Faktor Penyebab Korupsi
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Faktor Penyebab Kerusakan Birokrasi
Apakah yang menyebabkan rusaknya
birokrasi? Bila korupsi merupakan penyakit utama birokrasi, maka dapat
ditelusuri sebab-sebabnya. Bagi mereka yang berpandangan bahwa korupsi adalah
sebuah budaya, dan budaya adalah sesuatu yang sulit dirubah, maka sikap yang
dilahirkan adalah menerima korupsi sebagai sebuah keharusan. Pandangan seperti
ini sangat dipengaruhi oleh paham paternalistik, di mana pemberian hadiah dan
upeti dari rakyat kepada pemimpin (pemerintah) adalah sesuatu yang baik. Oleh
karena itu, bagi mereka praktek korupsi tidak dipandang sebagai hal negatif yang
harus dimusnahkan. Korupsi dengan berbagai istilah dan spesifikasinya dianggap
bentuk penghormatan, rasa terima kasih, minta perlindungan dan kasih sayang
kepada penguasa atau pejabat negara. Pada masyarakat yang seperti ini, korupsi,
dengan istilah lain “hadiah” atau “buah tangan”, adalah sebuah instrumen yang
menjaga keseimbangan dan keberlangsungan sistem. Masalahnya, apakah budaya itu
merupakan sesuatu yang hadir secara tiba-tiba dan harus diterima begitu saja,
atau justru merupakan buah dari dipakainya sebuah sistem? Budaya itu bukanlah
sesuatu yang tidak bisa dirubah. Sehingga, pada dasarnya sistemlah yang akan
membentuk budaya.
Faktor
penyebab suburnya korupsi bukan faktor tunggal, dia merupakan multi faktor yang
kompleks dan saling bertautan. Syed
Hussein Alatas (Sosiologi Korupsi, LP3ES, 1986) mencoba
mendiskripsikan faktor-faktor yang
menyebabkan suburnya korupsi sebagai berikut:
1.
Ketiadaan atau
kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memerikan ilham dan
mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2.
Kelemahan
pengajaran-pengajaran agama dan etika.
3.
Kolonialisme.
Suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung korupsi.
4.
Kurangnya
pendidikan.
5.
Kemiskinan.
6.
Tiadanya tindak
hukuman yang keras.
7.
Kelangkaan lingkungan
yang subur untuk perilaku anti korupsi.
Paling tidak ada dua faktor utama
penyebab korupsi, yaitu:
1. Faktor Individu
Orientasi
dan pemahaman manusia tentang kebahagiaan mengalami pergeseran paradigma yang
kemudiaan menentukan perubahan sikap. Pergeseran ini bukanlah sesuatu yang
alamiah, tetapi merupakan sebuah perubahan yang terjadi akibat dari perubahan
ideologi yang dianut bangsa tersebut. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi
materialisme, maka kebahagiaan diukur dari berapa banyak materi (uang) yang
dapat dikumpulkan dan dimiliki. Dalam masyarakat seperti ini, segala sesuatu
diukur dengan uang. Maka kebahagiaan, kehormatan, status sosial,
intelektualitas, kesejahteraan, dan segala nilai kebaikan, diukur dengan materi
(uang). Maka segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya,
tidak terlalu penting, apakah uang itu diperoleh dengan cara yang halal atau
haram.
Meluasnya
paham materialisme ini, juga mempengaruhi karakter individu masyarakat, bukan
saja pejabat pemerintah. Mereka tidak lagi mempunyai rasa malu, rasa bersalah
sekaligus pengendalian diri, menghadapi fenomena korupsi. Bahkan pada tingkatan
tertentu, korupsi dipandang cara yang sah untuk “bagi-bagi” rejeki, menjaga
stabilitas masyarakat, serta alat untuk mengendalikan dukungan dan kesetiaan
(politik).
Pola
rekrutmen pejabat negara (PNS) akan menentukan kualitas aparat birokrasi.
Kondisi, di mana birokrasi diserahi tugas untuk menyediakan lapangan kerja,
sebagai salah satu bentuk memperluas dukungan politik bagi penguasa, maka
rekrutmen PNS tidak dijalankan dengan mengedepankan kapabilitas profesional.
Tindakan KKN juga memperburuk kualitas aparat birokrasi. Maka yang paling
mungkin menjadi PNS adalah anak pejabat, kerabatnya pimpinan pemerintahan, atau
orang-orang yang mempunyai cukup banyak uang untuk memuluskan jalannya menjadi
PNS. Kualitas SDM yang jelek, kemudian menyebabkan birokrasi tidak mampu
menjalankan fungsinya. Lihatlah, betapa banyak petugas penyuluh lapangan
(pertanian, perikanan, kehutanan) yang tidak mempunyai kemampuan dasar
penyuluh, misalnya berpidato di depan massa (komunikasi massa). Sehingga, tanpa
kemampuan dasar tersebut, maka tugas utama mereka, memberi penyuluhan kepada
masyarakat, tidak bisa dijalankan.
Tentu
saja sumbangan faktor individu dalam kerusakan birokrasi, tidaklah berdiri
sendiri. Karena pada saat kita memfokuskan perhatian pada aspek individu, pada
dasarnya kita sedang berbicara “buah”
dari sebuah sistem. Sebuah sistem secara sistematis merancang pembangunan karakter
pribadi individual masyarakatnya. Dalam masyarakat sistem kufur kapitalisme,
yang menjunjung tinggi individualisme, memang “seolah-olah”, karakter pribadi
dari warganya, seperti tidak dibangun secara formal. Namun pola pendidikan,
tata nilai (sosial, kemasyarakatan, keluarga), sistem ekonomi, sistem sosial
yang dipakai secara sistematis akan membentuk individu-individu yang
mengagungkan kebebasan individu sebagai puncak kebahagiaan. Maka lahirlah
sebuah masyarakat yang individualistik sekaligus materialistik. Dalam
masyarakat yang materialistis ini sekarang kita hidup, sehingga sanggat wajar
bila kemudian kita menghadapi kenyataan, tingginya tingkat korupsi.
2. Faktor Sistem
Sistem
yang dimaksud meliputi segenap sistem kenegaraan, pemerintahan, hukum,
birokrasi, ekonomi dan sosial. Secara internal, birokrasi membentuk sistemnya
sendiri. Namun kinerja birokrasi tidak ditentukan oleh faktor tunggal, dia
sangat dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya yang dipakai di negara bersangkutan.
Mohtar Mas’oed (Politik,
Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, 1997) mengatakan. Pertama;
birokrasi tidak pernah beroperasi dalam “ruang-hampa politik” dan bukan aktor
netral dalam politik. Kedua, negara-negara dunia ketiga lebih sering
dipengaruhi oleh sistem internasional, daripada sebaliknya. Artinya, birokrasi,
dalam hidupnya dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem lain yang ada di
lingkungannya, bahkan termasuk lingkungan internasional.
Besar
kecilnya birokrasi dan wewenangnya, ditentukan oleh fungsi pemerintahan yang
didefinisikan oleh sistem politik dan pemerintahan yang dipakai
negara tersebut. Sebuah negara, yang menempatkan fungsi pembangunan sebagai
salah satu tugas utama pemerintah (agent of development), seperti Indonesia,
akan membentuk sebuah birokrasi yang besar. Birokrasi yang demikian, kemudiaan
juga akan memiliki wewenang yang super
besar dan penggelolaan anggaran yang besar juga. Hampir semua sektor
kehidupan akan dirambah oleh birokrasi pembangunan itu. Sejalan dengan wewenang
dan anggaran yang besar, maka peluang untuk terjadinya korupsi juga membesar.
Birokrasi yang gemuk seperti itu juga tidak akan bisa bergerak cepat dan
lincah, walau hanya sekedar mengikuti perubahan tuntutan kebutuhan
masyarakatnya. Fenomena maraknya korupsi di birokrasi Indonesia yang super gemuk itu (4-5 juta
PNS) juga dapat kita telusuri dari penggunaan istilah departemen/direktorat/
bagian/unit “basah”, terutama di departemen keuangan, dirjen pajak, bea cukai,
bagian keuangan, dinas pendapatan, badan perencanaan, dan lain-lain.
Sistem
hukum yang lemah. Sistem hukum yang dipakai pemerintah-tidak-sah-menurut-hukum-Islam
di negeri ini bukan saja tidak bisa menjalankan fungsinya guna mencegah
terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan jabatan lainnya. Namun
juga tidak mampu menjadi pembuat jera bagi penjahat berdasi yang
dihukuminya. Ironisnya lagi, begitu banyak kasus korupsi yang tidak bisa
dihukumi dengan sistem hukum kufur yang ada. Sistem hukum thaghut yang ada juga
tidak mampu menyediakan aparat penegak hukum yang handal. Para hakim, jaksa,
polisi dan penasehat hukum jahiliyah lebih tunduk pada tekanan politik dan
publik daripada mentaati aturan hukum kufur baku yang ditetapkan. Penasehat
hukum sistem kufur yang diduga kuat melakukan “penyuapan” terhadap saksi kasus
korupsi dan pembunuhan, tidak bisa digugat, hanya karena ketidakjelasan hukum
batil. Yang terjadi kemudiaan perdebatan di antara aparat penegak hukum
non-Islam dalam menafsirkan sebuah ketentuan hukum.
Penegakan
hukum yang setengah hati atas kasus-kasus korupsi bukan saja tidak membuat para
koruptor takut, tapi juga sekaligus membuat penghormatan terhadap hukum menjadi
sangat rendah. Hukum, kalaupun terpaksa tidak bisa dihindari, masih bisa
dibeli. Bahkan, kalaupun putusan hakim thoghut telah dijatuhkan, masih tersedia
instrumen lain (banding, kasasi, peninjauan kembali) yang bisa juga dibeli dari
hasil korupsi. Kalaupun para koruptor itu tetap saja kalah dan dijebloskan ke
“hotel prodeo”, maka masih ada banyak kesempatan untuk melenggang keluar,
menikmati kebebasan dan menghabiskan dana korupsi yang masih tetap dikuasai.
Cukup dengan uang ratusan ribu rupiah, sang terpidana bisa menikmati weekend
bersama keluarga di rumah. Atau, kalau mau keluar selamanya, bayar saja petugas
penjara yang berpenghasilan kecil itu, sejuta atau dua juta cukup untuk membuat
pintu penjara terbuka lebar.
Sistem
Penggajian yang rendah. Sudah
menjadi argumentasi yang diterima secara umum, bahwa korupsi terjadi didorong
oleh rendahnya gaji yang diberikan negara kepada PNS. Walaupun, dari fakta yang
kita saksikan, korupsi itu lebih besar dan intens dilakukan oleh pejabat
tinggi, yang notabene menerima gaji dan penghasilan lebih tinggi, namun tetap
saja rendahnya gaji menjadi alasan pembenar terjadinya korupsi disemua lini
pemerintahan.
Rendahnya gaji PNS
disebabkan oleh besarnya jumlah PNS yang harus dihidupi oleh negara. Pada massa
Orde Baru, termasuk sampai kini, birokrasi dijadikan salah satu pihak yang
bertugas menyediakan lapangan kerja. Hal ini menyebabkan besarnya jumlah PNS. Rendahnya
gaji PNS juga disebabkan tingkat perkembangan ekonomi negara sistem kufur
demokrasi negeri ini yang tidak terlalu menggembirakan. Kalupun negeri ini pernah
dijagokan sebagai salah satu Macan Asia dalam pembangunan ekonomi, namun
pertumbuhan ekonomi itu lebih banyak dipacu oleh hutang luar negeri ribawi yang
masuk. Kalaupun terjadi pertumbuhan
ekonomi yang signifikan, tetap saja kekayaan itu tidak terdistribusikan secara
baik, sehingga yang terjadi kemudiaan adalah angka kesejangan ekonomi yang
tinggi. Dengan demikian, tingkat kemampuan negara menggaji PNS ditentukan oleh
sistem ekonomi yang dipakai. Negara yang menggunakan sistem ekonomi yang sangat
produktif dan pola distribusi kekayaan yang baik (sistem ekonomi Islam),
niscaya akan mampu mengumpulkan dana yang cukup untuk menggaji PNS-nya secara
layak. Begitu pula sistem politik yang tidak membebani birokrasi dengan tugas
menampung limpahan tenaga kerja, niscaya akan membentuk birokrasi yang ramping
dengan jumlah PNS yang rasional, sehingga dana yang dimiliki negara untuk gaji
akan proporsional dengan jumlah PNS.
Sistem
Sosial. Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa kerusakan birokrasi sangat
ditentukan oleh prilaku aparat yang korup. Tapi perilaku yang korup itu tidak
mungkin akan subur, bila sistem sosial yang dipakai di masyarakat tidak
kondusif untuk itu. Dalam masyarakat yang menghormati kejujuran, kebenaran dan
keamanahan, korupsi adalah tindakan yang paling dibenci dan dicaci. Perbuatan
korupsi akan dihindari sebisa mungkin. Kalaupun terjadi, maka para pejabat akan
berusaha menutup-nutupinya. Dalam masyarakat seperti itu, para koruptor tidak
akan dihormati, mereka akan dihinakan, tidak digauli, bahkan mungkin juga
diasingkan dari masyarakatnya.
Sebaliknya, di
masyarakat yang sangat mengagungkan materi, sekaligus tidak terlalu peduli dari
mana materi diperoleh, korupsi justru terjadi dengan dukungan dan kerjasama
dengan masyarakat. Seorang koruptor yang “baik hati”, yang suka melakukan
kegiatan sosial, memberi sumbangan bagi pembangunan rumah ibadah, menyantuni
panti jompo, adalah “malaikat” yang dipuja-puja. Bahkan, koruptor yang rajin
membantu pesantren, akan lebih dihormati daripada pemimpin pesantrennya
sendiri. Dalam masyarakat yang tidak peduli seperti itu,
jangan harap terjadi proses kontrol sosial. Apa yang disebut dengan amar
ma’ruf nahyi munkar pun tinggal di kitab-kitab kuning yang dihapalkan
para santri. Sementara sang Kyai lebih asyik masyuk bercengkerama dengan para
koruptor yang baik hati, daripada menasehati atau malah memperingatkan sang koruptor.
Faktor Penyebab Korupsi
{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar