Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 03 Juli 2016

Kesalahan Sekularisme Demokrasi


 

 
Ide pemisahan agama dari kehidupan lahir di Barat setelah orang-orang di sana terbakar dengan kemarahan campur tangan gereja dalam urusan manusia. Saat itu gereja bersama penguasa turut campur dengan mengatasnamakan agama, padahal agama mereka tidak menyinggung-nyinggung urusan negara. Sebab, dalam agama Nasrani tidak ada (sistem) perundang-undangan yang mengatur kehidupan kolektif.
Kalangan agamawan (rijaluddin) tampil membuat undang-undang dzalim dengan mengatasnamakan agama, Hal ini memicu dua reaksi: Pertama, yang menyuarakan penolakan terhadap agama secara mutlak. Kedua, yang menyuarakan pengakuan terhadap agama akan tetapi harus dipisahkan dari kehidupan.
Di atas ide yang pertama lahir pemikiran-pemkiran sosialis tentang kehidupan, yang runtuh setelah beberapa dasawarsa. Itupun setelah menyengsarakan manusia melalui penerapannya. Sedangkan di atas ide yang kedua, lahir pemikiran tentang hidup yang diadopsi oleh negara-negara kapitalis. Sistem inipun sedang melangkah menuju kehancurannya. Itu dibuktikan berdasarkan pemikiran maupun realitas.

Ide pemisahan agama dari kehidupan telah memberikan kepada manusia hak untuk membuat undang-undang dan menghalang-halangi agama untuk membuatnya. Mereka mengakui keberadaan Tuhan, akan tetapi menjadikannya pemikiran yang bersifat individual (pribadi), tidak ada hubungannya dengan masyarakat dan tidak ada pengaruh agama di dalamnya. Ide ini tidak melarang apakah Tuhan itu Allah, al-Masih, Budha atau pribadi tertentu. Tidak juga melarang adanya keimanan tanpa agama (atheis). Yang penting, dalam kondisi apapun manusia sajalah yang berhak mengatur. Ide ini menurut mereka tidak ada jalan tengahnya, dan tidak ada interpretasi lainnya. Manusia menurut mereka adalah pengatur segala urusannya, dan mengurusi segala kepentingannya. Bahkan mengatur pula pemuasan atas seluruh nalurinya. Dari sinilah lahir ide demokrasi, yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pemerintahan dari rakyat, berarti rakyatlah yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Artinya, dialah yang berhak membuat undang-undang. Dengan kata lain rakyatlah yang membuat undang-undang.
Pemerintahan oleh rakyat, berarti rakyatlah yang menjalankan pemerintahan dengan menerapkan undang-undang yang telah dibuatnya.
Pemerintahan untuk rakyat, berarti rakyatlah yang diperintah dengan apa yang telah diundangkannya.
Ketiga point diatas diterjemahkan dengan bentuk tiga kekuasaan:
Kekuasaan Legislatif, yang membuat undang-undang dan hukum-hukum, berhak merubahnya, menghapusnya serta mengawasi penerapannya.
Kekuasaan Eksekutif, yang menerapkan undang-undang secara umum, atau kehendak wakil rakyat, atau menerapkan perundang-undangan dan hukum-hukum yang yang telah dibuat oleh pihak Legislatif.
Kekuasaan Yudikatif, yang mengadili setiap kasus yang dihadapkan kepadanya berdasarkan hukum-hukum dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pihak Legislatif dan Eksekutif.

Itulah sifat-sifat demokrasi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap sistem yang memiliki spesifikasi seperti tersebut di atas tergolong sebagai sistem demokrasi. Sistem yang tidak memenuhi satu poin saja dari apa yang telah disebutkan tadi tidak bisa dikatakan sebagai sistem demokrasi, karena spesifikasi yang paling menonjol dari semuanya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat atau para manusia. Dan hal ini dianggap sebagai pilar utama dari pemikiran demokrasi sekaligus menjadi tulang punggung sistem demokrasi.

Ide demokrasi adalah selaras dengan ide yang menjadi asasnya, yaitu ide pemisahan agama dari kehidupan yaitu sekularisme. Paham ini merupakan induk demokrasi, akidahnya demokrasi. Dan demokrasi mempunyai hukum yang selaras dengan ide sekularisme. Karena demokrasi merupakan ide cabang dari ide dasar yang telah tertolak, maka PENGANUTNYA, orang-orang yang MEYAKINI KEBENARANNYA dianggap kafir. Termasuk pengetahuan umum, bahwa ide pemisahan agama dari kehidupan bertentangan dengan pemikiran pokok kaum Muslim, yaitu fikrah (idealisme pemikiran) lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh, maupun fikrah lain yang muncul dan selaras dengan akidah kaum Muslim.
Firman Allah Swt:
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (TQS. al-Kahfi [18]: 26)

“Keputusan hukum itu hanya kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS. Yusuf [12]: 40)

‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’ memiliki pengertian bahwa suara mayoritas tidak ada nilainya atau tidak berarti kalau dibandingkan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rabb semesta alam, bahwa yang berhak membuat hukum adalah Allah saja. Di dalam sistem yang Islami keputusan adalah di tangan Allah Swt. yang ada dalam apa yang telah Dia turunkan sebagai petunjuk, tuntunan, pedoman. Perintah, kewajiban, larangan, pengharaman dan penghalalan hanyalah milik Yang Maha Tinggi dan Maha Besar lagi Maha Mengetahui, bukan di tangan makhluk-Nya. Tidak ada satu individupun atau jama’ah yang boleh campur tangan membuat-buat perkara ini, meskipun sedikit.

Jadi, bagaimana mungkin gelap-gulitanya demokrasi bisa bertemu dengan terang benderangnya Islam? Allah Swt. telah menjelaskan di dalam ayat-Nya yang amat gamblang:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka kan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (TQS. al-An’aam [6]: 116)
Mereka tersesat karena tidak menggunakan tuntunan dari Allah semata.

Allah Swt. berfirman:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS. al-Baqarah [2]: 216)

Islam telah menetapkan bahwa setiap hukum yang merujuk kepada selain Allah berarti sama saja dengan tahâkum kepada thaghut. Allah Swt. berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesesatan yang sejauh-jauhnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 60)

Berhukum kepada thaghut sama artinya berhukum dengan hukum jahiliyyah, yaitu hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Thaghut pada suatu kaum bisa berarti orang yang menetapkan hukum selain Allah dan Rasul-Nya, atau orang yang diikuti bukan karena petunjuk Allah, atau seseorang yang ditaati padahal tidak termasuk di dalam ketaatan kepada Allah, padahal menyimpang dari tuntunan Allah Swt.

Al-Qur’an menganggap bahwa orang rela, setuju berhukum kepada thaghut itu imannya hanya sekedar di mulut saja, tidak hakiki. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa thaghut merupakan lawan dari iman. Firman Allah Swt:
“Barangsiapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Umat Islam –dalam perkara ini- wajib menjadi saksi bagi seluruh manusia sepeninggal Rasulullah Saw. hingga hari kiamat nanti, untuk mengatakan kepada manusia seperti apa yang al-Qur’an katakan:
“Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (TQS. an-Nahl [16]: 36)

Ide pemisahan agama dari kehidupan beserta seluruh pemikiran cabangnya, seperti pemikiran demokrasi, merupakan pemikiran-pemikiran thaghut. Islam mengharuskan pemeluknya untuk meninggalkannya dan mencampakkannya.

Itulah ide demokrasi. Begitu pula hukum Islam terhadapnya. Sedangkan realitas yang telah dihasilkan oleh penerapannya di atas muka bumi bukanlah realitas yang yang penuh dengan kemuliaan dan indah sehingga kita ingin hidup di dalamnya, melainkan realitas hina yang penganutnya hidup penuh dengan kekosongan dan kesia-siaan sebagai akibat dari penerapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam