Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 17 April 2013

Faktor Penyebab Korupsi

Faktor Penyebab Korupsi



{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

Faktor Penyebab Kerusakan Birokrasi

      Apakah yang menyebabkan rusaknya birokrasi? Bila korupsi merupakan penyakit utama birokrasi, maka dapat ditelusuri sebab-sebabnya. Bagi mereka yang berpandangan bahwa korupsi adalah sebuah budaya, dan budaya adalah sesuatu yang sulit dirubah, maka sikap yang dilahirkan adalah menerima korupsi sebagai sebuah keharusan. Pandangan seperti ini sangat dipengaruhi oleh paham paternalistik, di mana pemberian hadiah dan upeti dari rakyat kepada pemimpin (pemerintah) adalah sesuatu yang baik. Oleh karena itu, bagi mereka praktek korupsi tidak dipandang sebagai hal negatif yang harus dimusnahkan. Korupsi dengan berbagai istilah dan spesifikasinya dianggap bentuk penghormatan, rasa terima kasih, minta perlindungan dan kasih sayang kepada penguasa atau pejabat negara. Pada masyarakat yang seperti ini, korupsi, dengan istilah lain “hadiah” atau “buah tangan”, adalah sebuah instrumen yang menjaga keseimbangan dan keberlangsungan sistem. Masalahnya, apakah budaya itu merupakan sesuatu yang hadir secara tiba-tiba dan harus diterima begitu saja, atau justru merupakan buah dari dipakainya sebuah sistem? Budaya itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa dirubah. Sehingga, pada dasarnya sistemlah yang akan membentuk budaya.

     Faktor penyebab suburnya korupsi bukan faktor tunggal, dia merupakan multi faktor yang kompleks dan saling bertautan. Syed Hussein Alatas (Sosiologi Korupsi, LP3ES, 1986) mencoba mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan suburnya korupsi sebagai berikut:
1.   Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memerikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2.   Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
3.   Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
4.   Kurangnya pendidikan.
5.   Kemiskinan.
6.   Tiadanya tindak hukuman yang keras.
7.   Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

Paling tidak ada dua  faktor utama penyebab korupsi, yaitu:

1. Faktor Individu
     Orientasi dan pemahaman manusia tentang kebahagiaan mengalami pergeseran paradigma yang kemudiaan menentukan perubahan sikap. Pergeseran ini bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan sebuah perubahan yang terjadi akibat dari perubahan ideologi yang dianut bangsa tersebut. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi materialisme, maka kebahagiaan diukur dari berapa banyak materi (uang) yang dapat dikumpulkan dan dimiliki. Dalam masyarakat seperti ini, segala sesuatu diukur dengan uang. Maka kebahagiaan, kehormatan, status sosial, intelektualitas, kesejahteraan, dan segala nilai kebaikan, diukur dengan materi (uang). Maka segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, tidak terlalu penting, apakah uang itu diperoleh dengan cara yang halal atau haram.

     Meluasnya paham materialisme ini, juga mempengaruhi karakter individu masyarakat, bukan saja pejabat pemerintah. Mereka tidak lagi mempunyai rasa malu, rasa bersalah sekaligus pengendalian diri, menghadapi fenomena korupsi. Bahkan pada tingkatan tertentu, korupsi dipandang cara yang sah untuk “bagi-bagi” rejeki, menjaga stabilitas masyarakat, serta alat untuk mengendalikan dukungan dan kesetiaan (politik).

     Pola rekrutmen pejabat negara (PNS) akan menentukan kualitas aparat birokrasi. Kondisi, di mana birokrasi diserahi tugas untuk menyediakan lapangan kerja, sebagai salah satu bentuk memperluas dukungan politik bagi penguasa, maka rekrutmen PNS tidak dijalankan dengan mengedepankan kapabilitas profesional. Tindakan KKN juga memperburuk kualitas aparat birokrasi. Maka yang paling mungkin menjadi PNS adalah anak pejabat, kerabatnya pimpinan pemerintahan, atau orang-orang yang mempunyai cukup banyak uang untuk memuluskan jalannya menjadi PNS. Kualitas SDM yang jelek, kemudian menyebabkan birokrasi tidak mampu menjalankan fungsinya. Lihatlah, betapa banyak petugas penyuluh lapangan (pertanian, perikanan, kehutanan) yang tidak mempunyai kemampuan dasar penyuluh, misalnya berpidato di depan massa (komunikasi massa). Sehingga, tanpa kemampuan dasar tersebut, maka tugas utama mereka, memberi penyuluhan kepada masyarakat, tidak bisa dijalankan.

     Tentu saja sumbangan faktor individu dalam kerusakan birokrasi, tidaklah berdiri sendiri. Karena pada saat kita memfokuskan perhatian pada aspek individu, pada dasarnya kita sedang berbicara “buah” dari sebuah sistem. Sebuah sistem secara sistematis merancang pembangunan karakter pribadi individual masyarakatnya. Dalam masyarakat sistem kufur kapitalisme, yang menjunjung tinggi individualisme, memang “seolah-olah”, karakter pribadi dari warganya, seperti tidak dibangun secara formal. Namun pola pendidikan, tata nilai (sosial, kemasyarakatan, keluarga), sistem ekonomi, sistem sosial yang dipakai secara sistematis akan membentuk individu-individu yang mengagungkan kebebasan individu sebagai puncak kebahagiaan. Maka lahirlah sebuah masyarakat yang individualistik sekaligus materialistik. Dalam masyarakat yang materialistis ini sekarang kita hidup, sehingga sanggat wajar bila kemudian kita menghadapi kenyataan, tingginya tingkat korupsi.

2. Faktor Sistem
     Sistem yang dimaksud meliputi segenap sistem kenegaraan, pemerintahan, hukum, birokrasi, ekonomi dan sosial. Secara internal, birokrasi membentuk sistemnya sendiri. Namun kinerja birokrasi tidak ditentukan oleh faktor tunggal, dia sangat dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya yang dipakai di negara bersangkutan. Mohtar Mas’oed (Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, 1997) mengatakan. Pertama; birokrasi tidak pernah beroperasi dalam “ruang-hampa politik” dan bukan aktor netral dalam politik. Kedua, negara-negara dunia ketiga lebih sering dipengaruhi oleh sistem internasional, daripada sebaliknya. Artinya, birokrasi, dalam hidupnya dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem lain yang ada di lingkungannya, bahkan termasuk lingkungan internasional.

     Besar kecilnya birokrasi dan wewenangnya, ditentukan oleh fungsi pemerintahan yang didefinisikan oleh sistem politik dan pemerintahan yang dipakai negara tersebut. Sebuah negara, yang menempatkan fungsi pembangunan sebagai salah satu tugas utama pemerintah (agent of development), seperti Indonesia, akan membentuk sebuah birokrasi yang besar. Birokrasi yang demikian, kemudiaan juga akan memiliki wewenang yang super besar dan penggelolaan anggaran yang besar juga. Hampir semua sektor kehidupan akan dirambah oleh birokrasi pembangunan itu. Sejalan dengan wewenang dan anggaran yang besar, maka peluang untuk terjadinya korupsi juga membesar. Birokrasi yang gemuk seperti itu juga tidak akan bisa bergerak cepat dan lincah, walau hanya sekedar mengikuti perubahan tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Fenomena maraknya korupsi di birokrasi Indonesia yang super gemuk itu (4-5 juta PNS) juga dapat kita telusuri dari penggunaan istilah departemen/direktorat/ bagian/unit “basah”, terutama di departemen keuangan, dirjen pajak, bea cukai, bagian keuangan, dinas pendapatan, badan perencanaan, dan lain-lain.

     Sistem hukum yang lemah. Sistem hukum yang dipakai pemerintah-tidak-sah-menurut-hukum-Islam di negeri ini bukan saja tidak bisa menjalankan fungsinya guna mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan jabatan lainnya. Namun juga tidak mampu menjadi pembuat jera bagi penjahat berdasi yang dihukuminya. Ironisnya lagi, begitu banyak kasus korupsi yang tidak bisa dihukumi dengan sistem hukum kufur yang ada. Sistem hukum thaghut yang ada juga tidak mampu menyediakan aparat penegak hukum yang handal. Para hakim, jaksa, polisi dan penasehat hukum jahiliyah lebih tunduk pada tekanan politik dan publik daripada mentaati aturan hukum kufur baku yang ditetapkan. Penasehat hukum sistem kufur yang diduga kuat melakukan “penyuapan” terhadap saksi kasus korupsi dan pembunuhan, tidak bisa digugat, hanya karena ketidakjelasan hukum batil. Yang terjadi kemudiaan perdebatan di antara aparat penegak hukum non-Islam dalam menafsirkan sebuah ketentuan hukum.

     Penegakan hukum yang setengah hati atas kasus-kasus korupsi bukan saja tidak membuat para koruptor takut, tapi juga sekaligus membuat penghormatan terhadap hukum menjadi sangat rendah. Hukum, kalaupun terpaksa tidak bisa dihindari, masih bisa dibeli. Bahkan, kalaupun putusan hakim thoghut telah dijatuhkan, masih tersedia instrumen lain (banding, kasasi, peninjauan kembali) yang bisa juga dibeli dari hasil korupsi. Kalaupun para koruptor itu tetap saja kalah dan dijebloskan ke “hotel prodeo”, maka masih ada banyak kesempatan untuk melenggang keluar, menikmati kebebasan dan menghabiskan dana korupsi yang masih tetap dikuasai. Cukup dengan uang ratusan ribu rupiah, sang terpidana bisa menikmati weekend bersama keluarga di rumah. Atau, kalau mau keluar selamanya, bayar saja petugas penjara yang berpenghasilan kecil itu, sejuta atau dua juta cukup untuk membuat pintu penjara terbuka lebar.

     Sistem Penggajian yang  rendah. Sudah menjadi argumentasi yang diterima secara umum, bahwa korupsi terjadi didorong oleh rendahnya gaji yang diberikan negara kepada PNS. Walaupun, dari fakta yang kita saksikan, korupsi itu lebih besar dan intens dilakukan oleh pejabat tinggi, yang notabene menerima gaji dan penghasilan lebih tinggi, namun tetap saja rendahnya gaji menjadi alasan pembenar terjadinya korupsi disemua lini pemerintahan.

Rendahnya gaji PNS disebabkan oleh besarnya jumlah PNS yang harus dihidupi oleh negara. Pada massa Orde Baru, termasuk sampai kini, birokrasi dijadikan salah satu pihak yang bertugas menyediakan lapangan kerja. Hal ini menyebabkan besarnya jumlah PNS. Rendahnya gaji PNS juga disebabkan tingkat perkembangan ekonomi negara sistem kufur demokrasi negeri ini yang tidak terlalu menggembirakan. Kalupun negeri ini pernah dijagokan sebagai salah satu Macan Asia dalam pembangunan ekonomi, namun pertumbuhan ekonomi itu lebih banyak dipacu oleh hutang luar negeri ribawi yang masuk. Kalaupun  terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetap saja kekayaan itu tidak terdistribusikan secara baik, sehingga yang terjadi kemudiaan adalah angka kesejangan ekonomi yang tinggi. Dengan demikian, tingkat kemampuan negara menggaji PNS ditentukan oleh sistem ekonomi yang dipakai. Negara yang menggunakan sistem ekonomi yang sangat produktif dan pola distribusi kekayaan yang baik (sistem ekonomi Islam), niscaya akan mampu mengumpulkan dana yang cukup untuk menggaji PNS-nya secara layak. Begitu pula sistem politik yang tidak membebani birokrasi dengan tugas menampung limpahan tenaga kerja, niscaya akan membentuk birokrasi yang ramping dengan jumlah PNS yang rasional, sehingga dana yang dimiliki negara untuk gaji akan proporsional dengan jumlah PNS.

     Sistem Sosial. Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa kerusakan birokrasi sangat ditentukan oleh prilaku aparat yang korup. Tapi perilaku yang korup itu tidak mungkin akan subur, bila sistem sosial yang dipakai di masyarakat tidak kondusif untuk itu. Dalam masyarakat yang menghormati kejujuran, kebenaran dan keamanahan, korupsi adalah tindakan yang paling dibenci dan dicaci. Perbuatan korupsi akan dihindari sebisa mungkin. Kalaupun terjadi, maka para pejabat akan berusaha menutup-nutupinya. Dalam masyarakat seperti itu, para koruptor tidak akan dihormati, mereka akan dihinakan, tidak digauli, bahkan mungkin juga diasingkan dari masyarakatnya.

Sebaliknya, di masyarakat yang sangat mengagungkan materi, sekaligus tidak terlalu peduli dari mana materi diperoleh, korupsi justru terjadi dengan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat. Seorang koruptor yang “baik hati”, yang suka melakukan kegiatan sosial, memberi sumbangan bagi pembangunan rumah ibadah, menyantuni panti jompo, adalah “malaikat” yang dipuja-puja. Bahkan, koruptor yang rajin membantu pesantren, akan lebih dihormati daripada pemimpin pesantrennya sendiri. Dalam masyarakat yang tidak peduli seperti itu, jangan harap terjadi proses kontrol sosial. Apa yang disebut dengan amar ma’ruf nahyi munkar pun tinggal di kitab-kitab kuning yang dihapalkan para santri. Sementara sang Kyai lebih asyik masyuk bercengkerama dengan para koruptor yang baik hati, daripada menasehati atau malah memperingatkan sang koruptor.

Faktor Penyebab Korupsi

{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam