Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 28 Juli 2017

Dalil Shalat Musafir / Safar



2. Shalat Musafir

Hukum asal shalat musafir itu adalah qashar (diringkas), yakni dua rakaat untuk shalat dhuhur, ashar dan isya, sedangkan shalat subuh dan shalat maghrib jumlah rakaatnya tetap tanpa perubahan. Dari Aisyah ra., istri Nabi Saw. berkata:

“Awal shalat yang diwajibkan kepada Rasulullah Saw. adalah shalat dua rakaat-dua rakaat, kecuali maghrib yang berjumlah tiga rakaat. Kemudian Allah Swt. menambahkan untuk shalat dhuhur, ashar dan isya yang terakhir menjadi sebanyak empat rakaat dalam kondisi hadhar (bukan kondisi safar). Dan Allah menetapkan shalat tersebut pada kewajibannya yang pertama dalam safar (dengan menetapkannya dua rakaat).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi)

Dari Umar ra. ia berkata:

“Shalat Idul Adha dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, dan shalat musafir itu dua rakaat, secara sempurna tanpa diringkas yang berasal dari lisan Nabi kalian Saw. Dan sungguh merugi orang yang berdusta dan mengada-ngada.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)

Hadits ini telah disebutkan dalam pembahasan “sifat shalat dua hari raya” pada bab “shalat-shalat yang difardhukan selain shalat yang lima.”

Shalat yang dilakukan secara qashar, pelakunya tetap mendapatkan pahala shalat ruba'iyah (shalat yang berjumlah empat rakaat). Oleh karena itu dalam kondisi safar tidak ada tuntutan shalat ruba'iyah dilaksanakan sebanyak empat rakaat, terlebih lagi bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabat ra. -dan mereka adalah orang yang paling suka berlomba meraih pahala mengqashar shalat selama mereka dalam kondisi safar. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata:

“Sesungguhnya aku telah menyertai Rasulullah Saw. dalam perjalanan, dan beliau tidak (shalat) lebih dari dua rakaat hingga beliau Saw. diwafatkan oleh Allah Swt. Aku juga menyertai Abu Bakar, dan dia tidak (shalat) lebih dari dua rakaat hingga diwafatkan oleh Allah Swt. Aku juga menyertai Umar, dan dia tidak (shalat) lebih dari dua rakaat hingga dia diwafatkan oleh Allah Swt. Kemudian aku menyertai Utsman dan dia tidak (shalat) lebih dari dua rakaat hingga dia diwafatkan oleh Allah Swt…” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Mengqashar shalat dalam perjalanan merupakan sebuah rukhshah (keringanan), tidak ada perbedaan apakah orang yang melakukan safar dalam kondisi aman atau dalam kondisi ketakutan. Dari Abu Ya’la bin Umayyah, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Umar bin Khaththab (tentang ayat): “Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (TQS. an-Nisa : 101), tetapi sekarang orang-orang telah merasa aman (melakukan safar)… Ia (perawi) berkata: aku juga merasa heran seperti yang engkau alami. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal itu, dan beliau berkata: “Ini merupakan shadaqah yang diberikan Allah Swt. pada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya itu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari Haritsah bin Wahab ra., ia berkata:

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. di Mina, di mana orang-orang melakukan shalat dengan lebih aman, (tetapi) paling banyak dua rakaat.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam riwayat Muslim yang lain dari jalur Haritsah ra. terdapat redaksi:

“Aku shalat di belakang Rasulullah Saw. di Mina, dan orang-orang lebih banyak dari biasanya. Beliau Saw. shalat dua rakaat pada haji wada.”

Karena shalat yang diqashar itu adalah rukhshah, maka jika rukhshah tersebut ditinggalkan dan (si mushalli) tetap melaksanakan shalat ruba’iyah, maka hal itu boleh-boleh saja dan tidak diharamkan. Firman Allah Swt.:

“Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (TQS. an-Nisa [4]: 101)

Dan hadits Nabi Saw.: “Ini merupakan shadaqah yang diberikan Allah Swt. pada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya itu.” Keduanya menunjukkan bahwa qashar itu merupakan rukhshah (keringanan), bukan suatu ‘azimah (ketetapan). Selain itu, banyak hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa sahabat Rasulullah Saw. tetap melaksanakan shalat ruba'iyah dalam sebagian perjalanan mereka. Saya sebutkan di antaranya:

a. Dari Abdurrahman bin al-Aswad dari Aisyah ra.:

“Bahwa dia berangkat umrah bersama Rasulullah Saw. dari Madinah ke Makkah, hingga ketika tiba di Makkah ia berkata: “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, aku telah mengqashar dan juga menyempurnakan, aku telah berbuka dan juga berpuasa.” Beliau Saw. berkata: “Engkau telah berbuat baik wahai Aisyah.” Dan beliau Saw. tidak mencelaku.” (HR. an-Nasai dan al-Baihaqi)

b. Dari Ibnu Umar ra. ia, berkata:

“Rasulullah Saw. melaksanakan shalat di Mina sebanyak dua rakaat, dan Abu Bakar setelahnya, dan Umar setelah Abu Bakar, dan Utsman di masa awal ke-Khilafahannya, lalu kemudian Utsman melaksanakan shalat dengan empat rakaat. Dan Ibnu Umar, jika shalat di belakang imam maka dia shalat empat rakaat, dan jika dia shalat sendirian maka dia shalat dua rakaat.” (HR. Muslim)

c. Dari Hafsh dari Anas bin Malik, bahwa dia berkata:

“Kami diberangkatkan ke Syam menemui Abdul Malik dan kami berjumlah empat puluh orang laki-laki dari kalangan Anshar untuk menerima titahnya. Ketika dia pulang dan kami berada di Fajjun Naqah, dia shalat ashar mengimami kami. Kemudian dia salam lalu masuk ke dalam kemahnya. Sementara itu, orang-orang berdiri menambahkan pada dua rakaatnya itu dua rakaat yang lain, maka dia (Anas) berkata: dia berkata: “Semoga Allah memburukkan wajah-wajah itu, demi Allah, hal itu tidak menepati sunnah, dan rukhshah tidak diterima...” (HR. Ahmad)

Ahmad meriwayatkan hadits ini juga dari jalur Ibad bin Abdullah bin Zubair, bahwa Muawiyah telah melaksanakan shalat di Makkah suatu saat dengan dua rakaat, kemudian dia shalat dengan empat rakaat.

Aisyah, Utsman, empat puluh sahabat dari kalangan Anshar, dan Muawiyah, semuanya telah shalat dalam kondisi safar (perjalanan) dengan empat rakaat, dan tentu saja Utsman dan Muawiyah ini telah menjadi imam bagi orang-orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. Seandainya shalat ruba'iyah ini tidak boleh bagi musafir, maka apa yang diceritakan di atas dari kalangan sahabat tidak akan terjadi, dan mengapa Rasulullah Saw. malah memuji tindakan Aisyah. Dengan demikian, yang benar itu adalah bahwa qashar dalam safar merupakan suatu rukhshah (keringanan), bukan azimah (ketetapan) sebagaimana dikatakan oleh sejumlah fuqaha.

Jarak yang Membolehkan Shalat Qashar

Yang pasti, seorang Muslim itu jika berangkat melakukan perjalanan dengan jarak minimal tiga farsakh maka dia boleh mengqashar shalatnya. Ukuran jarak tiga farsakh ini sekitar tujuh belas kilometer, tepatnya 16,632 km. Ini adalah jarak yang shahih sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., dari Yahya bin Mazid al-Huna‘iy, ia berkata: aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qashar shalat, maka ia berkata:

”Adalah Rasulullah Saw. jika keluar berjalan sepanjang tiga mil atau tiga farsakh -bagian yang diucapkan agak ragu- maka beliau shalat dengan dua rakaat.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Ucapannya: tiga mil atau tiga farsakh -keraguan di sini berasal dari salah seorang perawi hadits- menunjukkan bahwa perjalanan tiga mil atau tiga farsakh itu cukup menjadikan pelakunya boleh mengqashar shalat. Satu farsakh itu sama dengan tiga mil, sehingga makna hadits tersebut adalah: siapa saja yang melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau melakukan perjalanan sejauh sembilan mil maka dia berhak mengqashar shalat. Jarak sembilan mil diambil karena kehati-hatian. Dan jarak sembilan mil ini setara dengan jarak sekitar tujuh belas kilometer. Anas ra. meriwayatkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. shalat dhuhur di Madinah empat rakaat, dan shalat ashar di Dzil Hulaifah dua rakaat.” (HR. Muslim, Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Ahmad meriwayatkan hadits yang sama, dan dia menambahkan pada bagian akhirnya:

“Dengan aman dan tidak ada ketakutan dalam haji wada’.”

Seperti diketahui bahwa letak Dzil Hulaifah jaraknya dari batas kota Madinah saat itu sejauh tujuh mil, dan jarak ini lebih pendek dari jarak minimal yang kami ambil sebagai bentuk kehati-hatian, sehingga siapa saja yang mengambil jarak ini -yakni sekitar sebelas kilometer- maka dia telah melakukan sesuatu yang benar. Namun, saya berpegang pada hadits pertama sebagai bentuk kehati-hatian, dan taksiran jarak yang saya pegang sekitar tujuh belas kilometer.

Adapun hadits yang diriwayatkan Abu Harun dari Abu Said ra.:

“Bahwa Nabi Saw. jika melakukan perjalanan satu farsakh maka beliau Saw. mengqashar shalatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur)

Hadits ini adalah hadits dhaif, karena dhaifnya Abu Harun. Dia telah didhaifkan oleh al-Qathan, Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan an-Nasai, karena itu haditsnya ditinggalkan.

Awal qashar shalat itu bisa diraih dengan keluarnya dari rumah terakhir dari rumah-rumah yang ada di kota atau desa tersebut, atau dengan sekedar pergi meninggalkan kota atau desa yang ditinggalinya. Qashar sah dilakukan dalam perjalanan apapun, baik safar dalam ketaatan, atau safar yang dibolehkan, atau safar yang diharamkan, sehingga apa saja yang disebut sebagai safar maka safar tersebut telah menjadikan pelakunya boleh mengqashar shalat, karena pengertian yang diambil adalah dengan safarnya, bukan dengan jenis, tujuan atau maksud safar tersebut.

Seorang Musafir Terus-Menerus Mengqashar

Seorang musafir bisa terus mengqashar shalat selama sifat musafir masih cocok dengannya, baik perjalanannya tersebut jauh ataupun dekat. Pembatasan berdasarkan waktu untuk safar yang dekat itu merupakan ijtihad yang tidak rajih, sehingga ketika seorang musafir berniat untuk mukim di suatu tempat, maka dia telah kehilangan sifat musafir dan menjadi seorang mukim, yang wajib baginya melaksanakan shalat secara sempurna (itmam).
Seorang musafir tetap menjadi seorang musafir hingga dia pulang ke negerinya, kotanya atau tempat tinggalnya, atau dengan pindah dan menjadikan suatu tempat mukim baru bagi dirinya yang akan dia tinggali selamanya. Dia tetap bisa mengqashar shalatnya selama jadi musafir, walaupun safarnya itu terus berlangsung selama satu tahun atau lebih.
Musafir tidak kehilangan sifat kemusafirannya jika dia berniat mukim sementara, baik beberapa hari atau beberapa minggu di tempat dia melakukan safarnya, bahkan hingga musafir itu menikah di tempat safarnya dengan perempuan yang mukim di sana, maka musafir itu tetap sebagai musafir yang bisa mengqashar shalatnya, kecuali jika dia berniat mukim selamanya di tempat safarnya itu, maka dia harus menyempurnakan shalatnya.

Seorang musafir bisa mengqashar shalatnya selama dia berada dalam perjalanannya, baik dengan berjalan kaki, naik hewan tunggangan, atau dengan berkendaraan seperti pesawat, perahu atau mobil, baik dengan safarnya itu dia mendapati kelelahan dan kecapaian ataupun tidak. Karena pengertian yang diambil adalah dengan safarnya -seperti sebelumnya telah kami katakan-, bukan dengan tambahan apapun. Dari Anas ra., ia berkata:

“Kami keluar bersama Rasulullah Saw. dari Madinah ke Makkah, dan beliau Saw. shalat dua rakaat-dua rakaat hingga kami pulang ke Madinah. Aku bertanya: Apakah engkau sekalian bermukim di Makkah saat itu? Dia menjawab: Kami bermukim di sana sepuluh hari.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Mengenai hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa ia berkata:

“Rasulullah Saw. melakukan perjalanan lalu bermukim selama sembilan belas hari, dan beliau shalat dua rakaat-dua rakaat...” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah)

Dan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Begitu juga hadits-hadits lain yang semisalnya, maka seluruh hadits-hadits ini tidak memberikan pengertian adanya pembatasan waktu untuk bisa mengqashar shalat dalam perjalanan. Hadits-hadits tersebut semata-mata menunjukkan bahwa waktu-waktu yang disebutkan itu merupakan sebuah fakta atau peristiwa yang terjadi saja, dan tidak mengandung dilalah apapun, sehingga seluruh hadits tersebut tidak memberikan pengertian adanya batasan untuk mengqashar shalat dengan waktu-waktu tersebut. Hal ini telah dipahami oleh sejumlah sahabat Rasulullah Saw., di mana mereka tidak menetapkan batasan dengan waktu tertentu dalam mengqashar shalat ketika melakukan safar. Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Ibnu Umar ra. pernah bermukim di Azerbaijan, dan beliau tetap mengqashar shalatnya. Ahmad meriwayatkan dari Tsumamah bin Syarahil, ia berkata:

“Aku keluar menemui Ibnu Umar dan bertanya: “Bagaimanakah shalat musafir itu?” Ia menjawab: ”Dua rakaat-dua rakaat, kecuali shalat maghrib tiga rakaat…” Lalu Ibnu Umar berkata: “Wahai lelaki, aku berada di Azerbaijan.” Dan aku tidak tahu apakah dia (Ibnu Umar) berkata empat bulan atau dua bulan, maka aku melihat mereka melaksanakan shalat dua rakaat-dua rakaat...”

Maksud dari ucapan: ra'aituhum yushallunaha (aku melihat mereka melaksanakan shalat), maka mereka di sini adalah para sahabat Rasulullah saw. Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah diceritakan bahwa Abu Jamrah Nashr bin Imran berkata kepada Ibnu Abbas: sesungguhnya kami lama bermukim di Khurasan untuk berperang, maka beliau berkata: “Shalatlah dua rakaat-dua rakaat walaupun engkau bermukim di sana sepuluh tahun.”
Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam