Sistem Ekonomi Syariah Islam
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
3. Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif
Sistem ekonomi Islam
merupakan sistem yang lepas dari perdebatan, apakah peran negara harus dominan
dalam menguasai faktor-faktor produksi ataukah diserahkan sepenuhnya kepada
individu dan swasta. Sebab sistem ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan
yang berbeda sama sekali, yaitu: Islam memandang bahwa seluruh harta yang ada
di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah, berdasarkan firman Allah:
Dan berikanlah kepada mereka sebagian
dari harta Allah yang
dikaruniakannya kepadamu. (QS. an-Nuur [24]: 33)
Dari ayat ini dipahami bahwa
harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian
Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal
itu dipertegas dengan mendasarkan pada firman Allah:
Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. (QS.
al-Hadiid [57]: 7).
Penguasaan (istikhlaf)
ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan,
tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta
tertentu, maka syara’ telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal)
dan yang tidak boleh (haram) melalui salah satu sebab
pemilikan. Syara’ telah menggariskan hukum-hukum perolehan individu, seperti:
hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibbah, wasiat
dan sebagainya.
Ternyata sistem ekonomi Islam memandang bahwa harta kekayaan yang
ada di dunia ini tidak hanya diperuntukkan pada individu untuk dapat dimiliki
sepenuhnya, tetapi dalam sistem ekonomi Islam dikenal dan diatur pula tentang pembagian kepemilikan berdasar
subjeknya. Ada pemilikan umum, yaitu
pemilikan yang berlaku secara bersama bagi semua ummat. Hal itu didasarkan pada
beberapa Hadits Nabi Saw., di antaranya adalah hadits Imam Ahmad Bin Hanbal
yang diriwayatkan dari salah seorang Muhajirin, bahwasannya Rasulullah SAW
telah bersabda:
“Manusia
itu berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api.”
Selain pemilikan umum, sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang
pemilikan negara, seperti: setiap
Muslim yang mati, sedang dia tidak memiliki ahli waris, maka hartanya bagi Baitul Mal, milik negara. Demikian juga
contoh yang lain adalah adanya ketentuan tentang kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i dan lain-lain.
Apabila harta itu telah dikuasai (dimiliki) oleh manusia secara
sah, hukum syara’ tidak membiarkan manusia secara bebas memanfaatkan harta tersebut. Syara’ telah menjelaskan dan mengatur
tentang pemanfaatan harta yang dibolehkan (halal)
dan yang dilarang (haram). Syara’ mengharamkan pemanfaatan harta untuk membeli
minuman keras, daging babi, menyuap, menyogok, berfoya-foya dan sebagainya.
Selanjutnya sistem ekonomi Islam juga mengatur dan menjelaskan
tentang pengembangan harta. Syara’ mengharamkan
pengembangan harta dengan jalan menipu, membungakan (riba) dalam hal
pinjam-meminjam maupun tukar-menukar, berjudi dan sebagainya. Syara’
membolehkan pengembangan harta dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, syirkah, musaqot dan sebagainya.
Adapun ketentuan
sistem ekonomi Islam terhadap negara, maka Islam telah menjelaskan bahwa
negara mempunyai tugas dan kewajiban untuk melayani kepentingan ummat. Hal itu
didasarkan pada salah satu hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
yang mengatakan, Nabi SAW bersabda:
“Imam adalah (laksana)
penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan
rakyatnya.”
Agar negara dapat melaksakan
kewajibannya, maka syara’ telah memberi kekuasaan kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan kepemilikan
negara dan tidak mengizinkan bagi seorangpun (individu maupun swasta) untuk
menguasainya sendiri. Kepemilikan umum seperti: minyak, tambang besi, emas,
perak, tembaga, hutan harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka
mewujudkan kemajuan taraf ekonomi rakyat. Distribusi kekayaan itu diserahkan
sepenuhnya kepada kewenangan Imam (pemimpin negara) dengan melihat dari mana
sumber pemasukannya (misalnya, harus dibedakan antara: zakat, jizyah, kharaj, pemilikan umum, ghanimah, fa’i dan sebagainya), maka
syara’ telah memberikan ketentuan pengalokasiannya kepada pihak-pihak yang
berhak menerimanya. (An-Nabhani, cetakan 1990: 243) Prinsip umum
pendistribusian oleh negara, didasarkan pada firman Allah:
Supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS.
al-Hasyr [59]: 7).
Maksud dari ayat di atas
adalah agar peredaran harta tidak hanya terbatas pada orang-orang kaya saja di
negara Khilafah Islamiyah tersebut. Syariat Islam telah lengkap mengatur peran
negara Khilafah dalam hal ekonomi berdasar berbagai dalil syar’i.
Sistem Ekonomi Syariah Islam
{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar