu beliau
mengangkat kepalanya dan mengucapkan: sami'allahu
liman hamidahu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), kemudian beliau
berdiri dan membaca seraya memanjangkan bacaannya. Lalu beliau ruku' dan
memanjangkan ruku'nya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan diikuti dengan
bersujud. Setelah itu beliau berdiri dan melakukan dalam rakaat yang kedua
seperti (pada rakat pertama) itu, kemudian berkata: “Sesungguhnya matahari dan
bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah azza wa jalla, di mana keduanya tidak
mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat
seperti itu maka segeralah kalian melaksanakan shalat.” (HR. Ahmad, Bukhari,
Muslim, dan Tirmidzi)
e. Dari Jabir, ia berkata:
“Matahari mengalami
gerhana pada masa Rasulullah Saw. di hari meninggalnya Ibrahim bin Rasulullah
Saw. …lalu beliau Saw. bertakbir, membaca dan memanjangkan bacaan, lalu beliau
ruku’ (dengan lama) kira-kira seperti beliau berdiri. Setelah itu mengangkat kepalanya
dari ruku', dan membaca bacaan yang lebih pendek dari bacaan pertama, kemudian
beliau ruku’ (dengan lama) kira-kira seperti beliau berdiri…” (HR. Muslim,
Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
f. Dari Aisyah ra. ia berkata:
“Nabi Saw. mengeraskan
bacaan pada shalat khusuf. Ketika selesai dari bacaannya beliau Saw. bertakbir
kemudian ruku'. Dan jika bangkit dari ruku'nya beliau mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, rabbanaa wa lakal hamdu (Allah mendengar orang
yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji). Setelah itu beliau
kembali membaca dalam shalat kusuf tersebut dan melakukan shalat itu dengan
empat ruku’ dalam dua rakaat, dan empat sujud.” (HR. Bukhari, Ibnu Hibban dan Muslim)
Usai shalat, imam dianjurkan
untuk berkhutbah kepada jamaah shalat yang topik pembahasannya sesuai
dengan peristiwa tersebut. Dalil bahwa dalam shalat kusuf itu ada khutbah
adalah hadits (b) dari Aisyah ra. yang
diriwayatkan oleh Bukhari, dan di dalamnya disebutkan:
“Lalu beliau
berkhutbah kepada orang-orang, seraya berkata...”
Dan hadits (c) dari Abdullah bin Amr ra. yang diriwayatkan
Ahmad dan selainnya, di dalamnya disebutkan:
“Dan beliau Saw.
menyelesaikan shalatnya, kemudian memuji Allah Swt. dan menyanjungnya lalu
berkata:...”
Begitu pula hadits
dari Aisyah ra. di mana ia berkata:
“Matahari mengalami
gerhana pada masa Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw. shalat mengimami
orang-orang. Beliau berdiri dan melamakan waktu berdirinya. Setelah itu beliau
ruku' dan memanjangkan ruku’nya, lalu beliau berdiri dan memanjangkan waktu
berdiri yang lebih pendek dari berdiri yang pertama. Kemudian beliau ruku' dan
memanjangkan ruku'nya dengan lebih pendek dari ruku, yang pertama. Baru beliau
sujud dan memanjangkan sujudnya. Setelah itu dalam rakaat yang kedua beliau
melakukan seperti apa yang dilakukannya dalam rakaat pertama. Beliau selesai
dari shalat dan matahari telah terang kembali. Kemudian beliau Saw. berkhutbah
kepada orang-orang, memuji Allah dan menyanjung-Nya, seraya berkata:
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, di mana keduanya tidak mengalami gerhana karena hidup atau
matinya seseorang, sehingga jika kalian melihat hal itu maka berdoalah kepada
Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah.” Kemudian beliau berkata:
“Wahai umat Muhammad, adakah seseorang yang lebih pencemburu dari Allah
(melebihi cemburunya seseorang yang tahu) sahaya laki-lakinya berzina atau
sahaya perempuannya berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui
apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan an-Nasai)
Juga hadits yang
diriwayatkan dari Asma ra., ia berkata:
“Tatkala Rasulullah
Saw. selesai dari shalatnya dan matahari telah terang kembali, lalu beliau Saw.
berkhutbah. Beliau memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian
berkata: amma ba’du” (HR. Bukhari)
Selain hadits-hadits
ini masih banyak lagi yang lain, kesemuanya menyebutkan bahwa beliau Saw.
setelah menyelesaikan shalatnya, lalu beliau berdiri dan berkhutbah kepada
orang-orang.
Perlu diketahui juga
bahwa para ahli fikih dan para imam telah berbeda pendapat dalam sifat shalat
kusuf ini dengan perbedaan yang sangat besar. Di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat biasa seperti dua rakaat fajar, di
mana mereka berdalil dengan hadits yang berriwayat.
Di antara mereka ada
yang berkata bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaatnya
ada dua ruku’, dan inilah pendapat yang kami ambil dan kami tetapkan
keabsahannya berdasarkan hadits-hadits shahih yang banyak kami sebutkan
sebelumnya.
Di antara mereka ada
yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaat
ada tiga ruku’, dan mereka berargumentasi dengan hadits yang berriwayat.
Ada juga yang
mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap rakaatnya
ada empat ruku’, dan mereka berargumentasi dengan hadits yang berriwayat.
Di antara mereka ada
yang mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, di mana dalam setiap
rakaatnya ada lima ruku', dan mereka berargumentasi dengan hadits yang
berriwayat.
Ada pula yang
mengatakan bahwa shalat kusuf itu dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua
rakaat, dan semuanya dilaksanakan sebagaimana biasa seperti shalat fajar hingga
selesainya gerhana, mereka berargumentasi juga dengan hadits-hadits yang
berriwayat. Saya tidak perlu menyebutkan semua hadits-hadits ini.
Saya cukup memberi
pernyataan sebagai berikut: memang benar, bahwa dari Jabir bin Abdullah telah
diriwayatkan hadits tentang tiga ruku', yang ditakhrij
oleh Ahmad dan Muslim. Begitu pula diriwayatkan dari Aisyah ra. yang ditakhrij oleh Ahmad dan Muslim, hadits yang
diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia telah melaksanakan shalat kusuf
dengan empat ruku' dalam satu rakaat yang ditakhrij
oleh Ahmad dan al-Baihaqi. Ibnu Abbas ra. juga telah meriwayatkan hadits
tentang empat ruku’ dalam satu rakaat yang ditakhrij
oleh Ahmad dan Muslim. Ubay bin Kaab ra. telah meriwayatkan hadits tentang lima
ruku’ dalam satu rakaat yang ditakhrij
oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim. Mahmud bin Labid dan Nu’man bin Basyir
serta Abdullah bin Amr ra. telah meriwayatkan hadits-hadits bahwa shalat kusuf
itu dua rakaat biasa. Nu'man bin Basyir ra. telah meriwayatkan satu hadits
tentang shalat kusuf dua rakaat-dua rakaat yang ditakhrij
oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Hakim.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa sejumlah hadits-hadits ini memiliki sanad yang shahih yang layak untuk
dijadikan sebagai hujjah. Kita bisa
memiliki peluang untuk mengambil seluruh hadits-hadits ini dan memegang
pendapat tentang bolehnya shalat kusuf dengan beberapa sifat dan berbagai
tatacaranya -seandainya telah diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau
melakukan hal itu dalam beberapa waktu yang berbeda dan beberapa kali gerhana-.
Tetapi harus diketahui
bahwa Rasulullah Saw. hanya melakukan satu kali shalat kusuf, yang beliau Saw.
lakukan pada tahun sepuluh hijriyah. Beliau melakukan itu bertepatan dengan
hari wafatnya Ibrahim, putra beliau Saw., dan beliau Saw. sendiri meninggal sekitar
empat setengah bulan setelah meninggalnya Ibrahim putranya itu, sehingga tidak
ada kemungkinan terjadinya dua gerhana dalam rentang waktu yang pendek ini.
Juga telah
diriwayatkan bahwa para sahabat Rasulullah Saw. tidak mengetahui tata cara
shalat kusuf ini sebelumnya. Mereka tidak mengetahui tata caranya sebelum
beliau Saw. melaksanakan shalat kusuf saat itu, hal ini menunjukkan bahwa
beliau Saw. belum pernah melakukan shalat kusuf bersama mereka sebelumnya. Abu
Syuraih al-Khuza’iy berkata:
“Matahari mengalami
gerhana di masa Utsman bin Affan ra. dan di Madinah ada Abdullah bin Mas'ud ra.
Ia berkata: Lalu Utsman keluar dan melaksanakan shalat gerhana mengimami
manusia dengan dua rakaat (dua rukuk) dan dua sujud pada setiap rakaatnya. Dia
berkata: kemudian setelah selesai Utsman pergi dan memasuki rumahnya...”
(Riwayat Ahmad, al-Baihaqi, at-Thabrani dan al-Bazzar)
Al-Haitsami berkata:
“para perawi hadits ini adalah orang-orang tsiqah.”
Hadits ini memiliki dilalah yang jelas
bahwa shalat kusuf itu dilaksanakan dengan dua ruku’, dan dua sujud pada setiap
rakaat dari dua rakaat shalat tersebut. Hal ini menjadi suatu kesepakatan di
antara sahabat Rasulullah Saw., jika tidak, mana mungkin Utsman mengimami
mereka melaksanakan shalat kusuf seperti ini tanpa pengingkaran dari mereka.
Dengan demikian maka
kita tahu bahwa kisah gerhana di zaman Rasulullah Saw. ini cuma terjadi satu
kali, dan tidak mungkin ada beberapa shalat kusuf dari Rasulullah Saw. Yang
beliau lakukan hanya satu kali shalat kusuf pada hari meninggalnya Ibrahim,
sebelum wafatnya beliau Saw. sekitar lima bulan kemudian.
Jadi, tidak ada
kemungkinan adanya beberapa tata cara shalat kusuf, sehingga tidak ada lagi
yang bisa kita lakukan selain melakukan tarjih
di antara beberapa riwayat yang bertentangan ini.
Ketika dilakukan tarjih, maka riwayat-riwayat yang menyebutkan
bahwa shalat kusuf itu terdiri dari dua ruku' dalam setiap rakaatnya, itulah
yang dianggap lebih rajih, karena
riwayatnya lebih banyak dibandingkan yang lain dan lebih kuat, dilihat dari
sisi sanadnya. Bukhari dan Muslim,
keduanya adalah imam hadits telah menyepakatinya. Hadits yang disepakati oleh
dua imam hadits ini dipandang sebagai hadits yang paling kuat dan paling
shahih, sehingga kami nyatakan bahwa seluruh tata cara selain tata cara dua ruku’
dalam setiap rakaat adalah tata cara yang tidak rajih.
Perlu saya tambahkan
bahwa tidak ada satu riwayatpun dari beliau Saw., dengan derajat shahih atau
hasan, yang menyatakan bahwa beliau Saw. melakukan shalat gerhana bulan pada
suatu malam. Disyariatkannya shalat kusuf ketika terjadi gerhana bulan tidak berasal
dari perbuatan beliau Saw. Apa yang kami katakan sebelumnya berasal dari ucapan
beliau Saw. yang telah dinukil dari berbagai jalur, yakni hendaknya shalat
kusuf dilaksanakan jika terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Hal itu
dipaparkan oleh hadits-hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan ini juga
yang semakin memperkuat pernyataan kami bahwa kisah gerhana pada masa
Rasulullah Saw. cuma terjadi satu kali dan tidak berbilang.
Kesimpulan kami
tentang keharusan mentarjih di antara
beberapa riwayat yang saling bertentangan tadi semakin kuat, karena tidak
mungkin dilakukan kompromi di antara riwayat-riwayat tersebut. Sebab,
seluruhnya menyebutkan tentang satu peristiwa yang sama, sehingga mencegah
diterimanya seluruh riwayat ini kecuali satu riwayat saja, yakni riwayat yang
mencantumkan dua ruku' dalam setiap rakaat -sebagaimana yang telah kami
tunjukkan di atas.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar