Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 07 Juli 2017

Dalil Takbir Dalam Shalat



Takbir Dalam Shalat

Seluruh takbir dalam shalat itu hukumnya sunat dan dianjurkan, berbeda dengan takbiratul ihram yang hukumnya adalah fardhu, di mana takbiratul ihram adalah takbir yang dilafalkan ketika memulai shalat. Sebelumnya pembahasan tersebut telah kami singgung di awal bab ini. Semua takbir disyariatkan untuk imam, makmum dan orang yang shalat munfarid, sehingga tidak benar kalau dikatakan takbir itu hanya untuk imam saja. Alasannya karena nash-nash yang ada, seluruhnya menyebutkan takbir dalam shalat secara umum, tanpa ada pengkhususan (takhsis), dan berbentuk mutlak tanpa ada pembatasan (taqyid), karena itu tidak perlu diperhatikan pendapat yang mengkhususkan takbir ini hanya untuk imam saja, tidak untuk makmum atau orang yang munfarid.

Disunahkan untuk menjahrkan takbir bagi imam, baik dalam shalat sirriyah ataupun shalat jahriyah. Adapun bagi makmum, mereka hendaknya mensirrkan takbir, baik dalam shalat sirriyah ataupun shalat jahriyah. Sedangkan orang yang shalat munfarid hendaknya dia menjahrkan dalam shalat jahriyah, dan mensirrkan dalam shalat sirriyah.

Bagi si mushalli, disyariatkan untuk bertakbir pada setiap gerakan perpindahan (takbir intiqal) dalam shalat, kecuali dua gerakan, yakni ketika bangkit dari ruku', yang diucapkan adalah sami 'allahu liman hamidahu, dan ketika menoleh ke kanan dan ke kiri di akhir shalat, di mana dia mengucapkan assalamu'alaikum wa rahmatullah. Jadi, takbir itu disyariatkan di setiap kali bangkit, turun, berdiri, duduk, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat nafilah, baik bagi imam, makmum ataupun yang shalat munfarid, baik laki-laki, perempuan ataupun anak-anak.

Seorang Muslim bertakbir dua puluh dua takbir dalam shalat ruba'iyah (shalat yang jumlah rakaatnya empat), dan sebelas takbir dalam shalat tsanaiyah (shalat yang berjumlah dua rakaat) dan tujuh belas takbir dalam shalat tsulatsiyah (shalat yang berjumlah tiga rakaat). Banyak hadits yang menyebutkan tentang takbir. Kami pilihkan di antaranya:

1) Dari Ikrimah, ia berkata: aku berkata kepada Ibnu Abbas ra.:

“Aku shalat dhuhur di al-Bat-ha di belakang seorang tua yang pandir. Dia bertakbir dengan dua puluh dua takbir, dan bertakbir jika sujud, dan jika mengangkat kepalanya. Dia berkata: maka Ibnu Abbas berkata: Itulah shalat Abul Qasim Saw.” (HR. Ahmad)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan sedikit perbedaan.

2) Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. bertakbir pada setiap kali turun, bangkit, berdiri, dan duduk, dan beliau Saw. mengucap salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya hingga nampak putihnya dua pipi beliau Saw. Dan aku melihat Abu Bakar dan Umar melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

3) Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:


“Adalah Rasulullah Saw. jika berdiri untuk shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’, lalu mengucapkan sami'allahu liman hamidah ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku. Setelah itu mengucapkan dan beliau dalam posisi berdiri: rabbana lakal hamdu – Abdullah bin Shalih dari al-Laits berkata: wa lakal hamdu kemudian bertakbir hingga jatuh bersujud, lalu bertakbir ketika mengangkat kepalanya, dan bertakbir ketika bersujud. Setelah itu bertakbir ketika mengangkat kepalanya, dan melakukan hal itu dalam shalat seluruhnya hingga beliau menyelesaikannya. Dan bertakbir ketika bangkit dari dua rakaat setelah duduk.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

4) Dari Abu Bakar bin Abdurrahman dan Abu Salamah:


“Sesungguhnya Abu Hurairah bertakbir dalam setiap shalat fardhu dan selainnya. Dia bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku, lalu mengucapkan sami ’allahu liman hamidahu, setelah itu mengucapkan: rabbana wa lakal hamdu sebelum bersujud, kemudian mengucapkan Allahu Akbar ketika jatuh bersujud, diikuti bertakbir ketika mengangkat kepalanya, lalu bertakbir lagi ketika bersujud. Setelah itu bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika berdiri dari duduk dalam dua rakaat, dan beliau melakukan hal itu di setiap rakaat hingga menyelesaikan shalatnya. Pada saat dia selesai dari shalatnya, dia kemudian berkata: “Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip shalatnya di antara kalian dengan shalat Rasulullah Saw. Inilah shalat beliau Saw. hingga beliau wafat” (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits yang pertama disebutkan: “Aku shalat dhuhur di al-Bat-ha di belakang seorang tua yang pandir, dia bertakbir dengan dua puluh dua takbir”, “maka Ibnu Abbas berkata: Itulah shalat Abul Qasim Saw.”, maka di dalam shalat ruba’iyah itu ada dua puluh dua takbir.
Dan dalam ucapan: “bertakbir pada setiap kali turun, bangkit, berdiri, dan duduk, dan bersalam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya”, bertakbir dikecualikan dalam gerakan salam.
Dalam hadits ketiga: “kemudian mengucapkan sami 'allahu liman hamidahu, ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku’ maka bertakbir dikecualikan dalam gerakan bangkit dari ruku’.
Dalam hadits keempat “bertakbir dalam setiap shalat fardhu dan selainnya,” ini menjadi dalil bahwa takbir disyariatkan dalam seluruh shalat, baik yang fardhu ataupun yang nafilah.
Dalam hadits keempat: “inilah shalat beliau Saw. hingga beliau wafat” menjadi dalil tetapnya hukum takbir seluruhnya, dan tidak ada satupun yang dinasakh darinya. Dalam hadits keempat: “kemudian mengucapkan Allahu Akbar ketika jatuh bersujud” menjadi dalil bahwa takbir yang disebutkan dalam hadits adalah dengan redaksi “Allahu Akbar”, bukan yang lain.
Tirmidzi berkata: “Inilah takbir yang diamalkan oleh para sahabat Nabi, di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, dan selainnya, dan kalangan tabi'in setelahnya, dan mayoritas para ahli fikih dan ulama.”

Meski demikian, takbir ini hukumnya sunat saja bukan wajib. Telah diriwayatkan bahwa suatu kali Rasulullah Saw. meninggalkan sebagian takbir, di mana hal ini menunjukkan tidak wajibnya mengucapkan takbir. Abdullah bin Abdurrahman Ibnu Abza telah menyampaikan dari ayahnya:

“Bahwa dia shalat bersama Rasulullah Saw., dan beliau tidak bertakbir, yakni ketika turun dan ketika bangkit.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud meriwayatkan hadits serupa dan memberikan komentar setelahnya: “Maksudnya jika mengangkat kepalanya dari ruku dan akan bersujud, maka beliau tidak bertakbir. Dan jika bangun dari sujud, maka beliau tidak bertakbir.” Ahmad meriwayatkan dari jalur Imran bin Hushain ra. -dia telah ditanya siapa yang pertama meninggalkan takbir- maka dia menjawab:

“Utsman bin Affan ra., ketika dia sudah tua dan suaranya sudah lemah, maka dia meninggalkannya.”

Seandainya takbir ini hukumnya wajib, maka Utsman tidak akan meninggalkannya, dan hal itu didiamkan oleh para sahabat.

Tinggal satu masalah lagi, yaitu berdirinya seseorang dari makmum yang dekat dengan imam, di mana ia mengeraskan suaranya dalam bertakbir agar bisa terdengar oleh para makmum lainnya yang jauh dari imam –di mana mereka tidak bisa mendengar takbir imam-. Praktik seperti ini boleh-boleh saja. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., bahwa dia berkata:

“Rasulullah Saw. menderita sakit, lalu kami shalat di belakangnya dan beliau Saw. dalam keadaan duduk. Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau Saw. kepada orang-orang, lalu beliau Saw. menoleh kepada kami dan melihat kami berdiri, kemudian beliau Saw. memberi isyarat kepada kami, lalu kami pun duduk dan melaksanakan shalat dalam keadaan duduk. Ketika bersalam, beliau Saw. berkata: “Hampir saja kalian tadi melakukan apa yang dilakukan Bangsa Persia dan Romawi, mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk, maka janganlah kalian melakukannya, ikutilah imam kalian, jika dia shalat secara berdiri maka shalatlah kalian secara berdiri, dan jika dia shalat secara duduk maka shalatlah kalian secara duduk.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Muslim meriwayatkan dari jalur Jabir satu riwayat yang lain dengan redaksi kalimat:

“Rasulullah Saw. shalat mengimami kami, dan Abu Bakar ada di belakangya. Jika Rasulullah Saw. bertakbir maka Abu Bakar bertakbir agar bisa memperdengarkannya kepada kami, kemudian dia menyebutkan hadits Laits.”

Dengan demikian, jika sang imam sakit atau suaranya pelan, maka seseorang boleh mengeraskan suaranya mengulang takbir di belakang imam, agar bisa memperdengarkannya kepada makmum yang lain, dan tidak ada masalah dalam hal itu. Akan tetapi, ini terjadi dalam kondisi tidak ada pengeras suara di masjid. Jika sudah ada, maka suara imam kalau disampaikan lewat pengeras suara bisa mencapai seluruh jamaah yang sedang shalat tanpa memerlukan lagi orang yang mengulang takbir imam di belakangnya, sehingga dalam kondisi ini saya berpendapat bahwa mengulang takbir yang dilakukan oleh orang kedua menjadi makruh, karena bisa membingungkan dan mengganggu makmum yang lain ketika hal itu tidak diperlukan.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam