Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 05 April 2013

Konsep Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam

Konsep Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam


{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

    Oleh karena itu, menurut Islam harta itu seharusnya hanya bisa dimiliki, dimanfaatkan, dikembangkan dan didistribusikan secara sah apabila sesuai dengan izin dari Allah sebagai Dzat pemilik hakiki dari harta tersebut. Secara lebih terperinci dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi Islam dapat dicakup dalam tiga pilar utama, yaitu (An-Nabhani, cetakan 1990: 50):
1.   Kepemilikan (al-milkiyah).
2.   Pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah).
3.   Distribusi Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-nas)

Berikut ini adalah uraian lebih jauh mengenai ketiga pilar sistem ekonomi Islam itu.

Pilar Pertama: Pandangan Tentang Kepemilikan (AI-Milkiyyah)

An-Nabhaniy (cetakan 1990) mengatakan, kepemilikan merupakan izin As-Syari' (Pembuat hukum = Allah SWT) untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari' (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam. 

Makna Kepemilikan

Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, di mana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allah-lah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian. (QS. an-Nuur [24]: 33)

Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah maka sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memiliki dan menguasai harta tersebut. Sebagaimana firman-Nya:

Dan nafkahkanlah apa saja yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. (QS. al-Hadid [57]: 7)

Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu. (QS. Nuh [71]: 12)

Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, di mana Allah SWT menyatakan "Maalillah" (harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan tersebut kepada manusia. Di mana Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya:

Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. (Qs. an-Nisaa [4]: 6)

Ambillah dari harta-harta mereka. (QS. al-Baqarah [2]: 279)

Dan harta-harta yang kalian usahakan. (QS. at-Taubah [9]: 24)

Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa. (QS. Al-Lail [92]: 11)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk memilikinya.

Oleh karena itu, Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan melarang memiliki zat yang lain. Allah SWT juga telah memberikan izin terhadap beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Allah SWT melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Tetapi Allah SWT memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan menghalalkannya, di samping melarang dan mengharamkan riba.

Konsep Kepemilikan Dalam Ekonomi Islam

{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam