Bangkit
Dari Ruku’ dan Dzikir Di dalamnya
Bangkit dari ruku’
adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan. Bangkit dari ruku’ artinya seseorang
menegakkan tulang punggungnya dari ruku'. Menegakkan itu berarti tegaknya
tulang, kembali setelah ruku' dengan sempurna. Disebut juga dengan istilah i'tidal, dan ini merupakan salah satu rukun
shalat. Shalat tidak sah tanpa i'tidal.
Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Adalah tidak
berpahala, shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya pada saat
ruku' dan sujud.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu
Khuzaimah)
Berdasarkan hadits
Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dari jalur Ali bin Syaiban ra., bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
“…Wahai kaum Muslim,
sesungguhnya tidak ada shalat bagi orang yang tidak menegakkan tulang
punggungnya dalam ruku' dan sujud.”
Juga berdasarkan
hadits Ahmad dari jalur Thalq bin Ali al-Hanafi ra., ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Allah tidak akan
melihat shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya di antara
ruku'nya dan sujudnya.”
Ini merupakan dilalah paling jelas. Dan dalam riwayat Abu
Dawud dari jalur Ali bin Yahya bin Khallad dari pamannya, bahwa seorang
laki-laki memasuki masjid -lalu dia menyebutkan hadits tentang orang yang buruk
dalam shalatnya-, maka Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya tidak
sempurna shalat seseorang dari manusia hingga dia berwudhu dan menyempurnakan
wudhunya... kemudian mengucapkan: sami'allahu
liman hamidah, hingga tegak lurus dalam berdiri, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, lalu bersujud hingga thuma'ninah sendi-sendinya. Setelah itu
mengucapkan Allahu Akbar, dan mengangkat
kepalanya hingga tegak lurus dalam duduknya, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, lalu bersujud hingga thuma’ninah sendi-sendinya. Kemudian
mengangkat kepalanya lalu bertakbir. Jika dia melakukan hal itu maka telah
sempurna shalatnya.”
Thuma'ninah dalam posisi bangkit dari ruku’
adalah wajib, tidak boleh ditinggalkan, minimal dengan diamnya gerakan dalam
posisi ini dan tidak menyambungkan gerakan antara ruku’, bangkit dari ruku’,
dan sujud, tetapi dia harus berhenti dalam ruku’, berhenti dalam berdiri
bangkit dari ruku’. Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah Saw. beliau bersabda:
“...Kemudian ruku'lah
hingga engkau thuma'ninah dalam ruku',
lalu bangkitlah hingga engkau tegak kembali berdiri. Setelah itu sujudlah
hingga engkau thuma’ninah dalam
bersujud, lalu duduklah hingga engkau thuma'ninah
dalam duduk. Lakukan hal itu semua dalam shalatmu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat Ahmad
dari jalur Rifa’ah bin Rafi az-Zuraqi:
“…Apabila engkau ruku'
maka jadikanlah dua telapak tanganmu berada pada dua lututmu, lalu bentangkan
punggungmu dan teguhkanlah untuk ruku'mu. Dan jika engkau mengangkat kepalamu
maka tegakkanlah punggungmu hingga seluruh tulang kembali ke persendiannya.”
Kondisi idealnya
adalah hendaknya memperlama i'tidal agar
lamanya hampir sama dengan ruku'. Dari al-Barra ra., ia berkata:
“Adalah ruku' dan
sujud Nabi Saw., jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku', dan di antara dua
sujudnya dilakukan dengan lama yang hampir sama.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
Ahmad)
Dari Tsabit ra. ia
berkata:
“Adalah Anas bin Malik
ra. mencontohkan kepada kami shalat Nabi Saw., maka dia shalat. Dan jika
mengangkat kepalanya dari ruku' maka dia berdiri, hingga kami mengatakan bahwa
dia telah lupa." (HR. Bukhari)
Ibnu Hibban dan Ahmad
telah meriwayatkan juga hadits ini.
Ketika bangkit dari
ruku' maka disunahkan bagi imam dan orang yang shalat munfarid untuk berdzikir dan mengucapkan: “sami'allahu liman hamidahu” (Allah mendengar
orang yamg memuji-Nya). Hal itu tidak disunahkan bagi para makmum. Makmum
hendaknya mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa
lakal hamdu” (Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji) atau “Allahumma, rabbana lakal hamdu” (Ya Allah
Tuhan kami, untuk-Mu segala puji), “Rabbana wa
lakal hamdu” (Tuhan kami, dan untuk Mu segala puji), “Rabbana lakal hamdu” (Tuhan kami, untuk-Mu
segala puji); bentuk dzikir manapun yang mereka ucapkan adalah boleh-boleh
saja. Semua bentuk ini telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hasan.
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. jika
mengucapkan sami'allahu liman hamidah
(Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka dia mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa lakal hamdu (Ya Allah
Tuhan kami, dan untukMu segala puji)…” (HR. Bukhari)
Di sini beliau Saw.
mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa lakal hamdu
(Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji).”
“Jika imam mengucapkan
sami'allahu liman hamidah (Allah
mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah oleh kamu sekalian: Allahumma, rabbana lakal hamdu (Ya Allah Tuhan
kami, untuk-Mu segala puji)”, karena siapa yang ucapannya bertepatan dengan
ucapan malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari)
Di sini beliau Saw.
mengucapkan: “Allahumma, rabbana lakal hamdu
(Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji).”
“Bahwa Rasulullah Saw.
jika telah bertakbir beliau beristiftah,
kemudian mengucapkan… dan jika mengangkat kepalanya dari ruku' beliau Saw.
mengucapkan: “Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji.” (HR. Ahmad)
Di sini beliau Saw.
mengucapkan: “Rabbana wa lakal hamdu”
(Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji).
“Jika imam mengucapkan
sami'allahu liman hamidah (Allah
mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah oleh kalian semua: “Rabbana lakal hamdu (Tuhan kami, untuk-Mu
segala puji).” (HR. Ibnu Hibban)
Di sini beliau Saw.
mengucapkan “Rabbana lakal hamdu (Tuhan
kami, untuk-Mu segala puji)”.
Inilah empat dalil
untuk keempat bentuk dzikir tersebut. Bentuk pertama: Allahumma, rabbana wa lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, dan
untuk-Mu segala puji) merangkum apa yang kurang dari tiga bentuk lainnya,
sehingga bentuk ini dipandang sebagai yang paling utama. Ibadah itu adalah
pahala, dan ada pahala untuk setiap lafadz dan setiap huruf, sehingga di sini ibadah
dengan huruf yang lebih banyak, maka itu lebih utama.
Hadits yang pertama
menetapkan bahwa imam mengucapkan: sami’allahu
liman hamidah, Allahumma, rabbana wa lakal hamdu”, ini menjadi hujjah
yang membantah orang yang membatasi ucapan imam hanya dengan sami'allahu liman hamidah saja. Hadits ini
datang dalam bentuk umum, sehingga bisa menjadi dalil bagi imam dan juga bagi
orang yang shalat secara munfarid. Hal
ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Salamah bin Abdurrahman:
“Sesungguhnya Abu
Hurairah bertakbir dalam setiap shalat fardhu dan selainnya di bulan Ramadhan
dan selainnya. Beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika
ruku', lalu mengucapkan sami’allahu liman
hamidah. Setelah itu mengucapkan rabbana
wa lakal hamdu, sebelum dia bersujud… dan ketika dia selesai dari shalat
dia kemudian mengatakan: Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah
Saw. di antara kalian. Inilah shalat beliau Saw. hingga beliau wafat.” (HR.
Bukhari)
Maka ucapan: “dalam
setiap shalat fardhu dan selainnya”, ini memberi pengertian bahwa perbuatan
yang dilakukan Abu Hurairah ra. adalah perbuatan yang sama dengan yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sehingga, imam dan orang yang shalat munfarid, keduanya mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, allahumma, rabbana wa
lakal hamdu.
Mengenai makmum,
mereka hanya mengucapkan: “Allahumma, rabbana
wa lakal hamdu” saja, tidak mengucapkan “sami’allahu
liman hamidahu”. Dalil atas hal ini adalah apa yang disebutkan dalam
hadits kedua: “Jika imam mengucapkan sami'allahu
liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah
oleh kamu sekalian: Allahumma, rabbana lakal
hamdu (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji)”, sehingga yang
diminta dari makmum hanyalah mengucapkan: Allahumma,
rabbana lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji), tidak
boleh menambahinya dengan kalimat: “sami’allahu
liman hamidah.” Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Rifa’ah
bin Rafi az-Zuraqi ra., ia berkata:
“Pada suatu hari kami
shalat di belakang Nabi Saw. Pada saat beliau mengangkat kepalanya dari ruku',
beliau Saw. mengucapkan: sami'allahu liman
hamidah. Seseorang yang ada di belakangnya mengucapkan: rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban
mubarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang
banyak, baik dan diberkahi). Ketika selesai, beliau Saw. bertanya: “Siapa yang
berbicara tadi?” Ia berkata: “Aku”. Beliau bersabda: “Aku melihat tiga puluh
lima malaikat berebut untuk bisa menuliskannya.” (HR. Bukhari)
Di sini laki-laki tadi
tidak mengucapkan sami'allahu liman hamidahu,
tetapi malaikat sampai berlomba dan berebutan untuk menuliskan apa yang
diucapkannya. Tirmidzi berkata: “Yang diamalkan oleh sebagian ahli ilmu dari
kalangan sahabat Nabi dan orang-orang setelah mereka adalah: imam mengucapkan sami'allahu liman hamidah, sedangkan orang
yang di belakangnya mengucapkan rabbana walakal
hamdu.”
Tentang kapan si mushalli -baik imam ataupun munfarid- mengucapkan sami'allahu liman hamidah, dan Allahumma
rabbana wa lakal hamdu, Abu Hurairah ra. menjawab pertanyaan ini dengan
haditsnya:
“Adalah Rasulullah
Saw. mengucapkan: sami'allahu liman hamidah,
ketika beliau mengangkat punggungnya dari ruku'. Kemudian mengucapkan ketika
beliau dalam posisi berdiri: rabbana wa lakal
hamdu.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Maka mushalli mengucapkan sami'allahu liman hamidah ketika dia sedang mengangkat kepalanya
dari ruku’, yakni sepanjang gerakannya tersebut. Dan saat telah tegak lurus
berdiri dan gerakannya sudah diam, maka dia mengucapkan: Allahumma rabbana wa lakal hamdu, atau bentuk
dzikir yang lainnya.
Kita kembali pada
bentuk-bentuk dzikir yang tadi. Kami katakan: kami telah menyebutkan empat
bentuk dzikir yang bisa diucapkan mengikuti ucapan sami'allahu liman hamidah, dan kami lebih mengutamakan bentuk: “Allahuma, rabbana wa lakal hamdu.” Kami
nyatakan sekarang: keempat kata tersebut merupakan batasan minimal yang
diucapkan mushalli setelah ucapan sami’allahu liman hamidah, di mana ada kalimat
tambahan yang juga bisa diucapkan, di antaranya adalah bentuk yang tercantum
dalam hadits Bukhari dari jalur Rifa’ah bin Rafi, yakni: Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban
mubarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang
banyak, baik, dan diberkahi), dan Anda telah membaca keutamaan yang ada
padanya.
Ada juga bentuk
tambahan yang sedikit lebih panjang, yakni: Allahumma
rabbana wa lakal hamdu milaas samawati wa mil-al ardhi wa mil-a ma bainahuma,
wa mil-a maa syi‘ta min syai-in ba'du (Ya Allah Tuhan kami, dan bagi-Mu
segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada
di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki). Dari Ali
bin Abi Thalib ra. dari Rasulullah Saw.:
“Bahwa beliau Saw.
jika berdiri untuk shalat mengucapkan... dan jika bangkit (dari ruku’) beliau
mengucapkan: “Ya Allah Tuhan kami, dan bagiMu segala puji, dengan pujian
sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan
sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki...” (HR. Muslim)
Ada juga bentuk ketiga
yang lebih panjang dari dua bentuk sebelumnya, yakni: Allahumma rabbana wa lakal hamdu mil-as samawati wa mil-al ardhi wa
mil-a ma bainahuma, wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du, ahlats tsana-i wal
majdi, ahaqqu ma qaalal ’abdu wa kulluna laka 'abdun, allahumma laa maa-ni'a
lima althaita wala mu'thiya lima mana'ta wa laa yanfalu dzal jaddi minkal jadd
(Ya Allah Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian sepenuh langit,
sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala
sesuatu yang Engkau kehendaki, Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian
dan keagungan, lebih berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami
semua adalah hamba-Mu, ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang
Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahan, dan
kemuliaan itu tidak akan memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain
dengan idzin dan ketetapan dari Engkau).” Bentuk ini telah disebutkan dalam
hadits ad-Darimi, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, tetapi dengan
sedikit perbedaan dalam lafadz-lafadznya. Dari Abu Said ali Khudri ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan: “Tuhan kami, bagi-Mu
segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh segala
sesuatu yang Engkau kehendaki. Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian
dan keagungan, lebih berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami
semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang
Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahan, dan
kemuliaan itu tidak akan memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain
dengan idzin dan ketetapan dari Engkau.” (HR. al-Darimi)
Dalam riwayat Ibnu
Hibban ada tambahan wawu, sehingga
menjadi rabbana wa lakal hamdu, dan
dalam riwayat Ahmad ada tambahan Allahumma,
sehingga menjadi Allahumma rabbana lakal hamdu.
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan Allahumma
dan wawu sehingga menjadi Allahumma, rabbana wa lakal hamdu, dan dalam
riwayat Muslim ada tambahan mil-a ma bainahuma,
sehingga menjadi mil-as samawati wa milal ardhi
wa mil-a maa bainahuma. Semua tambahan yang berasal dari perawi yang tsiqah itu diterima, di mana semua tambahan
ini dipadukan dengan riwayat ad-Darimi sehingga doanya menjadi: “Ya Allah Tuhan
kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi,
sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau
kehendaki. Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian dan keagungan, lebih
berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya
Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang Engkau berikan, dan tidak
ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahan, dan kemuliaan itu tidak akan
memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain dengan idzin dan ketetapan
dari Engkau.”
Bentuk yang ketiga ini
mencakup bentuk yang kedua yang disebutkan dalam hadits Muslim sebelumnya,
sehingga kita memiliki dua bentuk: bentuk yang panjang, bentuk yang pertama: rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban
mubarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang
banyak, baik dan diberkahi), sehingga siapa saja yang ingin mencukupkan diri
dengan bentuk yang pertama maka boleh-boleh saja, dan siapa yang ingin
mengambil bentuk yang panjang maka itupun menjadi haknya. Begitu juga siapa
saja yang ingin menggabungkan antara keduanya, maka itu boleh juga. Sehingga
apabila bangkit dari ruku, akan mengucapkan:
Sami’allahu liman hamidah, dan ketika i'tidal tegak berdiri mengucapkan: “Ya Allah,
Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang banyak, baik dan
diberkahi, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di
antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki. Engkaulah
Dzat yang berhak bersandingkan pujian dan keagungan, lebih berhak atas pujian
yang diucapkan hamba-Nya, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada
yang bisa menghalangi atas apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa
memberi atas apa yang Engkau tahankan, dan kemuliaan tidak akan memberi manfaat
pada orang yang memilikinya selain karena idzin dan ketetapan Engkau.” Sehingga
kebaikan ini bisa diperoleh semuanya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar