Pemilu tidak bisa
dipisahkan dengan sistem republik. Pemilu dalam republik merupakan cara untuk
memilih pemimpin, sebuah penerapan dari landasan republik bahwa kedaulatan ada
di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Sehingga, republik merupakan
sistem pemerintahan yang didasarkan oleh suara mayoritas sebagai ciri khas republik.
Untuk itu, pemilu adalah cara penerapannya.
Oleh karena itu, dalam
republik, rakyat adalah musyarri’
(pembuat hukum) sebagai pemilik kedaulatan, juga sebagai munaffidz (pelaksana hukum) sebagai sumber
kekuasaan. Namun pada faktanya, seluruh yang dibawa republik hanyalah gagasan
yang utopis. Sebab pada faktanya, republik sampai kapanpun dan di manapun tidak
akan bisa diwujudkan. Presiden, pemerintah, dan anggota parlemen yang diklaim
dipilih berdasarkan suara mayoritas atau dewan perwakilan yang diklaim sebagai
penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat ataupun majelis perwakilan
yang diklaim sebagai wakil mayoritas rakyat, pada hakikatnya sangat tidak
sesuai dengan fakta sebenarnya.
Sebab, jumlah suara
yang terpilih pada dasarnya merupakan hasil jumlah rakyat yang dibagi
berdasarkan jumlah sekian calon sehingga pemenangnya adalah bukan dari suara
mayoritas tapi sesungguhnya suara minoritas. Jadi, republik dalam landasan
suara mayoritas hanya utopis.
Begitupun jika
ditelisik lagi, berbagai kebijakan yang diambil dan ditetapkan oleh negara
nyatanya menggambarkan kepentingan kapitalis lebih diutamakan daripada
mayoritas rakyat. Hal ini ini pun dapat dilihat dari berbagai problem negeri
ini yang ternyata setiap kebijakan lebih banyak mementingkan para pemilik modal
dan penguasa daripada rakyatnya sendiri. Sehingga, kesenjangan antara pemilik
modal dan rakyat biasa sungguh semakin tampak.
Sehingga, jika melihat
bagaimana fakta dari pemilu berdarah republik merupakan sesuatu yang tidak
wajar padahal sebenarnya sangat wajar ketika itu terjadi di era republik hari
ini. Asas kepentingan yang menjadi landasan dari republik
menjadikan tudingan-tudingan akan kejanggalan pemilu mungkin saja terjadi.
Sebab, siapapun yang memahami konsep dan landasan kekuasaan di era republik
akan paham bahwa perebutan kursi kekuasaan adalah hal yang wajar. Kacamata
republik adalah kapitalisme, sehingga segala bentuk perbuatan akan merujuk pada
pendapatan atau keuntungan materi, termasuk dalam menduduki kursi kekuasaan.
Dalam republik
penguasa dan pengusaha itu dekat. Sehingga, kursi kekuasaan adalah jalan
melanggengkan bisnis pengusaha demi meraup keuntungan bukan kepentingan rakyat.
Bacaan: Rafiah Hafid
Kita sedang menanggung
resiko penerapan sistem republik-kapitalisme. Kita tidak bisa menutup mata dari
fakta bahwa ketika negara mengambil republik
sebagai sistem bernegara berarti mengambil ideologi kapitalis sebagai ideologi
bangsa.
Asas kebebasan yang
dilegalkan oleh republik, mengamini tindakan hak memiliki apa saja
sebesar-besarnya dalam ideologi kapitalis. Termasuk memperpanjang usia
kekuasaan demi kepentingan pemilik modal. Kolaborasi kepentingan antara
penguasa dan pengusaha yang dibalut dengan janji manis pemilu. Tentu tumbal
utamanya adalah rakyat.
Sudah menjadi buah
bibir di tengah kehidupan masyarakat. Setiap mau pemilihan, rakyat dibuai
dengan janji kesejahteraan plus di balik layar ada embel-embel rupiah untuk
satu suara. Sehingga urusan politik, urusan menjadi wakil rakyat atau pemimpin
rakyat, bukan soal siapa yang paling mulia cita-citanya, tentang siapa yang
paling pandai mengambil hati rakyat.
Saat ini pun, rakyat
sudah kenyang dengan obral janji manis masa kampanye. Janji tersebut tak lagi
memikat hati rakyat. Seperti kaset rusak yang terus berulang, rakyat sudah bisa
menebak tatkala masa kampanye berakhir, janji tinggallah janji. Saat yang dipilih
berhasil terpilih, seketika itu juga ia amnesia, lupa akan rayuan pulau
kelapanya di masa kampanye.
Tak kehabisan akal,
janji tak mempan, kinerja selama menjabat pun diobral. Lagi. Rakyat bahkan
dibuat menganga lebar.
Wajarlah jika umat
mulai menolak sistem republik
dan mencari solusi kepada selainnya. Umat sudah lelah, mungkin juga terlalu
sakit hati. Nasibnya dipermainkan, hajat hidupnya terabaikan. Umat mulai
menyadari akibat berhukum kepada selain hukum sang pencipta. Dampak yang
menyengsarakan membuat umat sadar bahwa kita perlu mengembalikan hukum Allah ke
bumi-Nya.
Mengembalikan hukum
Allah berarti menjadikan khilafah sebagai solusi atas permasalahan umat. Karena
masalah utamanya adalah penerapan republik meniadakan syariat Islam dalam
bernegara. Yang artinya sistem republik tersebut harus dicampakkan dan
menggantinya dengan syariat Islam. Pergantian tersebut hanya bisa dilakukan
ketika negara mengadopsi khilafah. Institusi yang akan menaungi terterapkannya
syariat Islam.
Bacaan: Nurhayati,
S.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar