Ide pemisahan agama
dari kehidupan lahir di Barat setelah orang-orang di sana terbakar dengan
kemarahan campur tangan gereja dalam urusan manusia. Saat itu gereja bersama
penguasa turut campur dengan mengatasnamakan agama, padahal agama mereka tidak
menyinggung-nyinggung urusan negara. Sebab, dalam agama Nasrani tidak ada
(sistem) perundang-undangan yang mengatur kehidupan kolektif.
Kalangan agamawan (rijaluddin) tampil membuat undang-undang
dzalim dengan mengatasnamakan agama, Hal ini memicu dua reaksi: Pertama, yang
menyuarakan penolakan terhadap agama secara mutlak. Kedua, yang menyuarakan
pengakuan terhadap agama akan tetapi harus dipisahkan dari kehidupan.
Di atas ide yang
pertama lahir pemikiran-pemkiran sosialis tentang kehidupan, yang runtuh
setelah beberapa dasawarsa. Itupun setelah menyengsarakan manusia melalui
penerapannya. Sedangkan di atas ide yang kedua, lahir pemikiran tentang hidup
yang diadopsi oleh negara-negara kapitalis. Sistem inipun sedang melangkah
menuju kehancurannya. Itu dibuktikan berdasarkan pemikiran maupun realitas.
Ide pemisahan agama
dari kehidupan telah memberikan kepada manusia hak untuk membuat undang-undang
dan menghalang-halangi agama untuk membuatnya. Mereka mengakui keberadaan
Tuhan, akan tetapi menjadikannya pemikiran yang bersifat individual (pribadi),
tidak ada hubungannya dengan masyarakat dan tidak ada pengaruh agama di
dalamnya. Ide ini tidak melarang apakah Tuhan itu Allah, al-Masih, Budha atau
pribadi tertentu. Tidak juga melarang adanya keimanan tanpa agama (atheis).
Yang penting, dalam kondisi apapun manusia sajalah yang berhak mengatur. Ide
ini menurut mereka tidak ada jalan tengahnya, dan tidak ada interpretasi
lainnya. Manusia menurut mereka adalah pengatur segala urusannya, dan mengurusi
segala kepentingannya. Bahkan mengatur pula pemuasan atas seluruh nalurinya.
Dari sinilah lahir ide demokrasi, yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Pemerintahan dari
rakyat, berarti rakyatlah yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Artinya,
dialah yang berhak membuat undang-undang. Dengan kata lain rakyatlah yang
membuat undang-undang.
Pemerintahan
oleh rakyat, berarti rakyatlah yang menjalankan pemerintahan dengan menerapkan
undang-undang yang telah dibuatnya.
Pemerintahan untuk
rakyat, berarti rakyatlah yang diperintah dengan apa yang telah diundangkannya.
Ketiga
point diatas diterjemahkan dengan bentuk tiga kekuasaan:
Kekuasaan Legislatif,
yang membuat undang-undang dan hukum-hukum, berhak merubahnya, menghapusnya
serta mengawasi penerapannya.
Kekuasaan Eksekutif,
yang menerapkan undang-undang secara umum, atau kehendak wakil rakyat, atau
menerapkan perundang-undangan dan hukum-hukum yang yang telah dibuat oleh pihak
Legislatif.
Kekuasaan Yudikatif,
yang mengadili setiap kasus yang dihadapkan kepadanya berdasarkan hukum-hukum
dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pihak Legislatif dan
Eksekutif.
Itulah sifat-sifat
demokrasi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap sistem yang memiliki
spesifikasi seperti tersebut di atas tergolong sebagai sistem demokrasi. Sistem
yang tidak memenuhi satu poin saja dari apa yang telah disebutkan tadi tidak
bisa dikatakan sebagai sistem demokrasi, karena spesifikasi yang paling
menonjol dari semuanya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat atau para
manusia. Dan hal ini dianggap sebagai pilar utama dari pemikiran demokrasi
sekaligus menjadi tulang punggung sistem demokrasi.
Ide demokrasi adalah selaras
dengan ide yang menjadi asasnya, yaitu ide pemisahan agama dari kehidupan yaitu
sekularisme. Paham ini merupakan induk demokrasi, akidahnya demokrasi.
Dan demokrasi mempunyai hukum yang selaras dengan ide sekularisme. Karena
demokrasi merupakan ide cabang dari ide dasar yang telah tertolak, maka
PENGANUTNYA, orang-orang yang MEYAKINI KEBENARANNYA dianggap kafir. Termasuk
pengetahuan umum, bahwa ide pemisahan agama dari kehidupan bertentangan dengan
pemikiran pokok kaum Muslim, yaitu fikrah
(idealisme pemikiran) lâ ilâha illa Allah
Muhammad Rasulullâh, maupun fikrah
lain yang muncul dan selaras dengan akidah kaum Muslim.
Firman
Allah Swt:
“Dan
Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”
(TQS. al-Kahfi [18]: 26)
“Keputusan
hukum itu hanya kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (TQS. Yusuf [12]: 40)
‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’
memiliki pengertian bahwa suara mayoritas tidak ada nilainya atau tidak berarti
kalau dibandingkan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rabb semesta alam,
bahwa yang berhak membuat hukum adalah Allah saja. Di dalam sistem yang Islami
keputusan adalah di tangan Allah Swt. yang ada dalam apa yang telah Dia
turunkan sebagai petunjuk, tuntunan, pedoman. Perintah, kewajiban, larangan,
pengharaman dan penghalalan hanyalah milik Yang Maha Tinggi dan Maha Besar lagi
Maha Mengetahui, bukan di tangan makhluk-Nya. Tidak ada satu individupun atau
jama’ah yang boleh campur tangan membuat-buat perkara ini, meskipun sedikit.
Jadi,
bagaimana mungkin gelap-gulitanya demokrasi bisa bertemu dengan terang
benderangnya Islam? Allah Swt. telah menjelaskan di dalam ayat-Nya yang amat
gamblang:
“Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka
kan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (TQS.
al-An’aam [6]: 116)
Mereka tersesat karena
tidak menggunakan tuntunan dari Allah semata.
Allah Swt. berfirman:
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang
kamu tidak mengetahui.” (TQS. al-Baqarah [2]: 216)
Islam telah menetapkan
bahwa setiap hukum yang merujuk kepada selain Allah berarti sama saja dengan tahâkum kepada thaghut.
Allah Swt. berfirman:
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan sebelum
kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan
penyesesatan yang sejauh-jauhnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 60)
Berhukum
kepada thaghut sama artinya berhukum
dengan hukum jahiliyyah, yaitu hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan
Rasul-Nya. Thaghut pada suatu kaum bisa
berarti orang yang menetapkan hukum selain Allah dan Rasul-Nya, atau orang yang
diikuti bukan karena petunjuk Allah, atau seseorang yang ditaati padahal tidak
termasuk di dalam ketaatan kepada Allah, padahal menyimpang dari tuntunan Allah
Swt.
Al-Qur’an
menganggap bahwa orang rela, setuju berhukum kepada thaghut itu imannya hanya sekedar di mulut saja, tidak hakiki.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa thaghut merupakan
lawan dari iman. Firman Allah Swt:
“Barangsiapa yang
ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (TQS.
al-Baqarah [2]: 256)
Umat Islam –dalam
perkara ini- wajib menjadi saksi bagi seluruh manusia sepeninggal Rasulullah
Saw. hingga hari kiamat nanti, untuk mengatakan kepada manusia seperti apa yang
al-Qur’an katakan:
“Sembahlah Allah
(saja) dan jauhilah thagut itu.” (TQS. an-Nahl [16]: 36)
Ide
pemisahan agama dari kehidupan beserta seluruh pemikiran cabangnya, seperti
pemikiran demokrasi, merupakan pemikiran-pemikiran thaghut. Islam mengharuskan pemeluknya untuk meninggalkannya dan
mencampakkannya.
Itulah
ide demokrasi. Begitu pula hukum Islam terhadapnya. Sedangkan realitas yang
telah dihasilkan oleh penerapannya di atas muka bumi bukanlah realitas yang
yang penuh dengan kemuliaan dan indah sehingga kita ingin hidup di dalamnya,
melainkan realitas hina yang penganutnya hidup penuh dengan kekosongan dan
kesia-siaan sebagai akibat dari penerapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar