Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 18 Juli 2017

Dalil Hukum Sujud Sahwi Dan Sebabnya



Sujud Sahwi: Hukum dan Sebabnya

Sujud sahwi hukumnya fardhu atau wajib bagi orang yang meninggalkan hal-hal yang fardhu atau yang wajib dalam shalatnya, baik shalat yang wajib ataupun shalat tathawwu’; dan menjadi sunah hukumnya apabila dia meninggalkan sesuatu yang disunahkan dalam shalatnya. Jika yang ditinggalkannya itu adalah rukun shalat maka batallah shalatnya, dan tidak bisa diganti dengan sujud sahwi, sehingga dia harus mengulangnya. Ini adalah pendapat yang rajih dalam perkara ini. Sujud sahwi dilakukan untuk menambal kekurangan dalam satu perkara, atau menjadi jalan keluar jika ada kelebihan akibat lupa melakukan ini dan itu. Namun, jika kekurangan tersebut adalah sesuatu yang wajib, atau tambahan tersebut adalah sesuatu yang wajib tetapi dilakukan secara sengaja, maka sujud sahwi tidak bisa menjadi pengganti dalam dua kondisi seperti ini, sehingga pelakunya tetap berdosa.

Jadi, sujud sahwi tidak bermanfaat dan tidak disyariatkan kecuali ketika kekurangan atau kelebihan tersebut dilakukan karena lupa saja, sehingga sujud tersebut dinamai sujud as-sahwi (sujud karena lupa). As-Sahwi dan an-nisyan itu artinya sama saja, yakni lupa. Mengenai kelebihan dalam sesuatu yang wajib atau kekurangan dalam sesuatu yang wajib, jika dilakukan karena lupa, maka disyariatkan pada si mushalli untuk melakukan sujud sahwi. Hal ini telah ditetapkan oleh syariat. Sujud sahwi di sini dianggap sebagai penghilang dosa yang bisa memalingkannya dari keharaman. Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berkata:

“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatkah yang telah dia lakukan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah dia membuang keraguan itu. Dan hendaklah berpijak pada apa yang dianggapnya yakin benar, kemudian bersujud dua kali sebelum dia bersalam. Dan jika shalat lima rakaat maka dua sujud tersebut menggenapkannya. Jika dia shalat genap empat rakaat maka dua sujud tersebut untuk menundukkan setan.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Dari Abdullah bin Buhainah al-Asadi sekutu Bani Abdul Muthalib:

“Bahwa Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat dhuhur, dan seharusnya beliau duduk. Ketika beliau selesai dari shalatnya, beliau sujud dua kali dan bertakbir pada setiap sujud tersebut, dan beliau duduk sebelum bersalam. Orang-orang melakukan sujud tersebut bersama beliau sebagai pengganti duduk yang terlupakan.” (HR. Muslim, Bukhari, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Dalam hadits yang pertama, sujud sahwi yang dilakukan ketika shalat ruba’iyah (empat rakaat) dilakukan menjadi lima rakaat, itu akan mengembalikan shalat tersebut menjadi genap. Dilakukannya sujud sahwi ini, yakni mengembalikan shalat tersebut kepada asalnya menjadi sesuatu yang diwajibkan, karena tanpa sujud sahwi shalat ruba’iyah tersebut tetap lima rakaat atau ganjil, sehingga sujud sahwi bisa menghilangkan celah tersebut, koreksi atas shalat tersebut bisa dilakukan, dan semua itu tidak ragu lagi menjadi satu hal yang diwajibkan.

Hadits kedua yang menyatakan: “beliau sujud dua kali ...menjadi pengganti bagian duduk yang terlupakan”, duduk di sini adalah duduk tasyahud awal. Dan duduk seperti ini adalah sesuatu yang wajib dalam shalat tsulatsiyah (tiga rakaat) dan ruba'iyah (empat rakaat) sebagaimana kami telah jelaskan dalam bab “sifat shalat” pada pembahasan “tasyahud dan bentuk duduknya”. Hadits ini memandang sujud sahwi sebagai pengganti duduk tasyahud awal, yang hukumnya wajib, dalam arti, sujud tersebut menggugurkan dosa yang timbul akibat meninggalkan sesuatu yang wajib.

Dari dua hadits ini kita bisa memahami wajibnya sujud sahwi ketika meninggalkan sesuatu yang wajib, dan ketika kita sampai pada pemahaman seperti ini lalu kita analogikan pada sesuatu yang mandub (sunat) maka jelas bahwa sujud sahwi dengan sebab meninggalkan sesuatu yang mandub menjadi mandub pula. Karena, yang mengganti sesuatu yang wajib itu adalah sesuatu yang wajib juga, maka yang mengganti posisi yang mandub itu adalah mandub juga. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa meninggalkan kefardhuan dengan sebab lupa bukanlah suatu keharaman dan tidak akan mengakibatkan dosa. Bagaimana mungkin Anda bisa menyusun satu pemahaman melalui pernyataan seperti ini? Jawabannya adalah bahwa yang meninggalkan kefardhuan dengan sebab lupa memang tidak berdosa dan tidak dipandang melakukan keharaman selama dia lupa. Akan tetapi, setelah ingat dan tidak lupa lagi maka ketika itulah dia berdosa jika dia tidak memperbaiki apa yang dilupakannya itu. Seseorang yang lupa atas suatu kefardhuan dalam shalat, dia tidak berdosa selama dia lupa, dan tidak wajib baginya melakukan sujud sahwi kecuali jika dia ingat saja. Karena itu, barangsiapa yang meninggalkan kefardhuan karena lupa maka dia tidak berdosa. Kemudian apabila dia ingat (bahwa ada kewajiban tertentu yang ditinggalkan), saat itulah dia berdosa jika dia tidak melakukannya dan melakukan sujud sahwi untuk itu. Ini merupakan perkara yang sangat jelas yang tidak perlu penjelasan lain yang lebih dari itu.

Sujud sahwi disyariatkan ketika ada tambahan dalam jumlah rakaat, kekurangan dari jumlah rakaat, ada keraguan dalam jumlah rakaat yang telah dilakukannya, dan ketika meninggalkan sesuatu yang wajib dalam shalat -hal ini kami kemukakan di awal pembahasan- seperti meninggalkan tasyahud awal. Dalam beberapa kondisi seperti ini, sujud sahwi menjadi sesuatu yang wajib dilakukan.

Sujud sahwi dianjurkan ketika meninggalkan sesuatu yang mandub (sunat) -hal ini sebelumnya telah kami paparkan- seperti meninggalkan doa dalam ruku dan sujud, meninggalkan qunut dalam witir, meninggalkan takbir selain takbiratul ihram, meninggalkan shalawat ibrahimiyah, dan berbagai perkara sunat lainnya dalam shalat.

Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Abu Said al-Khudri ra. yang diriwayatkan oleh Muslim maupun lainnya:

“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatkah yang telah dia lakukan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah dia membuang keraguan itu, dan hendaklah berpijak pada apa yang dianggapnya yakin benar, kemudian bersujud dua kali sebelum dia bersalam. Dan jika shalat lima rakaat maka dua sujud tersebut menggenapkannya, dan jika dia shalat genap empat rakaat maka dua sujud tersebut untuk menundukkan setan.”

Ini adalah dalil sujud sahwi ketika ada keraguan dalam jumlah rakaat shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Buhainah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat dhuhur dan seharusnya beliau duduk. Ketika beliau selesai dari shalatnya, beliau sujud dua kali dan bertakbir pada setiap sujud tersebut, dan beliau duduk sebelum bersalam. Orang-orang melakukan sujud tersebut bersama beliau sebagai pengganti duduk yang terlupakan.” (HR. Muslim, Bukhari, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Ini adalah dalil sujud sahwi ketika meninggalkan sesuatu yang wajib dalam shalat, seperti duduk untuk tasyahud awal. Dari Abdullah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. shalat dhuhur lima rakaat. Maka mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah ada tambahan rakaat dalam shalat ini?” Beliau bertanya: “Apakah itu?” Mereka berkata: “Engkau shalat lima rakaat.” Lalu beliau melipat kakinya dan bersujud dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ahmad meriwayatkan hadits yang sama dengan tambahan: “lalu beliau Saw. bersalam”, dan dalam riwayat yang ketiga dari Ahmad:

“Bahwa Nabi Saw. shalat dhuhur atau ashar lima rakaat, kemudian beliau melakukan dua kali sujud sahwi. Setelah itu Rasulullah Saw. berkata: ”Ini adalah dua sujud bagi siapa saja dari kalian yang menduga bahwa dia telah melebihi atau mengurangi (sesuatu dalam shalatnya).”

Dari Imran bin Hushain ra.:

“Bahwa Nabi Saw. bersalam pada tiga rakaat shalat ashar, kemudian beliau berdiri dan masuk (dalam riwayat Muslim disebutkan beliau masuk ke dalam kamar). Lalu seseorang berdiri menghampirinya, orang tersebut bernama al-Khirbaq, kedua tangannya cukup panjang, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah.” Beliau Saw. keluar menemuinya, dan orang itu menceritakan pada beliau Saw. apa yang telah dilakukannya. Beliau datang seraya bertanya: “Apakah ini benar?” Mereka berkata: “Ya.” Maka beliau Saw. shalat satu rakaat yang telah ditinggalkannya itu kemudian bersalam, lalu beliau sujud dua kali kemudian bersalam.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan lbnu Majah)

Inilah dalil-dalil disyariatkannya sujud sahwi ketika ada tambahan atau kekurangan.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam