Halaqah
Kriminal?
Tampak LIPI mengikuti para politisi dan peneliti Barat yang melemparkan isu radikalisme untuk mendiskreditkan Islam dan kaum Muslimin.
Cap Islam sebagai
sumber terorisme tampaknya sudah melekat pada rezim ini, termasuk kalangan
intelektual pendukung rezim. Mereka tak peduli bahwa aksi terorisme yang
terjadi selama ini faktanya dilakukan pula oleh kalangan kaflr, agama selain
Islam.
Sebaliknya, sebagian
intelektual justru secara sadar membangun narasi fobia Islam yang secara masif
dan sistematis. Sasarannya adalah masyarakat awam.
lnilah yang tampak
dalam modul Pencegahan Terorisme di Indonesia
yang diterbitkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BNPT (Badan
Nasional PenanggulanganTerorisme).
Dalam buku itu
tercantum penjelasan Pola Penyebaran Ide Kekerasan adalah melalui; (1)
Pengajian, pertemuan (halaqah), dan Iain-Iain. Lebih lanjut LIPI menjelaskan;
"Penyebaran pola lama yaitu melalui halaqah dan pengajian dengan duduk
melingkar dan liqa’, yaitu pertemuan untuk mengaji."
Pernyataan LIPI
tersebut mengundang beberapa pertanyaan sekaligus kritik besar; pertama, apakah LIPI sudah menelusuri dengan
benar arti halaqah dari khasanah keislaman? Kedua,
apa metodologi yang dipakai oleh LIPI sampai menyimpulkan bahwa halaqah adalah
salah satu metode penyebaran ide kekerasan, bahkan terorisme? Ketiga, pertanyaan yang paling mendasar dan
penting adalah apa makna radikalisme yang sering digunakan dalam berbagai
bahasan dan kajian, termasuk oleh LIPI?
Bagi siapa saja yang
memahami khasanah keislaman akan paham istilah halaqah memiliki makna yang
sudah populer dalam pendidikan dan pengkajian ilmu-ilmu keislaman. Secara
bahasa kalimat halaqah min al-nas
artinya kumpulan orang yang duduk berbentuk lingkaran (A.W. Munawwir, 1997:
290). Lafadz halaqah telah digunakan dalam sejumlah nash misalnya dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Nabi SAW. bersabda:
“Jika kalian melewati taman surga maka singgahIah.”
Sahabat bertanya, ”Apakah itu taman surga?” Beliau menjawab, ”Halaqah-halaqah
zikir.”
Menurut istilah,
halaqah diberi definisi sebagai proses belajar-mengajar yang dilaksanakan
murid-murid dengan melingkari guru yang bersangkutan. Biasanya duduk di Iantai
serta berlangsung secara kontinu untuk mendengarkan seorang guru membacakan dan
menerangkan kitab karangannya atau memberi komentar atas karya orang Iain.
(Hanun Asrohah, 1999: 49)
Halaqah adalah model
pengajaran Islam yang telah dilakukan sejak awal kenabian, di mana Nabi SAW
mengumpulkan para sahabat di kediaman Arqam bin Abil Arqam untuk mengajarkan
Islam. Selanjutnya di Madinah, para sahabat melakukan halaqah-halaqah bersama
Nabi SAW seperti di Masjid Nabawi dengan waktu-waktu yang dipilih. lbnu Mas'ud
meriwayatkan:
Nabi SAW membuat seIa-sela (lingkaran) dalam ceramah
pada hari-hari tertentu demi menghindari kebosanan. (HR. Bukhari)
Selanjutnya halaqah
banyak dilakukan oleh para sahabat dan para ulama generasi berikutnya sebagai
metode pengkajian Islam, bahkan sampai hari ini seperti yang biasa terlihat di
masjid-masjid besar semisal Masjid Nabawi. Di dunia pesantren di tanah air, halaqah
biasa disebut bandongan, kyai duduk di
tengah dan para santri melingkarinya untuk menyimak kajian.
Karena itu patut
dipertanyakan metodologi yang dipakai oleh LIPI dalam melakukan penelitian
tersebut sehingga menyimpulkan halaqah menjadi salah satu penyebaran ajaran
kekerasan. Tampak LIPI mengabaikan fakta bahasa, sejarah dan akar ajaran Islam
mengenai halaqah.
Penggunaan istilah
halaqah oleh LIPI dan BNPT sebagai pola penyebaran kekerasan mengandung
kebohongan pada publik sekaligus menciptakan stigma terhadap halaqah dan
mengandung penistaan terhadap salah satu ajaran Islam.
Apa yang dilakukan
LIPI adalah generalisasi terhadap kegiatan perhalaqahan. Hanya karena ada
sekelompok orang yang menyebarkan paham terorisme yang menyimpang, kemudian
LIPI menyimpulkan bila halaqah adalah sarana pembibitan radikalisme dan
terorisme. Padahal dalam aktivitas halaqah beragam hal dikaji seperti kajian
akidah, ibadah, muamalah, hingga zikir.
Selain itu, LIPI juga
sepertinya sengaja melakukan simplikasi pembahasan. Tidak melakukan kajian
mendalam tentang pengertian halaqah, esensinya
dalam pendidikan
ajaran Islam dan akar sejarahnya. Tahu-tahu menyimpulkan halaqah adalah cara
penyebaran paham terorisme.
LIPI juga tidak
menjelaskan dengan utuh dan jernih tentang paham radikalisme yang dituduhkan.
Pernyataan seperti ini lagi-lagi mengaburkan ajaran Islam yang sebenamya.
Tampak LIPI mengikuti para politisi dan peneliti Barat yang melemparkan isu
radikalisme untuk mendeskreditkan Islam dan kaum Muslimin. Kelihatan betul
kalau modul itu disusun untuk membangun narasi fobia Islam sehingga umat Muslim
memusulhi agenda-agenda halaqah sekaligus ajaran Islam.
Dipertanyakan
Mengapa istilah
radikalisme hanya dilujukan pada kelompok-kelompok yang mengusung syariah Islam
seperti FPI dan HTI? Bila tolok ukurannya adalah sikap intoleran, mengapa
kelompok-kelompok Iain yang menyerang ulama, mempersekusi para ustadz dan
membubarkan pengajian jamaah lain tidak disebut sebagai kaum radikalis yang
intoleran? Apakah karena mereka mengusung NKRI dan Pancasila Ialu halal
melakukan anarkisme dan persekusi, dan tidak bisa dikategorikan sebagai kaum
radikal?
Seharusnya para
peneliti di LIPI menjelaskan apakah kebijakan war
on terrorism yang diadopsi pemerintah sudah tepat ataukah berubah
menjadi monsterisasi
terhadap ajaran Islam, dan represif bahkan brutal. Berulangkali terjadi
korban salah tangkap yang berujung kematian, namun sepertinya luput dari kajian
kaum intelektual.
Dan mengapa hampir di
seluruh dunia aksi terorisme selalu diidentikkan dengan kaum Muslimin,
sementara bila aksi kekerasan bahkan penembakkan yang dilakukan oleh non-Muslim
seperti warga kulit putih hanya dikatakan sebagai aksi ‘pria bersenjata'? Atau
mengapa kelompok separatisme Papua sampai hari ini tidak ditempatkan sebagai
kelompok teroris meski sudah membunuh banyak warga dan aparat, tapi hanya
dilabeli sebagai 'kelompok bersenjata'?
Begitupula apakah isu radikalisme yang berkembang
menjadi fobia Islam itu menguntungkan ataukah merugikan kaum Muslimin, dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam? Kaum intelektual bisa melakukan
kajian ilmiah terhadap ajaran Islam secara komprehensif. Termasuk mengkaji
apakah syariat Islam dan khilafah itu mengancam kemanusiaan atau justru
melindungi umat manusia?
Patut disayangkan bila
institusi ilmiah seperti LIPI justru membuat modul yang jauh dari bobot ilmiah
dan netral. Alih-alih memberikan edukasi yang positif dan menenangkan, LIPI
justru mengaburkan persoalan yang sebenarnya dan melakukan kecerobohan fatal
dalam modul tersebut. Para peneliti yang harusnya berada di garda terdepan
dalam meluruskan masalah, malah berpihak pada kebijakan yang represif dan
mengkriminalisasi ajaran lslam.[] iw/ls
Sumber: Tabloid Media Umat edisi 247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar