Dampak Buruk Korupsi
Akibat Korupsi
{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}
Dampak Buruk Kerusakan Birokrasi
Birokrasi
yang korup mempunyai dampak negatif yang sangat luas, bukan saja merusak
birokrasi itu sendiri, tapi juga menjadi sebab dari tidak efisiennya sektor
bisnis, high cost economy, merendahkan minat untuk berinvestasi, menjadi
sebab dari ketimpangan dan kemiskinan, merusak kualitas pribadi masyarakat,
merusak masyarakat, memperburuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan sekaligus
merusak masa depan dunia akhirat.
Birokrasi
yang korup jelas tidak efisien dan tidak bisa bekerja secara efektif. Birokrasi
yang seperti ini, lebih banyak mengurus dirinya sendiri, daripada menjalankan
fungsinya untuk melayani dan memfasilitasi masyarakat serta menegakkan hukum di
tengah-tengah masyarakat. Anggaran yang besar, lebih banyak digunakan untuk
mengurus aparat birokrasi, daripada meningkatkan kinerja birokrasi. Birokrasi
yang korup dalam waktu yang panjang akan melahirkan budaya korup di lingkungan
birokrasi. Dalam lingkungan yang seperti ini, maka profesionalisme tinggal
slogan. Yang terpenting bukan menjadi aparat yang produktif dan efektif, tapi
yang penting adalah bagaimana bisa menyesuaikan diri atau bahkan sekaligus
terlibat aktif dalam praktek korupsi yang menggurita itu. Dalam lingkungan yang
demikian, tidak ada tempat bagi mereka yang ‘sok suci’, menolak korupsi.
Orang-orang jujur menjadi teralienasi di lingkungannya, mereka menjadi orang
yang aneh, tidak gaul dan mungkin seperti ‘pesakitan’ yang patut dikasihani.
Salah
satu dampak wabah korupsi adalah High Cost Economy. Korupsi yang meluas
di semua sektor publik, telah menaikkan ongkos produksi. Biaya perizinan yang
membengkak mendorong tingginya biaya produksi. Akibatnya rakyat biasa, yang
menjadi konsumen akhir suatu produk yang harus membayar mahal. Tingginya
korupsi dari proyek-proyek pemerintah, mengakibatkan jalan, jembatan,
pelabuhan, dan fasilitas publik lainnya berkualitas rendah dan membutuhkan
biaya perawatan yang tinggi. Bila dugaan begawan ekonomi Indonesia Soemitro
Djoyohadikusumo, bahwa korupsi di negara sistem kufur demokrasi negeri ini,
menggerogoti 30% anggaran, maka dapat dibayangkan kualitas proyek yang
dijalankan. Maka wajar saja bila sebagian besar anggaran pembangunan, termasuk
pinjaman luar negeri, dialokasikan guna merehabilitasi dan me-maintenance
fasilitas publik dan kantor-kantor pemerintahan. Artinya, biaya yang seyogyanya
bisa digunakan untuk menambah fasilitas, tapi justru hanya dihabiskan guna
merawat fasilitas yang tidak berkualitas. Belum lagi, proyek perawatan itu juga
sangat rentan untuk dikorupsi.
Korupsi
juga merendahkan minat orang untuk berinvestasi. Para pemilik modal
malas berurusan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan mahal. Padahal usaha
yang dijalankan belum tentu menguntungkan, tapi mereka telah lebih
dulu dipungli. Maka, para investor lebih memilih menginvestasikan dananya di
bank ribawi dalam bentuk tabungan atau deposito yang tidak beresiko dan tidak
harus berhadapan dengan pejabat yang korup. “Kira-kira 35% dari usaha bisnis
melaporkan alasan utama untuk tidak berinvestasi adalah karena biaya tinggi berkaitan dengan korupsi”
(Media Indonesia, 19/11/2001)
Angka
kemiskinan yang begitu tinggi disinyalir turut diperparah oleh praktek
birokrasi. Birokrasi yang korup, bukan saja tidak mendorong kondisi yang sehat
untuk bisnis dan perputaran ekonomi, tapi juga telah menyedot sebagian besar
kapital dan didistribusikan di lingkungannya. Maka kemiskinan itu terjadi
akibat dikuasainya sebagian besar kapital oleh segelintir orang, yaitu penguasa
dan pengusaha yang berkolusi dengan penguasa. Rendahnya investasi, akibat
langsung dari maraknya korupsi, menyebabkan sedikitnya lapangan kerja yang
tersedia, pengangguran meningkat, dan itu artinya, semakin banyak orang yang
miskin.
Korupsi
yang demikian meluas dan membudaya juga berakibat pada rusaknya karakter
kepribadian aparat dan masyarakat. Nilai-nilai kebaikan berupa penghormatan
yang tinggi pada kejujuran, kebenaran, amanah dan keikhlasan tidak lagi
digunakan. Yang dihormati adalah kedudukan, pangkat dan materi yang banyak.
Semakin kaya seseorang, maka semakin dihormati orang tersebut. Kepribadian yang luhur dan baik tidak lagi menjadi anutan. Para pejabat yang
korup, dan bisa menyembunyikan perilakunya di mata publik, menjadi anutan. Maka
masyarakat tidak lagi ingin menjadi orang baik (yang miskin), mereka ingin
menjadi orang kaya yang serba “wah”, tidak penting apakah dia korup, penipu dan
maling berdasi.
Oleh
karena hukum tidak mampu mengendalikan korupsi, bahkan juga terlibat dalam
praktek korupsi, maka hukum tidak lagi menjadi institusi yang dihormati. Rendahnya
penghormatan terhadap hukum, sekaligus menghilangkan harapan masyarakat
untuk mencari keadilan di depan hukum.
Hilangnya kepercayaan terhadap hukum, juga telah mendorong perilaku main hakim
sendiri. Maraknya perilaku anarkis dalam
lima tahun terakhir, menunjukkan betapa hukum jahiliyah tidak mampu menjalankan fungsinya. Maling ayam yang tertangkap tangan
oleh massa, biasanya tidak diserahkan kepada polisi, tapi langsung
diinterogasi, dipukuli dan dibakar beramai-ramai oleh masyarakat. Begitu pula
pengemudi kendaraan yang mengalami kecelakaan, menabrak seorang anak kecil yang
bermain di jalan, juga harus merenggang nyawa, disirami bensin dan dibakar
bersama mobilnya.
Korupsi
yang merambah sektor pendidikan dan kesehatan tidak kalah hebatnya. SD Inpres
yang baru dibangun, ambruk diterjang angin. Anak-anak harus bersekolah di tempat
penampungan sementara. Pendidikan yang baik, menjadi sangat mahal. Bisnis
pendidikan sudah kehilangan hati nurani dan idealismenya. Kualitas
pendidikan menjadi sangat rendah, dan lembaga pendidikan tidak lagi
berorientasi pada peningkatan kualitas manusia, tapi lebih menjadi sebuah
lembaga bisnis yang rakus. Sektor kesehatan demikian pula. Korupsi tidak saja
membuat kualitas fasilitas kesehatan masyarakat buruk, tapi juga merusak
perilaku pelayanan aparat birokrasi kesehatan. Rumah sakit milik pemerintah,
dikelola seadanya, tidak mempunyai jiwa melayani, tidak ramah dan sekaligus
mahal. Rakyat miskin, yang seyogyanya mendapat pelayanan kesehatan gratis,
justru harus membayar mahal untuk pelayanan yang buruk itu. Wajar, bila
kemudian kualitas kesehatan masyarakat dari hari ke hari makin buruk.
Dampak Buruk Korupsi
{{BERLANJUT KE ARTIKEL LANJUTAN}}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar