Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 13 Juli 2017

Dalil Sunnah Shalawat Dalam Shalat



Shalawat Kepada Rasulullah Saw.

Disunatkan bagi seorang Muslim untuk bershalawat kepada Rasulullah Saw. dalam shalatnya. Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amir ra., ia berkata:


“Seseorang datang menghadap hingga duduk tepat di hadapan Rasulullah Saw., dan kami ada di samping beliau Saw. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, mengenai salam maka kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu jika kami melakukan shalat, padahal Allah saja bershalawat kepadamu?” Dia (perawi) berkata: Kemudian Rasulullah Saw. terdiam hingga kami suka jika laki-laki tersebut tidak menanyai beliau terkait perkara itu. Setelah itu beliau Saw. bersabda: “Jika kalian bershalawat kepadaku maka ucapkanlah: “Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Dan curahkanlah barakah atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan hadits yang mirip. Ucapan: mengenai salam maka kami telah mengetahuinya, yakni ucapan yang dilafalkan dalam tasyahud: ”keselamatan bagimu wahai Nabi dan rahmat dan barakah-Nya (tercurah padamu).” Sedangkan ucapan: maka bagaimana kami bershalawat kepadamu jika kami melakukan shalat, maka hal ini menunjukkan disyariatkannya shalawat dalam shalat ini, tanpa ada pembatasan di bagian manakah dari shalat tersebut, karena tidak ada satu nash pun yang shahih atau hasan yang menunjukkan penetapan satu tempat atau bagian dalam shalat untuk bershalawat kepada Rasulullah Saw.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Hakim dari jalur Ibnu Mas’ud ra. dari Rasulullah Saw., bahwa beliau bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian telah bertasyahud dalam shalat maka ucapkanlah: Ya Allah curahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan keluarga Muhammad, dan rahmatilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana engkau mencurahkan shalawat, barakah dan rahmat pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.”

Maka hadits ini walaupun di dalamnya terdapat penentuan tempat pengucapan shalawat kepada Rasulullah Saw., di mana tempatnya itu adalah setelah tasyahud, tetapi hadits ini dalam sanadnya ada perawi majhul seorang laki-laki dari Bani al-Harits sehingga hadits ini dhaif dan tidak layak diperhitungkan. Mengenai hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari ucapan Abdullah bin Mas’ud ra.: “Seorang laki-Iaki bertasyahud, kemudian di bershalawat atas Nabi, kemudian berdoa untuk dirinya sendiri”, maka hadits ini juga walaupun di dalamnya terdapat penentuan tempat pengucapan shalawat ibrahimiyah dalam shalat tetapi ini adalah ucapan sahabat (qaul shahabiy), dan ucapan shahabat bukanlah dalil hukum syara. Ucapan sahabat semata-mata hanya hukum syara yang bersifat ijtihadi, sehingga boleh saja untuk diikuti. Karena itu kita tidak memiliki satu nash pun yang mu’tabar yang menentukan tempat pengucapan shalawat ibrahimiyah dalam shalat. Apa yang biasa dilakukan oleh kaum Muslim dengan mengucapkan shalawat ini setelah tasyahud akhir, dan mereka menyepakati perkara ini, maka hal ini hanyalah perkara yang dinukil kepada kita secara praktis dari satu generasi ke generasi, dan itu adalah mutawatir.

Shalawat atas Rasulullah Saw. tidak memiliki bentuk tertentu yang harus ditetapi, karena ada beberapa bentuk shalawat yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang shahih dan hasan, di mana setiap bentuk ini boleh dan sah digunakan. Sejumlah bentuk telah disebutkan dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. dari beberapa jalur dari sahabat Rasulullah Saw., tetapi ada juga beberapa bentuk yang disebutkan dari jalur satu orang sahabat dari mereka. Telah diriwayatkan dari Kaab bin ‘Ujrah ra. lebih dari tiga bentuk shalawat. Yang serupa adalah dari jalur Abu Humaid as-Sa’idiy ra., dan yang lebih banyak lagi adalah dari jalur Abu Mas’ud al-Anshari ‘Uqbah bin Amir ra. Semua jalur ini shahih dan hasan sehingga layak untuk dijadikan hujjah. Seorang Muslim berhak memilih di antara berbagai bentuk shalawat ini. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:


“Barangsiapa yang senang ditimbang dengan timbangan paling sempurna jika bershalawat kepada kami ahlul bait, maka ucapkanlah: “Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad, Nabi (kami) dan istri-istrinya yang merupakan ummahatul mukminin, dan keturunannya serta ahli baitnya, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Abu Dawud)

Ucapan: “Barangsiapa yang ingin ditimbang dengan timbangan paling sempurna”, ini menjadi dalil adanya perbedaan bentuk. Seandainya tidak seperti itu, atau seandainya shalawat itu tidak diucapkan dalam beberapa bentuk, maka tidak akan ada ucapan seperti ini. Semua bentuk ini diriwayatkan dan dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., sehingga membuat kita tenang ketika menetapkan disyariatkan berbagai bentuk shalawat ini, dan ini tidak menghalangi kita mengambil bentuk yang paling kuat dilihat dari segi sanad. Bentuk yang paling kuat dilihat dari segi sanad, tidak ragu lagi adalah bentuk yang disepakati periwayatannya oleh dua orang syeikh, yakni Bukhari dan Muslim. Kedua syeikh ini telah menyepakati dua bentuk shalawat, yaitu:

a. Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas lbrahim dan keluarga lbrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

b. Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Yang paling utama adalah memilih salah satu dari dua bentuk ini. Bentuk yang pertama diriwayatkan dari Kaab bin Ujrah ra., bahwa dia berkata:


“Kami bertanya kepada Rasulullah Saw. dan kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bershalawat atasmu sebagai ahlul bait, karena Allah telah mengajari kami bagaimana kami mengucapkan salam atas kalian?” Beliau berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia dan curahkanlah barakah atas Muhammad, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan menyebutkan: “atas keluarga lbrahim” di kedua tempat tersebut tanpa menyebutkan Ibrahim di dalamnya.

Bentuk kedua telah diriwayatkan dari Abu Humaid al-Sa’idiy ra., bahwa dia berkata:


“Mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah kami bershalawat atasmu?” Maka Rasulullah Saw. berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, an-Nasai dan Abu Dawud)
Berikut ini adalah bentuk-bentuk shalawat ma’tsurah lainnya.

1) “Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” Bentuk ini telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dari jalur Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amir ra., ia berkata:

“Seseorang datang menghadap hingga duduk tepat di hadapan Rasulullah Saw., dan kami ada di samping beliau Saw. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, mengenai salam maka kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu jika kami melakukan shalat, padahal Allah saja bershalawat kepadamu?” Dia (perawi) berkata: Kemudian Rasulullah Saw. terdiam hingga kami suka jika laki-laki tersebut tidak menanyai beliau terkait perkara itu. Setelah itu beliau Saw. bersabda: “Jika kalian bershalawat kepadaku maka ucapkanlah: Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad, Nabi yang ummi, dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Sebelumnya, hadits ini telah kami sebutkan. Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang hampir serupa.

2) “Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba-Mu dan utusan-Mu, sebagaimana Engkau curahkan shalawat atas Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga lbrahim.” Bentuk shalawat ini telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:


“Kami berkata: “Wahai Rasulullah, terkait ucapan salam atasmu maka kami telah mengetahuinya, maka bagaimanakah dengan bershalawat atasmu?” Beliau berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba-Mu dan utusan-Mu, sebagaimana Engkau curahkan shalawat atas Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim.”

3) “Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” Bentuk ini telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur Thalhah bin Ubaidillah ra., ia berkata:


“Aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah bershalawat atasmu? Beliau berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”

Perlu saya sebutkan satu bentuk shalawat atas Rasulullah Saw. yang paling panjang dan paling luas cakupannya:

4) Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas ahli baitnya, dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas ahli baitnya, dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” Bentuk ini telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur seorang laki-laki dari kalangan sahabat Nabi Saw., dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:


“Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas ahli baitnya, dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas ahli baitnya, dan atas istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”

Tidak diketahuinya nama sahabat tersebut tidak bermasalah, karena mereka semua bersifat adil. Al-Haitsami berkata: “rijal Ahmad adalah rijal yang shahih.”

Inilah enam bentuk shalawat. Yang paling kuat sanadnya adalah dua bentuk, dan yang paling luas cakupannya adalah bentuk terakhir. Siapa saja yang mengambil salah satu bentuk dari keenamnya, maka itu telah cukup baginya, dan perkara ini dalam hal tersebut cukup luas.

Ada kebiasaan pada lidah kaum Muslim sekarang ini mengucapkan: “fil 'alamina (di seluruh alam)” sebelum “innaka hamiidun majiid (sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia)”. Jadi, ada tambahan kalimat “fil 'alamina (di seluruh alam).” Lafadz ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasai, dan Abu Dawud, dan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari jalur Abu Mas’ud al-Anshari ra., dan redaksinya:


”...Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat atas keluarga Ibrahim, dan curahkanlah barakah atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau mencurahkan barakah atas keluarga Ibrahim, di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia...”

Ini adalah bentuk yang ketujuh yang bisa ditambahkan pada keenam bentuk sebelumnya. Bentuk ini disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan ad-Darimi dari jalur Abu Mas’ud, dan dalam hadits yang diriwayatkan lbnu Majah dari jalur Abu Humaid al-Sa’idiy.

Sedangkan kebiasaan yang sudah lazim diucapkan oleh banyak orang: Ya Allah, curahkanlah shalawat atas sayyidina Muhammad dan atas keluarga sayyidina Muhammad, dan curahkanlah barakah atas sayyidina Muhammad dan atas keluarga sayyidina Muhammad...”, dengan adanya tambahan “sayyidina”, maka hal ini tidak ada dasarnya yang mu’tabar. Bentuk seperti ini tidak dinukil dari Rasulullah Saw. dalam satu riwayat pun, baik yang shahih ataupun yang hasan. Karena itu, saya menasehati Anda sekalian untuk meninggalkannya dan hanya mencukupkan diri dengan bentuk yang ma'tsur saja karena itu lebih utama. Tetapi jika enggan dan terus saja menggunakannya maka tidak menjadi masalah, karena perkara ini begitu luas sebagaimana kami katakan sebelumnya. Tambahan ini telah disisipkan oleh sejumlah ahli fikih dengan alasan bahwa hal ini termasuk sikap menjaga kesopanan pada Rasulullah Saw., tetapi sebenarnya mereka telah jauh dari kebenaran dalam ucapannya, sebab sikap menjaga kesopanan pada Rasulullah Saw. itu adalah dengan mentaatinya dalam berbagai perkara yang disyariatkannya, dan itu sudah cukup.

Saya katakan pada awal pembahasan, bahwa shalawat atas Rasulullah Saw. ini hukumnya sunat, dan saya tidak menyatakan hukumnya itu wajib, sebagaimana yang dikatakan sejumlah ahli fikih. Karena, adanya perintah saja tidak cukup untuk mewajibkannya. Perintah untuk melakukan sesuatu itu tidak berarti wajib, kecuali dengan adanya indikasi (qarinah), seperti yang dinyatakan oleh sejumlah ahli ushul, dan inilah yang benar. Jadi, perintah itu hanya sekedar tuntutan saja (at-thalab). Adanya indikasi (qarinah)-lah yang menjadikan perintah (al-amr) itu menjadi wajib (al-wujub), sunah (an-nadb) atau boleh (al-ibahah). Dalam persoalan ini tidak ada indikasi yang bisa merubah perintah ini menjadi wajib. Indikasi yang ada hanya menunjukkannya pada sunah saja. Berikut penjelasannya:

a. Hadits ad-Darimi dari jalur ‘Alqamah, bahwa Abdullah ra. memegang tangannya:

“Bahwa Rasulullah Saw. memegang tangan Abdullah, lalu beliau Saw. mengajarinya bertasyahud dalam shalat, penghormatan untuk Allah ...orang-orang shalih. Zuhair berkata: aku melihatnya mengucapkan: Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. (Perawi)-ragu dalam dua kata ini-: jika engkau melakukan hal ini atau menunaikan hal ini maka engkau telah menunaikan shalatmu, sehingga jika engkau ingin berdiri maka berdirilah, dan jika engkau ingin duduk maka duduklah.”

Sebelumnya telah kami sebutkan dalam pembahasan “tasyahud dan bentuk duduknya.” Seandainya shalawat atas Rasulullah Saw. itu diwajibkan maka bagaimana bisa ada ucapan: “jika engkau melakukan hal ini atau menunaikan hal ini maka engkau telah menunaikan shalatmu” setelah bertasyahud? Seandainya shalawat itu diwajibkan maka tidak mungkin ada ucapan: “jika engkau ingin berdiri maka berdirilah”. Hadits ini memiliki dilalah yang sangat jelas.

b. Hadits Ibnu Majah dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata Rasulullah Saw. bertanya pada seorang laki-laki:

“Apa yang engkau ucapkan dalam shalat?” Ia berkata: Aku bertasyahud, kemudian memohon Surga kepada Allah dan berlindung dari siksa Neraka kepada-Nya. Demi Allah, aku tidak mengetahui dendanganmu dan tidak juga dendangan Muadz. Beliau bersabda: Di sekitarnya (Surga) kita berdendang mencarinya.”

Lelaki ini ditanyai Rasulullah Saw. tentang apa yang diucapkannya dalam shalat, maka dia menjawabnya: “Aku bertasyahud, kemudian memohon Surga kepada Allah dan berlindung dari siksa Neraka kepada-Nya.” Di dalam jawaban ini tidak ada isyarat adanya shalawat atas Nabi Saw., dan Nabi Saw. tidak mengingkari ucapannya itu. Diamnya beliau Saw. itu ketika sangat diperlukan, menjadi penjelasan dan penetapan hukum. Seandainya shalawat atas Nabi itu suatu kewajiban, niscaya wajib bagi Rasulullah Saw. untuk menjelaskannya kepada laki-laki ini. Tatkala beliau Saw. tidak melakukannya, maka hal itu menunjukkan tidak wajibnya bershalawat ini.

c. Hadits Abu Dawud dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian selesai dari tasyahud akhir maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah Swt. dari empat hal: dari siksa jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari keburukan al-masih ad-dajjal.”

Seandainya shalawat itu diwajibkan niscaya Nabi Saw. akan mengatakan misalnya: “Jika salah seorang dari kalian selesai dari mengucapkan shalawat atasku maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah Swt. dari empat hal”, dan ketika beliau tidak menyebutkannya, malah memerintahkan dengan doa tersebut setelah bertasyahud, maka hal ini menunjukkan bahwa shalawat itu bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas kaum Muslim. Hadits yang memiliki dilalah serupa adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami satu surat dari al-Qur'an: “Dengan nama Allah dan dengan pertolongan Allah, penghormatan hanya milik Allah, kebahagiaan dan kebaikan adalah milik-Nya, keselamatan, rahmat dan barakah-Nya adalah bagimu wahai Nabi, keselamatan atas kami semua dan atas hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Aku meminta Surga kepada Allah, dan aku berlindung dari Neraka kepada-Nya.”

Saya telah menyebutkan hadits ini dalam pembahasan “tasyahud dan bentuk duduknya”, di mana beliau Saw. menjadikan doa setelah tasyahud langsung tanpa ada pemisah berupa shalawat atas Nabi Saw.

d. Hadits yang kami sebutkan sebelumnya, yang di dalamnya ada tuntutan atas kaum Muslim agar bershalawat kepada Rasulullah Saw. dalam shalat -yakni hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ahmad-, sesungguhnya tuntutan ini sebenarnya adalah untuk mendekatkan diri (qurbah) kepada Allah. Bentuk qurbah seperti ini menurut qarinah yang ada telah terbukti bahwa ini bukanlah sesuatu yang wajib, sehingga dipahami bahwa hukumnya hanya sunat dan dianjurkan saja.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abu Mas’ud al-Badriy ra., bahwa dia berkata:

“Seandainya aku melaksanakan satu shalat, lalu aku tidak bershalawat di dalamnya pada Muhammad dan pada keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat shalat itu sebagai (sesuatu yang) telah sempurna.”

Al-Baihaqi telah meriwayatkan hadits ini dan berkomentar: “Jabir al-Ju'fiy telah menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini, padahal dia itu seorang dhaif”. Abu Hanifah dan yang lainnya telah mendustakannya, sehingga hadits ini tidak layak untuk dijadikan dalil. Selain itu, hadits ini adalah ucapan sahabat, sedangkan ucapan sahabat itu sendiri bukanlah dalil syara.

Mengenai hadits yang diriwayatkan dari Abdul Muhaimin bin Abbas bin Shal as-Sa’idiy, ia berkata:

“Aku mendengar ayahku menceritakan dari kakekku, bahwa Nabi Saw. berkata: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya, dan tidak ada shalat bagi orang yang tidak bershalawat pada Nabi dalam shalatnya.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Hadits ini menunjukkan wajibnya bershalawat atas Nabi Saw. dalam shalat. Hadits ini hadits dhaif, yang tidak layak untuk dijadikan hujjah, seperti yang dikatakan oleh al-Baihaqi, karena Abdul Muhaimin itu seorang yang sangat lemah sebagaimana dikatakan oleh ad-Dzahabi. Karena itu, haditsnya harus dibuang dan tidak boleh diperhatikan. Dengan demikian, shalawat pada Rasulullah Saw. dalam shalat itu hukumnya sunat saja, bukan wajib.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam