Hudzaifah bin
al-Yaman Panglima Islam Penakluk Persia
Tak seorang shahabat pun mencapai prestasi ini selain
Hudzaifah, meski jumlah mereka banyak, meski mereka begitu dekat dengan Allah
dan Rasul-Nya, dan meski mereka begitu tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, Ini
merupakan kemuliaan besar dan kepercayaan luar biasa.
Ia dikenal dengan julukan tersebut di
antara rekan-rekannya yang mengenali kedudukannya di mata Rasulullah ﷺ. Para
shahabat menghargai dan menghormati dirinya, baik saat Nabi ﷺ masih hidup
maupun setelah beliau berpulang ke rahmat Allah.
Nabi ﷺ mengatur segala persoalan,
peristiwa, dan sumberdaya manusia dengan hikmah yang diberikan Allah, memilih
setiap orang untuk pekerjaan tertentu sesuai keperluan dan tuntutan.
Pada malam berhijrah dari Makkah ke
Madinah, beliau ﷺ memilih Ali bin Abi Thalib untuk menempati tempat tidur
beliau, menggantikan beliau untuk mengelabuhi kaum musyrik Quraisy. Beliau
percaya bahwa mereka tidak akan menyakiti Ali, dan Ali tidak akan terkena
bahaya apapun dari mereka. Beliau mengatakan hal itu kepada Ali.
Selain itu, Ali juga dipercaya untuk menjaga seluruh
harta simpanan dan titipan yang dititipkan kepada beliau, selanjutnya ia
kembalikan kepada para pemiliknya secara penuh, tanpa kurang sedikitpun.
Juga dipercaya untuk mendampingi dan melindungi
keluarga beliau dari segala gangguan selama beliau berhijrah, karena ia adalah
sepupu dan kerabat beliau.
Seperti itu juga beliau memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai pendamping beliau meniti perjalanan hijrah.
Hijrah berawal dari rumah Abu Bakar sebagai titik
tolak, selanjutnya menuju gua Tsur di mana Abu Bakar mendampingi beliau dengan
baik di sana, juga dalam perjalanan besar. Ia adalah sebaik-baik pendamping.
Seperti halnya Al-Faruq Umar bin Khathab
adalah seorang wakil, penasihat, tutur katanya jujur, intuisinya tajam, dan
sangat mencintai Rasulullah ﷺ.
Dengan demikian, setiap tokoh shahabat
baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar memiliki tempat dan kedudukan
tersendiri di hati Nabi ﷺ juga tempat tersendiri dalam aksi jihad.
Untuk itu, beliau memilih Hudzaifah bin al-Yaman
sebagai pemegang rahasia beliau.
Pilihan ini bukan tanpa alasan, karena ada sejumlah
sebab, motif, peristiwa, dan kejadian yang akan kita ketahui nanti, saat kita
membahas riwayat hidup seorang shahabat yang mulia ini.
Terkait keberadaannya sebagai salah satu pahlawan
penaklukan, ini sudah menjadi fakta sejarah yang disaksikan tanah Irak. Bukan
hanya seorang pahlawan, tapi ia juga seorang panglima perang.
Sekarang, mari sama-sama kita menjelajahi
berita-berita tentang kepribadian tiada duanya ini.
Nasab
Nasab Hudzaifah terhubung kepada Bani ‘Abbas, kabilah
Arab yang dikenal tangguh, banyak jumlah individunya, dan tenggelam dalam
kejahiliyahan. Karenanya, nasab Hudzaifah disebut Hudzaifah bin al-Yaman
Al-‘Abbasi.
Ayahnya, Husail, sudah berada di Madinah sebelum
peristiwa hijrah dan bersekutu dengan Bani Abdul Asyhal. Ketika mereka masuk
Islam, ia turut masuk Islam bersama sepuluh orang dari Bani Abas.
Orang Muhajirin
ataukah Anshar?
Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepada
Hudzaifah antara menjadi seorang Muhajirin atau Anshar, beliau berkata
kepadanya, “Kalau kau mau, kau adalah salah satu di antara orang-orang
Muhajirin, dan kalau kau berkehendak lain, kau adalah salah satu di antara
orang-orang Anshar.”
Hudzaifah lebih memilih membela (Anshar) daripada
berhijrah (Muhajirin), demi kesetiaannya terhadap sekutu-sekutunya, Bani Abdul
Asyhal.
Ketika Rasulullah ﷺ, mempersaudarakan
antara kaum Muhajirin dan Anshar, Hudzaifah dipersaudarakan dengan Ammar bin
Yasir sebagai dua saudara karena Allah.
Dari Mata Air
Nubuwah
Hudzaifah tinggal di Madinah yang memancarkan cahaya
Islam. Di sana, ia meminum dari sumber mata air nubuwah nan jernih dan sangat
tawar, sehingga darah yang mengobarkan kehangatan iman dan menebarkan cahaya
Islam menjalar ke seluruh tubuh dan uratnya.
Ia senantiasa menegakkan agama seperti
yang ia janjikan, ia penuhi janjinya itu, dan terus naik ke atas hingga meraih
kepercayaan dan cinta Nabi ﷺ.
Ia tidak hadir dalam perang Badar.
Ia memang menghadiri peristiwa-peristiwa perang Badar,
tapi ia tidak ikut berperang. Bagaimana itu bisa terjadi, dan mengapa?
Kaum muslimin mengetahui kafilah dagang kaum Quraisy
yang dipimpin Abu Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah, kembali dari Syam membawa
barang-barang berharga. Para shahabat keluar untuk mencegat kafilah ini.
Kaum Quraisy mengetahui keberangkatan kaum muslimin,
hingga mereka mengkhawatirkan harta benda dan kekuatan mereka. Akhirnya, kaum
Quraisy pergi bersama pasukan berkuda dan segala kesombongannya menuju Badar
untuk menghadang kaum muslimin, melindungi harta benda, kekuasaan, dan wibawa
Quraisy.
Perang Badar tidaklah meninggalkan Hudzaifah, si
mukmin yang tulus ini. Hudzaifah berangkat bersama ayahnya, Husail bersama
pasukan muslimin.
Hanya saja, keduanya ditawan orang-orang Quraisy.
Mereka menangkap ayah dan anak ini, lalu mereka melepaskan keduanya setelah
mengambil janji dari keduanya untuk tidak berperang bersama Muhammad.
Kemudian, Hudzaifah menemui Rasulullah ﷺ
bersama ayahnya, memberitahukan kejadian yang mereka berdua alami, dan bertanya
kepada beliau, “Apakah kami ikut perang atau tidak?”
Beliau menjawab pada keduanya, “Tidak, kita penuhi
janji mereka, dan kita memohon pertolongan kepada Allah untuk menghadapi
mereka.”
Inilah ceritanya, mengapa Hudzaifah tidak ikut dalam
perang Badar.
Perang Uhud dan
Kesedihan Berlipat
Akan tetapi, perang Uhud tidak kehilangan Hudzaifah.
Dalam peperangan ini, Hudzaifah menunjukkan sejumlah
sikap yang patut untuk disaksikan.
Berikut kisah rincinya.
Ketika Nabi ﷺ berangkat bersama kaum
muslimin ke Uhud, beliau menempatkan para manula, kaum wanita, dan anak-anak di
puncak perbukitan dan dataran-dataran tinggi Madinah untuk melindungi mereka.
Saat itu, Husail bin Jabir -ayah Hudzaifah- dan Tsabit
bin Qais termasuk di antara mereka yang diizinkan untuk tidak berperang.
Di tengah pertempuran, salah satu di antara keduanya
berkata kepada rekannya, “Dasar tidak punya ayah kamu ini (lâ aban laka)! Apa yang kita tunggu? Hari ini ataupun esok, kita
pasti menjadi bangkai tak bernyawa. Ayo kita meraih kemuliaan mati syahid atau
kemenangan!”
Keduanya bergegas menyusul kaum muslimin dan keluar
dari barisan. Akhirnya, Tsabit bin Qais Al-Anshari roboh, mati syahid.
Pedang kaum muslimin juga mengarah kepada Husail, ayah
Hudzaifah, secara tidak sengaja atau tidak bisa membedakan mana kawan mana
lawan, hingga ia juga gugur. Saat itulah Hudzaifah berteriak, “Ayahku...
ayahku... semoga Allah mengampuni kalian...!”
Hudzaifah sedih menangisi kematian
ayahnya, dan Rasulullah ﷺ mendoakan rahmat kepadanya. Beliau juga menyerahkan
diyat kepada Hudzaifah. Apa gerangan yang dilakukan Hudzaifah dengan uang itu?
Ia sedekahkan uang diyat itu untuk kaum
muslimin fakir, sehingga kedudukan dan posisi dia kian tinggi di mata
Rasulullah ﷺ.
Perang Ahzab
atau Khandaq
Belum juga selesai menggali parit besar di
sekitar Madinah (parit terletak di antara gunung Uhud dan Sela) untuk menangkal
serangan Quraisy dan para sekutunya termasuk Yahudi, kaum muslimin dicekam
ketakutan dan kesulitan hebat karena musuh bersatu-padu menyerang mereka, dan
Bani Quraizhah Yahudi melanggar perjanjian dengan Nabi ﷺ, kala mereka semua
datang dari atas dan juga bawah. Saat itu sedang musim dingin, udaranya dingin
menusuk tulang.
Namun, Allah mengamankan mereka dari rasa takut,
memperkuat mereka dalam menghadapi musuh, dan menyelamatkan mereka dari ancaman
yang akan melenyapkan mereka ini dengan cara membuat kaum musyrik meninggalkan
medan.
Salah seorang shahabat yang mulia, Nu’aim bin Mas’ud
Al-Ghathafani Al-Asyja’i, memiliki peran dan jasa besar yang Allah mudahkan
untuknya.
Nu’aim datang ke tenda kaum muslimin. Ia
sudah diberi petunjuk oleh Allah. Ia menemui Rasulullah ﷺ, lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, aku sudah masuk Islam, dan kaumku tidak mengetahui keislamanku ini.
Untuk itu, silakan engkau perintahkan aku sesukamu untuk menghadapi musuhmu.”
Rasulullah ﷺ berkata, “Kau hanya seorang
diri. Apa kiranya yang bisa kau lakukan. Tapi, cerai-beraikan musuh sebisamu,
karena perang itu tipu muslihat.”
Nu’aim bin Mas’ud seketika itu juga langsung pergi
menemui Bani Quraizhah, yang menjadi teman semasa Jahiliyah. Nu’aim menemui
pemimpin mereka, Ka’ab bin Usaid, lalu berkata, “Kalian tahu rasa cintaku pada
kalian.”
Ka’ab menjawab, “Benar, kau bukan orang yang patut
dicurigai. Apa yang ingin kau sampaikan terkait persoalan ini!?
Nu’aim meneruskan, “Orang-orang Quraisy
dan Ghathafan tidaklah sama seperti kalian. Negeri ini -Madinah- adalah negeri
kalian, di sana ada harta benda, anak-anak, dan istri kalian. Kalian tidak bisa
berpindah meninggalkan semua itu ke tempat lain. Quraisy dan Ghathafan datang
untuk memerangi Muhammad dan para sahabatnya, kemudian kalian perlihatkan
dukungan pada mereka untuk menyerangnya. Kalian sendiri sudah mengetahui apa
yang dialami saudara-saudara kalian dari Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang
diusir dan harta benda mereka dirampas. Quraisy dan Ghathafan tidak seperti
kalian, karena jika mereka mendapat kesempatan, tentu kesempatan itu akan
mereka pergunakan sebaik-baiknya. Dan jika tidak, mereka pun pasti kembali lagi
ke negeri mereka dan meninggalkan kalian yang harus berhadapan dengan orang itu
(maksudnya Rasulullah ﷺ), dan kalian tidak akan mampu memeranginya seorang
diri. Menurutku, kalian jangan ikut terlibat dalam perang ini, sebelum
memastikan Quraisy dan Ghathafan tidak akan meninggalkan kalian dan mereka
tidak akan pulang ke negeri mereka dengan cara kalian meminta jaminan berupa
anak-anak mereka, sehingga kalian menjamin mereka akan tetap bersama kalian dan
mereka benar-benar ikut berperang.”
Kaum Yahudi Bani Quraizhah menganggap baik pendapatnya
dan memenuhi sarannya.
Setelah itu, Nu’aim pergi ke perkemahan
pasukan-pasukan sekutu dan bertemu panglima mereka, Abu Sufyan secara empat
mata untuk membahas persoalan penting dan segera. Nu’aim berkata kepadanya,
“Kalian sudah tahu cintaku pada kalian. Aku akan menyampaikan suatu hal padamu,
maka tolong rahasiakan apa yang akan aku sampaikan ini.”
Mereka menyahut, “Baiklah. Apa yang ingin kau
sampaikan, Nu’aim?"
Nu’aim berkata, “Aku baru saja menemui
Bani Quraizhah. Aku tahu mereka menyesal karena telah melanggar perjanjian
dengan Muhammad. Mereka mengkhawatirkan kalian pulang dan meninggalkan mereka
sendirian menghadapi orang itu. Secara diam-diam mereka mengirim utusan untuk
menemui Muhammad dan menyampaikan, ‘Maukah kamu jika kami menangkap sejumlah
orang dari tokoh Quraisy dan Ghathafan, lalu kami serahkan mereka kepadamu,
setelah itu kau mengembalikan sayap kami yang telah patah, kau mengembalikan
Bani Nadhir, saudara-saudara kami, ke Madinah?’ Lalu Muhammad ﷺ menerima
tawaran itu. Saat ini, mereka mengirim utusan kepada kalian, maka kalian harus
waspada!”
Kemudian, Abu Sufyan mengirim utusan ke Bani
Quraizhah, mengajak mereka untuk berperang pada hari berikutnya, untuk
mengetahui reaksi mereka atas tuntutan tersebut.
Mereka menjawab, “Tidak mungkin kami berperang esok
hari, karena besok adalah hari Sabtu. Kami tidak bisa berperang pada hari itu
ataupun melakukan pelanggaran. Selain itu, kami tidak akan berperang sebelum
kalian memberi kami jaminan dan kalian tidak meninggalkan kami menjadi buruan
sendirian.”
Perkataan Nu’aim tampak benar bagi Quraisy, Ghathafan,
dan para pasukan sekutu. Akhirnya, hati mereka terpecah belah, dan mereka
merasa takut satu sama lain.
Rasulullah ﷺ memohon kepada Allah yang
tiada tempat berlindung selain kepada-Nya, “Ya Allah, Dzat Yang menurunkan
kitab dan cepat penghisaban-Nya! Kalahkanlah para sekutu. Ya Allah, kalahkan
mereka dan tolonglah kami
atas mereka!" Allah SWT memperkenankan doa
Rasul-Nya. Allah mengirim angin kencang dan dingin di tengah malam nan gelap
gulita.
Para pasukan sekutu khawatir jangan-jangan Yahudi
menjalin kesepakatan dengan kaum muslimin menyerang mereka di tengah malam nan
gelap itu.
Mereka merasa cemas, memutuskan untuk menghentikan
pengepungan, dan angkat kaki.
Sang Penjaga
Rahasia, Hudzaifah
Hudzaifah berperan besar dan menjalani
petualangan berani pada saat itu yang tidak kalah pentingnya dengan peran
Nu’aim bin Mas’ud, sehingga pantas jika ia menjadi pemegang rahasia Rasulullah ﷺ.
la menuturkan sendiri tentang peran
tersebut. Ia berkata, “Dulu, kami bersama Rasulullah ﷺ dalam perang Khandaq.
Saat itu, beliau sudah mengerjakan shalat di sebagian malam, lalu beliau
menoleh ke arah kami dan berkata, ‘Siapa yang mau menyusup ke dalam kamp
pasukan musuh (Quraisy dan Ghathafan), mengecek kondisi mereka, lalu kembali?’
Tak seorangpun berdiri karena udara yang sangat
dingin, sangat lapar, dan sangat mencekam.
Karena tak seorangpun berdiri, akhirnya
Rasulullah ﷺ memanggilku, sehingga mau tidak mau aku harus berdiri saat beliau
memanggilku. Beliau berkata, ‘Hai Hudzaifah! Pergilah dan menyusuplah ke
tengah-tengah pasukan musuh, perhatikan apa yang mereka lakukan, dan jangan kau
lakukan apapun hingga kau kembali lagi ke kami.
Saya berharap pembaca yang budiman turut
memerhatikan bersama saya, bahwa Rasulullah ﷺ hanya memilih Hudzaifah, bukan
yang lain. Beliau memerintahkan Hudzaifah agar tidak melakukan apapun yang
mengundang perhatian sehingga misinya terbongkar, dan beliau mensyaratkan
padanya harus kembali.
Semua tugas ini super sulit, ditambah lagi di tengah
situasi sangat sulit.
Kita kembali ke Hudzaifah untuk menyimak kata-katanya.
Ia meneruskan, “Aku pergi, lalu menyusup di tengah-tengah barisan musuh. Saat
itu angin berhembus dengan kencang dan tentara-tentara Allah (para malaikat)
mengobrak-abrik mereka, hingga tak ada tungku, perapian, ataupun tenda yang
bisa tegak berdiri.
Abu Sufyan berdiri, lalu berkata, ‘Hai kaum Quraisy!
Masing-masing harus memperhatikan siapa yang ada di dekatnya.’ Lantas, aku
meraih tangan seseorang yang ada di dekatku, lalu aku bertanya, ‘Kamu siapa?’
Ia berkata, ‘Fulan bin fulan.’
Abu Sufyan kembali mengatakan, ‘Wahai kaum Quraisy!
Demi Allah, kalian tak lagi bisa terus bertahan di sini. Kuda dan unta kita
telah binasa, Bani Quraizhah telah mengkhianati kita, apa yang tidak kita
inginkan dari mereka akhirnya kita hadapi, kita diterpa angin kencang seperti
yang kalian lihat, hingga tak ada tungku yang bisa tegak berdiri, perapian pun
tak bisa dinyalakan, tenda-tenda tak berdiri tegak. Maka pulanglah, karena aku
akan pulang.’
Setelah itu, ia menghampiri unta miliknya yang
terikat, lalu ia membangunkan untanya dan menungganginya. Demi Allah, tali
pengikat ia lepaskan saat ia berdiri. (Maksudnya, Abu Sufyan bergerak cepat
untuk pergi karena takut).
Saat hendak pergi, Shafwan bin Umayyah berkata
kepadanya, ‘Kau adalah pemimpin kaum. Jangan kau tinggalkan mereka dan pergi
begitu saja!’
Namun, Abu Sufyan tidak menggubris kata-katanya dan
memberitahukan kepadanya untuk pergi. Ia menempatkan Khalid bin Walid bersama
sekelompok pasukan untuk melindungi bagian belakang pasukan Quraisy yang pergi
agar mereka tidak diserang dari belakang.
Ghathafan mendengar tindakan yang dilakukan Quraisy,
lalu mereka bergegas pulang ke negeri kampung halaman mereka.
Andai saja Rasulullah ﷺ tidak
memerintahkan padaku, ‘Jangan melakukan apapun hingga kau menemuiku,’ tentu aku
sudah membunuhnya dengan lesakan panah. Setelah itu aku kembali kepada
Rasulullah ﷺ saat beliau tengah berdiri mengerjakan shalat. Saat melihatku,
beliau langsung rukuk dan sujud. Setelah beliau salam, aku memberitahukan
informasi yang aku dapat kepada beliau."
...lalu beliau mendengarkan penuturannya.
Ia meneruskan kisahnya, “Saat memasuki
waktu Subuh, Rasulullah ﷺ pulang meninggalkan Khandaq menuju Madinah bersama
kaum muslimin, dan mereka meletakkan senjata.”
***
Pembaca yang budiman. Seperti itulah Allah
menyingkirkan kesedihan dari kaum muslimin dalarn perang Ahzab, yang saat itu
para pasukan sekutu dari Arab dan Yahudi bersatu untuk menyerang kaum muslimin.
Andai saja bukan karena kasih sayang Allah SWT terhadap agama nan lurus ini,
niscaya situasi akan kian pelik dan kondisi akan semakin memburuk. Namun, Allah
memberikan keselamatan.
Ini bukan satu-satunya tugas yang dijalankan Hudzaifah
bin al-Yaman.
Masyarakat Makkah terbagi menjadi dua kubu saat Islam
muncul. Kubu yang diberi petunjuk oleh Allah menuju kebenaran dan jalan lurus,
dan kubu yang tetap loyal terhadap patung dan berhala, serta tetap bersikeras
memegang kekafiran dan kesyirikan. Mereka ini sangat congkak.
Sementara di tengah masyarakat Madinah setelah
peristiwa hijrah, muncul kubu ketiga, yaitu kubu orang-orang munaflk yang
ketika berkumpul bersama kaum muslimin, mereka berkata, “Sesungguhnya kami
bersama kalian.” Mereka ini dipimpin Abdullah bin Ubay bin Salul. Namun, ketika
mereka kembali kepada para pemimpin mereka dan kembali ke wujud asli, mereka
berkata, “Sesungguhnya, kami hanya mengolok-olok.” Kaum munafik ini
menyembunyikan kekafiran dan menampakkan Islam.
Kubu ini paling berbahaya bagi Islam dan
kaum muslimin. Rasulullah ﷺ dan para shahabat menghadapi beban berat dari kubu
ini. Untuk itu, kubu ini harus diawasi secara diam-diam. Segala konspirasi,
rencana, dan makar yang mereka galang harus diketahui. Dan Hudzaifah bin
al-Yaman adalah yang terbaik untuk menjalankan tugas ini. Ia adalah mata yang
selalu terbuka dan waspada untuk mengamati segala tindak-tanduk kubu ini dengan
sangat rahasia, lalu menginformasikannya kepada Rasulullah ﷺ agar beliau
mengetahui persoalan mereka dengan jelas tanpa diketahui oleh siapapun.
Di Tabuk
Saat perang Tabuk, Rasulullah ﷺ berangkat
menuju perbatasan Syam bersama tiga puluh ribu shahabat, lokasi di mana beliau
mendengar informasi pasukan Romawi berkumpul di sana untuk menyerang Hijaz.
Saat itu, sebagian kaum munafik turut
berangkat bersama beliau, bukan karena ingin berperang dan berjihad, tapi untuk
merencanakan sesuatu yang sangat berbahaya, karena mereka merencanakan untuk
membunuh Rasulullah ﷺ.
Dalam perjalanan pulang, kelompok munafik
ini menyingkap wajah kelam mereka dan tujuan hina mereka. Mereka berupaya
membunuh Rasulullah ﷺ. Namun, Hudzaifah mengikuti mereka dan berhasil
menggagalkan rencana mereka. Hudzaifah menyampaikan nama-nama mereka ini kepada
Rasulullah ﷺ, mereka berjumlah empat belas orang. Tak seorang shahabat pun
mengetahui hal ini, karena hanya diketahui Rasulullah ﷺ dan Hudzaifah saja.
Murid Pandai di
Madrasah Nubuwah
Perlu disampaikan terkait kepribadian
Hudzaifah, bahwa ia sangat bahagia dan senang ketika menghadiri majelis
Rasulullah ﷺ. Ia sangat menikmati mendengar nasihat beliau berupa bacaan
ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada beliau, arahan, pendidikan, dan
pembersihan jiwa. Hudzaifah menerima dan memahaminya di dalam hati, lalu
melaksanakannya di dalam kehidupan.
Karena itulah, Hudzaifah dinilai sebagai
salah satu tokoh murid madrasah nubuwah, penghafal Kitabullah dan menjaga
batasan-batasannya, menjaga segala perintah dan larangannya, serta meneladani
dan mengamalkan sunah Al-Musthafa ﷺ.
***
Abdullah bin Umar bin Khathab menuturkan tentang hal
itu. Ia berkata, “Seorang dari Bashrah bertanya kepadaku tentang menjulurkan
surban di belakang punggung ketika seseorang mengenakan surban, lalu aku
berkata, ‘Aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu berdasarkan ilmu,
dengan izin Allah.’
‘Suatu ketika, aku berada di masjid
Rasulullah ﷺ, bersama sepuluh shahabat beliau, dan aku adalah orang yang
kesepuluh di antara mereka. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali,
Abdurrahman bin Auf, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Iabal, Hudzaifah bin al-Yaman, Abu
Sa’id Al-Khudri, dan aku. (Kami saat itu) bersama Rasulullah ﷺ, lalu tanpa
diduga datanglah seorang pemuda Anshar. Kemudian, pemuda Anshar itu mengucapkan
salam kepada Rasulullah ﷺ, setelah itu duduk, lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
siapakah orang mukmin yang terbaik?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik
akhlaknya di antara mereka.’
Ia bertanya, ‘Lalu siapa orang mukmin yang paling pandai?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling sering
mengingat kematian dan paling mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian
sebelum kematian datang padanya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.’
Kemudian, si pemuda itu diam, lalu
Rasulullah ﷺ menghadap kepada kami dan bersabda, “Wahai kaum Muhajirin! Ada
lima perkara yang jika menimpa kalian (tentu akan mendatangkan musibah), aku berlindung kepada
Allah semoga kalian tidak menjumpainya. (1) Tidaklah perbuatan keji (zina)
muncul di tengah-tengah suatu kaum, lalu mereka melakukannya secara
temng-terangan, melainkan akan muncul di tengah-tengah mereka wabah tha’un dan
penyakit-penyakit yang belum pernah ada di tengah-tengah para pendahulu mereka
yang telah berlalu. (2) Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan,
melainkan mereka pasti ditimpa kekeringan, beratnya beban hidup, dan kezhaliman
penguasa. (3) Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka, melainkan mereka
dicegah dari hujan yang turun dari langit. Andai bukan karena hewan-hewan,
tentu mereka tidak diberi hujan. (4) Tidaklah mereka melanggar janji Allah dan
Rasul-Nya, melainkan Allah menguasakan musuh dari selain mereka terhadap
mereka, hingga mereka merebut sebagian yang ada dalam genggaman mereka. (5) Dan
tidaklah imam-imam mereka enggan berhukum pada kitab Allah dam sombong terhadap
apa yang Allah turunkan, melainkan Allah menjadikan permusuhan di antara mereka
sendiri.”
Dengan pelajaran dan nasihat-nasihat seperti inilah
jiwa Hudzaifah dan para shahabat secara keseluruhan mencapai keluhuran, hingga
mencapai puncak kemuliaan akhlak, konsisten menjalankan kebenaran, menumpas
kebatilan, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan berjihad di jalan
Allah.
Sepeninggal
Rasulullah ﷺ
Hudzaifah bin al-Yaman berangkat dari Madinah sebagai
pejuang dan mujahid di jalan Allah bersama pasukan muslimin pada masa Abu
Bakar, ‘Umar bin Khathab, dan ‘Utsman bin Affan, baik mengarah ke Timur maupun
Barat.
Ia selalu berada di baris depan pasukan, karena
seluruh keistimewaan seorang muslim, shahabat, mujahid, panglima, dan sosok
yang selalu menjaga batasan-batasan Allah, terintegrasi di dalam
kepribadiannya.
Pahlawan
Penakluk
Hudzaifah bin al-Yaman ditakdirkan berada di Kufah
yang pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab; menjadi tempat bertolaknya
pasukan-pasukan Islam di tanah Persia, serta berbagai penjuru Irak dan Jazirah.
Ia senantiasa berjuang dan berjihad tanpa kenal lelah.
Ia hadir dalam penaklukan Qadisiyah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash.
Hadir dalam peperangan-peperangan Jazirah dan
Nushaibin bersama yang lain. Di setiap peperangan, ia menunjukkan pengorbanan
yang baik.
Namun, peperangan terbesarnya, yang paling pantas
untuk dihargai dan disebut-sebut, yang membuatnya menjadi seorang panglima penakluk,
pahlawan Islam, dan mujahid adalah perang Nahawand di tanah Persia.
Perang Nahawand adalah salah satu peperangan terbesar
yang tidak kalah tenar dari perang Qadisiyah dan Yarmuk.
Saat itu, Hudzaifah menjadi salah seorang panglima
salah satu sayap pasukan muslimin, dan memimpin sejumlah kekuatan prajurit
mukmin. Ketika Nu’man bin Muqarrin gugur sebagai syahid di dekat
benteng-benteng Nahawand dan peperangan sama sekali belum selesai, Hudzaifah
memegang komando tertinggi berdasarkan kesepakatan para komandan. Ia terus
berperang sepanjang malam. Melalui tangannya, Allah menakdirkan kemenangan atas
musuh, Nahawand takluk, dan ia memasuki kota tersebut sebagai pemenang
sekaligus penakluk.
Di antara langkah bijak dan pandangannya yang jauh ke
depan adalah ia menutup-nutupi kematian Nu’man untuk para prajurit agar mereka
tidak lemah ataupun sedih.
Setelah itu, ia terus berkelana di tanah dan
negeri-negeri Persia di bawah komando Abu Musa Al-Asy’ari.
Pasukan Islam berhasil menaklukkan Daynur, Ray, dan
Azerbeijan.
Ia juga tiga kali memerangi Armenia dengan
kekuatan-kekuatan pasukannya. Allah memberikan sejumlah kemenangan besar
padanya kala itu.
Aksi-aksi jihadnya terus berlanjut pada masa
kekhalifahan Al-Faruq (Umar bin Khathab) dan Dzun Nurain (‘Utsman bin Affan),
semoga Allah meridhai keduanya.
Sangat
Pencemburu Terhadap Persatuan Kaum Muslimin
Di saat Hudzaifah berada di Kufah, ia mendengar
sejumlah kaum muslimin menyebarkan hal-hal yang memicu perpecahan.
Ia mendengar penduduk Kufah berpegangan pada qira’ah Abdullah bin Mas’ud, sementara penduduk Bashrah
berpegangan pada qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari.
Dengan keimanan mendalam, Hudzaifah merasakan bahaya
situasi ini jika tetap dibiarkan saja. Ia berkata, “Jika dibiarkan, orang-orang
akan berselisih tentang Al-Qur’an, lalu mereka tidak akan pernah tegak di
atasnya. Sungguh, aku melihat sejumlah orang dari penduduk Homs menyatakan
bacaan mereka lebih baik dari bacaan selain mereka, dan mereka mempelajari
Al-Qur’an dari Miqdad bin Amr. Aku juga melihat penduduk Damaskus mengatakan
bacaan mereka lebih baik dari bacaan selain mereka. Aku melihat penduduk Kufah
mengatakan hal serupa, bahwa bacaan mereka sesuai dengan bacaan Ibnu Mas’ud,
penduduk Bashrah juga mengatakan serupa bahwa bacaan mereka sesuai dengan
bacaan Abu Musa, dan mereka menyebut mushafnya dengan sebutan Lubabul Qulub.
Demi Allah, jika umurku panjang, aku akan menemui Amirul Mukminin ‘Utsman bin
Affan, dan aku akan menyarankan kepadanya agar menghalangi mereka semua dari
perpecahan itu."
Kemudian, ia menempuh perjalanan jauh menuju Madinah.
Setelah itu menemui ‘Utsman, berbicara kepadanya, memberikan penjelasan, dan
mengingatkan bahaya itu kepadanya. Di antara yang ia katakan kepada ‘Utsman,
“Aku ini pemberi peringatan nyata. Benahilah umat...!”
Hudzaifah bin al-Yaman memiliki jasa. Dan jasa yang ia
upayakan begitu besar.
Khalifah Dzun Nurain mengumpulkan
shahabat-shahabat Rasulullah ﷺ dan menyampaikan perihal tersebut kepada mereka.
Mereka semua menganggap persoalan tersebut bukan masalah sepele, dan mereka
memiliki pandangan sama seperti pandangan Hudzaifah.
Saat itulah ‘Utsman meluangkan seluruh tenaga dan
upaya, mengumpulkan Al-Qur'an dengan satu qira’ah, selanjutnya
disalin menjadi beberapa salinan mushaf, kemudian dikirim ke berbagai kota, dan
melenyapkan mushaf-mushaf lainnya.
Hudzaifah dan
Fitnah yang Menimpa ‘Utsman
Ketika fitnah yang menimpa ‘Utsman kian meningkat,
fitnah yang dimotori oleh Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba Al-Yahudi, si munafik,
yang memprovokasi massa di Syam dan Mesir, Hudzaifah menjauhkan diri dari
fitnah ini. Ia tidak mendukung salah satu kubu pun. Bahkan, ia berusaha
menyerukan persatuan dan cinta kasih, karena ia tahu pasti kelompok munafik,
tahu apa saja cara-cara yang mereka gunakan dan apa tujuan-tujuan yang mereka
inginkan.
Hanya saja, suara dan tindakannya terlalu lemah di
tengah situasi yang tengah bergolak itu, atau tidak didengar.
Saat mendengar berita kematian ‘Utsman saat ia membaca
Kitabullah, Hudzaifah menangis dan sedih, lalu berdoa, “Ya Allah! Timpakanlah
laknat terhadap para pembunuh dan pencela [‘Utsman]. Ya Allah! Sebelumnya kami
memang menegurnya dan ia juga menegur kami, hingga mereka menjadikannya sebagai
tangga untuk menggalang fitnah. Ya Allah! Janganlah Engkau mematikan mereka
kecuali dengan pedang."
***
Hudzaifah menetap di Madain hingga ajalnya tiba. Ia
meninggal di sana pada tahun 36 H, dan dimakamkan di samping Salman Al-Farisi.
Di antara tutur kata yang ia ucapkan saat kematian
tiba adalah, “Ini adalah saat-saat terakhir dari dunia. Ya Allah! Jika kau tahu
bahwa aku mencintai-Mu, maka berkahilah pertemuanku dengan-Mu.”
Semoga Allah meridhai shahabat mulia, Hudzaifah bin
al-Yaman. Murid mulia nubuwah ...
Penjaga rahasia Rasulullah ﷺ...
Mujahid di jalan Allah...
Pahlawan penakluk...
Sosok yang memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran...
Sosok yang menyerukan kebenaran, persatuan, keadilan,
dan perbaikan hubungan di antara sesama kaum muslimin...
Dan kumpulkanlah kami bersamanya di bawah
panji Al-Musthafa ﷺ.
Buku Bacaan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar