Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 22 Mei 2019

Sifat Manusiawi Para Nabi Dan Ujian Kesabaran Terhadap Manusia - Tafsir al-Furqan: 20



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (TQS. al-Furqan [25]: 20)

Para rasul adalah utusan Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya kepada manusia. Sebagai utusan manusia, mereka juga manusia. Sehingga mereka memiliki sifat-sifat manusiawi yang melekat pada dirinya sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka pun merasakan lapar dan haus sehingga memerlukan makan dan minum. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, mereka juga harus mencari nafkah. Oleh karena itu, keberadaan sifat-sifat manusiawi tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak seorang rasul, bahkan menjadi bahan celaan.

Inilah di antara yang diterangkan ayat ini.

Perbuatan Para Rasul

Allah SWT berflrman: “Wa maa arsalnaa qablaka min al-mursaliin illaa annahum laya'kuluun al-tha'aam (dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan).” Menurut Fakhruddin al-Razi, ayat ini merupakan jawaban atas pertanyaan dengan nada celaan dan hinaan oleh orang-orang musyrik, sebagaimana diberitakan dalam ayat sebelumnya: “Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (TQS. al-Furqan [25]: 7). Allah SWT pun menerangkan bahwa itu merupakan kebiasaan yang berlangsung pada semua rasul-Nya. Maka tidak ada celaan atas perkara tersebut.

Dengan jawaban tersebut, maka sikap kaum musyrik yang mempertanyakan sifat manusiawi pada Rasulullah tersebut terbantahkan. Makan dan minum bukan merupakan perbuatan tercela. Bahkan bukan hanya dilakukan oleh Rasulullah , namun juga semua rasul sebelumnya. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata: “Allah SWT berfirman yang memberitakan para rasul yang pernah diutus sebelumnya bahwa mereka semua memakan makanan dan memerlukan makanan.”

Makan memang bisa menjadi perbuatan tercela manakala makanannya haram, baik karena dzatnya atau cara pemerolehannya. Terhadap para rasul-Nya, Allah SWT memerintahkan mereka memakan makanan yang halal. Allah SWT berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh” (TQS. al-Mukminun [23]: 51). Ketentuan ini juga berlaku pada semua manusia sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (TQS. al-Baqarah [2]: 68).

Di samping juga: wa yamsyuuna fi al-aswaaq (dan berjalan di pasar-pasar). Aktivitas utama di pasar adalah jual-beli. Aktivitas ini dilakukan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Ketika seseorang membutuhkan sesuatu, sedangkan dia tidak memilikinya, maka dia harus mendapatkannya dari orang lain. Mekanisme yang paling umum dan dilakukan dengan saling ridha adalah tukar-menukar dengan orang lain. Aktivitas inilah yang dikenal sebagai jual-beli, dan pasar adalah pusat berlangsungnya aktivitas tersebut. Dikatakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan berjalan di pasar-pasar adalah bekerja untuk mendapatkan harta dan melakukan jual-beli.

Ini juga bukan perbuatan tercela, baik bagi manusia biasa maupun para rasul. Sebab, aktivitas jual-beli merupakan sesuatu yang dihalalkan.

Perlu ditegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh para rasul tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Sebab, sebagaimana dikatakan al-Samarqandi dalam Bahr al-‘Uluum, para rasul adalah Bani Adam, bukan para malaikat. Atas dasar itu, maka penolakan dan celaan kaum musyrik terhadap Rasulullah karena memakan makanan dan pergi ke pasar terbantahkan.

Ayat ini juga merupakan dasar bagi pelaksanaan sebab dan mencari penghidupan dengan berdagang, membuat kerajinan, dan lain-lain. Demikian diterangkan al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jaami' li Ahkaam al-Qur'aan.

Cobaan untuk Bersabar

Setelah membantah celaan kaum musyrik terhadap Nabi , kemudian Allah SWT berfirman: Wa ja'alnaa ba‘dhakum li ba'dh[in] fitnah (dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain). Khithab atau seruan ayat ini bersifat umum untuk seluruh manusia. Demikian al-Syaukani dalam tafsirnya. Dengan demikian, sebagian manusia dijadikan sebagai fitnah bagi sebagian lainnya.

Menurut al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaaf, kata al-fitnah berarti al-mihnah wa al-ibtilaa‘ (cobaan dan ujian). Diterangkan al-Qurthubi, maksudnya dunia adalah negeri cobaan dan ujian. Maka Allah ingin menjadikan sebagian hamba cobaan bagi sebagian yang lain secara umum, baik orang itu beriman maupun kafir. Orang yang sehat adalah cobaan bagi orang yang sakit, orang kaya adalah cobaan bagi orang miskin, dan orang fakir yang sabar adalah cobaan bagi orang kaya. Ini berarti, setiap orang dicoba dengan temannya.

Orang kaya dicoba dengan orang miskin. Karena itu, dia harus menyantuninya dan tidak mengejeknya. Orang fakir dicoba dengan orang kaya, karena itu dia wajib tidak dengki kepadanya dan tidak mengambil harta darinya kecuali apa yang diberikan kepadanya. Selain itu, masing-masing dari keduanya bersabar atas kebenaran.

Orang-orang yang diberi cobaan berkata, "Mengapa cobaan itu tidak dihapus dari kami?” Orang buta berkata, ”Mengapa aku tidak dijadikan seperi orang yang melihat?” Seperti itulah yang dikatakan oleh setiap orang yang mendapatkan cobaan. Rasulullah yang secara khusus diberi kehormatan sebagai nabi juga diberi cobaan yang datang dari orang-orang kafir di masanya. Begitu pula dengan para ulama dan pemimpin yang adil. Demikian penjelasan al-Qurthubi dalam tafsirnya.

Terhadap ketetapan tersebut, Allah SWT berfirman: atashbiruuna (Maukah kamu bersabar?). Menurut al-Samarqandi, kalimat tanya ini bermakna perintah. Artinya, bersabarlah kalian! Ini sebagaimana firman Allah SWT: “Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?” (TQS. al-Maidah [5]: 74). Maknanya, bertaubatlah kepada Allah.

Selain sebagai dorongan agar bersabar, mendrut al-Baidhawi, juga bisa dipahami sebagai 'illah li al-ja'l (penyebab dijadikannya realitas tersebut). Artinya, Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian lainnya agar Kami mengetahui siapakah di antara kalian yang sabar. Ini semisal dengan firman Allah SWT: “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (TQS. al-Mulk [62]: 2).

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wakaana Rabbuka Bashiir[an] (dan adalah Tuhanmu Maha Melihat). Maksudnya, Allah SWT mengetahui setiap orang yang bersabar dan yang gelisah, yang beriman dan yang tidak beriman, serta yang menunaikan hak orang lain dan yang tidak menunaikannya. Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya.

Dalam konteks ayat ini, penegasan bahwa Allah SWT Maha Melihat ini merupakan wa'd li al-shaabiriin wa wa'iid li al-'aashiin (janji kebaikan bagi orang yang sabar dan ancaman bagi pelaku kemaksiatan).

Demikianlah, Rasulullah tidak berbeda dengan para rasul sebelumnya dalam sifat-sifat manusiawinya. Bagi Rasulullah , semua celaan dan ejekan, penentangan dan permusuhan kaum kafir merupakan ujian dan cobaan bagi beliau. Dan sesungguhnya, manusia dijadikan ujian dan cobaan bagi manusia lainnya. Oleh karena itu, solusi atas semua itu adalah sabar. Tetap teguh dan kokoh dalam menetapi syariah-Nya dalam keadaan apapun.

Semoga kita dijadikan sebagai orang-orang yang bersabar berjuang di jalan-Nya. WalLah a'lam bi al-shawab.[]

Ikhtisar:

1. Perbuatan makan dan pergi ke pasar dilakukan oleh seluruh rasul, sehingga tidak ada alasan bagi kaum musyrik mencela Rasulullah karena melakukan perbuatan tersebut.

2. Sebagian manusia menjadi cobaan dan ujian bagi sebagian lainnya, maka manusia wajib menjaga dirinya agar menjadi orang yang sabar.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam