Konsep Kepemilikan Dalam
Ekonomi Islam
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Oleh karena itu, menurut Islam harta itu seharusnya hanya bisa dimiliki, dimanfaatkan, dikembangkan dan
didistribusikan secara sah apabila
sesuai dengan izin dari Allah sebagai Dzat pemilik hakiki dari harta tersebut.
Secara lebih terperinci dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi Islam dapat dicakup dalam tiga pilar utama, yaitu
(An-Nabhani, cetakan 1990: 50):
1.
Kepemilikan (al-milkiyah).
2.
Pemanfaatan dan pengembangan
kepemilikan (al-tasharruf fi
al-milkiyah).
Berikut ini adalah uraian
lebih jauh mengenai ketiga pilar sistem ekonomi Islam itu.
Pilar Pertama: Pandangan
Tentang Kepemilikan (AI-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (cetakan 1990)
mengatakan, kepemilikan merupakan izin As-Syari' (Pembuat hukum = Allah SWT)
untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya
ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari' (Allah SWT) terhadap zat
tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas
suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun
dari karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi
kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk
memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan
atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam.
Makna Kepemilikan
Kepemilikan (property),
dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT,
di mana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allah-lah
sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
Dan berikanlah kepada mereka,
harta (milik) Allah yang telah Dia berikan
kepada kalian. (QS. an-Nuur
[24]: 33)
Oleh karena itu, harta
kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan
harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena
itulah maka sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memiliki dan menguasai
harta tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
Dan nafkahkanlah apa saja
yang kalian telah dijadikan (oleh Allah)
berkuasa terhadapnya. (QS.
al-Hadid [57]: 7)
Dan (Allah) membanyakkan harta
dan anak-anakmu. (QS. Nuh
[71]: 12)
Dari sinilah kita temukan,
bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal kepemilikan harta
kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, di mana Allah SWT
menyatakan "Maalillah" (harta kekayaan milik Allah). Sementara
ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka
Allah menyandarkan kepemilikan tersebut kepada manusia. Di mana Allah SWT
menyatakan dengan firman-Nya:
Maka berikanlah kepada mereka
harta-hartanya. (Qs. an-Nisaa
[4]: 6)
Ambillah dari harta-harta mereka.
(QS. al-Baqarah [2]: 279)
Dan harta-harta yang kalian
usahakan. (QS. at-Taubah [9]: 24)
Dan hartanya tidak bermanfaat
baginya, bila ia telah binasa. (QS.
Al-Lail [92]: 11)
Ayat-ayat di atas
menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia (istikhlaf)
tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara keseluruhan. Sehingga manusia
memiliki hak milik tersebut bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab
pada dasarnya manusia hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut.
Oleh karena itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan
(hak milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT
kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu,
harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang apabila orang yang
bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
Oleh karena itu, Allah
memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan melarang memiliki zat yang
lain. Allah SWT juga telah memberikan izin terhadap beberapa transaksi serta
melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Allah SWT melarang seorang muslim
untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun
yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian.
Tetapi Allah SWT memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan
menghalalkannya, di samping melarang dan mengharamkan riba.
Konsep Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam
{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar