Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 09 Juli 2017

Dalil Bangkit Dari Rukuk Dan Bacaan Dzikirnya



Bangkit Dari Ruku’ dan Dzikir Di dalamnya

Bangkit dari ruku’ adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan. Bangkit dari ruku’ artinya seseorang menegakkan tulang punggungnya dari ruku'. Menegakkan itu berarti tegaknya tulang, kembali setelah ruku' dengan sempurna. Disebut juga dengan istilah i'tidal, dan ini merupakan salah satu rukun shalat. Shalat tidak sah tanpa i'tidal. Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Adalah tidak berpahala, shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya pada saat ruku' dan sujud.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Berdasarkan hadits Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dari jalur Ali bin Syaiban ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“…Wahai kaum Muslim, sesungguhnya tidak ada shalat bagi orang yang tidak menegakkan tulang punggungnya dalam ruku' dan sujud.”

Juga berdasarkan hadits Ahmad dari jalur Thalq bin Ali al-Hanafi ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Allah tidak akan melihat shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku'nya dan sujudnya.”

Ini merupakan dilalah paling jelas. Dan dalam riwayat Abu Dawud dari jalur Ali bin Yahya bin Khallad dari pamannya, bahwa seorang laki-laki memasuki masjid -lalu dia menyebutkan hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya-, maka Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari manusia hingga dia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya... kemudian mengucapkan: sami'allahu liman hamidah, hingga tegak lurus dalam berdiri, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, lalu bersujud hingga thuma'ninah sendi-sendinya. Setelah itu mengucapkan Allahu Akbar, dan mengangkat kepalanya hingga tegak lurus dalam duduknya, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, lalu bersujud hingga thuma’ninah sendi-sendinya. Kemudian mengangkat kepalanya lalu bertakbir. Jika dia melakukan hal itu maka telah sempurna shalatnya.”

Thuma'ninah dalam posisi bangkit dari ruku’ adalah wajib, tidak boleh ditinggalkan, minimal dengan diamnya gerakan dalam posisi ini dan tidak menyambungkan gerakan antara ruku’, bangkit dari ruku’, dan sujud, tetapi dia harus berhenti dalam ruku’, berhenti dalam berdiri bangkit dari ruku’. Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah Saw. beliau bersabda:

“...Kemudian ruku'lah hingga engkau thuma'ninah dalam ruku', lalu bangkitlah hingga engkau tegak kembali berdiri. Setelah itu sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam bersujud, lalu duduklah hingga engkau thuma'ninah dalam duduk. Lakukan hal itu semua dalam shalatmu.” (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat Ahmad dari jalur Rifa’ah bin Rafi az-Zuraqi:

“…Apabila engkau ruku' maka jadikanlah dua telapak tanganmu berada pada dua lututmu, lalu bentangkan punggungmu dan teguhkanlah untuk ruku'mu. Dan jika engkau mengangkat kepalamu maka tegakkanlah punggungmu hingga seluruh tulang kembali ke persendiannya.”

Kondisi idealnya adalah hendaknya memperlama i'tidal agar lamanya hampir sama dengan ruku'. Dari al-Barra ra., ia berkata:

“Adalah ruku' dan sujud Nabi Saw., jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku', dan di antara dua sujudnya dilakukan dengan lama yang hampir sama.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Dari Tsabit ra. ia berkata:

“Adalah Anas bin Malik ra. mencontohkan kepada kami shalat Nabi Saw., maka dia shalat. Dan jika mengangkat kepalanya dari ruku' maka dia berdiri, hingga kami mengatakan bahwa dia telah lupa." (HR. Bukhari)

Ibnu Hibban dan Ahmad telah meriwayatkan juga hadits ini.

Ketika bangkit dari ruku' maka disunahkan bagi imam dan orang yang shalat munfarid untuk berdzikir dan mengucapkan: “sami'allahu liman hamidahu” (Allah mendengar orang yamg memuji-Nya). Hal itu tidak disunahkan bagi para makmum. Makmum hendaknya mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa lakal hamdu” (Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji) atau “Allahumma, rabbana lakal hamdu” (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji), “Rabbana wa lakal hamdu” (Tuhan kami, dan untuk Mu segala puji), “Rabbana lakal hamdu” (Tuhan kami, untuk-Mu segala puji); bentuk dzikir manapun yang mereka ucapkan adalah boleh-boleh saja. Semua bentuk ini telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hasan. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. jika mengucapkan sami'allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka dia mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, dan untukMu segala puji)…” (HR. Bukhari)

Di sini beliau Saw. mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji).”

Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika imam mengucapkan sami'allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah oleh kamu sekalian: Allahumma, rabbana lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji)”, karena siapa yang ucapannya bertepatan dengan ucapan malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari)

Di sini beliau Saw. mengucapkan: “Allahumma, rabbana lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji).”

Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw. jika telah bertakbir beliau beristiftah, kemudian mengucapkan… dan jika mengangkat kepalanya dari ruku' beliau Saw. mengucapkan: “Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji.” (HR. Ahmad)

Di sini beliau Saw. mengucapkan: “Rabbana wa lakal hamdu” (Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji).

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. bersabda:
“Jika imam mengucapkan sami'allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah oleh kalian semua: “Rabbana lakal hamdu (Tuhan kami, untuk-Mu segala puji).” (HR. Ibnu Hibban)

Di sini beliau Saw. mengucapkan “Rabbana lakal hamdu (Tuhan kami, untuk-Mu segala puji)”.

Inilah empat dalil untuk keempat bentuk dzikir tersebut. Bentuk pertama: Allahumma, rabbana wa lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, dan untuk-Mu segala puji) merangkum apa yang kurang dari tiga bentuk lainnya, sehingga bentuk ini dipandang sebagai yang paling utama. Ibadah itu adalah pahala, dan ada pahala untuk setiap lafadz dan setiap huruf, sehingga di sini ibadah dengan huruf yang lebih banyak, maka itu lebih utama.

Hadits yang pertama menetapkan bahwa imam mengucapkan: sami’allahu liman hamidah, Allahumma, rabbana wa lakal hamdu”, ini menjadi hujjah yang membantah orang yang membatasi ucapan imam hanya dengan sami'allahu liman hamidah saja. Hadits ini datang dalam bentuk umum, sehingga bisa menjadi dalil bagi imam dan juga bagi orang yang shalat secara munfarid. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Salamah bin Abdurrahman:

“Sesungguhnya Abu Hurairah bertakbir dalam setiap shalat fardhu dan selainnya di bulan Ramadhan dan selainnya. Beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku', lalu mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Setelah itu mengucapkan rabbana wa lakal hamdu, sebelum dia bersujud… dan ketika dia selesai dari shalat dia kemudian mengatakan: Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah Saw. di antara kalian. Inilah shalat beliau Saw. hingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)

Maka ucapan: “dalam setiap shalat fardhu dan selainnya”, ini memberi pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan Abu Hurairah ra. adalah perbuatan yang sama dengan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sehingga, imam dan orang yang shalat munfarid, keduanya mengucapkan: sami'allahu liman hamidahu, allahumma, rabbana wa lakal hamdu.

Mengenai makmum, mereka hanya mengucapkan: “Allahumma, rabbana wa lakal hamdu” saja, tidak mengucapkan “sami’allahu liman hamidahu”. Dalil atas hal ini adalah apa yang disebutkan dalam hadits kedua: “Jika imam mengucapkan sami'allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka ucapkanlah oleh kamu sekalian: Allahumma, rabbana lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji)”, sehingga yang diminta dari makmum hanyalah mengucapkan: Allahumma, rabbana lakal hamdu (Ya Allah Tuhan kami, untuk-Mu segala puji), tidak boleh menambahinya dengan kalimat: “sami’allahu liman hamidah.” Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Rifa’ah bin Rafi az-Zuraqi ra., ia berkata:
“Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi Saw. Pada saat beliau mengangkat kepalanya dari ruku', beliau Saw. mengucapkan: sami'allahu liman hamidah. Seseorang yang ada di belakangnya mengucapkan: rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi). Ketika selesai, beliau Saw. bertanya: “Siapa yang berbicara tadi?” Ia berkata: “Aku”. Beliau bersabda: “Aku melihat tiga puluh lima malaikat berebut untuk bisa menuliskannya.” (HR. Bukhari)

Di sini laki-laki tadi tidak mengucapkan sami'allahu liman hamidahu, tetapi malaikat sampai berlomba dan berebutan untuk menuliskan apa yang diucapkannya. Tirmidzi berkata: “Yang diamalkan oleh sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi dan orang-orang setelah mereka adalah: imam mengucapkan sami'allahu liman hamidah, sedangkan orang yang di belakangnya mengucapkan rabbana walakal hamdu.

Tentang kapan si mushalli -baik imam ataupun munfarid- mengucapkan sami'allahu liman hamidah, dan Allahumma rabbana wa lakal hamdu, Abu Hurairah ra. menjawab pertanyaan ini dengan haditsnya:

“Adalah Rasulullah Saw. mengucapkan: sami'allahu liman hamidah, ketika beliau mengangkat punggungnya dari ruku'. Kemudian mengucapkan ketika beliau dalam posisi berdiri: rabbana wa lakal hamdu.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Maka mushalli mengucapkan sami'allahu liman hamidah ketika dia sedang mengangkat kepalanya dari ruku’, yakni sepanjang gerakannya tersebut. Dan saat telah tegak lurus berdiri dan gerakannya sudah diam, maka dia mengucapkan: Allahumma rabbana wa lakal hamdu, atau bentuk dzikir yang lainnya.

Kita kembali pada bentuk-bentuk dzikir yang tadi. Kami katakan: kami telah menyebutkan empat bentuk dzikir yang bisa diucapkan mengikuti ucapan sami'allahu liman hamidah, dan kami lebih mengutamakan bentuk: “Allahuma, rabbana wa lakal hamdu.” Kami nyatakan sekarang: keempat kata tersebut merupakan batasan minimal yang diucapkan mushalli setelah ucapan sami’allahu liman hamidah, di mana ada kalimat tambahan yang juga bisa diucapkan, di antaranya adalah bentuk yang tercantum dalam hadits Bukhari dari jalur Rifa’ah bin Rafi, yakni: Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang banyak, baik, dan diberkahi), dan Anda telah membaca keutamaan yang ada padanya.
Ada juga bentuk tambahan yang sedikit lebih panjang, yakni: Allahumma rabbana wa lakal hamdu milaas samawati wa mil-al ardhi wa mil-a ma bainahuma, wa mil-a maa syi‘ta min syai-in ba'du (Ya Allah Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki). Dari Ali bin Abi Thalib ra. dari Rasulullah Saw.:
“Bahwa beliau Saw. jika berdiri untuk shalat mengucapkan... dan jika bangkit (dari ruku’) beliau mengucapkan: “Ya Allah Tuhan kami, dan bagiMu segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki...” (HR. Muslim)

Ada juga bentuk ketiga yang lebih panjang dari dua bentuk sebelumnya, yakni: Allahumma rabbana wa lakal hamdu mil-as samawati wa mil-al ardhi wa mil-a ma bainahuma, wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du, ahlats tsana-i wal majdi, ahaqqu ma qaalal ’abdu wa kulluna laka 'abdun, allahumma laa maa-ni'a lima althaita wala mu'thiya lima mana'ta wa laa yanfalu dzal jaddi minkal jadd (Ya Allah Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki, Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian dan keagungan, lebih berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami semua adalah hamba-Mu, ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahan, dan kemuliaan itu tidak akan memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain dengan idzin dan ketetapan dari Engkau).” Bentuk ini telah disebutkan dalam hadits ad-Darimi, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, tetapi dengan sedikit perbedaan dalam lafadz-lafadznya. Dari Abu Said ali Khudri ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah Saw. jika mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan: “Tuhan kami, bagi-Mu segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki. Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian dan keagungan, lebih berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahan, dan kemuliaan itu tidak akan memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain dengan idzin dan ketetapan dari Engkau.” (HR. al-Darimi)

Dalam riwayat Ibnu Hibban ada tambahan wawu, sehingga menjadi rabbana wa lakal hamdu, dan dalam riwayat Ahmad ada tambahan Allahumma, sehingga menjadi Allahumma rabbana lakal hamdu. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan Allahumma dan wawu sehingga menjadi Allahumma, rabbana wa lakal hamdu, dan dalam riwayat Muslim ada tambahan mil-a ma bainahuma, sehingga menjadi mil-as samawati wa milal ardhi wa mil-a maa bainahuma. Semua tambahan yang berasal dari perawi yang tsiqah itu diterima, di mana semua tambahan ini dipadukan dengan riwayat ad-Darimi sehingga doanya menjadi: “Ya Allah Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki. Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian dan keagungan, lebih berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahan, dan kemuliaan itu tidak akan memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain dengan idzin dan ketetapan dari Engkau.”

Bentuk yang ketiga ini mencakup bentuk yang kedua yang disebutkan dalam hadits Muslim sebelumnya, sehingga kita memiliki dua bentuk: bentuk yang panjang, bentuk yang pertama: rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi), sehingga siapa saja yang ingin mencukupkan diri dengan bentuk yang pertama maka boleh-boleh saja, dan siapa yang ingin mengambil bentuk yang panjang maka itupun menjadi haknya. Begitu juga siapa saja yang ingin menggabungkan antara keduanya, maka itu boleh juga. Sehingga apabila bangkit dari ruku, akan mengucapkan:

Sami’allahu liman hamidah, dan ketika i'tidal tegak berdiri mengucapkan: “Ya Allah, Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi, dengan pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh segala sesuatu yang Engkau kehendaki. Engkaulah Dzat yang berhak bersandingkan pujian dan keagungan, lebih berhak atas pujian yang diucapkan hamba-Nya, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menghalangi atas apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi atas apa yang Engkau tahankan, dan kemuliaan tidak akan memberi manfaat pada orang yang memilikinya selain karena idzin dan ketetapan Engkau.” Sehingga kebaikan ini bisa diperoleh semuanya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam