2. Shalat Musafir
Hukum asal shalat
musafir itu adalah qashar (diringkas),
yakni dua rakaat untuk shalat dhuhur, ashar dan isya, sedangkan shalat subuh
dan shalat maghrib jumlah rakaatnya tetap tanpa perubahan. Dari Aisyah ra.,
istri Nabi Saw. berkata:
“Awal shalat yang
diwajibkan kepada Rasulullah Saw. adalah shalat dua rakaat-dua rakaat, kecuali
maghrib yang berjumlah tiga rakaat. Kemudian Allah Swt. menambahkan untuk
shalat dhuhur, ashar dan isya yang terakhir menjadi sebanyak empat rakaat dalam
kondisi hadhar (bukan kondisi safar).
Dan Allah menetapkan shalat tersebut pada kewajibannya yang pertama dalam safar
(dengan menetapkannya dua rakaat).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan
al-Baihaqi)
Dari Umar ra. ia
berkata:
“Shalat Idul Adha dua
rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, dan shalat
musafir itu dua rakaat, secara sempurna tanpa diringkas yang berasal dari lisan
Nabi kalian Saw. Dan sungguh merugi orang yang berdusta dan mengada-ngada.” (HR.
Ibnu Khuzaimah, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Hadits ini telah
disebutkan dalam pembahasan “sifat
shalat dua hari raya” pada bab “shalat-shalat yang difardhukan selain
shalat yang lima.”
Shalat yang dilakukan
secara qashar, pelakunya tetap
mendapatkan pahala shalat ruba'iyah
(shalat yang berjumlah empat rakaat). Oleh karena itu dalam kondisi safar tidak
ada tuntutan shalat ruba'iyah
dilaksanakan sebanyak empat rakaat, terlebih lagi bahwa Rasulullah Saw. dan
para sahabat ra. -dan mereka adalah orang yang paling suka berlomba meraih
pahala mengqashar shalat selama mereka
dalam kondisi safar. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata:
“Sesungguhnya aku
telah menyertai Rasulullah Saw. dalam perjalanan, dan beliau tidak (shalat)
lebih dari dua rakaat hingga beliau Saw. diwafatkan oleh Allah Swt. Aku juga
menyertai Abu Bakar, dan dia tidak (shalat) lebih dari dua rakaat hingga
diwafatkan oleh Allah Swt. Aku juga menyertai Umar, dan dia tidak (shalat)
lebih dari dua rakaat hingga dia diwafatkan oleh Allah Swt. Kemudian aku
menyertai Utsman dan dia tidak (shalat) lebih dari dua rakaat hingga dia
diwafatkan oleh Allah Swt…” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Mengqashar shalat dalam perjalanan merupakan
sebuah rukhshah (keringanan), tidak ada
perbedaan apakah orang yang melakukan safar dalam kondisi aman atau dalam
kondisi ketakutan. Dari Abu Ya’la bin Umayyah, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Umar bin Khaththab (tentang ayat): “Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir.” (TQS. an-Nisa : 101), tetapi sekarang orang-orang telah
merasa aman (melakukan safar)… Ia (perawi) berkata: aku juga merasa heran
seperti yang engkau alami. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal
itu, dan beliau berkata: “Ini merupakan shadaqah yang diberikan Allah Swt. pada
kalian, maka terimalah shadaqah-Nya itu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai,
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dari Haritsah bin
Wahab ra., ia berkata:
“Aku shalat bersama
Rasulullah Saw. di Mina, di mana orang-orang melakukan shalat dengan lebih
aman, (tetapi) paling banyak dua rakaat.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai,
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat Muslim
yang lain dari jalur Haritsah ra. terdapat redaksi:
“Aku shalat di
belakang Rasulullah Saw. di Mina, dan orang-orang lebih banyak dari biasanya.
Beliau Saw. shalat dua rakaat pada haji wada.”
Karena shalat yang diqashar itu adalah rukhshah, maka jika rukhshah
tersebut ditinggalkan dan (si mushalli)
tetap melaksanakan shalat ruba’iyah,
maka hal itu boleh-boleh saja dan tidak diharamkan. Firman Allah Swt.:
“Maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar shalat(mu).” (TQS.
an-Nisa [4]: 101)
Dan hadits Nabi Saw.:
“Ini merupakan shadaqah yang diberikan Allah Swt. pada kalian, maka terimalah
shadaqah-Nya itu.” Keduanya menunjukkan bahwa qashar
itu merupakan rukhshah (keringanan), bukan suatu ‘azimah
(ketetapan). Selain itu, banyak hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa
sahabat Rasulullah Saw. tetap melaksanakan shalat ruba'iyah
dalam sebagian perjalanan mereka. Saya sebutkan di antaranya:
a. Dari Abdurrahman
bin al-Aswad dari Aisyah ra.:
“Bahwa dia berangkat
umrah bersama Rasulullah Saw. dari Madinah ke Makkah, hingga ketika tiba di
Makkah ia berkata: “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, aku telah mengqashar dan juga menyempurnakan, aku telah
berbuka dan juga berpuasa.” Beliau Saw. berkata: “Engkau telah berbuat baik
wahai Aisyah.” Dan beliau Saw. tidak mencelaku.” (HR. an-Nasai dan al-Baihaqi)
b. Dari Ibnu Umar ra.
ia, berkata:
“Rasulullah Saw.
melaksanakan shalat di Mina sebanyak dua rakaat, dan Abu Bakar setelahnya, dan
Umar setelah Abu Bakar, dan Utsman di masa awal ke-Khilafahannya, lalu kemudian
Utsman melaksanakan shalat dengan empat rakaat. Dan Ibnu Umar, jika shalat di belakang
imam maka dia shalat empat rakaat, dan jika dia shalat sendirian maka dia
shalat dua rakaat.” (HR. Muslim)
c. Dari Hafsh dari
Anas bin Malik, bahwa dia berkata:
“Kami diberangkatkan
ke Syam menemui Abdul Malik dan kami berjumlah empat puluh orang laki-laki dari
kalangan Anshar untuk menerima titahnya. Ketika dia pulang dan kami berada di
Fajjun Naqah, dia shalat ashar mengimami kami. Kemudian dia salam lalu masuk ke
dalam kemahnya. Sementara itu, orang-orang berdiri menambahkan pada dua
rakaatnya itu dua rakaat yang lain, maka dia (Anas) berkata: dia berkata:
“Semoga Allah memburukkan wajah-wajah itu, demi Allah, hal itu tidak menepati
sunnah, dan rukhshah tidak diterima...” (HR. Ahmad)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini juga dari jalur Ibad bin Abdullah bin Zubair, bahwa Muawiyah telah
melaksanakan shalat di Makkah suatu saat dengan dua rakaat, kemudian dia shalat
dengan empat rakaat.
Aisyah, Utsman, empat
puluh sahabat dari kalangan Anshar, dan Muawiyah, semuanya telah shalat dalam
kondisi safar (perjalanan) dengan empat rakaat, dan tentu saja Utsman dan
Muawiyah ini telah menjadi imam bagi orang-orang dari kalangan sahabat
Rasulullah Saw. Seandainya shalat ruba'iyah
ini tidak boleh bagi musafir, maka apa yang diceritakan di atas dari kalangan
sahabat tidak akan terjadi, dan mengapa Rasulullah Saw. malah memuji tindakan
Aisyah. Dengan demikian, yang benar itu adalah bahwa qashar dalam safar merupakan suatu rukhshah (keringanan), bukan azimah (ketetapan) sebagaimana dikatakan oleh
sejumlah fuqaha.
Jarak yang Membolehkan Shalat
Qashar
Yang pasti, seorang
Muslim itu jika berangkat melakukan perjalanan dengan jarak minimal tiga
farsakh maka dia boleh mengqashar
shalatnya. Ukuran jarak tiga farsakh ini sekitar tujuh belas kilometer,
tepatnya 16,632 km. Ini adalah jarak yang shahih sebagaimana yang diriwayatkan
dari Rasulullah Saw., dari Yahya bin Mazid al-Huna‘iy, ia berkata: aku bertanya
kepada Anas bin Malik tentang qashar
shalat, maka ia berkata:
”Adalah Rasulullah
Saw. jika keluar berjalan sepanjang tiga mil atau tiga farsakh -bagian yang
diucapkan agak ragu- maka beliau shalat dengan dua rakaat.” (HR. Muslim, Abu
Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
Ucapannya: tiga mil
atau tiga farsakh -keraguan di sini berasal dari salah seorang perawi hadits-
menunjukkan bahwa perjalanan tiga mil atau tiga farsakh itu cukup menjadikan
pelakunya boleh mengqashar shalat. Satu
farsakh itu sama dengan tiga mil, sehingga makna hadits tersebut adalah: siapa
saja yang melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau melakukan perjalanan sejauh
sembilan mil maka dia berhak mengqashar
shalat. Jarak sembilan mil diambil karena kehati-hatian. Dan jarak sembilan mil
ini setara dengan jarak sekitar tujuh belas kilometer. Anas ra. meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
shalat dhuhur di Madinah empat rakaat, dan shalat ashar di Dzil Hulaifah dua
rakaat.” (HR. Muslim, Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)
Ahmad meriwayatkan
hadits yang sama, dan dia menambahkan pada bagian akhirnya:
“Dengan aman dan tidak
ada ketakutan dalam haji wada’.”
Seperti diketahui
bahwa letak Dzil Hulaifah jaraknya dari batas kota Madinah saat itu sejauh
tujuh mil, dan jarak ini lebih pendek dari jarak minimal yang kami ambil
sebagai bentuk kehati-hatian, sehingga siapa saja yang mengambil jarak ini
-yakni sekitar sebelas kilometer- maka dia telah melakukan sesuatu yang benar.
Namun, saya berpegang pada hadits pertama sebagai bentuk kehati-hatian, dan
taksiran jarak yang saya pegang sekitar tujuh belas kilometer.
Adapun hadits yang
diriwayatkan Abu Harun dari Abu Said ra.:
“Bahwa Nabi Saw. jika
melakukan perjalanan satu farsakh maka beliau Saw. mengqashar shalatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur)
Hadits ini adalah
hadits dhaif, karena dhaifnya Abu Harun. Dia telah didhaifkan oleh al-Qathan,
Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan an-Nasai, karena itu haditsnya
ditinggalkan.
Awal qashar shalat itu bisa diraih dengan keluarnya
dari rumah terakhir dari rumah-rumah yang ada di kota atau desa tersebut, atau
dengan sekedar pergi meninggalkan kota atau desa yang ditinggalinya. Qashar sah dilakukan dalam perjalanan apapun,
baik safar dalam ketaatan, atau safar yang dibolehkan, atau safar yang
diharamkan, sehingga apa saja yang disebut sebagai safar maka safar tersebut
telah menjadikan pelakunya boleh mengqashar
shalat, karena pengertian yang diambil adalah dengan safarnya, bukan dengan
jenis, tujuan atau maksud safar tersebut.
Seorang Musafir Terus-Menerus
Mengqashar
Seorang musafir bisa
terus mengqashar shalat selama sifat
musafir masih cocok dengannya, baik perjalanannya tersebut jauh ataupun dekat.
Pembatasan berdasarkan waktu untuk safar yang dekat itu merupakan ijtihad yang
tidak rajih, sehingga ketika seorang
musafir berniat untuk mukim di suatu tempat, maka dia telah kehilangan sifat
musafir dan menjadi seorang mukim, yang wajib baginya melaksanakan shalat
secara sempurna (itmam).
Seorang musafir tetap
menjadi seorang musafir hingga dia pulang ke negerinya, kotanya atau tempat
tinggalnya, atau dengan pindah dan menjadikan suatu tempat mukim baru bagi
dirinya yang akan dia tinggali selamanya. Dia tetap bisa mengqashar shalatnya selama jadi musafir, walaupun
safarnya itu terus berlangsung selama satu tahun atau lebih.
Musafir tidak
kehilangan sifat kemusafirannya jika dia berniat mukim sementara, baik beberapa
hari atau beberapa minggu di tempat dia melakukan safarnya, bahkan hingga
musafir itu menikah di tempat safarnya dengan perempuan yang mukim di sana,
maka musafir itu tetap sebagai musafir yang bisa mengqashar shalatnya, kecuali jika dia berniat mukim selamanya di
tempat safarnya itu, maka dia harus menyempurnakan shalatnya.
Seorang musafir bisa
mengqashar shalatnya selama dia berada
dalam perjalanannya, baik dengan berjalan kaki, naik hewan tunggangan, atau
dengan berkendaraan seperti pesawat, perahu atau mobil, baik dengan safarnya
itu dia mendapati kelelahan dan kecapaian ataupun tidak. Karena pengertian yang
diambil adalah dengan safarnya -seperti sebelumnya telah kami katakan-, bukan
dengan tambahan apapun. Dari Anas ra., ia berkata:
“Kami keluar bersama
Rasulullah Saw. dari Madinah ke Makkah, dan beliau Saw. shalat dua rakaat-dua
rakaat hingga kami pulang ke Madinah. Aku bertanya: Apakah engkau sekalian
bermukim di Makkah saat itu? Dia menjawab: Kami bermukim di sana sepuluh hari.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)
Mengenai hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa ia berkata:
“Rasulullah Saw.
melakukan perjalanan lalu bermukim selama sembilan belas hari, dan beliau
shalat dua rakaat-dua rakaat...” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah)
Dan hadits yang
diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan
al-Baihaqi)
Begitu juga
hadits-hadits lain yang semisalnya, maka seluruh hadits-hadits ini tidak
memberikan pengertian adanya pembatasan waktu untuk bisa mengqashar shalat dalam perjalanan. Hadits-hadits
tersebut semata-mata menunjukkan bahwa waktu-waktu yang disebutkan itu
merupakan sebuah fakta atau peristiwa yang terjadi saja, dan tidak mengandung dilalah apapun, sehingga seluruh hadits
tersebut tidak memberikan pengertian adanya batasan untuk mengqashar shalat dengan waktu-waktu tersebut. Hal
ini telah dipahami oleh sejumlah sahabat Rasulullah Saw., di mana mereka tidak
menetapkan batasan dengan waktu tertentu dalam mengqashar shalat ketika melakukan safar. Al-Baihaqi meriwayatkan
bahwa Ibnu Umar ra. pernah bermukim di Azerbaijan, dan beliau tetap mengqashar shalatnya. Ahmad meriwayatkan dari
Tsumamah bin Syarahil, ia berkata:
“Aku keluar menemui
Ibnu Umar dan bertanya: “Bagaimanakah shalat musafir itu?” Ia menjawab: ”Dua
rakaat-dua rakaat, kecuali shalat maghrib tiga rakaat…” Lalu Ibnu Umar berkata:
“Wahai lelaki, aku berada di Azerbaijan.” Dan aku tidak tahu apakah dia (Ibnu
Umar) berkata empat bulan atau dua bulan, maka aku melihat mereka melaksanakan
shalat dua rakaat-dua rakaat...”
Maksud dari ucapan: ra'aituhum yushallunaha (aku melihat mereka
melaksanakan shalat), maka mereka di sini adalah para sahabat Rasulullah saw.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
diceritakan bahwa Abu Jamrah Nashr bin Imran berkata kepada Ibnu Abbas:
sesungguhnya kami lama bermukim di Khurasan untuk berperang, maka beliau
berkata: “Shalatlah dua rakaat-dua rakaat walaupun engkau bermukim di sana
sepuluh tahun.”
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar