Dari
Perang Salib dikisahkan bahwa, “Pasukan berkuda kaum Muslim ternyata mampu
bergerak lebih lincah daripada pasukan Salib. Pada umumnya, tentara Khalifah
yang paling piawai akan dikelompokkan dalam pasukan elit. Mereka biasanya
menguasai berbagai ketrampilan perang, sehingga tidak jarang berbagai
pertempuran berhasil diselesaikan oleh pasukan itu. Strategi mereka benar-benar
sempurna. Sebagian besar dari pasukan elit tersebut merupakan penunggang kuda
yang pandai memanah. Dengan perlengkapan yang ringan serta menunggang kuda yang
kuat dan cekatan, kaum Muslim menjadi tantangan besar bagi pasukan Salib. Tidak
hanya karena mereka lebih lincah bergerak daripada para ksatria Salib yang
berbaju besi, tetapi juga karena konsep peperangan yang dipegang oleh pasukan
Muslim sama sekali berbeda. (Joshua Prawer, The World of The Crusaders, 1972)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada
mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.
Al Mumtahanah: 1)
Kekuatan
pasukan Salib terletak pada pasukan kavaleri yang besar, yang bertugas
membantai apa pun yang ada di depannya. Melawan musuh-musuh yang biasa,
peperangan harus bisa diakhiri dengan satu kali serangan; jika tidak, musuh
bisa maju menggunakan pasukan bantuan atau pasukan sayap untuk mendekat dan
menghabisi mereka. Namun, pasukan Muslim bukanlah pasukan yang biasa-biasa
saja. Pasukan Muslim tidak mudah terpancing pada pola pertempuran tertentu, dan
jarang menggunakan pola pertempuran yang teratur, sehingga tidak mudah dibantai
oleh tentara Salib. Bukan hanya karena pasukan Muslim mampu bergerak lebih
lincah, tetapi juga karena mereka memiliki persenjataan -berupa busur panah-
yang mematikan. Kaum Muslim tidak mau terpancing untuk bertempur dalam jarak
dekat, tetapi seringkali memberikan kejutan berupa serangan panah yang
diluncurkan dari jarak 80 meter, yang tidak dapat dijangkau oleh senjata
(tombak, lembing, maupun panah) pasukan Salib. Anak-anak panah tersebut jarang
meleset dari sasarannya, yakni para penunggang kuda, yang dalam keadaan statis
mirip dengan sasaran tembak yang tidak bergerak. Menyerang pasukan Muslim
bagaikan mengejar angin; mereka mudah menghilang di bawah ufuk. (Joshua Prawer,
The World of The Crusaders, 1972)
“Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa
ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia:
"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama)
Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah
penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman
dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang
beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang
menang.” (QS. Ash Shaff: 14)
Dalam
posisi bergerak menyerang, situasi pasukan Salib tidak lebih baik. Dari waktu
ke waktu, pasukan kavaleri kaum Muslim muncul dari tempat-tempat yang tidak
terduga, berlari mengelilingi pasukan musuh, kemudian melancarkan serangan
panah yang mematikan, untuk kemudian menghilang, dan muncul lagi tidak lama
setelah mengisi penuh tabung-tabung anak panah mereka. Jika anak panah tersebut
tidak dapat menembus baju besi ksatria Salib, maka kaum Muslim tidak
segan-segan meluncurkan anak panah ke arah kuda-kuda mereka. Bila ksatria itu
telah kehilangan kudanya, maka mereka tidak lagi bisa disebut ksatria; karena
dalam keadaan seperti itu, kemampuan perang mereka telah hilang sama sekali’.
(Joshua Prawer, The World of The Crusaders, 1972). Inilah realita yang terjadi
pada Perang Salib.
“Barang
siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril
dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (QS. Al
Baqarah: 98)
Memang,
kaum Muslim pada awalnya adalah orang-orang yang tinggal di tengah padang
pasir; tetapi kemudian mereka mulai membentuk kesatuan angkatan laut dengan
Mu'awiyah sebagai panglima pertama pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khaththab ra. Armada pasukan Romawi berhasil dikalahkan pada beberapa
pertempuran; armada mereka juga pernah melarikan diri dari hadapan pasukan
Muslim di Laut Tengah. Armada negara Khilafah yang terdiri dari 500 kapal
perang berhasil menaklukkan Siprus, kepulauan Rhodes, serta kepulauan Yunani
lainnya. Keperkasaan kesatuan angkatan laut ini bertahan selama berabad-abad,
bahkan hingga saat ini.
“Hai
orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan)
kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada
mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ahzab: 9)
Lebih
jauh lagi diriwayatkan bahwa, '(Pasukan Salib) menembaki musuhnya dengan
menggunakan “Api Yunani' (nafta). Nafta telah lama digunakan dalam perang di
lautan dan pada saat-saat pengepungan digunakan untuk menyalakan api pada
mesin- mesin perang, termasuk kapal-kapal perang. Sementara itu, kaum Muslim
meramu belerang, salpeter, dan minyak nafta untuk membuat bahan bakar yang
mampu menyala di air. Penggunaan bahan bakar ini menghasilkan akibat yang
sangat besar terhadap pasukan Salib. Orang-orang Barat tidak mempelajari
senyawa ini hingga bertahun-tahun kemudian'. (Georges Tate, The Crusaders and
the Holy Land).
Tiap nabi yang dahulu selalu mendapat tantangan
dan perlawanan dari musuh-musuhnya, tetapi musuh-musuhnya itu dihancurkan
Allah. Demikian juga halnya Nabi Muhammad s.a.w. yang mendapat tantangan dan
perlawanan dari kaum musyrikin, tetapi akhirnya kaum musyrikin itu hancur.
Demikianlah,
kemampuan militer yang ditunjukkan oleh kaum Muslim dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Kemampuan militer ini bertahan selama berabad-abad,
khususnya ketika kekuasaan kaum Muslim terus berkembang dan meluas, hingga
berakhirnya keperkasaan negara Khilafah pada tahun 1924. Oleh sebab itulah
negara-negara kolonialis kafir Barat menyatakan, 'Waspadalah terhadap Khalifah
kaum Muslim, yang hanya dengan telunjuk tangannya mampu mengerahkan tiga juta
pasukan untuk melawan kita dalam suatu pertempuran'. ltulah fakta ketika
seluruh umat Islam berada dalam satu kepemimpinan seorang amir (Khalifah), yang
menyatukan mereka dalam satu kesatuan, yakni negara Khilafah yang perkasa.
Negara inilah yang membuat musuh-musuh Islam menyatakan, "Jika kalian
menginjak ekor seekor anjing di Eropa, maka ia akan menyalak di seluruh Asia.
Maka waspadalah'. Begitulah, negara-negara kafir Eropa telah mempunyai sebuah
gambaran tentang pasukan bersenjata Khilafah Islamiyah, dan gambaran itu adalah
sebagai "pasukan yang tak terkalahkan'.
“Dan
(ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka, lalu
mereka dikumpulkan semuanya.” (QS. Fushshilat: 19)
dari "Jihad Dan Kebijakan Luar Negeri Daulah Khilafah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar