Jama’ah ideologi Islam
harus menghadapi dua bahaya: pertama, adanya bahaya internal di dalam jama’ah
karena lemahnya cita-cita dan semangat para anggotanya; dan yang kedua, adanya
bahaya eksternal yang berasal dari adanya resistensi terhadap ide-ide perubahan
Islami secara total.
Berdasarkan pembahasan
ini dapat dipahami bahwa pemikiran Islam yang bersifat ideologis dan benar
membutuhkan jama’ah atau partai yang bersifat ideologis pula. Para pemimpin dan
para anggotanya harus memiliki keterikatan yang kuat berdasarkan syara’, sehingga
menjadikannya sebagai yang tertinggi. Selalu berusaha keras untuk memelihara
kejernihan, kecemerlangan , kesucian dan kesabaran, siap berkorban dan
mementingkan kepentingan jama’ah ideologi Islam, melawan keinginan diri
sendiri, mengosongkan diri dari mementingkan diri sendiri. Semua itu bertujuan
agar penyelewengan tidak berkembang dan cita-cita tidak melemah. Agar partai
ideologi Islam tetap bisa berjalan dengan tetap memelihara aktivitasnya serta
terjauh dari perubahan dan permainan, maka wajib baginya untuk mengikatkan
dengan kuat setiap simpul pemikiran dan setiap hukum syara’ dengan akidah
Islam.
Apabila terjadi
benturan antara kepentingan pribadi pengemban dakwah (yang bersifat temporer)
dengan ketegaran dan kesabaran dalam mengemban dakwah untuk mencapai tujuannya
yang syar’iy, maka yang dimenangkan adalah kepentingan dakwah. Ikatan ini
merupakan penghalang yang sangat kuat terhadap bisikan setan dan kata hati yang
memerintahkan kepada keburukan.
Agar perahu jama’ah
atau partai ideologi Islam selamat dari bahaya karam dan tenggelam di
tengah-tengah lumpur realitas yang buruk, maka harus ada dasar-dasar yang
bersifat baku yang mengikat pemikiran dan metode berpikirnya. Hal ini yang akan
mengikat partai ideologi Islam, karena tidak boleh bagi partai ideologi Islam
untuk keluar dari ushûl-nya berdasarkan
takwil dan justifikasi meskipun sekejap.
Visi yang bagus,
keteladanan yang baik, dan pemahaman yang sempurna akan membersihkan partai
ideologi Islam dari segala kotoran yang seringkali melekat. Dengan demikian
mereka mampu mensucikan jiwa dan memperkuat iman.
Tidak ada yang mampu
bersabar menghadapi jalan yang sulit ini kecuali orang-orang beriman yang
memiliki ‘azam yang kuat. Fitnah yang
mereka hadapi dengan kesabaran justru akan semakin mensucikan mereka, layaknya
api yang bisa membersihkan emas dari kotoran-kotorannya.
Sebaliknya, jika
dasar-dasar yang menjadi pengikatnya telah hilang dari sebuah jama’ah, maka
kemunduran, penggantian dan pengaruhlah yang akan mewarnai dan mengarahkan
jama’ah. Jalan yang akan ditempuh diliputi kesamaran, tujuannya tidak jelas,
dan tidak terkristalnya pemikiran-pemikiran yang ada pada jama’ah bisa menyeret
jama’ah untuk menggantinya tatkala berhadapan dengan kesulitan. Kemudian dia
akan memaksakan diri dengan menta’wilkan dan mencari-cari justifikasi tatkala
dituntut menyebutkan dalilnya.
Tatkala sebuah jama’ah
menerima kompromi, atau menerima kebenaran secara parsial, lalu berlepas diri
dari dakwahnya yang mengakar maka kekuatan satu-satunya yang dimiliki jama’ah
akan hilang. Jama’ah tersebut akan kehilangan sifat istimewanya dan tidak lagi
menarik perhatian manusia secara khusus. Pada akhirnya jama’ah tersebut jatuh
tersungkur di medan pergulatan pemikiran.
Kemenanganpun diraih
musuh-musuhnya, meskipun dia masih menyerukan dan melontarkan (pemikiran)
Islam. Sebab, lontarannya telah terdistorsi dan beralih fungsi untuk mendukung
kepentingan sistem keliru yang sedang berkuasa. Jika demikian keadaannya maka
jama’ah itu menjadi batu penghalang (proses) perubahan yang sebenarnya, bukan
sebaliknya. Hal ini telah diperingatkan Allah Swt ketika berfirman kepada
Rasul-Nya dan kepada umatnya:
“Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 49)
Juga seperti perkataan
Umar ra kepada qâdhi Syuraih:
‘Jangan sampai
orang-orang memalingkanmu dari (syari’at Allah)’
Senjata paling ampuh
yang dimiliki oleh sebuah jama’ah adalah pemikiran Islamnya. Apabila partai
ideologi Islam itu mampu menjaganya dan mengeluarkannya dari lingkaran
kompromi, kemudian mampu bersabar bagaimanapun situasi yang mengungkungnya dan
tetap berjalan di jalan yang pernah dilewati oleh Rasulullah Saw., maka partai
ideologi Islam itu akan mampu -setelah beberapa waktu- untuk mempersiapkan
perkara yang pernah Rasulullah Saw. persiapkan; yaitu berupa sekelompok
orang-orang yang beriman, dan mempersiapkan umat untuk menerima (sistem)
pemerintahan yang akan menerapkan seluruh perkara (hukum) yang Allah turunkan.
Setelah itu akan mampu membalikkan keadaan untuk kepentingan dakwah dan
mendirikan daulah Islam.
Pengemban dakwah yang
benar dengan berhiaskan pemikiran Islam menuntut mereka untuk selalu siap
menghadapi berbagai tekanan terhadap pemikiran Islam yang sejalan dengan
pemikiran yang pokok dan asasi. Berdasarkan hal ini tidak layak jika jama’ah
itu menghadapinya dengan logika khudz wa thâlib
(ambil -yang ada- dan tuntut lagi –yang lainnya-) atau logika ‘lontarkan perkara agar sesuai dengan realitas’
atau logika ‘lontarkan sebagian tuntutan’
atau logika ‘menerima win-win solution’.
Pemikiran-pemikiran
seperti ini justru yang harus dirubah oleh partai ideologi Islam, bukan malah
mempraktekannya. Itu adalah berbagai bentuk pemikiran Barat yang telah
menyerang akal pikiran kita. Pemikiran-pemikiran tersebut berbeda secara
mendasar dengan tabi’at Islam yang menolak semua penyataan itu. Bahkan
kewajiban partai ideologi Islam itu untuk berusaha mencopotnya, lalu berusaha
untuk mengokohkan Islam maupun metode berpikirnya. Siapapun yang ingin
melibatkan diri dalam aktivitas perubahan, wajib memulainya dari dirinya
sendiri.
Berdasarkan pemaparan
di atas jelas tentang wajibnya sebuah partai ideologi Islam membekali diri
dengan menjaga pemikiran Islam dan kejelasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar